Monday, July 22, 2013

Sederhana dan Polos

Mumpung tayang di sebuah saluran tv cable yang ber-subtitle bahasa Indonesia, aku "meliburkan diri" dari kegiatan mengikuti sholat Tarawih di masjid semalam. Film bagian terakhir dari trilogy "Lord of The Rings" itu merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya yang ditayangkan minggu lalu. Dan seperti dugaanku, mereka sangat menikmatinya sampai sempat menunda makan malam dikarenakan tidak adanya jeda iklan yang membuat mereka enggan mengalihkan perhatiannya dari film tersebut.

Atensi mereka tersita oleh serunya jalan ceritanya...hingga menjelang akhir saat adegan yang ditampilkan adalah penyelamatan tokoh utama oleh burung elang raksasa dari kepungan lahar panas. Sangat mengejutkanku bahwa bukanlah kelegaan atau kegembiraan yang tersirat dari mereka seperti halnya yang aku rasakan namun justru semacam kekecewaan. Hampir secara bersamaan mereka langsung berkomentar, "Yaah...gampang sekali selamatnya", kata yang satu dan dibalas oleh kakaknya, "Iya nih....kenapa nggak dari awal aja dia naik elang terbang langsung kesitu trus cincinnya dilempar dari atas?"
Dengan niat ingin menetralisir situasinya, aku segera merespon dengan jawaban spontan, "Ya kalau begitu nanti film-nya cuma sebentar donk..."

Di balik jawaban yang konyol itu, aku bertanya pada diri sendiri, "Iya ya, kenapa tidak begitu aja solusi pengantaran si tokoh utama? Tentunya jelas akan mempersingkat energi dan waktu. Belum lagi ribuan nyawa yang melayang sia-sia demi kelancaran perjalanan mengantar cincin itu". Aku juga bertanya mengapa hingga semalam, tidak pernah terpikirkan olehku cara yang lebih mudah seperti itu. Mungkin hal itu disebabkan karena dengan kepolosan yang dimiliki anak segalanya lebih jelas terlihat kemudahannya. Sementara aku, yang mewakili orang dewasa lainnya, lebih cenderung menyertakan lebih banyak pemikiran dalam melihat sesuatu.

Aku lalu jadi berpikir tentang bagaimana manusia menerima ilmu yang diajarkan kepadanya. Aku melihat mindset yang terbentuk dalam benak anak kecil itu adalah menerima dan menghafalkan semua hal sesuai dengan perintah yang diberikan padanya. Di sekolah, mereka mungkin jarang mempertanyakan mengapa mereka harus menghafalkannya dan mengapa hal -hal itu yang harus aku hafalkan. Kalaupun kebetulan memang ada pertanyaan, seperti yang lebih mungkin dilontarkan di luar sekolah, itu lebih berdasar pada basa-basi atau keisengan mereka dimana jawabannya tidak akan menjadi sesuatu yang mereka anggap penting.

Yang aku perhatikan, makin bertambah umur, seseorang makin cenderung tertantang untuk mempertanyakan lebih dahulu segala sesuatu yang diberikan kepada mereka. Manusia menjadi lebih suka memilih dan mensortir sebelum menerima. Untuk bisa memilih, mereka butuh "pembenaran" yang cukup untuk mewakili "kebenaran" buat mereka sendiri. Dan hal inilah yang kemudian menumbuhkan sifat mencari dan menggali-gali ilmu yang mereka anggap cocok buat mereka. Ilmu-ilmu ini bahkan bisa mereka simpulkan sebagai teori baru diterapkan dalam kehidupan mereka, baik itu sejalan ataupun tidak dengan ilmu yang sudah ada terlebih dahulu.

Dalam agamapun, ada penolakan aturan atau hukum yang sudah ribuan tahun berlaku. Dengan ilmu yang dimiliki, seseorang menyusun teori barunya yang bisa menjadi alasan mengapa suatu hukum tertentu tiba-tiba dianggap salah dan tidak layak lagi dipatuhi. Bertambahnya ilmu tidak membuat manusia makin bijaksana namun justru membuatnya takabur hingga merasa pantas menentukan untuk orang lain hukum dan aturan mana saja yang layak dipatuhi atau harus dihindari. Lebih parahnya lagi jika dengan teori-teori baru ini, terciptalah hukum-hukum baru yang sifatnya bertolak belakang dengan hukum yang lama tapi harus ditaati.

Islam mengajarkan ilmu-ilmu yang dimaksudkan untuk mengarahkan kita ke arah yang diridhoi Allah swt. Jalan yang disediakan untuk kita lalui memang tidaklah lurus dan mudah namun berliku-liku dan rumit, hanya saja ilmu-ilmu itu disodorkan sebagai panduan agar kita tidak tersesat. Sebagai panduan yang tujuannya bisa membantu dengan mudah, tentunya sudah selayaknya bila ilmu-ilmu itu sifatnya sederhana dan jelas. Ironisnya, tidak sedikit dari kita yang mempertanyakan bila ada makna atau maksud lain dari ilmu-ilmu itu. Sehingga apa yang harusnya bisa membantu kita menetap di jalanNya justru dikaburkan atau bahkan dihilangkan dan diganti dengan panduan baru yang belum tentu bermanfaat. Lalu kalau nantinya kita ternyata tersesat, siapa yang akan kita salahkan?

Aku percaya bahwa semua aturan dan hukum Islam yang dimaksudkan untuk menuntun kita sangat mudah. Mudah untuk dicerna dan mudah dijalankan. Bila kita masih menjumpai kesulitan dalam pelaksanaannya berarti kita mungkin masih belum melihat dan mengartikan aturan dan hukumnya dengan sederhana dan polos.