Thursday, November 26, 2015

Still A Friend Of Mine

Penampilannya selalu rapih dan enak dipandang, bahkan ketika ia sedang dalam kondisi kecapean mengantuk atau sakit. Begitulah seorang teman yang aku kenal dekat sejak aku duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Bedanya dengan penampilannya semasa kecil atau ketika beranjak dewasa, kini ia terlihat macho dengan postur tubuhnya yang terbilang sedikit kekar. Dulu hingga di bangku SMP, ia terlihat gemulai dengan cara bicaranya yang cenderung feminin. Aku ingat ucapan seorang temanku lainnya yang mengisyaratkan keogahannya untuk bergaul bersama temanku ini hanya karena ia diduga sebagai seorang "gay" dengan sepak terjangnya yang lembut bak wanita dan akrab dengan semua teman pria-nya. Apalagi ketika itu kami semua tinggal di San Francisco yang diindikasikan sebagai kota tempat berhuninya banyak gay. Aku sendiri disana tidak sempat bertemu dengannya setelah terakhir bertemu di bangku SMA sekitar 8 tahun sebelumnya.

Tahun lalu aku bertemu lagi dengannya di acara reuni SMA, tapi hanya sesaat saja kami mengobrol. Ia tidak lagi terlihat femini dan cara bicaranya pun berbeda jauh. Aku tidak berhubungan dengannya hingga beberapa bulan lalu ketika aku mencoba mengajaknya bergabung dalam grup band yang sedang aku bentuk. Seingatku, dulu ia menjadi andalan grup vokal kami untuk suara yang tinggi. Namun kali ini aku harus menghadapi tantangan baru dengan berubahnya suaranya menjadi jauh lebih rendah. Setelah ia bergabung, aku jadi sering bertemu dengannya dalam menjajaki proyek penampilan band kami di acara reuni SMA tanggal 5 kemarin.

Ia memang hingga kini belum berkeluarga meskipun usianya sudah memasuki kepala 5 seperti aku. Masih banyak suara sumbang yang menduganya sebagai orang yang hanya suka pada sesama jenis. Buatku, yang lama hidup di komunitas yang open-minded, tidak mudah menghakimi atau melabeli-nya seperti itu tanpa fakta yang kongkrit. Kenyataan bahwa ia sering dikelilingi wanita cantik juga harusnya menyulitkan orang untuk menebak-nebak. Apalagi ia begitu telatennya mengurus kedua orangtuanya yang sakit-sakitan. Misalnya ia rajin mengantar mereka berobat ke luar negeri. Suatu hal yang tak mungkin dilakukannya jika ia sudah berkeluarga seperti halnya adiknya yang telah beristri dengan dua anaknya.

Mungkin memang mudah buat orang lain untuk berprasangka buruk padanya hanya karena ia masih single, apalagi bagi orang yang tidak punya banyak teman sepertinya. Namun di negara maju seperti Amerika, tempat ia dan aku sempat menetap cukup lama, menjadi single bukanlah hal yang negatif atau mengindikasikan tidak suka dengan lawan jenis. Disana, pernikahan adalah hal yang tidak mudah dijalani mengingat segala kewajiban dan tanggung jawab yang dianggap serius untuk bisa dipikul. Hidup bersama sebagai pasangan saja bukanlah hal yang mudah, apalagi terikat dalam sebuah pernikahan. Jadi aku lebih suka berasumsi positif bahwa kejombloannya didasari hal-hal yang sifatnya lebih mementingkan orang lain, misalnya orangtuanya.

Di usianya yang sudah setengah abad, ia terlihat ganteng. Berpakaian selalu dandy dan rapih, ia juga sangat rendah hati dan ringan tangan. Ada beberapa teman2 dekatnya yang mencapnya sebagai orang berkecukupan yang selalu siap membantu siapa saja untuk hal apa saja yang terjangkau olehnya. Dengan bermodal itu semua, tidak susahlah buatnya untuk disukai wanita. Namun bisa jadi pengurusan orangtua-nya menjadi hal yang prioritas baginya sehingga mungkin butuh banyak hal lain buatnya untuk berkeluarga. Jika kelak terkuak fakta bahwa ia memang hanya tertarik pada pria, ia akan tetap punya kelas dan kualitas yang tinggi buatku. Dan itu sudah lebih dari cukup buatku untuk tetap memiliki pertemanan yang tidak berubah sedikitpun dengannya.




Menetaskan Telur



Sudah lebih dari 30 tahun aku tidak lagi bermusik serius. Yaah..kalau hanya sekedar jrangjrengan saja sih masih aku lakukan disana sini dalam konteks yang sifatnya santai ketika sedang sendiri atau bersama sekelompok kecil teman2 dekat saja. Tidak lagi di atas panggung atau di depan banyak penonton. Gitar bass yang dulu aku beli dengan bersusah payah dan sempat menjadi kebanggaanku telah aku berikan kepada adikku sepulangnya aku ke tanah air. Aku puas dan senang bisa mewariskan gitar bass kesayanganku itu kepadanya karena ia sempat merebut gelar bassist terbaik saat masih duduk di bangku SMA. Jadi rasanya memang pilianku itu jatuh pada orang yang tepat, yang tentunya mampu merawatnya minimal sebaik aku merawatnya.

Dan setelah tampil di sebuah acara reuni SMAnya bulan Juni yang lalu, ia juga yang kemudian insist agar aku juga tampil di acara yang menjadi sequalnya tanggal 5 kemarin. Wah..sebetulnya aku sangat tidak pede tampil di depan begitu banyak penonton setela vakum selama ini. Namun bahwa venue nya Hard Rock Cafe, tidak mungkin juga tawaran ini aku mentahkan begitu saja.
Bagaikan seorang newcomer yang sedang rajin2nya membangun kreditasi diri agar bisa punya Curriculum Vitae yang berbobot, tawaran ini aku sambut dengan aksi mengumpulkan kembali teman2 sealmamater yang mungkin berminat ikut tampil dalam ajang ini.

Namun memang tidak mudah menarik minat yang sama dari teman2 yang saat ini telah "merasa tua"untuk nge-band di umurnya yang sudah setengah abad. Butuh waktu hampir 3 bulan hingga akhirnya terbentuk juga grup band yang beranggotakan 9 pemain. Itupun termasuk additional drummer yang kami comot dari angkatan 5 tahun di bawah kami. Sebenarnya bukanlah hal yang mudah mengajak mereka membentuk sesuatu band, mengingat dahulu ketika kami sering bermusik di saat masih di SMP & SMA, format grup kami selalu vocal group. Jadi pemain gitarnya pun saat itu tidak pernah tampil dengan gitar listrik & pemain kibornya hanya berwara wiri dengan piano. Namun aku berhasil memotivasi mereka dengan fakta bahwa akupun saat itu belum pernah dan belum bisa bermain bass. Ketika itu, kami memang tidak pernah memiliki pemain drum karena grup vokal kami tidak pernah membutuhkannya. Dengan modal bongo atau conga pun, kami terbilang cukup handal dalam menguasai pentas hingga pernah menjadi juara favorit dalam sebuah festival. Harapanku kemarin...kalau dalam kurun waktu 30 tahun lebih aku bisa belajar bermain bass, mungkin saja ada teman seperjuangan yang juga menekuni ilmu bermain drum. Tapi nyatanya aku salah. Itu sebabnya kami harus meminjam seorang adik kelas untuk menangani jatah drum di grup kami.

Perjalanan kami menuju ajang ini juga bukanlah sesuatu yang mudah dilakoni. Untuk berkumpul komplit latihan saja sangat sulit mengingat kami semua punya kesibukan berkarir sebagai kepala rumah tangga. Jadi aku sangat mengerti bila akhirnya latihan kami baru menjadi intensif sekitar satu setengah bulan sebelum acara. Itupun tidak selalu dihadiri semua personil yang kadang dapat tugas ke luar kota atau bahkan luar negeri. Dan pada akhirnya pun pemain biola yang selama ini termasuk yang paling rajin latihan dan paling concern dengan proyek ini harus absen di hari penyelenggaraan acara karena dapat tugas mendampingi seorang menteri dalam lawatan dinasnya ke luar negeri.
Untungnya, kami bisa dibantu rekaman permainan biolanya dalam format MIDI ketika kami tampil.

Penampilan kami malam itu memang bukan yang terbaik dari 16 performers yang ada, namun dengan bantuan playback MIDI, kami dianggap sebagai performer yang musiknya paling berisi meskipun masalah sound di atas panggung yang kami hadapi malam itu bisa dikatakan merontokkan keharmonisan 4 vokalis yang menjadi frontliners band kami. Aku sendiri sangat puas dengan penampilan grup kami. Tidak dalam segi musikalitas tapi lebih ke fakta bahwa kami sudah berhasil menetaskan telur yang selama ini tidak pernah dierami. Dan kepuasan di diriku mungkin melebihi yang lain karena beratnya perjuangan atas proyek yang aku prakarsai.
Tentunya jika perjalanannya tidak seberat kemarin, keberhasilan ini juga tidak akan terasa semanis ini.

Dan seiring dengan kepuasan yang kami dapatkan, kami sudah sempat membahas langkah2 apa saja yang perlu kami lakukan jika di kemudian hari kami akan mentas lagi. Belum ada ajang berikutnya selain menyumbang dua buah lagu dalam format semi akustik di acara pernikahan pemain kibor kami minggu depan, namun paling tidak kami sepakat untuk tidak berhenti disini. Alhamdulillah...


 

Saturday, October 24, 2015

Simpanan

Sudah lama aku tidak menulis-nulis di sini atau di media sosial lainnya. Bukan karena malas menulis tapi memang keinginannya tidak ada. Pudar begitu saja tak lama setelah Ramadhan kemarin usai. Bahkan selama Ramadhan pun aku tak menulis sesering tahun-tahun sebelumnya. Banyak sekali kejadian sarat makna yang telah terjadi selama ini yang bisa aku tuangkan dalam tulisan atau postingan, namun aku tak tergerak untuk menyimpannya dalam bentuk tulisan. Beberapa kali aku bertanya pada diri sendiri, "Bagaimana jika aku sampai melupakan kejadian penting yang harusnya bisa teringatkan oleh tulisanku di kala kelak aku lupa?" Namun aku hanya membiarkan pertanyaan itu tak terjawab dan melanjutkan apapun aktifitasku yang biasanya membuatku tak peduli lagi tentang hal itu.

Sebenarnya kegiatanku dalam membuat postingan tidak sepenuhnya terhenti. Di akun twitter ku, aku lumayan rajin meng-self-update tentang kegiatanku lewat tulisan-tulisan pendek atau foto-foto sederhana yang berkaitan dengan aktifitas keseharianku, sementara di sebuah blog, aku masih terbilang rajin menyimpan kumpulan imaji pilihan yang menarik perhatianku. Blog ku ini isinya melulu hanya foto. Mungkin karena itulah ada sejumlah pengunjung yang aktif memantaunya, mungkin karena tak perlu pandai bahkan harus berpikir keras untuk bisa mengerti atau menikmati apa yang tersimpan di dalamnya. Dan yang pasti, aku sama sekali tak berniat untuk mengetengahkan topik yang rawan dijadikan bahan perdebatan.

Pernah ada seorang pengunjung yang meninggalkan komen berupa pertanyaan tentang mengapa tak banyak pengunjung, sementara apa yang disajikan di dalamnya bisa dinikmati siapa saja tanpa pandang usia, gender, agama dan lain-lain. Aku tidak pernah mempromosikan blog-ku ini meskipun terbuka untuk umum. Tujuan utama pembuatan blog ini adalah ibaratnya untuk menyimpan harta karun yang aku temukan di sana sini, yang mudah-mudahan kelak bisa selalu aku nikmati. Bahwa orang lain bisa ikut melihatnya, bukan karena aku yang mengajak tapi karena adanya faktor kebetulan. Dan kalau ada yg juga bisa menikmati kontennya, ya syukur alhamdulillah...


Wednesday, August 19, 2015

Cat Fight

Ada dua orang kenalanku yang pernah sangat akrab satu sama lainnya. Keduanya wanita dan mereka berkenalan di dunia maya. Kesamaan prinsip mereka memotivasi mereka untuk ber-kopi darat yang lalu mengakrabkan mereka.
Sayangnya...keakraban mereka tercabik-cabik sejak menjelang Pilpres yang lalu. Kedengarannya memang cliché, tapi itulah yang terjadi pada dua insan yang masing-masing habis-habisan membela jagoannya.

Pilpres kemarin itu memang one of a kind. Banyak kawan yang lalu jadi lawan, bahkan antar pasangan hidup. Tapi kebanyakan berakhir dengan perdamaian setelah pemenangnya terpilih. Atau paling lambat beberapa waktu kemudian setelah pemerintahan berjalan. Kalaupun perbedaan itu masih ada, biasanya lebih terwujud pada pencibiran dalam hati atau tertutup di dalam lingkaran sesama pendukung yang sama.

Nah yang lucu adalah bahwa kedua kenalanku ini sekarang bagaikan musuh bebuyutan saking getolnya melakukan penyerangan dan pembelaan terhadap pemerintahan yang baru. Perang dingin yang mereka lakukan di dunia maya hingga detik inipun terkesan tak akan berujung. Begitu gencarnya aksi mereka hingga aku berasumsi bahwa tak seorangpun mampu menjadi penengahnya apalagi melahirkan kedamaian diantara mereka. Jangan tanya bagaimana jika mereka bertemu lagi di dunia nyata karena untuk sementara waktu hal itu mustahil mengingat mereka kini berjarak ribuan kilometer satu sama lain dan terpisahkan oleh samudra yang luas.

Serang menyerang mereka ini bersifat quiet. Tanpa menyebutkan kemana dan kesiapa arah tujuannya, namun serangan demi serangannya saling bersautan. Kalau boleh aku berkeyakinan, hal ini terjadi bukan secara kebetulan namun memang mereka saling memantau. Sehingga masing-masing tau pasti kapan serangan itu dilakukan dan biasanya langsung melakukan serangan balik. Aku tak akan pernah bisa menebak siapa yang akan menang atau kalah karena tak seperti Pilpres yang telah memisahkan mereka, pertarungan ini murni antara dua individu yang sama sekali tidak didukung ataupun ditunggangi pihak manapun.

Satu-satunya yang mem back up mereka hanyalah wawasan ilmu pengetahuan dan wisdom yang ada dalam diri mereka sendiri. Ini yang membuatnya jadi sangat menarik. Keduanya merasa benar, kuat dan punya tingkat emosi yang se-level...wanita pula. Tentunya, bakal pemenangnya adalah dia yang pandai mengatur strategi perangnya. Dan yang akan diraih adalah suatu kemenangan telak!

Hmmm...kita lihat saja nanti.


Friday, August 7, 2015

Merendah Dalam Bersabar

Sudah beberapa hari belakangan ini aku mengalami keresahan yang (bisa dikatakan) cukup parah. Sebenarnya berada di posisi yang serba kesulitan dalam finansial seperti sekarang ini sudah sering aku alami dan tidak membuatku gundah, tapi hanya sesekali saja hal itu terjadi jika tekanan aku dapat ditambahi keluhan dari pihak-pihak yang harusnya mengerti keadaanku dan ikut bersabar menghadapinya. Di saat aku menunggu tagihan dariku yang terus menerus ditunda pembayarannya, tagihan-tagihan yang harus aku bayarpun tak berhenti berdatangan.

Ingin rasanya menutup kupingku agar tidak mendengar keluhan-keluhan itu, namun aku tau itu tidak akan menghentikannya mengeluh dan aku tak mungkin selamanya menghindarinya. Lagipula aku sadar bahwa hal itu sejujurnya justru memompa semangatku untuk berusaha lebih keras dalam mencari solusinya. Seperti halnya yang terjadi kemarin ketika aku berniat untuk tidak pulang ke rumah sampai aku menyelesaikan sebuah tagihan yang telah tertunggak dua bulan. Aku menjadwalkan kegiatanku pagiku untuk menyambangi klien-klien ku yang selama ini menunda pembayaran atas layanan jasa yang telah kuberikan. Panjangnya perjalanan yang harus aku tempuh tidak menjadi halangan buatku demi penyelesaiannya sebuah tunggakan tagihan yang harus beres di tengah hari. Sayangnya usahaku belum juga satupun berhasil, namun aku tak ingin kegagalanku itu menghalangiku untuk menyempatkan diri singgah di masjid kecil di sebuah jalan yang aku lalui. Dan di saat aku sedang berusaha ikhlas menerima kenyataan itu, seorang teman yang baru setahun kukenal dan menjadi akrab denganku menelponku dan mengajakku bersantai di sebuah warung kopi dimana ia sedang berada.

Aku menerima ajakannya karena aku memang butuh waktu sejenak untuk duduk tenang dan memutar otak mencari alternatif lain yang bisa menghasilkan uang. Mungkin saja temanku ini bisa juga memberi usulan solusi mengingat ia juga seorang pekerja independen yang terbilang sukses dalam menangani kegentingan finansial yang pernah dihadapinya. Lucunya, bukan usulan cara mendapatkan peluang yang aku dapat darinya, tapi justru tawaran pinjaman dana tanpa batas waktu pengembaliannya. Memang tidak seluruhnya tunggakan itu bisa tertutup oleh dana yang ditawarkannya, tapi setidaknya bebanku jadi lebih ringan. Wah...alhamdulillah sekali. Sekarang aku tinggal mencari cara untuk mendapatkan sisa dana untuk mengkumplitkannya. Pinjaman ini pun yang kemudian membuat aku lebih tenang dan mampu berpikir jernih untuk mendapatkan solusinya.

Singkat cerita, tunggakan tagihan itu aku bereskan tepat pada waktunya. Itupun aku lalui dengan bersabar dan merendah hati ketika pihak penagih berusaha memaksaku membayar sekaligus tagihan berikutnya yang akan jatuh tempo tiga hari dari sekarang. Meskipun dalam hal ini aku yakin aku lebih benar dari mereka, tanpa mengotot aku mencoba meminta dengan baik dan sopan pengertian mereka akan keadaanku, bahwa rezeki yang menjadi milikku tidak selamanya sebesar yang aku harapkan. Bahwa kendatipun aku belum tentu bisa membayar tagihan berikutnya dari mereka, selayaknya aku mensyukuri rezeki yang aku dapat untuk bisa menyelesaikan tunggakan kali ini, yang pada akhirnya dianggap cukup oleh mereka. Dan dalam perjalanan pulangku, aku terus menerus terkagum-kagum atas bagaimana Allah memberiku ujian dan cara mendapatkan solusinya. Amazing!


Saturday, August 1, 2015

Hikmah Dari Kesulitan

Salah satu alasan mengapa kita diberi Allah swt ujian adalah agar kita bisa belajar tentang kemampuan kita dalam menarik hikmah yang ada di balik ujian itu sendiri.
Ujian finansial yang datang bertubi-tubi selama setahun terakhir ini memang kalibernya berat. Bukan berarti aku tak pernah mengalami ujian serupa dan lulus, tapi dulu situasiku jauh berbeda dimana yang harus aku luluskan itu hanya aku sendiri. Sekarang ada 3 kehidupan lainnya yang menjadi tanggung jawabku. Dan mungkin bagian ujian yang cukup krusial adalah mendengar keluhan dari yang aku tanggung atas kesulitan yang dihadapi. Mendengarnya saja sulit apalagi menerimanya dengan sabar dan lapang dada.

Berbagai cara sudah aku coba lakukan sebagai refleksi dari kiat untuk tidak berputus asa. Dari hunting proyek, survey lahan pekerjaan baru yang mungkin bisa digarap, bahkan mencari pinjaman dana dari kerabat dan kenalan. Nah, yang terakhir ini rupanya memberi banyak hikmah dan pembelajaran padaku. Banyak sekali dari mereka yang (ternyata) juga sedang kesulitan keuangan. Jujur saja, di awalnya aku sempat kecewa dan berburuk sangka pada mereka yang mengaku tidak mampu membantu. Namun tak lama kemudian akupun menyadari betapa salahnya aku menilai seperti itu. Aku lupa menempatkan diriku di posisi mereka. Bagaimana jika disaat yang sama, ada seorang kenalan yang datang kepadaku dan meminta bantuan juga? Egois sekali aku kesannya, bukan?

Sebetulnya yang bisa dibilang membuat ujian kali ini terasa lebih berat adalah bahwa ada beberapa hal yang nampak begitu jelasnya di depanku, yang nantinya bisa melepaskanku dari jeratan hutang dan tagihan yang tertunggak...tapi masalahnya, semua itu belum bisa tergapai. Ibaratnya ada celah berjurang dalam yang memisahkan aku dengan hal-hal tersebut. Yang aku butuhkan hanyalah sesuatu yang bisa menjembatani aku dengan semua itu. Tak perlu kubangun jembatan besi yang strukturnya njelimet. Sebuah batang pohon besar yang kokohpun sudah cukup untuk kujadikan tempat meniti perlahan ke seberang. Banyak pohon di sekitarku, namun kapak atau alat pemotong yang layak untuk menebangnya tersembunyi entah dimana. Tugasku adalah mencari alat pemotong itu dengan bermodal kesabaran dan keikhlasan.

Sambil aku mencarinya, aku terus membayangkan apa saja yang akan aku lakukan setelah aku berhasil menyebrangi celah itu. Selain membereskan segala urusan tunggakan, impian dan keinginanku tak banyak dan tak muluk-muluk. Sehingga aku mempertanyakan diri sendiri akan aku apakan rezeki yang tersisa. Dan pemikiranku kembali pada bagaimana sulitnya mendapatkan bantuan dari para kerabat dan kenalanku itu. Aku lalu mebayangkan betapa akan senangnya mereka bila kelak mereka datang dengan mengharapkan bantuan kemudian mendapatkannya dengan mudah dariku karena aku memang mampu. Mereka tak akan perlu kecewa dan pergi mencari bantuan lagi ke tempat lain. Betapa akan bahagianya aku jadinya.

Berkah dan rezeki kita itu sudah ditentukan olehNya. Aku sadar bahwa ketika aku gagal mendapatkan pinjaman dana dari suatu sumber, artinya rezeki untukku memang bukan dari situ. Sedangkan rezeki apapun yang menjadi milikku juga sifatnya hanya duniawi, sehingga tidak sepantasnya aku dewakan. Dan ketika ada kerabat, kenalan atau siapapun yang membutuhkannya, in shaa Allah rezeki yang aku punya bisa menjadi rezekinya pula.
Kebahagiaan yang aku dapatkan kelak saat berbagi rezeki menjadi berkah yang tak ternilai itu lalu memotivasi aku untuk terus berusaha mencari dan mencari dengan sabar solusi dari permasalahan yang aku hadapi. Dan buatku, itulah hikmah yang ada di balik ujian berat ini.



Friday, July 31, 2015

Menghargai Yang Kecil

Mungkin kalau ditotal, uang recehan pecahan 25, 50, 100 dan 200 perak yang aku temukan tergeletak begitu saja di tanah atau aspal lalu aku pungut disana sini selama ini sudah mencapai puluhan ribu jumlahnya. Meskipun aku yakin aku tidak akan mungkin menemukan pemiliknya selama tenggang waktu yang ditentukan agar memenuhi syarat untuk aku miliki, namun sudah menjadi niatku untuk menyumbangkannya ke tempat-tempat yang layak. Untungnya, tak jauh dari lokasi tempat aku menemukannya, kebanyakan di halaman parkiran mini market, biasanya terdapat kotak-kotak amal titipan panti asuhan atau rumah yatim, sehingga aku tidak perlu menyimpannya terlalu lama.

Aku heran saja, di situasi perekonomian negara yang sedang melesu dan dikeluhkan banyak pihak seperti sekarang ini, koq masih saja banyak orang yang tidak bisa menghargai koin-koin bernilai kecil itu. Padahal jika rajin dikumpulkan bisa dipakai sebagai alat pembayaran untuk apapun. Tak ada satu pihak pun yang (diizinkan untuk) bisa menolak pembayaran dengan dengan cara tersebut. 
Baru-baru ini telah digaungkan ancaman hukuman denda oleh pemerintah bagi pedagang manapun yang mengganti uang kembalian dengan permen setelah untuk sekian lama digunakan sebagai pengganti jumlah nominal kecil di bawah seribu perak. Tentu saja ini kebijakan yang adil mengingat para pedagang yang suka melakukan hal tersebut sudah pasti juga akan menolak bila pembeli menggunakan permen sebagai alat pembayaran barang yang dibeli.

Belakangan ini ada cara baru yang diterapkan mini market seperti Alfamart dan Indomart berkenaan dengan pengembalian uang belanjaan. Umumnya kasir toko-toko tersebut, ketika hendak menyerahkan uang kembalian, akan menanyakan apakah pembeli berniat untuk menyumbangkan sebagian uang kembaliannya. Yang dimaksud sebagian ini adalah jumlah yang nominalnya ratusan perak. Jadi misalnya uang kembalian yang harusnya didapatkan pembeli adalah 18.800 perak, kasir akan menanyakan apakah pembeli bersedia menyumbangkan uang senilai 300 perak itu. Dengan kata lain, kasir akan menyediakan uang kembalian sebesar (hanya) 18.500 perak dengan catatan sisa yang 300 itu disumbangkan.

Sebenarnya, sistem ini bisa dianggap baik dalam hal mengantisipasi perpindahan koin pecahan di bawah 500 perak dari pihak toko ke tangan pembeli yang lalu membuangnya karena, sederhananya, tidak menghargainya. Namun yang jadi pertanyaan berikutnya adalah, apakah tawaran ini memang didasari konsep pemikiran seperti itu, atau sesungguhnya stok yang disiapkan pihak toko itu sendiri bukanlah koin-koin bernominal kecil tapi justru permen? Dan tanpa bermaksud curiga, kemana perginya dana yang statusnya akan mereka sumbangkan? Aku pernah menanyakan hal tersebut sebagai respon atas tawaran penyumbangan itu. Jawabannya, disumbangkan ke yayasan-yayasan sosial yang nantinya akan ditentukan pihak toko.
Hmm...jika benar, alangkah mulianya niat yang ada dibalik penerapan sistem tersebut. Tapi mengapa hal itu hanya diberlakukan pada sejumlah dana yang direpresentasikan oleh koin-koin tadi? Bisa saja kita lalu menganggap, secara tak langsung sistem tersebut seolah mengajarkan tentang ketidakpentingnya koin-koin itu. Tentunya, siapapun bisa kembali mengajukan sebuah argumentasi dengan, "Dari pada dibuang?"

Memang akhirnya semua kembali kepada tiap individu. Sekarang mungkin hanya pecahan segitu yang diperlakukan seperti itu. Namun bisa jadi dengan kenaikan harga yang terus berlangsung, penyakit ini merembet ke pecahan yang lebih besar. Contohnya, kemarin selagi menyiapkan diri untuk beranjak pergi dari sebuah lapangan parkir alfamart, aku menyaksikan bagaimana seorang tukang parkir menolak menerima pembayaran ongkos parkir dari seorang pengedara motor yang menyodorkan 2 buah koin pecahan 500 perakan. Tukang parkir itu hanya melengos pergi meninggalkan si pengendara motor setelah melihat koin-koin di tangannya sambil bergumam, "Bukan zamannya lagi parkir 1000 perak". Ujungnya tak ada transaksi yang terjadi antara mereka, sementara setelah pengendara motor itu pergi, sang tukang parkir kemudian tetap menerima uang kertas pecahan 1000 perak yang aku serahkan. Ada dua kemungkinan yang mendasari penerimaan uangku itu. Pertama, ia tak berani menolak 1000 perak itu dariku (tapi mungkin ngedumel setelah aku pergi), atau ia punya pandangan yang berbeda antara koin 500 perak dan uang kertas 1000 perak.

Kalau yang benar adalah kemungkinan yang kedua, artinya pemandangan secara sebelah mata itu sudah mulai diberlakukan pada koin dengan nominal yang lebih tinggi lagi. Koq makin ironis ya? Justru disaat kita makin susah mendapatkan uang, lalu harusnya tiap perak itu dihitung (kalau istilah bahasa Inggrisnya, "every penny counts"), makin banyak saja orang yang menganggap mata uang pecahan kecil itu tidak berharga. Begitu tidak berharganya sehingga untuk mengumpulkannya lalu ditukarkan ke bank untuk pecahan yang lebih besar pun tidak terpikirkan. Yaah...kalau memang tidak punya ketertarikan untuk menyimpannya, minimal bisa lah disumbangkan atau didermakan kepada pihak-pihak yang lebih bisa menghargainya. Ketimbang membuang rezeki, harusnya orang bisa menimbun pahala dengan beramal.

Pheew....


Tuesday, July 14, 2015

Funny Way

HE works in mysterious ways indeed. Or I can consider them funny, perhaps...sometimes.

Unlike what happened so many times before, this morning, instead of getting offended by her inquiries I accepted them politely as I understood her ground of questioning them. So I tried to reason with her by trying to make her understand of my situation. I remember a friend told me how important it is not to always defend ourselves from attacks addressed to us. Sometimes we ought to give in in order to get the attackers happy so we can be happy too with the outcome. Fighting fire with fire would only get everything burned out, while only certain amount of water would put out fire. We may get more chances to survive if we become a piece of wooden-log-shaped-concrete, get it?

I admit that I haven't been achieving as much as I usually did. In fact, I'm going through what maybe the hardest time in life. What makes it the hardest is that I somehow believe there's actually a pot of golden coins at the end of the rainbows. It's like I can see it but I can't get myself to it because of the huge gap separates me from it. Not that it means it's unreachable. I need to build myself a firm bridge to cross it. Of course I would need others to help me build it, but the first move has to be initially made by me...alone. So it becomes hardest because I don't get the luxuries (anymore) to lose my mind and blow up. I need to keep myself in control no matter how tough situation may get. Now that's a big challenge.

Sincerely admitting my failures has actually eased the attack and turned what could have been a long dull debate into a short peaceful discussion which ended with mutual understanding that being patient is all it takes to ace the hard tests. Giving each other enough time and spaces should be the best way to resume the journey to the end. And that was what we agreed on at the end of the discussion. So I thought at least I could move on to a higher level in this waiting game. That's one way of HIM showing me how HE help me. It's just a matter of time until I can get more help from HIM.

What made it funny is that about a couple of hours afterward, I received a text message which indicate a favorable response to what I badly need. A payment that I've been waiting for quite some time for a work I've done awhile ago may be finally transferred into my bank account tomorrow. Naturally, I could've jumped around in overjoy getting this news. But I have become sort of familiar with this kind of situation, that I tried to look at it from both sides. I too have to be aware that it may also be another test to face. I need to prepare myself to accept the possibility of it not happening on time as expected.

So again, I realize that I have decided to let myself into this condition and I need to act wisely. Not only I'm grateful of it, but I also have to be patient in waiting for it to happen. And should it really happen tomorrow, I would definitely call it a funny way of how HE works. :)


Saturday, July 11, 2015

Tak Meleset


Tiada hentinya ia memikirkan apa yang baru saja ia alami. Ia dapat dengan jelas mendengar anak sulungnya menyenandungkan sebuah lagu tapi tak sedikitpun minat pada dirinya untuk mencari tau judul dan penyanyi dari lagu tersebut. Ia hanya cukup memastikan bahwa anaknya berjalan pulang di tempat yang aman dari kendaraan yang kadang melaju kencang saking sepinya jalanan malam itu. Sesuatu yang aneh telah dialaminya ketika ia tengah melaksanakan ibadah shalat tarawih di malam ke duapuluhlima itu.

Meskipun ia masih sulit untuk percaya bahwa hal aneh tersebut mungkin terjadi, namun ia merasakan sekali kejadian itu seolah nyata.
Di saat ia tengah berdiri sambil menatap titik di karpet tempat dimana ia harus mensujudkan mukanya di rakaat kedua dari seri shalat ketiganya, tiba-tiba apa yang dilihatnya dan sekitarnya sirna begitu saja, lalu berganti menjadi gambaran putih kosong yang terang benderang seolah ia berada di alam bebas yang tak mengandung dataran, garis horison, awan ataupun langit. Ia berulang-ulang melihat ke sekelilingnya, namun yang dijumpainya hanya kekosongan yang terang.

Lucunya, ia tidak lalu panik namun justru dengan tenang berjalan tanpa tau arah kemana ia melangkah. Tak lama kemudian, masih dengan sikap yang santai, ia bertanya dalam hati, "Wah, aku dimana ini ya?" Pertanyaannya itu segera terjawab oleh suara yang tidak terdengar oleh kupingnya namun jelas ditujukan kepadanya, "Yang penting bukanlah dimana kamu berada, tapi mengapa kamu disini sekarang." Suara itu bak jawaban yang muncul dalam benaknya.

Karena ia masih ingin tau kemana anaknya yang sebelumnya berdiri di sebelahnya, jemaah lainnya yang hanya memenuhi empat shaf dan imam yang memimpin shalat, ia bertanya lagi, "Kenapa aku ada disini, dan kemana orang-orang yang tadi sedang shalat bersamaku?"
"Kamu disini karena kamu terus menerus bimbang dengan keputusan-keputusan yang telah dan akan kamu ambil. Kamu selalu mempertanyakan kapan nasibmu akan menjadi seperti yang kamu inginkan. Kamu berdoa dan berdoa tapi kamu belum juga ikhlas menghadapi situasi hidupmu."

Tanpa sedikitpun keinginannya untuk mengetahui siapa pemilik suara itu karena ia terlalu merasa perlu menindaklanjuti jawaban tadi yang dianggapnya sangat benar. "Aku khan berdoa untuk meminta berkah dan rezeki. Aku mencoba sekuat tenaga untuk bersabar dan berikhlas tapi keadaan hidupku rasanya makin sulit. Apakah salah kalau aku jadi gundah ketika aku merasa doa-doaku itu belum dikabulkan, sementara aku sudah berusaha untuk menjadi orang yang baik?"
"Sudah seberapa baikkah kamu?", suara itu bertanya balik.
"Aku tidak tau. Tapi setidaknya aku lebih baik dari sebelumnya, karena sudah banyak hal jelek yang aku tinggalkan dan banyak hal baik yang aku lakukan", jawabnya.
"Seberapa banyak? Cukup banyakkah untuk kamu mendapat apa yang kamu minta?"
Ia terdiam...

Tiba-tiba ia dapat melihat sosoknya sendiri tengah berdiri menjalankan ibadah sholat di sebelah anaknya.
"Kamu disini agar dapat melihat dirimu sendiri. Lihat lalu pikirkan apa yang mungkin ada dalam hati anakmu saat ini, dan dalam hati anak-anakmu di keseharian mereka. Teruslah mempertanyakan hal itu sampai kamu dapat jawabannya, sebelum kamu mempertanyakan apa yang kamu dapat dan tidak dapat dalam hidupmu."
Ia menatap kedua anaknya yang terlihat khuyuk menjalankan shalatnya. Ingin rasanya ia mengambil jalan pintas dengan cara menyerah saja agar suara tadi yang memberikan jawabannya. Namun sebelum ia sempat melakukannya, pandangannya sudah kembali tertuju ke titik sujud pada karpet merah tempat ia berdiri. Lalu ia mendengar suara takbir dari sang imam yang mengisyaratkan saatnya ruku'.

Ia tak lagi bisa berkonsentrasi di rakaat-rakaat berikutnya termasuk dalam shalat Witir-nya. Ia terlalu sibuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak tertidur, dan apa yang terjadi padanya bukanlah sebuah mimpi. Ia yakin sekali semua itu bermula saat ia baru saja meng-aamiin-i surat Al-Fatihah yang ia baca dalam hatinya. Tapi mengapa bisa ia mengalami hal seperti itu dalam keadaan di atas sadarnya? Aneh sekali. Keanehan itulah yang menyelimuti pikirannya sepanjang prosesi perjalanan pulangnya.

Dan ketika tempat tinggalnya sudah terlihat dari kejauhan, anaknya bertanya, "Papa mau dinner, nggak?" Aku lalu menjawab, "Nggak ah, papa nggak mau kenyang. Buka puasanya tadi sudah cukup."
"Kalau gitu, aku juga nggak akan dinner", timpal anaknya.
"Kenapa? Kalau mau makan ya makan saja", ia berusaha memberi motivasi pada anaknya.
"Kalau papa makan, aku juga makan".
"Koq gitu? Papa khan sudah nggak tumbuh lagi, jadi papa nggak perlu makan"
"Tapi aku masih agak kenyang, Pa".
"Ya kalau masih kenyang kenapa mau ikut makan juga kalau papa makan?"
"Ya biar papa nggak makan sendirian"

Ia kembali terdiam, dan rupanya anaknya juga tak nampak ingin melanjutkan pembicaraan. Ia lalu bertanya lagi dalam hati, apakah hal-hal seperti ini yang dimaksud oleh suara tadi? Mungkinkah ia tak menyadari bahwa sikap anaknya itu juga merupakan sebuah berkah buatnya? Yang ia sering tak mensyukurinya karena bukanlah sesuatu yang spesifik yang ia minta dalam doa-nya? Sesuatu yang harusnya bisa menenangkannya ketika hatinya sedang kalut dan situasi hidupnya sedang sulit. Ia jadi sadar betapa kecil hatinya dan egois pikirannya hingga ia mampu menentukan sendiri batas kesabarannya.



Ya Allah...aku tidak tau dan tak perlu tau siapa pemilik suara tadi. Tiada pula aku pantas mempertanyakan apa yang telah terjadi dalam shalatku. Tapi ampunilah aku atas kelancanganku, dan biarkanlah aku mensyukuri segala bentuk keberkahan yang telah Kau turunkan buatku. Karena sesungguhnya berkahMu tak harus selalu tepat pada sasaran yang aku incar, tapi selalu tepat pada apa yang Kau kehendaki..aamiin.


Wednesday, July 1, 2015

About Time

Aku baru saja (akhirnya) usai menonton sebuah film bagus lagi tentang time traveling atau lebih tepatnya pengulangan waktu. Begitu bagusnya hingga di tengah-tengah kegiatan rutunitasku di bulan Ramadhan ini, aku bela-belain mem-pause filmnya dan menunda menontonnya berkali-kali agar ritme kinerjaku tidak terganggu.

Aku selalu suka film bertema perjalanan mengarungi waktu terutama ke masa lalu karena aku punya kesempatan untuk berkhayal tentang apa yang akan aku putuskan jika hal itu terjadi padaku. Tidak hanya aku bisa (berimajinasi) mengulangi kejadian-kejadian yang aku nikmati, aku juga merubah sikap dan tindakanku demi memperbaiki hari-hari yang kurang berkenan buatku. Tentunya dengan kesadaran penuh bahwa aku harus siap menerima segala konsekuensi dari perubahan yang aku lakukan. Kesannya cliché memang...namun hal itu melatihku untuk berkhayal tanpa batas sambil menggunakan logika. Jadi otomatis aku harus benar-benar memikirkan semua kemungkinan yang bisa terjadi layaknya cara berpikir seorang pemain catur kaliber Grand Master. Namun tak hanya itu, ketika aku mencoba merubah keadaan yang negatif, aku bisa saja dengan mudahnya kehilangan faktor-faktor positif yang merupakan efek dari keadaan yang negatif tadi.

Contohnya...aku mengalami hari yang begitu buruk dimana aku dipecat dari pekerjaanku karena kelalaianku yang terlalu parah. Kemudian dengan hati yang tengah gundah, aku tak berhati-hati dalam berkendara sehingga mobilku ringsek menabrak sebuah pohon yang mengakibatkan aku terluka dan harus dilarikan ke rumah sakit. Jika aku bisa mengulangi hari itu, aku akan bekerja dengan lebih baik untuk menghindari kelalaianku agar tidak dipecat, hatiku tidak gundah dan aku tidak perlu dibawa ke rumah sakit.
Tapi...aku juga tidak akan berkenalan dengan wanita cantik yang telah begitu baik membantu dan mengantarku ke rumah sakit. Ia juga dengan setia menemaniku selama cederaku ditangani oleh pihak rumah sakit hingga aku sangat jatuh hati padanya.

Faktor terakhir itulah yang kemudian membuatku berpikir berkali-kali untuk menentukan sampai sejauh mana ke masa lalu aku akan kembali dan kemudian apa saja yang harus aku lakukan agar aku terhindar dari kejadian negatif namun tetap mendapatkan hal-hal positifnya. Tidak mudah, bukan?
Ada anggapan bahwa sepintar-pintarnya kita mencoba mensiasati keadaan, kita tak mungkin terhindar dari apa yang memang sudah digariskan buat kita dapatkan. Atau apa yang memang seharusnya bukan milik kita tidak mungkin bisa kita dapatkan meskipun kita melakukan berbagai trik. Anggapan lain adalah kebalikannya, dimana untuk mendapatkan atau menghindari sesuatu, ada jalan tertentu yang harus kita lewati. Sehingga selama kita belum menemukan jalannya, selama itu pula kita belum akan memperoleh apa yang kita harapkan.

Film-film semacam ini memang menyuguhkan berbagai teori yang tidak akan pernah terjawab kebenarannya. Sebagai sebuah tontonan yang sangat menghibur, film ini hanya melulu memberiku kesempatan untuk melatih otakku dalam berkhayal dengan lebih berhati-hati. Bisa saja tercetus suatu ide yang menurutku brilian karena kelihatannya masuk akal, namun pada kenyataannya aku mungkin akan merasa menyesal telah mencoba merubah alur cerita yang telah terlampaui sebelumnya. Pada akhirnya, bisa saja perjalanan hariku tetap dari poin A ke poin D dengan melewati poin B dan C. Hanya rute yang aku lewati saja yang berubah. Ibaratnya, aku bisa mendapatkan bonus dan promosi karena hasil kerjaku yang begitu hebat, namun di dalam kegiranganku aku tetap mengalami kecelakan. Atau ada hal lain yang menempatkanku hari itu pada situasi dimana aku tetap harus dibawa ke rumah sakit. Dan bisa saja aku tetap bertemu dengan wanita cantik itu tanpa harus mengalami kecelakaan.

Jadi...sebenarnya konsep pengulangan suatu waktu dengan tindakan yang berbeda itu belum tentu mengubah nasib kita yang tentunya sudah digariskan oleh Allah swt. Sejauh ini konsep itu hanyalah sebuah pemikiran yang selamanya (secara logika) tidak mungkin terjadi. Seperti yang aku sebutkan sebelumnya, hal itu sangat entertaining buatku karena mengajakku untuk melatih logika dalam berfantasi. Suatu latihan yang sangat penting dilakukan sehingga tatkala kesempatan untuk kembali ke masa lalu dan mengubah sejarah itu menjadi nyata, setidaknya aku bisa meminimalkan kemungkinan bertindak ceroboh dalam mencoba meraih apa yang aku harapkan. 
Aku tidak menyatakan bahwa fenomena tersebut mustahil, mengingat mungkin saja memang ada yang pernah (mengaku) mengalaminya. Bahwa itu kelak bisa aku alami...wallahu a'lam bishawab.
  
 

Friday, June 12, 2015

Lucu Aja...

Ada hal yang mengesankan yang terjadi dalam hidupku belakangan ini. Mungkin istilah hip-nya, lucu.
Aku mengambil suatu keputusan yang terbilang bold. Lebih tepatnya, kondisi yang ada memaksaku untuk berdiri di posisi yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan bisa atau mudah terjadi. Tapi ketika aku sadar bahwa semua (tentunya) harus terjadi, maka aku berusaha keras untuk pasrah, atau istilah kerennya, berikhlas, pada suratanNya.

Betapa tidak? Aku harus melepas sesuatu yang telah lama ada tergenggam erat di tanganku. Sesuatu yang selalu aku jaga dengan sangat hati-hati agar tidak tergelincir keluar dari cengkramanku yang kokoh. Aku yakin tak ada satu hal atau orangpun yang dapat membuatku rela melepaskannya...meskipun aku tau betul bahwa aku belum punya hak atasnya. Hanya karena egoku sangat besar untuk memilikinya, aku jadi merasa berhak memutuskan untuk menyimpannya. Namun akhirnya mata hati dan pikiranku pun dibuka lebar-lebar olehNya.

Lagi-lagi aku diingatkan tentang segala hal yang umurnya hanya sesaat, entah berapa saat, yang jelas sifatnya hanya duniawi. Padahal di saat seperti ini, aku sangat menginginkan keduniawian. Disitulah kunci kesalahanku. Apa yang menjadi hakku bukanlah apa yang kuinginkan tapi apa yang aku butuhkan. Lalu aku harus end up dengan apa? Cinta semu? Kemirisan finasial? Kemuraman hari-hari ku? Penyakit? Stress? Ya kalau memang itu semua yang sudah menjadi porsiku (saat ini), apa bisa aku tolak? Aku toh tak mungkin selamanya menjadi seorang penyangkal.

Maka, aku mulai menjalani hari-hari yang penuh keprihatinan. Sempat bak orang yang kehilangan akal sehatnya memang...tapi Allah rupanya sangat cinta padaku sehingga aku berulang kali diberi berbagai pencerahan yang (sebenarnya) bisa saja aku anggap sebagai harapan kosong. Hanya saja aku cukup beruntung telah disediakan olehNya banyak sangu tentang kesabaran dan keikhlasan lewat seorang teman baik sebelum aku mengambil keputusan untuk berikhlas total. Sehingga aku tidak lagi memandang nasibku dengan kepesimisan.

Yang lucu adalah hal-hal yang membuatku yakin bahwa cara Allah bekerja itu benar-benar misterius dan tidak sepantasnya diterka-terka. Buktinya, tanpa pernah aku duga, ada dua teman lama yang tiba-tiba menghubungiku. Mereka ini dahulu bukanlah sekedar teman biasa, tapi teman seperjuangan. Tak melulu berjuang bersama dalam mencari jalan keluar dari jurang kesusahan, namun juga dalam memelihara keutuhan pertemanan kami. Ketika itu kami tidak pernah menduga jika waktu dan jarak yang memisahkan kami benar-benar akan memisahkan kami. Mungkin karena saat itu mataku terlalu dikaburkan oleh eratnya pertemanan kami.

Lebih lucunya lagi, mereka ini hadir sebagai sosok-sosok yang berbeda dengan yang aku kenal dahulu. Ada yang lebih kebapakan dengan kedua putranya yang telah meninggalkannya keluar negeri untuk melanjutkan kuliahnya. Ada juga yang baru saja merasa terpanggil untuk mendekatkan diri pada Allah hingga ia bisa membagi cerita tentang kehebatan cara Allah dalam menuntunnya ke jalanNya dari jalan salah yang telah dilewatinya selama puluhan tahun.
Wah...aku takjub sekali dengan pertemuan kami ini yang seolah menjadi bagian dari usahaku untuk menjadi lebih baik.

Dari  kedua temanku ini, aku mendapatkan dua makna yang punya kemiripan. Yang satu memberi gambaran tentang keduniawian yang tidak selamanya memberikan kebahagian, yang satunya lagi memberi gambaran tentang keduniawian yang sekonyong-konyong tidak berarti apapun. Mereka ini pebisnis tangguh yang selama ini menyandang predikat sebagai hartawan. Mungkin saja mereka sadar jika keduniawian itu sifatnya semu justru setelah kenyang dengan kehidupan mewahnya...atau mungkin juga mereka tidak pernah 100% bahagia bergelimang harta. Yang jelas, aku dipertemukan dengan mereka di saat kami semua sedang dalam proses yang sama; melepaskan keduaniawian....lucu bukan?

Aku belum tau apa yang direncanakanNya buatku setelah aku berikhlas. Tapi sejauh ini, aku merasa Allah tidak membiarkan aku untuk bersalah sangka atas rencanaNya. Aku merasa diberi pengharapan di setiap kesabaranku mulai menipis, sementara di lain waktu aku diberi peringatan ketika cenderung lalai dalam bersyukur. Mungkin saja dengan caraNya yang begitu anggun, aku dibuat mampu untuk menaikkan standarisasi kesabaranku sehingga aku lebih mudah nrimo dan berikhlas dalam menghadapi cobaannya. In shaa Allah itu bisa menurunkan rezekiku yang masih di langit, mengeluarkannya jika ada di bumi, menyenangkan jika sukar, menyucikan yang haram, mendekatkan yang jauh, dan memudahkan yang dekat...seperti yang pernah dibekali oleh teman baikku itu...aamiin.



Wednesday, June 10, 2015

Mukadimmah Ujian Akbar

Bukan kali pertamanya situasi finansialku miris lagi saat ini. Bagaikan yg lalu-lalu, di pertengahan tahun seperti sekarang, banyak sekali tagihan tahunan yang datang menambah beban pengeluaran bulananku. Apalagi, tak seperti tahun kemarin ketika aku masih punya deskjob tetap dan pemasukan yang rutin, tahun ini aku harus sabar menghadapi tantangan maut ini disaat status pekerjaanku kembali ke freelance karena kondisi yang tersandung kebijakan pemerintah sejak Januari lalu.

Otomatis, tekanan yang aku hadapi kembali muncul dari dua arah yang saling berseberangan. Tak hanya dari luar, tapi dari dalampun begitu adanya. Seolah segala cobaan berat yang pernah berhasil dilalui tidak juga memberi hikmah pada mereka yang harusnya justru memberi dukungan dan kepercayaan padaku untuk berusaha sambil berikhtiar. Pelajaran tentang kesabaran dan keikhlasan ternyata belum juga diambil dari kasus-kasus terdahulu.

Lalu suasana disekitarku beranjak suram lagi ketika pembayaran beberapa tagihan belum bisa dipenuhi. Entah dengan diiringi kepanikan atau tidak, kekesalanpun disampaikan dengan bahasa mulut dan tubuh yang tidak mengenakkan. Tanpa menghiraukan berapa jumlah tagihan yang sudah berhasil tertutup, fakta bahwa masih ada yang belum dipenuhilah yang dijadikan latar belakang penyajian ketidaknyamanan disekelilingku ini.

Untungnya, di sisi lain aku terbekali konsep sabar dan syukur yang selama ini aku jadikan landasan dalam menghadapi setiap kejadian. Ditambah nasehat-nasehat spiritual dari seorang teman baikku yang terus menerus mengokohkan konsep pasrah kepada Allah swt. Nah, keuntungan yang mengimbangi keprihatinan hidupku ini yang menambah bukti keampuhan teori sabar dan syukur itu. Teori itu jugalah yang telah meloloskan aku dari ujian-ujian berat yang pernah aku hadapi sebelumnya.

Aku sadar betul bahwa apa yang terjadi padaku, segala baik dan buruknya, tentu memang merupakan jatahku, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. Aku tidak mungkin menolaknya meskipun itu (kuanggap) tidak bermanfaat buatku. Tapi toh apapun yang dikehendakiNya tentunya punya manfaat, baik bagi hidupku hari ini atau besok atau di hidupku selanjutnya. Jadi aku hanya perlu ber positive thinking menerima dan menjalani hari hariku yang mungkin tidak mengesankan buatku saat ini.

Aku pikir, sementara aku tengah bersusahpayah mengupayakan yang terbaik buatku, akanlah sangat sia-sia jika menambah beban mentalku dengan mengeluhkan segala kekurangan yang belum terpenuhi dan/atau lubang-lubang perangkap yang digali orang lain di sekitarku. Seberapa besarnya kekurangan atau dalamnya lubang itu, selirih apapun keluhanku tidak akan melenyapkannya kalau memang belum waktunya.

Rupanya zona tidaknyaman yang lebih parah sedang aku arungi setelah kurang dari sebulan yang lalu aku masuki ketika aku (ikut) memutuskan untuk membentengi diri dari keindahan duniawi yang semu dan menguras energi. Tapi timing-nya seolah sangat amat tepat ketika bulan suci Ramadhan memang sudah begitu dekatnya dijelang. Jadi anggap saja keparahan ini adalah sebuah mukadimmah dari ujian kesabaran dan keikhlasan yang siap menghampiri seminggu lagi.

Sudah saatnya aku berpikir lebih jenih dan bijaksana dalam menjalani segala ketidaknyamanan ini tanpa menghalalkan apa yang menjadi larangan buatku. Kalaupun aku harus melacurkan diri, biarlah idealismeku yang jadi taruhannya...bukan agamaku. Dan jika harus ada yang aku korbankan, biarlah itu menjadi martabatku di mata manusia...bukan nilai keimananku di mata Allah. In shaa Allah dengan berserah diri kepada keputusanNya, semuanya akan menjadi baik sebagaimana yang telah dikehendakiNya...aamiin.

Selamat datang Ramadhan...



Friday, May 15, 2015

Transaksi


 

"Bang, kelapanya satu, murni ya...dibungkus"

.........

"Jangan dikasih es, bang...khan saya minta murni tadi"
"Jadi nggak pake gula?"
"Ya nggak lah, bang"

.........

"Eh, emak...mau kelapa juga nggak?"
"Khan emak lagi puasa"
"Ya buat ntar buka, mak..."
"Ya bolehlah"
"Satu lagi ya, bang...eh pake gula nggak, mak?"
"Pake deh"
"Yang satu pake gula ya bang"
"Pakein es nggak, bu?"
"Jangan, bang...mak, pakein es nggak?"
"Kalo nggak pake es ntar nggak dingin donk?"
"Yaelah...masukin di kulkas lah, mak"
"Ya udah deh"
"Tuh bang...yang pake es satu aja"
"Jadinya pake es, bu?"
"Iyaa...yang pertama tadi. Panas-panas begini enaknya minum dingin-dingin"

.........

"Dagingnya keras ya, bang?"
"Nggak bu...lunak koq"
"Berapaan sih bang...harganya?"
"7000, bu"
"Kalau nggak pake daging?"
"Sama aja, bu. Orang jarang beli tanpa dagingnya"
"Ya udah...yang nggak pake es aja yang dikasih daging"
"Yang punya ibu nggak pake dagingnya?"
"Biarin nggak usah dikerok, bang. Ntar batoknya aja dibungkus biar saya bawa....bisa khan?"
"Dibungkus?"
"Dikantongin. Ada kantongnya nggak?"
"Ada, bu"

.........

"Mmm...keliatannya dagingnya lunak ya, bang?"
"Ya ibu liat nih...lunak khan?"
"Ya udah kalo gitu yang punya saya juga dipakein dagingnya deh. Males banget bawa kelapa berat-berat"
"Dipakein gula juga nggak?"
"Mmm...ya udah dipakein juga deh"

.........

"Nih, bang...nggak usah pake kembalian"
"Iya, bu...makasih"


Maka berlalulah wanita yang telah membelikan ibundannya air kelapa muda untuk berbuka puasa dan tip seribu perak untuk si penjual es kelapa muda.
Sementara aku hanya bersyukur dan berucap dalam hati, "Untung aku bukan suaminya..." :p


Thursday, May 7, 2015

Menjauhi Jenuh

Sudah beberapa hari terakhir ini aku merasakan kejenuhan yang menggila. Tak hanya situasi finansial yang masih saja belum membaik dan jumlah kerjaan yang tidak memenuhi ekspektasiku, aktifitas keseharianku juga terasa terusik dengan surrounding yang tidak mendukung. Di samping itu aku juga belakangan diganggu oleh sakit kepala yang sering datang tiba-tiba tanpa aku tau sebabnya. Dugaanku, mungkin karena stress yang tanpa kusadari menghinggapiku. Keinginan untuk pergi berlibur meninggalkan rutinitasku belum bisa dieksekusikan mengingat keterbatasan dana yang ada.

Lalu kemarin pagi ketika aku terbangun dan sedang mencoba mengatur jadwal aktifitasku seharian, aku mendapat sebuah pesan singkat dari kakakku yang tinggal di serpong, tangerang, yang isinya mengajakku menemui seorang rekanan senior di perusahaan kami guna sekedar sowan sambil bertukar pikiran tentang perusahaan kami yang hingga kini masih belum jelas masa depannya. Partner senior kami ini, yang tinggal di wilayah serpong juga, adalah seorang pakar di bidang usaha yang kami geluti, sehingga aku pikir hal ini bisa menjadi sesuatu yang tidak hanya bermanfaat bagi aku yang tengah mencari jalan keluar dari kejenuhanku, namun juga bagi kami untuk mendapatkan ilmu secara gratis. Maka aku langsung mengkonfirmasikan kesediaanku dan menyiapkan diri untuk memulai hariku.

Kunjungan ini akan menjadi yang kedua setelah sebelumnya pernah kulakukan beberapa bulan silam. Saat itu aku memang memilih kereta api yang berangkat dan kembali bukan pada jam-jam sibuk agar aku bisa duduk cantik menikmati perjalanan. Namun karena aku sudah tidak sabar lagi untuk segera memulai perjalanan jauh itu, aku putuskan berangkat pagi. Suatu keputusan yang membuat kaget kakakku mengingat ia paham sekali jadwal kereta api yang aku pilih tidak akan memberikan kenyamanan buatku. Dan begitulah yang terjadi ketika aku harus terkompres diantara penumpang lainnya yang sedang dalam perjalanan menuju tempat kerjanya bagaikan ikan sardine yang masih dalam kalengnya. Tidak nyaman sekali memang, namun setidaknya aku bisa mengalami hal yang sudah sering dialami kakakku dulu setiap ia harus berangkat ke kantor.

Sesampainya di stasiun sana, tanpa kuduga, kakakku menjemputku dengan sebuah motor. Wah...suatu hal yang sangat tidak biasa namun efisien mengingat penggunaan motor itu juga begitu praktis karena mudah terhindar dari kemacetan dan mudah mendapatkan tempat parkir. Itu sebabnya dengan kedatanganku yang jauh lebih awal dari kakakku duga, waktu luangku begitu banyak sehingga kami sempat sarapan dahulu di sebuah warung mie ayam sambil saling meng-update situasi genting yang tengah kami hadapi masing-masing sebelum kami mengunjungi partner senior kami untuk membahas hal yang resmi. Kunjungan silaturahim itu sendiri bersifat cukup intens dan berlangsung selama dua jam hingga beliau mengingatkan kami bahwa ia harus segera berangkat untuk mengajar di universitas Trisakti.

Tidak seperti pada kunjunganku sebelumnya yang banyak dihabiskan di rumah kakakku, ia kemudian mengajakku melihat kedua unit apartemen kosong yang dimilikinya sebagai investasi. Disitu kami mengobrol berdua saja meneruskan pembicaraan kami yang tadi sempat terputus di warung mie ayam. Obrolan kami ini sangat santai dan tidak seperti ketika kami mengobrol di rumahnya yang sering terinterupsi oleh banyak urusan rumah yang harus ia lakukan. Sekali lagi kami membahas banyak hal termasuk hubungan kami dengan anggota keluarga besar kami. Bukan topik favoritku tapi setidaknya aku dapat cukup informasi tentang apa yang terjadi di dalam keluarga besar yang telah lama aku jauhi.

Dari situ aku diajak kakakku ke toko besar yang sudah sejak lama ia anjurkan kepadaku untuk dikunjungi. Sebuah toko furniture dan perlengkapan rumah tangga yang amat lengkap yang mungkin terlalu besar untuk dikunjungi di saat waktuku yang tidak tersisa banyak. Sayangnya, tempat ini sangat ideal bagi mereka yang punya uang banyak untuk dibelanjakan, bukan orang-orang seperti kami di saat yang kritis seperti sekarang. Jadi, kami hanya cuci mata di satu dari dua lantai showroom yang ada. Itupun kami lakukan dengan tergesa-gesa karena aku mendapat kabar bahwa seorang teman dekatku baru saja mengalami kecelakaan motor dan sedang dirawat dirumah sakit sehingga ada kemungkinan aku bisa menjenguknya nanti. Maka kami memilih duduk bersantai di coffeeshop-nya sambil menikmati kopi sore kami sebagai penutup kunjunganku.

Akhirnya akupun belum bisa menjenguk temanku di rumah sakit, meskipun aku sekali lagi harus memburu waktu dan berhimpit-himpit di dalam kereta bersama mereka yang pulang kerja. Namun perjalananku kemarin benar-benar telah membawa angin segar buatku di tengah kejenuhanku. Aku tidak kapok dan tidak keberatan untuk melaluinya lagi kelak nanti jika waktu mengijinkan. Toch di balik itu semua aku dapat pelajaran banyak yang bermanfaat. Dan aku tersenyum ketika membaca pesan pendek dari kakakku setibanya aku di rumah;
"Quite a journey, huh?" :)


Tuesday, April 7, 2015

Musuh Kedua

Aku bukan seorang ahli agama, sosial apalagi politik. Tentunya aku juga punya pendapat tentang segala topik yang tengah meradang di negeri ini namun, sesuai sifatku yang terbentuk sejak muda, aku lebih memilih diam sambil terus menyimak dan mengamati, atau maksimal membahasnya dalam skala yang kecil dengan segelintir teman, yang meskipun aku tau sering punya sudut pandang yang berbeda, namun punya pikiran terbuka sehingga pembahasannya tidak berbuntut debat kusir. Jadi tulisanku ini hanya sekedar berdasarkan suara dari hati tanpa dirasa perlu disertai nara sumber manapun.

Yang saat ini tengah melambung namanya seantero negeri adalah ISIS. Ada yang setuju dengannya karena percaya pada paham dalam memperjuangkan negara yang Islami (khilafah) yang dipimpin oleh seorang khalifah. Ada yang tidak suka dengan cara berjihadnya yang menyertakan faktor kesadisan. Ada juga yang menentangnya karena dianggap sebagai organisasi terselubung yang dibentuk orang Israel untuk memecah belah dunia Islam. Aku percaya ISIS itu "sesuatu yang cetar membahana" hingga mampu membuat hati pembahasnya panas dan kadang memilah teman atau sanak saudara hanya karena perbedaan pendapatnya. Yang diulas disini bukan pendapatku tentang ISIS tapi tentang efeknya terhadap ketentraman hidup kaum muslim, khususnya di negeri tercinta ini.

Jelas sudah sebagian dari kita telah kena dampak dari adanya ISIS ketika kita mulai berjarak dengan mereka yang sebelumnya seolah begitu dekat dengan kita karena kita punya pendapat yang bertentangan. Negeri ini khan memang sedang mengalami gejolak dimana-mana sejak kita hendak memulai pesta demokrasi menyambut Pilpres yang lalu. Kemudian hal demi hal yang berkenaan dengan kebijakan dari pemerintahan selalu disambut dengan pro dan kontra oleh masyarakat yang sudah terlanjur terbeleah dalam dua kubu. Dan jika sekarang ISIS menjadi suatu hal baru yang mewarnai perpecahan dan permusuhan diantara dua kubu ini, harusnya kita tak perlu panik.

Begini....
Ingat perang Diponegoro dan perang Padri melawan musuh yang sama yang berakhir dengan kekalahan bagi pangeran Diponegoro dan tuanku Imam Bonjol? Padahal harusnya pihak musuh (VOC) bisa dengan mudah ditaklukan ketika mereka harus membagi kekuatannya ke Jawa Tengan dan Padang.  Sialnya, Pangeran Diponegoro dan tuanku Imam Bonjol tidak saling mengenal meskipun daerah-daerah yang mereka pertahankan dari usaha perampas itu sama-sama bagian dari negeri ini. Kondisi ini dimanfaatkan pihak musuh untuk menunda perang dengan pasukan tuanku Imam Bonjol, agar mereka bisa konsentrasi dalam perang melawan pasukan pangeran Diponegoro. Setelah urusan di tanah Jawa tuntas, barulah mereka beralih ke ranah Minang untuk melanjutkan perang Padri yang tertunda sebelumnya.

Memang pangeran Diponegoro bukanlah musuh tuanku Imam Bonjol, namun seandainya begitupun, mungkin saja VOC hadir sebagai musuh kedua bagi keduanya. Dan musuh kedua yang formatnya lebih besar dan lebih kuat tentunya akan menyita perhatian dari kedua pahlawan nasional yang kekuatan pasukannya terbilang jauh lebih kecil. Hal itu yang kemudian memungkinkan bagi mereka untuk bersatu melawan ancaman yang lebih besar.
Nah, jika masyarakat kita ini sedang menghadapi (sebut saja) perang dingin domestik karena suhu politik tengah memanas, mungkinkah kita bersatu menghadapi lawan yang lebih mengancam? Harusnya bisa, hanya jika kita semua percaya bahwa kita memang sedang diancam oleh hadirnya musuh kedua.

Pertanyaan berikutnya, siapa yang akan menjadi musuh kedua kita?

Apapun ISIS itu, tentunya kita akan tau nanti jika bukti-bukti yang lebih otentik sudah jelas terlihat. Jika memang apa yang ada di balik ISIS adalah suatu ancaman besar, harusnya kita bisa lalu bersatu untuk menghadapinya. Apalagi kalau benar Israel berdiri di belakangnya, ummat Muslim harusnya bersatu mengesampingkan perbedaan pahamnya.

Dalam Islam disebutkan bahwa pada akhirnya Imam Mahdi akan hadir dan memimpin ummat Muslim dalam perang akbar melawan musuh terbesarnya. Tak pernah disebutkan seperti apakah rupa beliau atau kapan waktu kehadirannya. Yang jelas, sejauh ini belum ada satu pihakpun yang layak dianggap sebagai musuh besarnya, sehingga (bisa dikatakan) tidak ada ancaman yang berarti bagi ummat Islam. Boleh saja orang mengatakan bahwa Islam saat ini sedang diacak-acak, entah secara sengaja oleh pihak yang sirik terhadapnya atau bahkan oleh ummatnya yang secara tidak sengaja memusuhi sesamanya dengan pembelaannya masing-masing. Namun aku percaya bahwa kehadiran musuh besarnya kelak akan menyatukan mereka kembali.

Apapun dan siapapun yang nantinya hadir sebagai musuh kedua bagi ummat Islam pasti akan menyatukan semua perbedaan diantara ummat Islam dalam perang akbar. Begitu pula dengan musuh kedua bagi rakyat negeri ini yang kelak bisa menyatukan suara rakyat dalam menghadapinya. Jadi, tak perlulah berspekulasi tentang kehancuran negeri ini. Morat-maritnya stabilitas nasional di segala bidang saat ini hanyalah sebuah proses (panjang) perkembangan zaman yang akan sampai pada fase kemakmuran ini lewat persatuan bangsa yang mungkin disebabkan oleh hadirnya musuh kedua.



Monday, March 30, 2015

Siagalah!

Tak ada yang bisa memungkiri bahwa saat ini masyarakat kita tengah berada di suatu posisi yang teramat sulit. Belum selesai orang mempertanyakan tentang hasil kepemimpinan presiden Jokowi yang dianggap tidak mencapai target janjinya (bagi mereka), muncul lagi topik baru yang singgahnya pada sosok yang erat hubungannya dengan presiden ke 7 ini.

Ahok, yang menjabat sebagai pengganti Jokowi di tahta kepimpinan kota Jakarta, sedang menjadi primadona pemberitaan dimana-mana, terutama di media internet yang memberi kebebasan bersuara pada setiap orang. Gaya bicaranya yang terkenal tegas, ceplas ceplos, berani dan kadang cenderung kasar memberikan berbagai alasan kepada orang untuk menanggapinya. Beberapa waktu yang lalu ia sempat melontarkan kata-kata yang dinilai tidak etis diucapkan seorang pejabat. Tidak berhenti disitu, ia bahkan melakukan pembelaan disana sini tanpa pilih kasih pada siapapun yang menudingnya. Suatu keberaniannya yang telah ditunjukkannya sejak ketika ia masih menjadi wakil gubernur. Hanya saja dulu, sebagai orang kedua pemegang tampuk kepemimpinan, tindak tanduknya itu tidak terlalu digubris karena (mungkin) gaya kekaleman Jokowi dianggap bisa mengimbanginya.

Nah, ketika pada saat yang sama kepemimpinan negara dan kepemimpinan ibukota sedang dipertanyakan, lagi-lagi terjadi perang debat antara pro dan kontra-nya. Meski ini bukan kali pertama rakyat menyatakan ketidakpuasannya terhadap kinerja (atau ahlak) orang-orang nomor satu di negeri ini, namun sepertinya baru kali ini ada suara sumbang yang mengisyaratkan penyesalan telah menjatuhkan pilihannya di ajang Pilpres maupun Pilkada yang lalu. Dan dengan terdengungnya suara-suara itulah lalu muncul mereka-mereka yang mencuatkan kekhawatiran akan ambruknya kondisi kesejahteraan rakyat sambil mengajakan untuk ikut berjuang memperbaiki nasib bangsa.

Ironisnya, ajakan ini diiringi dengan ketakutan yang (bagiku) terlalu dramatis. Dengan menghadirkan lagi quote-quote yang bernafaskan perjuangan atau sosial dari orang-orang terkenal terdahulu seperti Chairil Anwar atau Tan Malaka atau Soekarno, bahkan yang bersifat religius dari sosok yang mendunia seperti Ummar bin Khatab, ajakan itu jadi lebih terasa bersifat menakut-nakuti. Takut kalau negeri ini morat-marit lah. Takut kalau peristiwa 1988 terulang lagi lah. Takut kalau keamanan negeri terancam seperti tahun 1965 lah, dan lain-lain. Padahal, mereka yang melakukan aksi pendramatisan ini rata-rata masih terbilang muda untuk dianggap terkena dampak bahkan dari peristiwa tahun 1988. Lalu mereka tau apa? Apakah kegentingan yang mereka gambarkan itu terbentuk berbasis apa yang mereka baca dari internet? Yang bisa ditulis oleh siapapun tanpa kenal batasan dan tak perlu lolos sensor pihak berwenang? Otentikkah?

Kita harusnya ingat apa saja yang kemudian terjadi setelah peristiwa-peristiwa nasional itu. Ada hari baru dengan harapan baru setelah malam yang buruk berlalu. Ada perjuangan yang mengawali perubahan yang kemudian (bisa) membawa negeri ini ke fase yang lebih baik, meskipun hanya sesaat bila kemenangan yang (diduga) telah kita raih itu ternyata hanya semu atau sebuah langkah yang salah. Dulu banyak yang menganggap pemaksaan Soeharto untuk lengser ternyata tidak pada tempatnya. Sekarang terjadi lagi tentang pemilihan para pemimpin. Harusnya ketimbang meratapi kesalahan itu, kita bisa bersikap legowo dengan apapun yang akan terjadi tanpa perlu berspekulasi ini itu. Kalau saja nantinya negeri kita tercinta ini harus menghadapi masa-masa kritis, biarlah itu dilalui dengan penuh kebijaksanaan diri tanpa melakukan aksi-aksi anarkis yang (ternyata) bisa saja jadi salah langkah (lagi). Karena suatu kesuksesan dari hasil perjuangan kesabaran yang hebat akan punya aroma yang lebih harum daripada yang didapat dengan mudah.

Bagai semut yang bekerja keras mengumpulkan stok pangan menghadapi musim dingin, harusnya kita juga mempersiapkan diri menghadapi masa paceklik yang mungkin terjadi kelak.
Berhentilah bicara yang tak penting dan mulailah membekali diri....!!



R.E.S.P.E.C.T

Most people say that money isn't everything, but I'm pretty sure there are some other believe otherwise. Take my friend for instance. He once said to me (and I'm sure to others too), that people who say money can't buy everything are those who don't know where to shop. He believes that people, religion and even God can be bought. He proved it when he was actually treated as if he was so powerful to some of his followers. At that time, he was like a God to them that whatever he said would be marked as something they had to believe. As for love and happiness, they are like affordable materials.

I never agree with his believe about money since I know whatever bought with money would only worth as much as the amount of the money and last that long (or short). We would lose it soon as we lose the money, as simple as that. And that goes the same for respect. Happiness in your society can be created when you get respect from people. And you would only get respect when you give it as well. That's how you earn it, not by buying them.
And while my friend keeps spending money to keep himself happy, I would rather save my money and go the hard way, trying to show respect to those who may make my life miserable. It may take a lot to swallow my pride but I'm going for the true happiness that would come along the way.

I don't care if you only respect me when you can get some money out of me because if that's what it takes, respect from you may not be one of the keys to my happiness. You may think it would make people assume you have power to control my life that they would respect you for it, but you would never get it from me for you may be among those who don't determine my happiness as I to yours. I believe I have a path to go through in life. And when I believe the path isn't going to take me to where to go or I may be taking the wrong ride, I would let the bus stop and take another or even take a walk if that would be my option. I'm not planning to do some spending for something that is actually free or worthless and meaningless to my happiness.


Monday, March 23, 2015

Salah Alamat

Kemarin pagi aku sibuk berkomen ria di beberapa grup Whatsapp yang aku ikuti. Mungkin karena memang di hari libur seperti itu banyak orang yang sedang santai sehingga punya banyak waktu untuk berinteraksi aktif seperti aku. Salah satu grup-nya hanya beranggota kakak dan adik kandungku saja, dan kali ini topik pembicaraan kami bersifat khusus untuk lelaki dewasa dengan pengikutsertaan beberapa foto-foto yang vulgar. Tentu saja ini adalah hal yang fun bagi kami yang memang punya hubungan persaudaraan yang kental sejak kami kecil.

Sialnya, ketika salah satu foto itu hendak aku kirim ke seorang temanku, juga lewat Whatsapp, aku justru mengirimkannya ke grup Whatsapp lainnya yang terdiri dari sekian banyak peserta yang setengahnya adalah wanita. Pasalnya, kamu Hawa disitu kebanyakan lebih cenderung akan menilainya sebagai tindakan yang tidak etis. Belum lagi kalau kemudian diikuti dengan penghakiman atau bahkan penuduhan yang bukan-bukan.

Aku sempat kelimpungan mencari cara untuk "nge-les" sebagai antisipasi dari protes yang bisa kapan saja segera dilemparkan. Untungnya, foto yang salah alamat itu bukan bersifat vulgar meskipun bisa membentuk sebuah penganggapan di benak siapapun yang melihatnya bahwa akulah pembuat foto tersebut yang mengartikan bahwa aku termasuk lelaki yang "nakal". Sempat aku berniat untuk meminta moderator grup untuk mencabut foto itu mengingat hanya ia yang punya wewenang atas hal itu. Namun aku urungkan niatku karena moderatornya pun seorang wanita. Kemungkinan besar ia akan dengan senang hati melakukannya jika memang ia menganggap foto itu tak layak bertengger disitu, hanya saja aku belum mampu untuk menanggung malu dalam memintanya.

Yang lebih menguntungkan adalah bahwa ada beberapa teman lelaki yang mengendus kesalahanku itu dan segera saling bersautan secara marathon sambil perlahan memanuverkan topik pembahasan. Alhasil, interaksi kami, sesama peserta lelaki, berakhir di pembahasan pembentukan bisnis baru di dunia kulineri, yang memang belakangan tengah diminati sejumlah teman wanita di grup ini yang kemudian juga "turun gunung" untuk ikut membahasnya.
Sementara setelah lebih kurang satu jam sejak kesalahan yang aku lakukan, foto itu dicabut oleh moderator.

Phew...sebuah polemik yang mungkin bisa selalu terjadi jika kita tidak berhati-hati ketika tengah aktif berinteraksi aktif dengan banyak pihak secara bersamaan. Yang penting diingat adalah bahwa kita harus siap dengan respon yang cerdik saat kita sedang terpojok.



Sunday, February 22, 2015

Menghayati Kehidupan

Pagi ini dapat email dari Soundcloud yang menyatakan kalau sebentar lagi jumlah download postingan lagu ini mencapai batas maksimum yang ditentukan sehingga jika saya tidak meng-upgrade akun saya, tombol download-nya akan dinonaktifkan begitu mencapai limit.

Saya lalu ingat kekecewaan saya waktu dengar kalau alm. Chrisye memutuskan untuk berhenti memainkan bass-nya (yang mungkin demi mengikuti demand dari pelaku bisnis musik terkait), sementara (ini yg banyak orang tidak tau) ia adalah seorang bassist hebat yang permainannya punya ciri khas tersendiri seperti yang bisa terdengar dalam lagu ini.

Intinya bukan di jumlah downloadnya, tapi di bagaimana orang bisa (dan mau) menghargai karya seni musisi terdahulu saat industri musik kita belum dijadikan ajang sapi perah  dan dihantui pembajak yang mengebirikan kreativitas musisi.

oh well...begitulah kehidupan


https://soundcloud.com/docsx/kehidupanku-fariz-rm-junaidi





Wednesday, February 11, 2015

Setelah Niat Terpenuhi

Sebenarnya sudah dari awal aku diingatkan untuk tidak memaksakan diri dalam beramal. Artinya, jika aku memang tidak mampu untuk beramal atau amalanku itu akan memojokkan posisiku, selayaknya aku merelakan diri untuk beramal hanya lewat niat saja. Apalagi bahwa sudah banyak orang yang menganggapku terlalu sering beramal atas dasar rasa kasihan tanpa mengasihani diriku sendiri.

Ya....dalam hal yang satu ini, aku memang sudah menyadari bahwa amalan yang tengah aku perjuangkan saat itu bisa menjadi bumerang bagiku karena masa depan keuanganku yang belum jelas akan menjadi seperti apa. Namun niat yang ada dalam hati dan benakku sudah terlanjur terbentuk begitu bakunya sehingga aku tetap berusaha mengeksekusinya. Perjalanan panjang menuju garis finish itu memang akhirnya dipenuhi dengan segala kerumitan dan rintangan yang jelas-jelasan menyita banyak moril dan materi dariku.
Dan akhirnya, pasangan sayap metal yang merobek-robek awan putih di langit Jakarta pagi ini memberikan kelegaan di hatiku karena selesai sudah segala usaha yang perlu aku lakukan demi tercapainya niatku dalam beramal.

Jujur saja, kemarin-kemarin ketika sedang bertanya pada sendiri tentang perlunya berkorban demi niat ini, aku memang sering menenangkan hati dengan mengharapkan imbalan yang setimpal dariNya. Namun aku juga sadar bahwa aku tidak akan pernah mendapatkan kepastiannya kecuali jika aku berikhlas. Karena dengan berikhlas itulah aku bisa mensyukuri hal sekecil apapun yang dianugerahiNya padaku dan menganggapnya sebagai bayaran atas apapun kebaikan yang telah aku lakukan.
Kini, setelah niatku terpenuhi, aku tidak ingin lagi berpengharapan pahala atasnya, namun justru berharap atas kelancaran dari perjalanan suci yang semuanya aku serahkan kepadaNya...aamiin.

=02042015=