Tak terasa sudah 1/2 bulan terlampaui, hari ini adalah hari pertama di 1/2 bagian kedua dari bulan Ramadhan. Jujur aku belum pernah mendengar sebelumnya, namun khatib itu menjelaskan bagaimana istimewanya melakukan ibadah sholat Tarawih semalam yang jatuh tepat di malam hari ke 16. Sebagai pembuka ceramah, ia menyatakan bahwa melakukan ibadah sholat Tarawih yang spesifik ini berarti mendapatkan tiket langsung ke Surga. Artinya, apapun yang menjadi beban yang ditanggung dari kehidupan di dunia akan dengan sendirinya terlepas.
Sebagai manusia biasa, tentunya aku ingin perjalananku menuju Surga nanti dimudahkan dan tidak diberatkan oleh segala dosa dan kesalahanku di dunia. Tapi aku juga tidak bisa begitu saja menjadi gembira dan lega mendengarkan penuturan sang khatib tersebut. Bukannya tidak percaya hal itu, namun aku harus berjaga-jaga jika ternyata akan ada hal lain yang saat ini tidak aku sadari keberadaannya. Sebuah surprise yang ternyata baru kutemui setelah aku sampai di akhirat sana. Sesuatu yang ternyata punya arti lain dari yang aku pahami dan cenderung nantinya membuatku kecele jika aku hidup takabur.
Di tengah-tengah ceramah, khatib mengulas 6 perkara dunia yang bisa membatalkan amal ibadah manusia. "Tuh khaaan?", pikirku. Baru saja aku mengingatkan diri sendiri untuk tidak terbuai dengan penjelasan sang khatib di awal ceramahnya, sudah ada penjelasan lain yang bisa dibilang berlawanan. Aku bisa saja langsung berspekulasi dengan segala pikiran negatif mengingat ada satu dua dari 6 perkara tersebut yang masih melekat pada diriku, tapi aku mencoba untuk mengimbanginya dengan kepositifan cerita tentang kemudahan jalan ke Surga tadi.
Aku kembali lagi berfikir bahwa kita tidak mungkin diberi melulu alasan untuk bersabar atau hanya untuk bersyukur. Tentunya selalu ada alasan untuk keduanya. Apalagi jika faktanya, kita diharuskan bersabar dan bersyukur untuk setiap alasan....positif atau negatif. Jadi ceramah semalam memang memberi pelajaran yang penting buatku dimana aku diingatkan tentang amal ibadah yang setiap saat bisa aku kumpulkan lewat kebaikan-kebaikanku, dan setiap saat bisa kandas begitu saja karena segala keburukanku, lalu terkumpul lagi, dan kandas lagi, begitu seterusnya. Yang lebih penting untuk diingat adalah bahwa proses itu bisa terhenti kapan saja, ketika amal sedang terkumpul atau sedang kandas...
Thursday, July 25, 2013
Wednesday, July 24, 2013
Tahun Hijriah
Jum'at kemarin aku diingatkan oleh alarm di telpon genggamku bahwa aku baru saja menggenapkan puasaku di 10 hari pertama. Maklumlah...aku memang sengaja menset alarmku per sepuluh hari sejak Ramadhan dimulai karena, jujur saja, aku memang sebelumnya tidak terlalu rajin pergi ke masjid untuk Tarawih di 10 hari pertama. Bukan karena manfaat yang berbeda dengan pengamalan Tarawih di 10 hari kedua atau ketiga, tapi karena aku sulit bisa khusu kalau kondisi masjid penuh sesak. Itulah sebabnya aku berusaha tidak melewatkan kesempatan Tarawih di 10 hari terakhir disaat masjid seharusnya sudah lengang dan nyaman.
Lalu aku melihat ke penanggalan dinding untuk menghitung hari. Dan saat itulah aku sadar bahwa jika kita merayakan hari Lebaran di tanggal 8 Agustus seperti yang tertera di penanggalan, berarti kita hanya berpuasa selama hanya 29 hari tahun ini. Tapi kalau memang kita harus berpuasa 30 hari, berarti Lebaran harusnya jatuh pada tanggal 9. Jadi sebenarnya bagaimana menyikapi perbedaan penetapan tanggal di kalender dan kenyataannya ini?

Bak tradisi tahunan, hari pertama Ramadhan itu ditentukan oleh penampakan Hilal, sehingga pihak pemerintahpun selalu menunggu hingga semalam sebelumnya untuk menetapkan kapan bulan Ramadhan dimulai. Adapun secara teori, kalender Hijriah itu ditentukan dari pergerakan bulan dengan sistem Synodic month, yang punya jarak 29,53059 hari (29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik) antara satu bulan dengan bulan berikutnya. Sehingga dalam kurun waktu 12 bulan (1 tahun) jumlah total hari yang ada mencapai sekitar 354,367. Maka harusnya dapat dengan mudah dimengerti bagaimana pembuat penanggalan menentukan dengan tanggal berapa di kalender Masehi setiap tanggal Hijriah bertepatan.
Itulah sebabnya kita sudah bisa mengetahui jatuh pada hari apa semua tanggal penting Islam di penanggalan tahun Masehi bahkan sejak sebelum pergantian tahun Masehi terjadi, termasuk tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Namun setiap tahun selalu dibutuhkan kepastian akan terlihatnya Hilal guna menentukan kapan dimulainya bulan Ramadhan. Artinya, apa yang telah tertera dan tercetak pada penanggalan, yang merupakan hasil perhitungan teori pergerakan bulan selama satu tahun itu tidak dianggap mutlak akurat. Contohnya yang terjadi tahun ini dimana, setelah mengamati Hilal, pemerintah menentukan Ramadhan dimulai tanggal 10, dan (seperti tradisi tahunan di Indonesia) ada sebagian masyarakat yang percaya bahwa selayaknya dimulai tanggal 9, sementara di penanggalan tertera 1 Ramadhan bertepatan dengan tanggal 8.
Selama ini memang masyarakat kita menanggapi dan menerima dengan baik semua ketetapan dari pemerintah. Alhamdulillah, pelaksanaan sholat Tarawih malam pertama maupun Ied yang dilakukan di tanggal yang berbeda sejauh ini juga disikapi dengan penuh kebijaksanaan dari semua pihak. Hanya saja kalau memang nantinya, hari Lebaran ditetapkan di tanggal yang sama seperti yang tertera pada penanggalan yang ada, berarti ada sebagian masyarakat yang berpuasa selama hanya 29 hari.
Yang jelas, penentuan tanggal 1 Ramadhan tahun ini menunjukkan bahwa jumlah hari dalam tahun Hijriah yang sedang berlaku saat ini bukanlah sebanyak 354,367. Kecuali bila tanggal 1 Muharram yang akan datang dinyatakan berbeda juga dengan yang telah tercantum di penanggalan.
Wallahu a'lam bishawab...
Monday, July 22, 2013
Sederhana dan Polos
Mumpung tayang di sebuah saluran tv cable yang ber-subtitle bahasa Indonesia, aku "meliburkan diri" dari kegiatan mengikuti sholat Tarawih di masjid semalam. Film bagian terakhir dari trilogy "Lord of The Rings" itu merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya yang ditayangkan minggu lalu. Dan seperti dugaanku, mereka sangat menikmatinya sampai sempat menunda makan malam dikarenakan tidak adanya jeda iklan yang membuat mereka enggan mengalihkan perhatiannya dari film tersebut.
Atensi mereka tersita oleh serunya jalan ceritanya...hingga menjelang akhir saat adegan yang ditampilkan adalah penyelamatan tokoh utama oleh burung elang raksasa dari kepungan lahar panas. Sangat mengejutkanku bahwa bukanlah kelegaan atau kegembiraan yang tersirat dari mereka seperti halnya yang aku rasakan namun justru semacam kekecewaan. Hampir secara bersamaan mereka langsung berkomentar, "Yaah...gampang sekali selamatnya", kata yang satu dan dibalas oleh kakaknya, "Iya nih....kenapa nggak dari awal aja dia naik elang terbang langsung kesitu trus cincinnya dilempar dari atas?"
Dengan niat ingin menetralisir situasinya, aku segera merespon dengan jawaban spontan, "Ya kalau begitu nanti film-nya cuma sebentar donk..."
Di balik jawaban yang konyol itu, aku bertanya pada diri sendiri, "Iya ya, kenapa tidak begitu aja solusi pengantaran si tokoh utama? Tentunya jelas akan mempersingkat energi dan waktu. Belum lagi ribuan nyawa yang melayang sia-sia demi kelancaran perjalanan mengantar cincin itu". Aku juga bertanya mengapa hingga semalam, tidak pernah terpikirkan olehku cara yang lebih mudah seperti itu. Mungkin hal itu disebabkan karena dengan kepolosan yang dimiliki anak segalanya lebih jelas terlihat kemudahannya. Sementara aku, yang mewakili orang dewasa lainnya, lebih cenderung menyertakan lebih banyak pemikiran dalam melihat sesuatu.
Aku lalu jadi berpikir tentang bagaimana manusia menerima ilmu yang diajarkan kepadanya. Aku melihat mindset yang terbentuk dalam benak anak kecil itu adalah menerima dan menghafalkan semua hal sesuai dengan perintah yang diberikan padanya. Di sekolah, mereka mungkin jarang mempertanyakan mengapa mereka harus menghafalkannya dan mengapa hal -hal itu yang harus aku hafalkan. Kalaupun kebetulan memang ada pertanyaan, seperti yang lebih mungkin dilontarkan di luar sekolah, itu lebih berdasar pada basa-basi atau keisengan mereka dimana jawabannya tidak akan menjadi sesuatu yang mereka anggap penting.
Yang aku perhatikan, makin bertambah umur, seseorang makin cenderung tertantang untuk mempertanyakan lebih dahulu segala sesuatu yang diberikan kepada mereka. Manusia menjadi lebih suka memilih dan mensortir sebelum menerima. Untuk bisa memilih, mereka butuh "pembenaran" yang cukup untuk mewakili "kebenaran" buat mereka sendiri. Dan hal inilah yang kemudian menumbuhkan sifat mencari dan menggali-gali ilmu yang mereka anggap cocok buat mereka. Ilmu-ilmu ini bahkan bisa mereka simpulkan sebagai teori baru diterapkan dalam kehidupan mereka, baik itu sejalan ataupun tidak dengan ilmu yang sudah ada terlebih dahulu.
Dalam agamapun, ada penolakan aturan atau hukum yang sudah ribuan tahun berlaku. Dengan ilmu yang dimiliki, seseorang menyusun teori barunya yang bisa menjadi alasan mengapa suatu hukum tertentu tiba-tiba dianggap salah dan tidak layak lagi dipatuhi. Bertambahnya ilmu tidak membuat manusia makin bijaksana namun justru membuatnya takabur hingga merasa pantas menentukan untuk orang lain hukum dan aturan mana saja yang layak dipatuhi atau harus dihindari. Lebih parahnya lagi jika dengan teori-teori baru ini, terciptalah hukum-hukum baru yang sifatnya bertolak belakang dengan hukum yang lama tapi harus ditaati.
Islam mengajarkan ilmu-ilmu yang dimaksudkan untuk mengarahkan kita ke arah yang diridhoi Allah swt. Jalan yang disediakan untuk kita lalui memang tidaklah lurus dan mudah namun berliku-liku dan rumit, hanya saja ilmu-ilmu itu disodorkan sebagai panduan agar kita tidak tersesat. Sebagai panduan yang tujuannya bisa membantu dengan mudah, tentunya sudah selayaknya bila ilmu-ilmu itu sifatnya sederhana dan jelas. Ironisnya, tidak sedikit dari kita yang mempertanyakan bila ada makna atau maksud lain dari ilmu-ilmu itu. Sehingga apa yang harusnya bisa membantu kita menetap di jalanNya justru dikaburkan atau bahkan dihilangkan dan diganti dengan panduan baru yang belum tentu bermanfaat. Lalu kalau nantinya kita ternyata tersesat, siapa yang akan kita salahkan?
Aku percaya bahwa semua aturan dan hukum Islam yang dimaksudkan untuk menuntun kita sangat mudah. Mudah untuk dicerna dan mudah dijalankan. Bila kita masih menjumpai kesulitan dalam pelaksanaannya berarti kita mungkin masih belum melihat dan mengartikan aturan dan hukumnya dengan sederhana dan polos.
Atensi mereka tersita oleh serunya jalan ceritanya...hingga menjelang akhir saat adegan yang ditampilkan adalah penyelamatan tokoh utama oleh burung elang raksasa dari kepungan lahar panas. Sangat mengejutkanku bahwa bukanlah kelegaan atau kegembiraan yang tersirat dari mereka seperti halnya yang aku rasakan namun justru semacam kekecewaan. Hampir secara bersamaan mereka langsung berkomentar, "Yaah...gampang sekali selamatnya", kata yang satu dan dibalas oleh kakaknya, "Iya nih....kenapa nggak dari awal aja dia naik elang terbang langsung kesitu trus cincinnya dilempar dari atas?"
Dengan niat ingin menetralisir situasinya, aku segera merespon dengan jawaban spontan, "Ya kalau begitu nanti film-nya cuma sebentar donk..."
Di balik jawaban yang konyol itu, aku bertanya pada diri sendiri, "Iya ya, kenapa tidak begitu aja solusi pengantaran si tokoh utama? Tentunya jelas akan mempersingkat energi dan waktu. Belum lagi ribuan nyawa yang melayang sia-sia demi kelancaran perjalanan mengantar cincin itu". Aku juga bertanya mengapa hingga semalam, tidak pernah terpikirkan olehku cara yang lebih mudah seperti itu. Mungkin hal itu disebabkan karena dengan kepolosan yang dimiliki anak segalanya lebih jelas terlihat kemudahannya. Sementara aku, yang mewakili orang dewasa lainnya, lebih cenderung menyertakan lebih banyak pemikiran dalam melihat sesuatu.
Aku lalu jadi berpikir tentang bagaimana manusia menerima ilmu yang diajarkan kepadanya. Aku melihat mindset yang terbentuk dalam benak anak kecil itu adalah menerima dan menghafalkan semua hal sesuai dengan perintah yang diberikan padanya. Di sekolah, mereka mungkin jarang mempertanyakan mengapa mereka harus menghafalkannya dan mengapa hal -hal itu yang harus aku hafalkan. Kalaupun kebetulan memang ada pertanyaan, seperti yang lebih mungkin dilontarkan di luar sekolah, itu lebih berdasar pada basa-basi atau keisengan mereka dimana jawabannya tidak akan menjadi sesuatu yang mereka anggap penting.
Yang aku perhatikan, makin bertambah umur, seseorang makin cenderung tertantang untuk mempertanyakan lebih dahulu segala sesuatu yang diberikan kepada mereka. Manusia menjadi lebih suka memilih dan mensortir sebelum menerima. Untuk bisa memilih, mereka butuh "pembenaran" yang cukup untuk mewakili "kebenaran" buat mereka sendiri. Dan hal inilah yang kemudian menumbuhkan sifat mencari dan menggali-gali ilmu yang mereka anggap cocok buat mereka. Ilmu-ilmu ini bahkan bisa mereka simpulkan sebagai teori baru diterapkan dalam kehidupan mereka, baik itu sejalan ataupun tidak dengan ilmu yang sudah ada terlebih dahulu.
Dalam agamapun, ada penolakan aturan atau hukum yang sudah ribuan tahun berlaku. Dengan ilmu yang dimiliki, seseorang menyusun teori barunya yang bisa menjadi alasan mengapa suatu hukum tertentu tiba-tiba dianggap salah dan tidak layak lagi dipatuhi. Bertambahnya ilmu tidak membuat manusia makin bijaksana namun justru membuatnya takabur hingga merasa pantas menentukan untuk orang lain hukum dan aturan mana saja yang layak dipatuhi atau harus dihindari. Lebih parahnya lagi jika dengan teori-teori baru ini, terciptalah hukum-hukum baru yang sifatnya bertolak belakang dengan hukum yang lama tapi harus ditaati.
Islam mengajarkan ilmu-ilmu yang dimaksudkan untuk mengarahkan kita ke arah yang diridhoi Allah swt. Jalan yang disediakan untuk kita lalui memang tidaklah lurus dan mudah namun berliku-liku dan rumit, hanya saja ilmu-ilmu itu disodorkan sebagai panduan agar kita tidak tersesat. Sebagai panduan yang tujuannya bisa membantu dengan mudah, tentunya sudah selayaknya bila ilmu-ilmu itu sifatnya sederhana dan jelas. Ironisnya, tidak sedikit dari kita yang mempertanyakan bila ada makna atau maksud lain dari ilmu-ilmu itu. Sehingga apa yang harusnya bisa membantu kita menetap di jalanNya justru dikaburkan atau bahkan dihilangkan dan diganti dengan panduan baru yang belum tentu bermanfaat. Lalu kalau nantinya kita ternyata tersesat, siapa yang akan kita salahkan?
Aku percaya bahwa semua aturan dan hukum Islam yang dimaksudkan untuk menuntun kita sangat mudah. Mudah untuk dicerna dan mudah dijalankan. Bila kita masih menjumpai kesulitan dalam pelaksanaannya berarti kita mungkin masih belum melihat dan mengartikan aturan dan hukumnya dengan sederhana dan polos.
Sunday, July 21, 2013
Keseimbangan Yang Samar
Akhirnya pertemuanku dengan para sibling terjadi juga. Event ngopi-ngopi yang pernah kami rencanakan untuk digelar sebelum memasuki bulan puasa tapi tak pernah tereksekusi akhirnya menjelma menjadi acara buka bersama. Agendanya tetap sama, yakni meng-update situasi hingar bingar permaslahan seputar proyek besar peninggalan orangtua kami yang sejak tahun lalu masih belum tampak jalan penyelesaiannya. Tentu saja yang jadi pembahasan termasuk kejanggalan sampai kenegatifan sikap pihak-pihak yang kami hadapi dengan segala keanehan aksi yang dilakukannya.
Masing-masing dari kami mengungkapkan pendapatnya meskipun pada akhirnya tak seorangpun yang meyakini pendapat mana yang menjadi jawaban atas aksi-aksi yang sering membuat kami tercengang saking mengherankannya. Seperti biasa aku lebih banyak diam sambil mencoba memahami situasi dengan seksama mengingat masalah ini memang butuh perhatian yang bukan main mendalam.
Aku tak tau apa yang sebenarnya berlaku dalam soal perbandingan antara faktor negatif dan postif. Aku sendiri percaya bahwa keseimbangan itu terjadi bila memang kadar kedua faktor yang berlawanan itu sama banyaknya. Persis seperti yang dimaksud dalam pemahaman yin & yang lah. Dan ini berlaku di semua hal dalam kehidupan ini. Setiap hal, hidup atau mati, manusia atau mahluk hidup lainnya pasti memiliki kebaikan dan keburukan. Ada hal yang merugikan dan ada yang bermanfaat. Dan saat kedua faktor yang bertolak belakang itu, bila ditempatkan di atas sebuah neraca timbang, menduduki ketinggian yang sejajar maka orang boleh menyatakan kalau mereka berimbang rata.
Dalam hal pihak-pihak yang kami hadapi itu, apa yang membuat kami menganggapnya sebagai masalah adalah bahwa nilai negatifnya tidak berimbang dengan postifnya. Mungkin bagi yang lainnya, yang menjadi masalah adalah bahwa ketidakseimbangnya itu diwakili oleh lebih beratnya kadar kenegatifannya. Tapi bagiku, itu bukan lagi menjadi alasan yang tepat untuk menilainya sebagai sebuah masalah. Saat keseimbangan tidak terjadi, disitulah masalah sudah berlaku, tanpa dipengaruhi oleh fakta sisi timbangan yang mana yang lebih berat. Saat lebih berat sisi postifnyapun bisa selayaknya dianggap sebagai masalah. Mengapa begitu?
Kebanyakan dari kita men-set idealismenya justru pada kondisi saat kepositifan menjadi faktor primer. Kita merasa nyaman dengan suatu kondisi yang kebaikannya lebih berbobot dari keburukannya? Apakah memang kita akan nyaman dengan sesuatu yang tidak punya faktor negatif sama sekali? Mungkinkah seorang milyarder, yang bisa mendapatkan apa saja dengan menjentikan jari-jarinya, mencoba mencari hal yang sederhana seperti naik angkot? Atau orang yang punya pasangan yang begitu sabar, ramah, penurut dan pengabdi suatu saat ingin pasangannya sesekali membelot dan menolak bahkan marah dan menentangnya, hanya karena ia mulai merasa bosan dengan segala faktor kepositifan pasangannya itu.
Intinya...aku percaya bahwa keseimbangan yang sebenarnya itu adalah yang berkondisi 50-50. Seperti layaknya kesejajaran antara kedua sisi timbangan yang selalu dianggap merepresentasikan keadilan, aku rasa begitu pulalah kondisi yang selalu ditawarkan oleh Sang Pencipta. Hanya saja...kita sering tidak menyadarinya & merasa tidak puas dengan segala hal yang (kita anggap) negatif. Pada saat kita menganggap hidup kita dijajali dengan kenegatifan, kita mengeluh. Sementara kita baru bersyukur saat kenyamanan itu tercapai. Padahal ketidak adilan yang kita tuduhkan padaNya didasari hanya pada pendapat kita semata...bukan mewakili kondisi yang sebenarnya berlaku.
Semua kembali ke diri kita masing-masing. Tuhan itu berpredikat Maha Adil...yang artinya sangat amat super adil yang tiada taranya. Jadi apa yang terjadi pada setiap insan manusia sudah diperhitungkanNya seadil-adilnya dan itu sudah harga mutlak yang tidak seharusnya ditawar-tawar bahkan dipertanyakan. Dan buatku, disitulah kedahsyatan haddist Rasulullah SAW tentang sabar dan syukur yang bagiku selalu berarti kadarnya berimbang; 50-50.
Saturday, July 20, 2013
Thursday, July 18, 2013
Rumah Kenangan
Dengan mudahnya aku dapat merasakan kewaspadaan wanita tua itu saat tengah bercerita. Tak seperti biasanya, tutur bahasanya terdengar sopan tapi kaku. Aku mengenalnya sebagai seseorang yang cukup dikenal di daerah tempat tinggalnya karena disamping ia pernah untuk beberapa periode menjabat sebagai ketua RT, hingga kini ia masih rutin memberikan bimbingan pembelajaran pada murid-murid dari beberapa SD setempat. Jadi bisa dikatakan ia adalah seorang wanita yang tegas sekaligus bawel.
Kali ini sikap ekstra hati-hatinya terlihat dalam pelannya suara dan tempo bicaranya. Mungkin kalau ini suatu hal yang berhubungan dengan tingkah putra-putraku selama mengikuti les-nya, aku akan gemas menunggu ia selesai berbicara atau menyampaikan inti pembicaraannya. Tapi aku bisa menduga apa inti dari yang ingin disampaikannya padaku. Oleh karenanya aku tidak mungkin akan berada dihadapannya jika ia tidak pernah memberi cukup alasan untukku memenuhi undangannya lewat telpon tadi. Dengan seksama aku menyimak setiap kata yang ia ucapkan dan berharap tidak melewatkan sedikit informasipun darinya.
Apalagi aku tau ia punya indera keenam yang membuatnya piyawai dalam membaca. Meski mungkin ia bukan orang pintar yang tersohor, yang membuka praktek sebagai cenayang komersial, namun banyak orang yang percaya pada hasil penerawangnya. Apa yang aku ingin dengar juga bukan hasil ramalan atau hasil bacaannya tentang aku, tapi penglihatannya atas kejadian yang baru saja dialami oleh seorang wanita muda penghuni bekas rumah orang tuaku. Ya...rumah cukup besar berlantai dua yang bersama adikku, aku bangun di atas dua kavling kosong, dan kemudian sempat aku huni beberapa tahun ketika aku harus mendampingi almarhumah ibuku yang sakit.
Rupanya 3 hari sebelum memasuki Ramadhan, seluruh penghuni rumah itu gempar karena wanita muda yang bersama suaminya menyewa sebuah kamar disitu mengalami suatu kejadian yang dianggapnya ghaib. Bukan seperti kesurupan yang membuatnya bertingkah aneh, namun ia merasa tidak enak badan yang sangat serius. Dengan tetap menguasai kesadarannya, ia merasakan ada yang merasuki tubuhnya yang membuat isi tubuhnya seolah teroyak-oyak. Selang beberapa saat setelah itu, ia dan beberapa penghuni lain rumah yang kini menjadi tempat kost itu melihat kehadiran seorang wanita tua berparas bersih dan cantik, duduk di sebuah kursi di seberang ruangan. Ia hanya duduk manis sambil pandangannya sibuk mengawasi seisi ruangan tanpa memberi perhatian khusus pada apa yang tengah dialamai si wanita muda. Dan sekitar setengah menit kemudian sosok wanita tua itu menghilang.
Saat ditemui wanita cenayang tadi, si wanita muda ini mengaku bahwa rupanya itu bukan kali pertama ia merasakan hal serupa. Bahkan sebelumnya ia sampai muntah-muntah sehingga harus ditangani oleh seorang pendeta agama yang dianutnya. Tanpa menyaksikannya sendiri, wanita cenayang ini menyatakan yakin bahwa sosok wanita tua itu adalah arwah mendiang ibuku. Namun ia sama sekali tidak tau apa makna yang ada dibalik peristiwa penampakan itu. Ia mengaku berasumsi karena akan memasuki bulan Ramadhan mungkin mendiang ibuku ingin dikirimi doa. Ia juga sempat mempertanyakan bagaimana pemeliharaan kebersihan rumah kost itu karena ia tau betul bagaimana selama hidupnya, mendiang ibuku sangat memperhatikan dan merawat rumahnya, dan tidak suka dengan hal yang jorok atau berantakan.
Seolah merasa cemas jika penuturannya kurang berkenan buatku, wanita cenayang ini bercerita sambil sesekali menanyakan apakah aku baik-baik saja, sementara aku mendengarkan dengan antusias sambil tetap tersenyum. Aku tidak terganggu, takut atau sedih dengan cerita ini, namun justru bergairah mendengarnya. Bagaimana tidak? Mungkin ini bisa jadi sebuah solusi untuk bertemu dengan mendiang ibuku. Setidaknya, aku bisa berharap ia hadir lagi di tempat yang sama jika aku mendatangi rumah itu. Dan semua sibling-ku memberikan tanggapan yang sama ketika aku teruskan cerita ini pada mereka. Aku percaya sepenuhnya jika kehadirannya itu tidak didasari atas hal yang buruk atau berdampak negatif bagi siapapun. Kalau memang ia hadir hanya karena rindu pada rumah itu, wajar saja, karena rumah itu memang kami rancang dan bangun untuk mendiang orangtuaku dengan segala spesifikasi yang ditentukan oleh mendiang ibuku. Jadi bisa dikatakan peran mendiang ibuku sangatlah besar dalam menentukan fisik rumah itu.
Lalu apa yang harus aku lakukan dalam menyikapi kejadian ini? Tidak ada hal yang khusus. Doa selalu aku kirim disetiap waktu, khususnya selama bulan Ramadhan ini ketika aku memang meliburkan diri dari rutinitas berziarah ke makamnya.
Kali ini sikap ekstra hati-hatinya terlihat dalam pelannya suara dan tempo bicaranya. Mungkin kalau ini suatu hal yang berhubungan dengan tingkah putra-putraku selama mengikuti les-nya, aku akan gemas menunggu ia selesai berbicara atau menyampaikan inti pembicaraannya. Tapi aku bisa menduga apa inti dari yang ingin disampaikannya padaku. Oleh karenanya aku tidak mungkin akan berada dihadapannya jika ia tidak pernah memberi cukup alasan untukku memenuhi undangannya lewat telpon tadi. Dengan seksama aku menyimak setiap kata yang ia ucapkan dan berharap tidak melewatkan sedikit informasipun darinya.
Apalagi aku tau ia punya indera keenam yang membuatnya piyawai dalam membaca. Meski mungkin ia bukan orang pintar yang tersohor, yang membuka praktek sebagai cenayang komersial, namun banyak orang yang percaya pada hasil penerawangnya. Apa yang aku ingin dengar juga bukan hasil ramalan atau hasil bacaannya tentang aku, tapi penglihatannya atas kejadian yang baru saja dialami oleh seorang wanita muda penghuni bekas rumah orang tuaku. Ya...rumah cukup besar berlantai dua yang bersama adikku, aku bangun di atas dua kavling kosong, dan kemudian sempat aku huni beberapa tahun ketika aku harus mendampingi almarhumah ibuku yang sakit.
Rupanya 3 hari sebelum memasuki Ramadhan, seluruh penghuni rumah itu gempar karena wanita muda yang bersama suaminya menyewa sebuah kamar disitu mengalami suatu kejadian yang dianggapnya ghaib. Bukan seperti kesurupan yang membuatnya bertingkah aneh, namun ia merasa tidak enak badan yang sangat serius. Dengan tetap menguasai kesadarannya, ia merasakan ada yang merasuki tubuhnya yang membuat isi tubuhnya seolah teroyak-oyak. Selang beberapa saat setelah itu, ia dan beberapa penghuni lain rumah yang kini menjadi tempat kost itu melihat kehadiran seorang wanita tua berparas bersih dan cantik, duduk di sebuah kursi di seberang ruangan. Ia hanya duduk manis sambil pandangannya sibuk mengawasi seisi ruangan tanpa memberi perhatian khusus pada apa yang tengah dialamai si wanita muda. Dan sekitar setengah menit kemudian sosok wanita tua itu menghilang.
Saat ditemui wanita cenayang tadi, si wanita muda ini mengaku bahwa rupanya itu bukan kali pertama ia merasakan hal serupa. Bahkan sebelumnya ia sampai muntah-muntah sehingga harus ditangani oleh seorang pendeta agama yang dianutnya. Tanpa menyaksikannya sendiri, wanita cenayang ini menyatakan yakin bahwa sosok wanita tua itu adalah arwah mendiang ibuku. Namun ia sama sekali tidak tau apa makna yang ada dibalik peristiwa penampakan itu. Ia mengaku berasumsi karena akan memasuki bulan Ramadhan mungkin mendiang ibuku ingin dikirimi doa. Ia juga sempat mempertanyakan bagaimana pemeliharaan kebersihan rumah kost itu karena ia tau betul bagaimana selama hidupnya, mendiang ibuku sangat memperhatikan dan merawat rumahnya, dan tidak suka dengan hal yang jorok atau berantakan.
Seolah merasa cemas jika penuturannya kurang berkenan buatku, wanita cenayang ini bercerita sambil sesekali menanyakan apakah aku baik-baik saja, sementara aku mendengarkan dengan antusias sambil tetap tersenyum. Aku tidak terganggu, takut atau sedih dengan cerita ini, namun justru bergairah mendengarnya. Bagaimana tidak? Mungkin ini bisa jadi sebuah solusi untuk bertemu dengan mendiang ibuku. Setidaknya, aku bisa berharap ia hadir lagi di tempat yang sama jika aku mendatangi rumah itu. Dan semua sibling-ku memberikan tanggapan yang sama ketika aku teruskan cerita ini pada mereka. Aku percaya sepenuhnya jika kehadirannya itu tidak didasari atas hal yang buruk atau berdampak negatif bagi siapapun. Kalau memang ia hadir hanya karena rindu pada rumah itu, wajar saja, karena rumah itu memang kami rancang dan bangun untuk mendiang orangtuaku dengan segala spesifikasi yang ditentukan oleh mendiang ibuku. Jadi bisa dikatakan peran mendiang ibuku sangatlah besar dalam menentukan fisik rumah itu.
Lalu apa yang harus aku lakukan dalam menyikapi kejadian ini? Tidak ada hal yang khusus. Doa selalu aku kirim disetiap waktu, khususnya selama bulan Ramadhan ini ketika aku memang meliburkan diri dari rutinitas berziarah ke makamnya.
Wednesday, July 17, 2013
Konsisten
Wow...aku salut pada dirimu.
Tapi tunggu...jangan besar kepala dulu. Bukanlah keelokan sosokmu yang kutau memang dikagumi banyak orang. Bukan juga ilmu yang kau miliki yang sering kau gunakan untuk merendahkan dirimu sekaligus mempesona lawan bicaramu. Memang rapormu tidak banyak merahnya bahkan prestasimu terbilang jauh di atas rata-rata, namun satu angka merah itu cukup untuk menghanguskan rapormu. Dan yang membuatku salut adalah ketangguhanmu dalam mempertahankan angka merah itu dari waktu ke waktu.
Aku harus jujur mengakui konsistensimu dalam memperjuangkan apa yang selama ini salah di mataku tapi benar buatmu. Aku memang tidak dan belum bisa membuktikan kebenaran dari apa yang aku sendiri jalani, yang tentunya otomatis membuatmu salah. Namun kalaupun memang begitu, setidaknya kau tampak sudah begitu berpegang teguh pada komitmenmu, hingga sampai pada hari-hari di bulan suci seperti ini. Kau mampu dan tetap membela apa yang kau yakini meski itu berarti kau harus menjilat ludahmu sendiri.
Hebat!
Hanya itu yang saat ini dapat aku utarakan sambil juga mencoba mengambil hikmah dari ini semua karena aku sudah memulai pelatihanku. Aku hanya mengingatkan agar engkau berhati-hati karena ketangguhanmu itu bisa menjadi jerat buatmu sendiri kelak.
Tapi tunggu...jangan besar kepala dulu. Bukanlah keelokan sosokmu yang kutau memang dikagumi banyak orang. Bukan juga ilmu yang kau miliki yang sering kau gunakan untuk merendahkan dirimu sekaligus mempesona lawan bicaramu. Memang rapormu tidak banyak merahnya bahkan prestasimu terbilang jauh di atas rata-rata, namun satu angka merah itu cukup untuk menghanguskan rapormu. Dan yang membuatku salut adalah ketangguhanmu dalam mempertahankan angka merah itu dari waktu ke waktu.
Aku harus jujur mengakui konsistensimu dalam memperjuangkan apa yang selama ini salah di mataku tapi benar buatmu. Aku memang tidak dan belum bisa membuktikan kebenaran dari apa yang aku sendiri jalani, yang tentunya otomatis membuatmu salah. Namun kalaupun memang begitu, setidaknya kau tampak sudah begitu berpegang teguh pada komitmenmu, hingga sampai pada hari-hari di bulan suci seperti ini. Kau mampu dan tetap membela apa yang kau yakini meski itu berarti kau harus menjilat ludahmu sendiri.
Hebat!
Hanya itu yang saat ini dapat aku utarakan sambil juga mencoba mengambil hikmah dari ini semua karena aku sudah memulai pelatihanku. Aku hanya mengingatkan agar engkau berhati-hati karena ketangguhanmu itu bisa menjadi jerat buatmu sendiri kelak.
Subscribe to:
Posts (Atom)