Tuesday, July 16, 2013

The Take Over


The day is finally here.
After half of a decade of relentless waiting.
Conquered an undiscovered land they have.
Turning me into a stranger in my own turf.



Congratulation, Son...

Naseeb...

Seperti telah diketahui cukup banyak kenalan dekatku, aku ini sangat percaya bahwa nasib itu bukan ditentukan oleh manusia tetapi oleh Sang Pencipta. Terserah jika hal itu ditentang orang dan dianggap salah, pendapatku tidak sedikitpun bergeming. Aku percaya garis nasibku sudah jelas nyata ditarik olehNya secara komplit bahkan jauh-jauh hari sebelum aku dilahirkan. Sehingga aku sangat setuju dengan istilah, "manusia boleh berusaha tetapi Tuhan yang menentukan". Pesannya jelas, mau jungkir balik seperti apapun manusia dalam berusaha, ia tidak akan pernah tau sebelumnya nasib seperti apa yang akan harus diterimanya karena bukan dialah yang menetukannya.

Apa yang terjadi akhir minggu kemarin sangat mewakili apa yang aku yakini. Bermula dengan gerimis dan awan tebal mendung yang mengiringi keberangkatanku. Aku dari awal telah menduga jika hujan deras mungkin akan menyambutku di tengah perjalanan, sehingga perangkat anti hujanpun sudah kusiapkan bersamaan dengan sikap waspada plus doa keselamatan. Dan ketika lebatnya hujan memang menyertaiku selama di perjalanan, meski aku tau kondisi ban-ban yang bergulir di atas aspal basah itu sangat baik, aku bersikap ekstra hati-hati mengingat motor yang kukendarai itu masih baru.

Kewaspadaku itu ternyata tidak menghindarkan aku dari bencana yang aku alami saat melintasi pintu kereta apa. Aksi melambatkan motor dan penyebrangan rel yang aku terapkan itu tidak membuat nasibku sebaik yang aku rencanakan terjadi. Ban karet yang teorinya menurunkan prosentase tergelincirnya motor tidak merubah fakta bahwa aku terpeleset dan terjatuh di atas rel, dan sempat membuat lalu lintas tersendat sesaat.

Aku boleh saja menset kewaspadaanku pada level yang maksimal sejak awal, namun itu hal itu bukan berarti aku akan terhindar dari bahaya. Kalau nasibku yang telah ditentukan seperti itu, tentunya pasti akan terjadi dan aku harus melewati segala tahap, termasuk tahap berwaspada yang menjadi bagian dari perjalananku menuju nasibku itu. Aku bisa saja berencana untuk tidak beranjak pergi agar kans mengalami kecelakaan pun jadi lebih besar. Tapi pada akhirnya, aku pasti akan tetap melakukan perjalanan yang mengarahkanku pada kecelekaan itu karen memang itulah yang akan aku hadapi hari itu.

Biasanya ada saja orang yang lalu mempertanyakan apakah Tuhan begitu teganya memilih keburukan sebagai nasib kita. Tapi aku selalu percaya bahwa Tuhan selalu menentukan yang terbaik buat manusia. Yang terbaik bukan selalu berarti yang baik dan bagus. Dan aku percaya bahwa nasib buruk yang menimpaku kemarin adalah sesuatu yang sifatnya terbaik buatku. Tinggal tugasku untuk mencari tau makna baik apa yang mungkin terkandung di balik peristiwa itu.



Saturday, July 13, 2013

Ajaran Baru, Lagu Lama.


Aku tidak protes atas merebaknya postingan religius Islam di pelbagai situs jejaring sosial, yang isinya hal-hal yang sifatnya informatif atau mendidik mengingat bulan ini umat Muslim memang dianjurkan mempertebal imannya sambil menimba ilmu yang bermanfaat dan pahala yang berlipat. Tapi disaat inilah, seperti di tahun-tahun sebelumnya, aku bisa menemukan banyak postingan yang akhirnya tidak mendidik dan justru bisa menuai tanggapan negatif dari berbagai pihak hingga bisa menciptakan perdebatan pendapat yang sebenarnya tidak bermanfaat.  

Postingan seperti itu berisi pendapat yang berkesan menggurui dengan teori baru yang (dengan kata lain) berarti menyatakan kesalahan pada teori terdahulu yang telah sekian lama dianggap benar. Penulisnya biasanya cenderung muda dan punya antusias yang sangat besar dalam menggali dan mencari fakta yang kemudian diolah menjadi pemahaman baru yang diharapkannya lebih benar dari yang sudah ada. Kebanyakan komentator yang sependapat juga tergolong muda karena pembaca yang lebih tua memilih untuk tidak berkomentar.

Suatu contoh saja, kemarin baru kubaca sebuah postingan yang menampilkan sebuah doa dalam bahasa Arab lengkap dengan artinya. Postingan itu diberi pengantar sebuah kalimat yang menyatakan bahwa do'a tersebut adalah do'a berbuka puasa "yang sebenarnya", seolah do'a yang sudah umum digunakan dimana-mana selama ini bukanlah do'a yang benar. Aku tidak perlu mempertanyakan atau mendebatkan do'a mana yg lebih benar mengingat tak seorangpun tau jawabannya. Hanya saja aku sempat bertanya pada diri sendiri, apakah si penulis ini benar-benar berharap pembaca postingannya akan lalu mengganti do'a-nya?

Contoh lain dengan postingan yang dipasang bahkan sebelum Ramadhan dimulai adalah tentang tidur selama berpuasa. Dalam postingan tersebut dinyatakan bahwa ada kondisi dan situasi tertentu yang bisa membuat tidur kita diaggap tidak bermanfaat, bahkan dianggap sebagai sebuah kesalahan. Sepengetahuanku, tidur selagi berpuasa itu, dengan niat apapun atau tidak, selama ini dianggap sebagai tindakan yang bijaksana karena otomatis menjauhkan kita dari perbuatan keji dan mungkar yang menuaian dosa yang bisa setiap saat terjadi di kala kita terjaga. Dan hal ini kebetulan juga diterangkan oleh ustadz yang berceramah dalam sholat Tarawih semalam.

Di bulan ini kita dianjurkan untuk bersabar dalam segala hal tanpa pengecualian. Sabar dalam mengendalikan emosi dan ego kita, termasuk tidak terpancing postingan atau pendapat yang cenderung menyulut emosi. Dan seharusnya juga, kita bisa bijaksana dalam menentukan apa yang perlu kita bagi kepada orang lain dan menahan diri dari pembuatan pernyataan yang bisa memicu adrenalin orang lain untuk bersikap emosi. Karena dengan ego yang tak terkontrol, postingan dan/atau pernyataan yang tidak tepat dapat merubah niat berbagi ilmu yang tulus menjadi aksi pemaksaan ajaran yang didasari oleh kesombongan



Friday, July 12, 2013

Kata-kata Yang Berguguran

Aku mencoba mendapatkan hal-hal yang lebih baik selama Ramadan kali ini dari sebelumnya. Aku berusaha agar aku tidak hanya mendapatkan lapar dan hausnya, namun segala manfaat dari keberkahan bulan ini.
Aku menganggap bulan ini bukan sebagai bulan pengujian namun lebih sebagai bulan pelatihan dimana kita selayaknya melatih diri untuk menghadapi ujian yang justru hadir pasca bulan ini berlalu, selama berbulan-bulan hingga kita beruntung dapat bertemu bulan ini lagi di tahun berikutnya. Jadi, ketimbang bersikap sebagai peserta sebuah ujian, aku cenderung bersikap sebagai seorang peserta pelatihan yang seyogyanya menyerap sebanyak mungkin ilmu yang kemudian secara bijaksana diseleksi untuk disimpang sebagai pedoman hidup.
Di saat istirahat dari pekerjaan, kalau sedang tidak mood untuk membaca-baca, aku lebih suka memanfaatkan kesendirianku untuk merenung. Hal ini cukup efektif bagiku untuk menelaah dan mencerna dengan tenang pelbagai ilmu atau teori yang pernah masuk ke dalam otakku, sehingga aku bisa mendapatkan kesimpulan atau keputusan yang bisa diandalkan buat jalan hidupku.

Pagi tadi aku melakukan perenungan atas kiat melewati hari-hari Ramadan tahun ini yang lebih intense dari tahun sebelumnya. Meskipun aku sadar kiat seperti itu besar kemungkinannya akan menambah beban puasaku seperti halnya yg terjadi tahun lalu saat aku akhirnya tumbang tak berdaya dibuatnya, namun tekad mulia sekalian untuk melahirkan sosok yang lebih baik yang mendasari kiat ini lah yang akhirnya juga memantapkan langkahku saat memasuki bulan suci ini. Sebetulnya yang membuat aku ragu adalah kekuatan imanku yang keliatannya tidak dapat mengimbangi bobot materi pelatihan yang akan aku dapati. Itulah yang membuatku merasa perlu sedikit-sedikit merenung, hanya sekedar untuk meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan mulus dan berakhir sebaik yang aku harapkan. Suatu saat muncullah kata "perdamaian" dalam benakku. Lalu aku merasa bahwa begitu mudahnya pilihan yang kita biarkan terhidangkan di depan kita saat relefansinya ke orang lain; berdamai atau tidak...itu saja. Tapi kita sendiri mungkin bahkan tidak pernah berpikir seberapa pentingnya kita perlu berdamai dengan diri kita sendiri.

Ya....yang ini memang terkesan tricky, tapi sebetulnya simple dan mudah.
Begitu seringnya ego kita bisa mengatur hidup kita sampai-sampai saking terbiasanya, kita tidak lagi menyadari jika hal itu terjadi. Kita bahkan mungkin siap menyangkal fakta itu hanya karena kita lebih dipengaruhi ego daripada logika. Seperti halnya logika yang bisa menjadikan kita humble (merendah), egopun bisa menjadikan kita, tanpa disadari, sombong dan suka "mengeyel". Dalam aksi berdamai ini, kita mencoba mengesampingkan ego, dan sebaliknya mengutamakan logika. Agar aksi ini mudah dieksekusikan, kita perlu berdiam diri dalam arti menciptakan suatu kesunyian dalam benak dan hati kita, karena dengan ketenangan seperti itulah kita bisa mendapatkan kebenaran dan kenyataan tentang diri kita sendiri, bukan suatu wujud yang telah dimanipulasi oleh ego. Dan ketika kebenaran itu kita dapatkan, kita seharusnya bisa melihat dengan jelas apa saja yang belum tuntas kita lakukan.

Menuntaskannya tentu dengan berbagai macam cara tergantung pada masalahnya, namun ada semacam pesan terselubung yang aku tangkap di balik itu semua. Kesunyian yang disinggung sebelumnya di atas bisa jadi adalah kata kunci yang mungkin mendasari cara apapun yang kita gunakan dalam menuntaskan masalah-masalah kita. Aku mengarahkan kesunyian ini pada minimnya penggunaan kata-kata yang lebih cenderung kita pakai dalam mencoba mencari solusi. Bak tukang obat, kita gunakan kata-kata untuk menjelaskan, meyakinkan, bahkan kalau perlu memanipulasi pihak lain demi tercapainya sebuah resolusi yang kita harapkan. Padahal, mungkin saja kita telah terlalu sering mengumbar kata-kata dan pihak lainpun telah terlalu sering mendengarkan kata-kata itu, sehingga bukanlah kata-kata yang dapat menjadi medium untuk menyelesaikan masalah. Ada saatnya seseorang hanya ingin melihat, bukan lagi mendengar di saat ia telah sekian lama mendengar pengulangan kata-kata yang sama.

Ibarat dedaunan yang gugur dari ranting pohon setiap kita mengucap kata-kata, haruskah pohon itu menjadi gundul tanpa sehelai daunpun hanya karena kita berulang kali mengucapkan kata-kata yang sama? Kata-kata yang harusnya tidak lagi perlu diucapkan untuk menerangkan sesuatu kepada seseorang yang butuh penjelasan visual yang lebih kongkrit?
Renungan ini mengingatkanku pada janji yang aku ikrarkan untuk aku laksanakan selama bulan Ramadan ini. Seolah memang ada benang merahnya, menutup mulut bisa jadi seuatu cara buatku menuntaskan apa yang selama ini masih menggantung.



Thursday, July 11, 2013

Dua Wanita

Kemarin dulu aku mendengar lagi sebuah cerita tentang seorang wanita bersuami yang rupanya sedang kasmaran dengan seorang pemuda yang berumur terpaut cukup jauh dari umurnya. Aku sendiri tidak mengenal dekat dengan wanita ini karena aku tidak membiasakan diri untuk akrab dengan kenalan dan teman istri. Yang kutau, ia adalah seorang muslimah berhijab yang kelihatannya periang dan ibu dari temen sekelas anakku.

Hasil keluh kesah dan curhat yang akhirnya sampai ke telingaku adalah bahwa, tidak seperti yang diketaui banyak orang, pernikahannya yang telah berlangsung selama 10 tahun dan membuahkan dua orang anak itu bagaikan sebuah rangkaian ujian kesabaran baginya. Berawal dari perkawinan yang tidak didahului dengan tahap pacaran, di tahun-tahun pertama setelah putri pertamanya lahir, ia sudah harus merasakan pedihnya kata-kata kasar dan sumpah serapah dari suaminya yang memang temperamental. Ia juga menyatakan bahwa tidak ada keromantisan dalam pernikahannya karena sikap suaminya yang sangat menyudutkan posisinya. Jangankan membelikan barang untuknya, uang belanja yang diberikanpun sangat terbatas sampai terkadang harus ia tomboki dengan uang dari koceknya sendiri yang tidak seberapa adanya.

Selama ini ia berhasil menutup-nutupi segala keburukan tabiat suaminya dan aib yang ia alami, namun dengan  bertambah parahnya kondisi rumah tangganya, semakin enggan dan capai juga ia berusaha menyembunyikannya. Cacian dan amarah suaminya sering dilontarkan di depan orang lain hingga kedua putrinya pun kini sudah faham dan sering mencoba menghiburnya saat ia baru kena damprat suaminya. Dan Situasi yang seperti inilah yang kemudian merubahnya menjadi akrab berhubungan dengan para pria, kenalan barunya di media sosial di dunia maya, yang akhirnya memberinya rasa kasmaran pada pemuda itu.

Apa yang telah dan akan terjadi antar mereka berdua bukanlah sebuah isu buatku. Aku lebih memikirkan jalan pemikiran pasangan suami istri ini sejak pertama mereka merasakan ketidaknyamanan dalam pernikahannya hingga saat ini dimana mereka masih mempertahankannya.
Wanita ini mengaku bahwa selama ini yang menjadi alasannya untuk bersikap "nrimo" adalah demi anak-anaknya. Baginya, perpisahan akan menjadi suatu peristiwa yang sangat dapat mengacaukan hidup anak-anaknya. Bahkan pertengkaranpun dihindari agar anak-anaknya tidak mendeteksi adanya beda pendapat. Begitu pula usaha membendung tereksposnya berita ini agar anak-anaknya tidak pernah akan tau.
Tapi kalau sudah seperti ini situasinya, lalu bagaimana ke depannya?

Aku bukanlah seorang pakar atau konsultan pernikahan, bukan pula seorang ahli agama yang berhak berbicara mewakili hukum agama yang aku anut. Aku hanya seorang suami dan seorang ayah dengan pemikiran logika yang sangat sederhana. Dan dalam kesederhanaan itu, ada dua pemikiran yang aku anggap penting untuk diajdikan pertimbangan. Pertama, bahwa seburuk apapun kondisi yang terjadi antara suami dan istri, anak berhak tau, seumur berapapun ia. Penyembunyian perselisihan paham yang parah dari anak, yang biasanya disusul dengan terwujudnya perang dingin itu hanyalah sebuah bom waktu yang kapan saja bisa meledak, terutama hal itu sering dan mudah terjadi. Sebaiknya memang pemberitauan ini dilakukan dengan cara yang baik, perlahan dan berkala. Intinya, anak perlu dapat kesempatan untuk punya gambaran sejak dini seperti apa kondisi yang ada disekelilingnya sehingga ia tidak ada shock kelak nanti.

Kedua, pernikahan adalah ikatan antara suami dan istri, dimana anak bukanlah sebuah aspek utama di dalamnya, namun hanya tambahan. Pernikahan yang tidak memberikan kenyamanan kepada suami dan/atau istri, harusnya bukanlah jenis ikatan yang layak dipertahankan. Kenyamanan suami dan istri akan melahirkan kenyamanan anak dan keluarga. Sehingga bila dari awal, suami dan/atau istri memang telah merasa tidak nyaman, bagaimana mungkin anak-anaknya menjadi nyaman? Bagaimana mungkin keharmonisan keluarga tercipta jika keharmonisan itu sendiri tidak tercipta antara suami dan istri? Jadi alasan untuk mempertahankan atau menyudahi sebuah pernikahan itu ada pada faktor nyaman tidaknya suami dan/atau istri. Tidak seharusnya pernikahan yang tidak nyaman itu dipertahankan dengan alasan demi kenyamanan anak. Tapi memang banyak sekali kasus rumah tangga yang dipaksa berjalan terus hanya karena alasan demi anak, sementara suami dan istri sudah lebih pantas untuk hidup terpisah.

Lalu aku ingat akan seorang teman wanita yang curhat kepadaku akhir tahun lalu. Ia juga mengalami dilema pernikahan yang semu dimana suaminya selalu pulang larut karena disibukkan dengan "pacar baru"nya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahkan telah diakui oleh sang suami. Namun keduanya tidak menginginkan adanya perpisahan. Sang istri khawatir perceraian, yang mungkin adalah solusi paling tepat baginya untuk menyudahi rasa sakit hatinya itu, justru menjadi hal yang dapat mengganggu mental anak-anaknya. Sementara sang suami lebih ingin berpoligami karena selama ini memang sang istri lah yang menghidupi keluarganya. Ia bahkan telah bersumpah tidak akan menceraikan sang istri walau dalam keadaan apapun.

Aku lalu bertanya pada temanku ini tentang seberapa besar sakit hati yang dirasakannya. Dan aku juga memintanya mempertimbangkan kemungkinan ia kehilangan kewarasan atau kesehatannya hingga tak mampu lagi menjadi tumpuan harapan anak-anaknya. Ia menyatakan bahwa putri sulungnya yang duduk di bangku SMP sebenarnya telah acap kali mencoba menenangkan dan menghiburnya. Putrinya ini memang sangat tidak menyukai prilaku ayahnya yang tega menyakiti hati ibunya.
Setelah temanku ini berkonsultasi dengan pihak keluarganya tentang apa yang aku sampaikan, ia akhirnya menggugat cerai suaminya, kemudian melalui suatu sidang pengadilan agama ia akhirnya resmi bercerai.
Sekitar sebulan lalu, iya mengumumkan telah menemukan seorang pria yang telah mengisi hatinya sejak 3 bulan yang lalu dan akan menikahinya awal tahun depan.

Wanita pertama tadi, kini tengah menjalani dua kehidupan; satu dalam ketegangan dan rasa acuh tak acuh terhadap suaminya. Satu lagi dalam kebahagiaan yang terbatas tapi membuat hatinya berbunga-bunga. Sedangkan bagi temanku, bulan ini mungkin menjadi Ramadhan yang terindah sejauh ini karena ia berhasil meninggalkan situasi buruk yang telah lama ia pertahankan demi anak-anaknya dan menempatkan dirinya kembali dalam situasi yang baik.




Wednesday, July 10, 2013

1 Ramadan 1434H

Bahwa hari ini memang hari pertama puasa bagi sebagian besar masyarakat negeri ini seperti aku, bukan berarti acara-acara religi non-talkshow yang ditampilkan di televisi pada pagi hari menjadi istimewa seperti halnya acara-acara sore hari dan waktu sahur. Aku lebih suka menonton acara-acara religi seperti ini di pagi hari yang, mungkin karena dianggap miris pemirsa, pembuatannya memang dibuat sederhana dan bukan untuk mengejar "rating". Tidak hanya materi yang terkesan ringan, penyajian dan pembawa acaranya pun terlihat "membumi". Artinya, mungkin bukan tokoh terkenal, atau tidak tampil dengan busana dengan label besar atau bernama, atau didampingin bintang tamu yang  juga tidak perlu seorang selebriti.

Pagi ini, sambil melakukan penyampulan buku-buku sekolah anak-anaku,.aku menyaksikan salah satu acara itu. Topiknya sederhana, tentang peranan dan sejarah Ka'bah yang menjadi sumber kekuatan iman bagi umat Muslim sedunia. Pembawa acaranya seorang lelaki muda yang tidak aku kenali, ditemani oleh seorang nara sumber yang juga lelaki muda dengan panggilan nama, sebut saja RD. Tokoh ini bisa dikatakan berperawakan agak pendek jika dibandingkan pembawa acara yang terlihat punya tinggi yang standar. Bersama pembawa acara, ia berkeliling seputar tanah suci Mekkah, menjelaskan sejarah Ka'bah sambil sesekali mereferensikan potongan ayat-ayat dari Al-Qur'an atau hadist Nabi pada penjelasannya.

Yang menarik adalah penampilan RD ini. Tidak seperti umumnya para da'i atau nara sumber lainnya, RD tampil dengan pakaian ala kadarnya. Jangankan selendang yang sering menjuntai di pundak & leher para da'i dan ustadz lainnya, tidak sepotong tutup kepala pun dikenakan olehnya. Baju koko lengan pendek yang dipakainya juga terlihat standar saja terbuat dari bahan katun dengan sedikit dekorasi ornament sederhana dibagian depannya. Wajahnya klimis tanpa kumis dan janggut, dengan cambang tipis sepanjang hingga garis bawah telinganya. Pendek kata, sosoknya sama sekali tidak mewakili tampilan tipikal kebanyakan da'i dan ustadz.

Aku lalu teringat bagaimana orang-orang yang sering berlomba mendandani dirinya sedemikian rupa agar terlihat "agamais". Kalau perlu sampai bisa dianggap dan disebut sebagai seorang "haji" oleh mereka yang tidak mengetahui bahwa dirinya belum pernah naik haji. Sebagian orang memang ada yang percaya bahwa semakin dalam ilmu agama yang dimiliki seseorang, semakin agamais pula seharusnya ia berpenampilan. Misalnya dengan jubah (yang mungkin berlapis-lapis) dan selendang atau selembang yang dikalungkan di lehernya. Belum lagi kopiah atau bahkan sorban yang menutupi kepalanya, dan mungkin sebuah tasbih dalam genggamannya. Jadi sebelum ia membagi ilmunya, bahkan sebelum mengucapkan sepatah katapun, ia sudah bisa diasumsikan sebagai seorang ilmuwan agama.

Kalau hal ini bisa disebut sebagai sebuah nafsu, tentunya ini bulan yang tepat buat menahannya. Sehingga di bulan suci ini harusnya jumlah orang yang seperti itu minimal berkurang. Tapi mengapa justru di saat-saat seperti inilah terlihat makin banyak orang yang berpenampilan seperti itu? Apakah mungkin masyarakat negeri ini sudah begitu terperangkapnya dalam keterbatasan penilaian yang sangat ditentukan dengan penampilan? Ironisnya....memang sangat mungkin.



Tuesday, July 2, 2013

Islam Yahudi

Meskipun dilahirkan dan dibesarkan di Lower East Side, sebuah distrik di New York City yang identik dengan komunitas Yahudi, sejak kecil, Yosef Wassermann lebih sering bermain jauh dari rumahnya. Di usia kanak-kanaknya, ia lebih suka berteman dengan anak-anak yang bukan penghuni distrik tersebut. Kakeknya adalah seorang imigran dari Israel yang mengungsi ke New York sesaat sebelum perang Dunia 2 dimulai. Keluarganya adalah kaum Yahudi tulen yang masih dengan taat melaksanakan segala ritual keagamaannya. Hingga saat Yosef dewasapun, masih banyak yang keluarga dekatnya di Israel.

Selepas sekolah dasar, ia berkutat ingin melanjutkan sekolahnya bersama paman dan bibinya yang tinggal di negara bagian Rhode Island. Setelah dewasa, ia memang mengaku tidak merasa bebas tinggal di lingkungan kaum Yahudi yang dianggapnya tertutup dari dunia luar. Namun hal tersebut tidak pernah ia kemukakan pada orang tuanya karena khawatir mereka tidak akan mengizinkannya pindah dari New York.

Masa-masa sekolah menengah ia habiskan sebagai anggota tim basket di sekolahnya. Kesukaannya terhadap tim Lakers mendorongnya ingin hijrah ke Los Angeles melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Ia memang berhasil kuiah di Cal-State University, namun karirnya di tim basketnya perlahan pudar. Jurusan Sosiologi yang diambilnya justru membuatnya lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan kampus. Banyak teman kuliahnya yang menyebutnya sebagai kutu buku sekaligus menyeganinya karena keramah tamahan dan kepintarannya. Hal ini pulalah yang membuatnya cukup dikenal baik oleh para dosennya. Ia sering diundang oleh mereka untuk hadir dalam acara-acara seminar dan lecture yang mereka selenggarakan di luar kampus hingga suatu hari ia dikenalkan pada seorang pengurus Islamic Center di San Francisco (ICSF) yang saat itu menjadi salah satu pembicara. Dari perkenalan inilah ia kemudian diundang ke sebuah acara yang diselenggarakan oleh ICSF.

Awalnya, banyak jemaat ICSF yang menerima kehadirannya dengan penuh keheranan, mengingat ia adalah seorang Yahudi. Namun kerendahan hati dan sikap bersahabat yang mendasari cara bicaranya seolah menawarkan perdamaian kepada jemaat. Ia mengaku terkesan dengan keramah tamahan hadirin yang diajaknya mengobrol. Dan sejak itulah, ia tekun membaca dan mempelajari Islam dengan tujuan untuk mengerti cara berfikir umat Muslim sambil membandingkannya dengan cara berfikir kaumnya. Ia juga lebih sering menyempatkan dirinya untuk membedah buku-buku Islam yang tersedia di perpustakaan ICSF. Pada tiap Jum'at, ia duduk di luar pintu musholla untuk ikut mendengarkan khotbah Jum'at.

Setelah ia menyelesaikan kuliahnya, ia langsung bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kemanusiaan. Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk menjadi seorang mualaf di depan jemaat ICSF seusai sholat Jum'at. Kepindahannya menjadi seorang Muslim disusul dengan tawaran untuk menjadi salah seorang penceramah di lingkungan ICSF yang segera diterimanya. Tidak hanya itu, ia juga kerap memberikan ceramah di masjid-masjid di pelbagai kota lainnya. Yang unik adalah bahwa ia tidak lalu mengganti namanya yang merupakan nama khas Yahudi. Baginya, nama yang disandangnya tidaklah mencerminkan baik-buruk atau benar-salahnya ia sebagai seorang manusia. "Apapun agama saya, apapun yang saya lakukan, saya tetap seorang bangsa Yahudi, tapi bukan beragama Yahudi. Biarkan saya mempertahankan nama yang selama ini sudah menjadi bagian hidup saya sejak saya dilahirkan", jelasnya.

Aku suka dengan sosoknya. Ia tidak pernah memilih siapa yang pantas ia ajak bicara. Ia juga bukan tipe penceramah yang merasa pantas untuk memaksakan pendapatnya pada orang lain. Cara bicara dan berpikirnya jelas memperlihatkan ilmu yang tinggi dibalik kerendahan hatinya. Ia tidak akan beranjak pergi sebelum ia yakin tidak ada lagi yang memerlukan dirinya, baik untuk mendapatkan pencerahan atau sekedar obrolan ringan tentang hal diluar agama. Aku selalu merasa gembira setiap mengetahui bahwa ia lah yang akan berkhotbah ketika aku datang di ICSF untuk Jum'atan.

Hari ini, aku mendapat email dari seorang kawan yang tinggal di San Francisco, yang memberitakan bahwa Yosef Wassermann telah berpulang ke Rahmatullah Jum'at dini hari yang lalu di usia yang ke 57.

Farewell brother. You will always be remembered.