Friday, July 12, 2013

Kata-kata Yang Berguguran

Aku mencoba mendapatkan hal-hal yang lebih baik selama Ramadan kali ini dari sebelumnya. Aku berusaha agar aku tidak hanya mendapatkan lapar dan hausnya, namun segala manfaat dari keberkahan bulan ini.
Aku menganggap bulan ini bukan sebagai bulan pengujian namun lebih sebagai bulan pelatihan dimana kita selayaknya melatih diri untuk menghadapi ujian yang justru hadir pasca bulan ini berlalu, selama berbulan-bulan hingga kita beruntung dapat bertemu bulan ini lagi di tahun berikutnya. Jadi, ketimbang bersikap sebagai peserta sebuah ujian, aku cenderung bersikap sebagai seorang peserta pelatihan yang seyogyanya menyerap sebanyak mungkin ilmu yang kemudian secara bijaksana diseleksi untuk disimpang sebagai pedoman hidup.
Di saat istirahat dari pekerjaan, kalau sedang tidak mood untuk membaca-baca, aku lebih suka memanfaatkan kesendirianku untuk merenung. Hal ini cukup efektif bagiku untuk menelaah dan mencerna dengan tenang pelbagai ilmu atau teori yang pernah masuk ke dalam otakku, sehingga aku bisa mendapatkan kesimpulan atau keputusan yang bisa diandalkan buat jalan hidupku.

Pagi tadi aku melakukan perenungan atas kiat melewati hari-hari Ramadan tahun ini yang lebih intense dari tahun sebelumnya. Meskipun aku sadar kiat seperti itu besar kemungkinannya akan menambah beban puasaku seperti halnya yg terjadi tahun lalu saat aku akhirnya tumbang tak berdaya dibuatnya, namun tekad mulia sekalian untuk melahirkan sosok yang lebih baik yang mendasari kiat ini lah yang akhirnya juga memantapkan langkahku saat memasuki bulan suci ini. Sebetulnya yang membuat aku ragu adalah kekuatan imanku yang keliatannya tidak dapat mengimbangi bobot materi pelatihan yang akan aku dapati. Itulah yang membuatku merasa perlu sedikit-sedikit merenung, hanya sekedar untuk meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan mulus dan berakhir sebaik yang aku harapkan. Suatu saat muncullah kata "perdamaian" dalam benakku. Lalu aku merasa bahwa begitu mudahnya pilihan yang kita biarkan terhidangkan di depan kita saat relefansinya ke orang lain; berdamai atau tidak...itu saja. Tapi kita sendiri mungkin bahkan tidak pernah berpikir seberapa pentingnya kita perlu berdamai dengan diri kita sendiri.

Ya....yang ini memang terkesan tricky, tapi sebetulnya simple dan mudah.
Begitu seringnya ego kita bisa mengatur hidup kita sampai-sampai saking terbiasanya, kita tidak lagi menyadari jika hal itu terjadi. Kita bahkan mungkin siap menyangkal fakta itu hanya karena kita lebih dipengaruhi ego daripada logika. Seperti halnya logika yang bisa menjadikan kita humble (merendah), egopun bisa menjadikan kita, tanpa disadari, sombong dan suka "mengeyel". Dalam aksi berdamai ini, kita mencoba mengesampingkan ego, dan sebaliknya mengutamakan logika. Agar aksi ini mudah dieksekusikan, kita perlu berdiam diri dalam arti menciptakan suatu kesunyian dalam benak dan hati kita, karena dengan ketenangan seperti itulah kita bisa mendapatkan kebenaran dan kenyataan tentang diri kita sendiri, bukan suatu wujud yang telah dimanipulasi oleh ego. Dan ketika kebenaran itu kita dapatkan, kita seharusnya bisa melihat dengan jelas apa saja yang belum tuntas kita lakukan.

Menuntaskannya tentu dengan berbagai macam cara tergantung pada masalahnya, namun ada semacam pesan terselubung yang aku tangkap di balik itu semua. Kesunyian yang disinggung sebelumnya di atas bisa jadi adalah kata kunci yang mungkin mendasari cara apapun yang kita gunakan dalam menuntaskan masalah-masalah kita. Aku mengarahkan kesunyian ini pada minimnya penggunaan kata-kata yang lebih cenderung kita pakai dalam mencoba mencari solusi. Bak tukang obat, kita gunakan kata-kata untuk menjelaskan, meyakinkan, bahkan kalau perlu memanipulasi pihak lain demi tercapainya sebuah resolusi yang kita harapkan. Padahal, mungkin saja kita telah terlalu sering mengumbar kata-kata dan pihak lainpun telah terlalu sering mendengarkan kata-kata itu, sehingga bukanlah kata-kata yang dapat menjadi medium untuk menyelesaikan masalah. Ada saatnya seseorang hanya ingin melihat, bukan lagi mendengar di saat ia telah sekian lama mendengar pengulangan kata-kata yang sama.

Ibarat dedaunan yang gugur dari ranting pohon setiap kita mengucap kata-kata, haruskah pohon itu menjadi gundul tanpa sehelai daunpun hanya karena kita berulang kali mengucapkan kata-kata yang sama? Kata-kata yang harusnya tidak lagi perlu diucapkan untuk menerangkan sesuatu kepada seseorang yang butuh penjelasan visual yang lebih kongkrit?
Renungan ini mengingatkanku pada janji yang aku ikrarkan untuk aku laksanakan selama bulan Ramadan ini. Seolah memang ada benang merahnya, menutup mulut bisa jadi seuatu cara buatku menuntaskan apa yang selama ini masih menggantung.