Dari sejak terpilihnya presiden Jokowi, masih saja banyak pihak yang mencuatkan berbagai topik untuk menyerang pemerintahannya. Entah karena sakit hati yang mendalam karena merasa pihak dukungannya "kalah" dalam pilpres lalu, atau hanya sekedar memanas-manasi orang lain tanpa ingin terlebih dahulu memastikan kebenaran sumber-sumber berita yang mendasari provokasinya.
Salah satu alat yang hingga kini masih sebentar-sebentar diangkat adalah soal harga bahan bakar premium yang memang belakangan ini mengalami pasang surut. Okelah kalau orang banyak yang berteriak saat harganya naik, tapi saat harganya turun hingga kembali ke harga semula sebelum melonjakpun ada saja pihak yang protes dengan tudingan pemerintahan yang plinplan.
Kenaikan harga BBM memang bukan hal yang baru lagi buat negeri ini. Begitu pula dengan penurunannya meskipun sepanjang sejarah hanya terjadi sesekali dua kali saja. Bahwa orang masih menjadikannya sebagai alat untuk berdebat menandakan betapa tidak sadarnya masyarakat kita akan konsep dagang yang seharusnya (juga) bisa berlaku dalam bisnis BBM di negeri ini.
Sebutlah di negara Amerika Serikat yang usahaan BBMnya digeluti oleh beberapa nama perusahaan besar seperti Shell, Chevron, Mobil, Texaco, dll. Sistem yang berlaku sudah jelas waralaba atau frenchise, dimana siapapun boleh memiliki SPBU dengan bendera perusahaan apapun tanpa harus menyamakan harga, bahkan dengan SPBU lain dengan bendera perusahaan yang sama. Misalnya, sebuah SPBU berbendera Shell boleh menjual BBM-nya dengan harga yang lebih tinggi dari harga penjualan BBM dari SPBU berbendera Shell yang letaknya mungkin hanya sejauh beberapa kavling di ruas jalan yang sama. Kenapa tidak? Selama kedua SPBU ini menyetor harga yang sudah dipatok oleh Shell, tentunya masing-masing punya hak dalam menentukan seberapa besar keuntungan yang diincar. Toch konsekuensi dari pemasangan harga jualnya kembali ke pihak masing-masing pemilik SPBU.
Hal ini yang seharusnya berlaku bagi semua SPBU Pertamina yang notabene punya pemilik yang berbeda yang semuanya ber frenchise dari Pertamina sebagai satu-satunya pemasok BBM di negeri ini. Bedanya, masyarakat sudah terbiasa dengan konsep kesamaan harga BBM seolah Pertamina memberlakukan harga jual yang sama kepada seluruh pihak yang ber frenchise darinya, sehingga masyarakat cenderung protes ketika menemukan SPBU yang menjual harga di atas harga yang "dianjurkan" pemerintah lewat Pertamina. Padahal, setiap pelaku bisnis BBM punya hak untuk menentukan harga jual di SPBU miliknya seperti halnya yang dilakukan para penjual bensin eceran.
Sistem inilah yang dilakukan oleh banyak pemegang frenchise Pertamina di daerah-daerah yang jauh dari pusat pensuplaian bensin ketika mereka bisa menjual BBM dengan harga selangit karena sulitnya mendapatkan pasokan BBM di sana hingga pembelian bensinpun harus dijatah. Apalagi oleh pihak-pihak penjual bensin eceran yang paham sekali tentang ketidak imbangan antara kebutuhan BBM dan pasokan yang tersedia di SPBU.
Minggu lalu, aku sempat membaca pengumuman di atas kertas yang menempel di pompa bensin di sebuah SPBU dekat tempat tinggalku. Isinya menjelaskan bahwa harga jual yang diberlakukan disitu memang di atas harga yang anjurkan Pertamina. Mungkin penegasan ini dirasa perlu untuk menghindari protes yang setiap saat bisa dilemparkan oleh konsumen. Dan ketika aku bertanya pada petugas yang melayaniku, ia menjelaskan bahwa suka tidak suka, konsumen harus menerima keputusan dari pihak SPBU tersebut. Tentunya pematokan harga tersebut bisa saja membuat konsumen lalu mengisi lebih sedikit volume bensin dari yang semula direncanakannya, atau bahkan mengurungkan niatnya lalu mencari SPBU lain. Yang jelas, konsumen sadar bahwa keputusan itu adalah yang mutlak dan harus diterima apa adanya.
Lalu kenapa masih banyak orang yang sulit memperlakukan kebijakan pemerintah sebagai hal yang mutlak dan menerimanya apa adanya?
Belakangan ini aku sering kongkow-kongkow dengan pemilik sebuah tempat percetakan sehubungan dengan job pembuatan buku yang birokrasinya cukup ribet. Sebenarnya aku sudah kenal lama dengannya, sejak aku masih memiliki tempat percetakan sendiri. Namun disamping karena jadwalku yang padat sehingga kunjunganku ke tempatnya tidak banyak, aku juga agak menghindar untuk terlibat pembicaraan dengannya mengingat ia doyan sekali ngobrol. Bukannya apa yang diucapkannya tidak berisi, justru menurutku ia termasuk orang yang enak diajak nongkrong sambil menyeruput kopi karena sosoknya berwibawa dan sering sekali memberi inspirasi, tapi aku lebih suka mendengarkannya bicara saat aku tidak diburu waktu. Hitung2 aku bisa konsultasi tentang segala hal.
Nah...karena akhir-akhir ini aku memang harus banyak melakukan konsolidasi dengannya dalam mengatasi segala masalah pencetakan buku yang aku hadapi ini, aku bisa duduk lama saling bertukar pendapat tentang banyak hal. Yang aku suka darinya adalah bahwa ia punya pemikiran yang terbuka, moderat dan tidak senang mendalami politik dan agama. Jadi pendapat pasti standard dan mudah dicerna orang yang pemikirannya sederhana. Banyak hal baik yang aku terima darinya kemarin, namun ada satu hal yang sangat menyadarkan aku akan pentingnya bersikap. Awalnya kami bicara tentang faktor-faktor dari sukses dan gagalnya bisnis percetakan. Dengan mengambil beberapa contoh orang yang gagal dan sukses, ia memberikan satu faktor kunci kesuksesan atau kegagalannya: Emosi.
Buatku, itu suatu hal yang masuk akal tapi jarang sekali dijadikan kunci. Biasanya orang lebih suka menggunakan unsur-unsur keagamaan untuk mengejar kesuksesan, misalnya do'a, puasa, dll.
Ia mengatakan bahwa selama kita bisa mengendalikan emosi, selama itu pula layaknya kita bisa sukses menjalani bisnis apapun. Misalnya dalam penanganan masalah pekerjaan atau klien atau rekan sejawat. Aku ingat bagaimana dulu, ketika aku masih menjadi bagian dari manajemen band terkenal, setiap breefing sebelum band naik panggung pasti ada yang mengingatkan kami untuk menjaga sikap, menjaga ucapan dan menjaga perasaan orang lain. Hal itu sangat penting demi kelancaran penampilan yang tiap saat bisa saja kena masalah dengan instrumen musik, sound system, panitia, crew venue (tempat penyelenggaraan acara), sesama personil band, sesama crew dan tentunya penonton.
Dalam perbincangan kami, aku juga menyatakan betapa pentingnya teori pengendalian emosi itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saat kita sedang berkendaraan di jalan yang ramai dan cenderung sarat macet. Karena emosi yang tak terkendali, kita sering lupa bahwa hal terpenting dalam perjalanan yang tengah kita tempuh adalah sampainya kita ditujuan dalam keadaan selamat dan utuh. Kenyamanan di jalan yang mudah diganggu pengendara lain harusnya tidak sirna jika gangguan itu kita respon dengan pengendalian emosi yang baik. Sehingga, bila semua pengendara menerapkan hal yang sama, maka sangat mudah mendapatkan kenyamanan dalam perjalanan. Inilah yang terjadi di negara-negara yang berpenduduk tertib pada peraturan. Aturan boleh saja ekstrim, namun akan mudah dilanggar bila memang tidak diimbangi dengan pengendalian emosi.
Begitu pula dengan cara kita berinteraksi dengan anak. Sebagai orangtua dari dua anak pria yang menginjak remaja, aku sering mengenyampingkan kesabaran ketika mereka sedang berulah. Akibatnya, aku lebih cenderung untuk mengomel dalam konsep dimana aku adalah pembuat peraturan yang telah mereka langgar, sambil aku berharap mereka tidak akan mengulangi kesalahannya. Tapi setelah selesai mengomel yang aku rasakan hanyalah rasa capai yang belum tentu juga terbayar dengan sikap mereka yang mungkin tidak langsung seluruhnya berubah menjadi baik. Aku lalu mencoba membayangkan betapa rileksnya suasana hatiku bila penanganan masalah dari ulah mereka aku lakukan dengan tenang. Mungkin saja usaha mengoreksi kelakuan mereka jadi lebih mudah diterima sementara aku tidak perlu merusak suasana hatiku sendiri. Kans atas keberhasilan cara demikianpun toch sama, 50-50. Dan bila memang belum berhasil, penanganan dengan sistem seperti ini mungkin harus dilakukan berulang kali hingga berhasil. Nyatanya, pemraktekan sistem ini dalam berbisnis juga tidak selalu memberi kesuksesan yang instan. Dan pemilik tempat percetakan itu sudah memberikan contoh buktinya.

Ini bukan kali pertamaku menerima job yang sifatnya "membantu", yang artinya aku tidak menerima sepeserpun imbalan atas kerja yang aku lakukan. Namun jelas aku akhirnya harus mengerjakannya dengan berat hati. Bagaimana tidak? Job yang di awalnya aku sangka akan memberiku begitu banyak keleluasaan dalam berkarya berubah menjadi rumit dengan begitu banyak request yang seharusnya sama sekali tidak perlu aku terima bahkan pertimbangkan.
Buku Kenangan untuk sebuah biro perjalanan besar yang layaknya berfungsi sebagai buku direktori jamaah peserta ibadah Umroh ini tiba-tiba ingin disertai berbagai data dan dokumentasi tentang perusahaan yang justru akan menjadikannya seolah sebuah buklet lengkap atau company profile. Kalau saja hanya dokumentasi dari acara manasik akbar yang memang masih berhubungan perjalanan ibadah itu sendiri tak mengapa, namun apa gunanya menyertakan dokumentasi segala kegiatan lain seperti acara buka puasa bersama, rapat pengurus, dll, hanya untuk menampilkan kehebatan perusahaan? Buku saku pedoman ibadah yang sarat berisi petunjuk cara melakukan kegiatan di tanah suci serta do'a-do'anya pun sudah pasti selalu menjadi syarat kepemilikan utama jamaah yang dibagikan secara terpisah. Jadi untuk apalagi memuat buku kenangan ini dengan konten yang serupa?
Aku harus berkali-kali berdebat dengan bohir yang selalu mengingatkan aku untuk ikut beramal dalam mengerjakan job ini. Plafon harga yang ditetapkannya memaksa aku untuk menghemat dalam penggunaan kuantitas kertas dan finishingnya. Namun disisi lain, ia ingin sekali buku ini punya nilai prestisi dengan ide-ide yang justru memboroskan biaya. Dan ketika harga yang aku berikan sedikit melebihi plafon yang ada, ia minta aku "melempengkannya" ke plafon. Padahal tanpa diketahuinya, aku sendiri sudah menutup sebagian dari kelebihan biayanya.
Proses pengerjaannya pun cukup sulit karena data yang diberikan padaku dilakukan secara bertahap dengan revisi yang tak kunjung henti dalam periode berbulan-bulan hingga seminggu lalu sebelum kloter pertama diberangkatkan hari ini. Belum lagi kebanyakan data yang masuk formatnya masih mentah sehingga harus aku ubah dulu ke format yang bisa mendukung proses perancangan grafisnya. Yang membuat lebih parah adalah bahwa pengecekan progres desain grafis dan input data yang aku kirimkan via email tidak terjadi secara rutin dan berkala hanya karena pihak bohir kurang fasih dengan teknologi internet. Sedangkan tidak mudah untuk menyambanginya guna menyerahkan laporan kerja untuk dicek.
Hingga akhirnya aku harus memberi ceramah panjang via telpon, menjelaskan kedudukanku yang tidak mungkin menuruti semua yang ia harapkan. Dengan terpaksa, aku harus menyatakan berapa besar biaya yang akan aku tanggung demi tercetaknya buku tersebut.
Ini bukan job pendesainan dan pencetakan majalah atau buku atau barang cetakan biasa. Ini job buku yang digunakan untuk memudahkan jamaah ibadah Umroh dalam berinteraksi antar sesama jamaah. Alasan itulah yang sedari awal membuatku rela mengerjakannya tanpa imbalan. Yang menjadi targetku hanyalah kepuasan hati jika buku ini memang tampil sebaik yang aku harapkan dan benar-benar bermanfaat bagi penggunanya selama perjalanan menjadi tamu Allah swt.
Jadi masih perlukah aku diingatkan untuk beramal ketika aku menolak untuk membiarkan buku ini berubah fungsinya atau menanggung lebih banyak lagi biaya pencetakan yang melebihi plafon yang ditentukan pihak bohir? Bila hasil kerjaanku ingin diserahkan pihak lain untuk dicetakpun aku tidak akan keberatan. Toch aku yakin harga yang aku tawarkan akan sulit untuk dikalahkan siapapun.
Dan ketika buku itu (akhirnya) berhasil aku serahkan sehari sebelum deadline, aku bisa bersyukur meski hanya kepuasan moril yang aku dapatkan. Tapi jika aku ditawari job yang serupa, dengan segala kerumitan yang serupa pula, pilihannya hanya dua; biaya jasa pendesainannya tidak akan gratis (bahkan akan mahal) atau silahkan cari orang lain.
--o--
Selamat jalan dan selamat menunaikan ibadah Umroh, para tamu Allah swt tahun ini. In shaa Allah Buku Kenangan itu memberikan kenangan yang manis bagi anda semua....aamiin.
Kemarin aku menonton sebuah film lama yang dibintangi Benyamin dan Hamid Arif. Seperti pada kebanyakan film mereka, karakter Hamid Arif sangat membenci karakter Benyamin hingga ia sempat menyebutnya sebagai Dajjal.
Lalu aku teringat obrolanku sekitar satu dekade lalu dengan seorang mantan housemate ku semasa aku di rantau. Pada masa-masa itu, kami memang seringkali harus melalui banyak kondisi yang memaksa kami mengambil jalan pintas demi bisa lolos dari segala kesulitan hidup. Dan jalan pintas ini memang bukanlah hal terpuji yang pantas ditiru meskipun kami selalu berdalih bahwa apapun yang kami lakukan tidaklah merugikan bangsa dan negara kami.
Temanku yang memang punya banyak teori yang sering sulit diterima oleh orang semacam aku, yang bisa dibilang sudah banyak merasakan pahit dan manisnya hidup, menceritakan bahwa Dajjal itu awalnya hanyalah manusia biasa yang mengikatlan diri pada kontrak dengan Allah swt untuk menjalani hidupnya sebagai mahluk terjahat sejagat raya selama 1000 tahun. Dengan status seperti ini, ia mendapatkan kekuatan yang hebat untuk melakukan segala kejahatan terhadap umat manusia. Dikatakannya bahwa meski masih jauh di bawah kehebatan Allah swt, namun kedahsyatan kemampuannya dalam merusak iman manusia menempatkannya di peringkat kedua. Artinya, di dunia kegelapan, dialah pemegang tampuk tertinggi.
Nah, temanku ini berkata bahwa saat itu adalah tahun ke 1000 dari masa kontrak yang dijalani Dajjal, sehingga sudah saatnya ada yang menggantikan kedudukannya dengan kontrak baru untuk 1000 tahun ke depan. Ia lalu bertanya apakah aku berminat untuk posisi tersebut dengan dalih aku bisa mempunyai kemampuan yang tak terdandingi selain oleh Allah swt. Ia sendiri tidak berminat karena menganggap aku lebih qualified mengingat saat itu aku memang lebih banyak punya kenekadan dalam urusan bermain api.
Aku tersenyum sejenak yang membuatnya bertanya-tanya. Kukatakan padanya bahwa tanpa menjadi Dajjal pun aku sudah pernah berada di sisi tergelap kehidupan...dan aku sukses melewatinya. Buatku, aku tidak perlu menjadi yang terburuk bagi umat manusia karena aku sudah cukup buruk dengan menjadi Dajjal bagi diriku sendiri. Dan temanku tertawa setelah teringat akan apa saja yang pernah aku perbuat dahulu.
Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kelemahan mereka sebetulnya ada dalam diri mereka sendiri. Bisa saja Dajjal menjadi sosok jahat yang punya kekuatan hebat, namun bukan berarti kekuatannya tak tertandingi jika memang kita membiarkan Allah swt membantu kita dalam melawannya. Yang namanya buruk hingga ke tulang yang terdalam itu tentunya juga karena buruk ringan yang dibiarkan memberat. Kalau memang benar teori temanku itu, berarti bahkan Dajjal pun menjadi yang terburuk karena seperti itulah pilihan hidupnya. Dan tanpa harus menandatangani kontrak 1000 tahun, setiap orang mampu menjadi yang Dajjal bagi dirinya sendiri.
.
Mungkin masih banyak dari kita yang belum tau mengapa hari ini diperingati sebagai Hari Ibu Nasional.
Alangkah
baiknya sementara kita dengan tulus mengucapkan selamat hari ibu, kita
juga mengetaui latar belakang penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari
ibu nasional...
Penetapan Hari Ibu di Indonesia berawal dari bertemunya para pejuang wanita yang menggelar Kongres Perempuan Indonesia I
pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Tak kurang dari 30 organisasi
perempuan dari 12 kota di pulau Jawa dan Sumatera hadir dalam kesempatan
itu.
Salah satu hasil kongres adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tujuan utama organisasi ini adalah berjuang menuju Indonesia merdeka dan perbaikan nasib perempuan.
Berbagai
isu yang diangkat di antaranya adalah persatuan perempuan Nusantara,
pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, dan pelibatan
perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa.
Isu lainnya yang
juga diperjuangkan adalah memerangi perdagangan anak-anak dan kaum
perempuan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita serta
menentang pernikahan usia dini bagi perempuan.
Pada 1938, ketika Kongres Perempuan Indonesia III digelar ditetapkanlah 22 Desember sebagai Hari Ibu, yang penetapannya diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Meutia, R.A. Kartini, Walanda
Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Hajjah Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.
Setelah Indonesia merdeka, melalui Dekrit Presiden no. 316 tahun 1959, presiden Soekarno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu Nasional.
Selamat Hari Ibu

Sudah seminggu terakhir ini kondisi finansialku benar-benar mengenaskan gara-gara ada saja hal-hal tak terduga yang terjadi yang memaksaku memeras kocek. Belum lagi memang di akhir tahun seperti sekarang, job bisa dibilang sepi. Beberapa proyek yang telah aku rintis penggarapannya sejak lebih kurang 2 bulan yang lalu tak kunjung bisa dimulai karena para bohirnya menemui berbagai masalah administrasi.
Aku punya banyak alasan untuk menjadi "moody" dan sensitif jika ada hal-hal yang bersinggungan dengan kebutuhan dana, baik itu di rumah maupun di tempat kerja. Namun aku juga sadar bahwa tindakan negatif apapun yang bisa aku lakukan tidak akan mengubah kondisi keuanganku. Maka tidak ada hal lain yang aku lakukan selain bersabar dan menunggu suatu mukjizat yang dapat melepaskanku dari keterpurukan ini.
Dua hari yang lalu adikku, yang menjadi mitra bisnis merchandiseku, lewat pesan singkat menanyakan nasib produk kami yang aku titipkan di toko merchandise sekolah almamaterku beberapa bulan sebelumnya.
Aah...aku memang lupa akan produk-produk itu. Bahkan aku sempat harus mencari-cari lagi nomor handphone contact person yang bertanggung jawab atas kerjasama ini. Dan kemarin aku sudah berhasil menghubunginya lalu membuat janji untuk menemuinya pagi ini.
Bapak ini sempat memberi info adanya beberapa butir produk yang terjual namun aku tidak menanyakan rincian jumlahnya karena aku pikir toh kami akan bertemu dan membahasnya. Sebutlah aku "jaim", namun aku memang tidak ingin memberi kesan "amatiran" dalam berurusan dengan pihak sekolah yang punya arti besar dalam perjalanan sejarah pendidikanku. Lagipula, aku berasumsi kalaupun terjadi transaksi pembayaran tunai, tentunya tidak signifikan jumlahnya.
Namun aku harus menelan kekecewaan ketika bapak ini ternyata tidak ada di tempat sesampainya aku disana. Padahal kemarin ia menyatakan akan stand by di tempat sejak pukul 7 pagi. Handphonenya yang tertinggal di sekolah karena kepergiannya yang mendadak itu membuatnya mustahil untuk dihubungi, sehingga aku memutuskan untuk pergi dan kembali lagi esok hari. Aku tidak mungkin marah padanya karena aku ingin bersikap luwes dan memberi respek tinggi terhadap segala kebijakan dan aturan main yang mereka terapkan.
Sebelum aku benar benar menjauh dari lingkungan sekolahku itu, aku sempatkan diri mampir ke masjid terdekat yang di pelataran parkirnya tersedia banyak tukang jajanan, membeli makan siang yang dibungkus untuk kusantap di tempat kerjaku nanti. Dan pada ketika aku siap meninggalkan tempat jajanan itulah aku dihubungi oleh bapak dari sekolahku itu, yang memberitau bahwa ia telah berada kembali di sekolah. Aku pikir, keinginanku untuk jajan itu merupakan mukjizat yang telah membuat perjalanan jauhku tidak sia-sia.
Tidak hanya itu, bapak itu ternyata menawarkan penyelesaian yang tak pernah kami duga sebelumnya mungkin terjadi. Pasalnya, agar tidak merepotkan dalam hal penyetoran hasil jualan, pihak sekolah berniat membeli putus semua stok barang yang dititipkan. Suatu deal yang tanpa perlu dibahas dulu dengan adikku langsung aku terima. Apalagi hasil pembelian putus ini langsung diselesaikan saat itu juga. Tentu saja adikku menyambut baik kabar ini. Bagaimana tidak? Kami mendapatkan sampai 10 kali lipat dari apa yang ketika terbangun pagi tadi aku duga akan kuterima.
Sepanjang perjalanan kembali ke tempat kerja, aku terus mensyukuri berkah ini sambil mengingat kembali bagaimana aku terus menerus menolak untuk menyerah kalah pada kegentingan kondisi finansial yang seolah sempat mendorongku ke posisi tidak sabar. Posisi yang memperbolehkanku melakukan semua sikap negatif dalam merespon keadaan. Dan untungnya, aku juga terus menerus memanuverkan fokusku dari hal-hal yang belum menjadi miliku ke semua hal positif yang telah aku terima hingga selama dalam masa keprihatinanku....secuil apapun itu. Alhamdulillah...
"Kejarlah ilmu hingga ke negeri Cina."
Begitulah pepatah terkenal yang maknanya mengingatkan bahwa begitu banyak ilmu yang bisa didapatkan dimana saja di segala penjuru muka bumi ini hingga di luar angkasa.
Selayaknyalahpun orang bisa menerima dan memberikan ilmu tanpa mengenal batasan umur.
Mungkin pepatah inilah yang mendasari banyak orang untuk terus menggali dan mencari ilmu agama seperti yang dilakukan beberapa kenalanku.
Sebutlah A, yang ingin sekali menjadi manusia Islam yang baik dan benar. Tak segan-segannya ia mendengarkan khotbah dan tausiah dari banyak ustadz/ustadzah lokal yang makin hari makin banyak jumlahnya. Lalu, tanpa mengkaji lebih jauh apa yang ia dapatkan, diterapkannya ajaran-ajaran baru itu dalam hidupnya. Tak hanya itu, ia dengan rajin membagi-bagikannya tidak hanya kepada kerabat dan teman-teman dekatnya namun juga kepada umum lewat jejaring sosial yang juga menjadi salah satu sumber darimana ilmu itu ia dapatkan. Ia juga sering tertarik untuk hadir dalam acara-acara dzikir bersama atau tabligh akbar yang terbuka untuk umum yang dirasanya sebagai tempat menimba ilmu baru.
Sedikit berbeda dengan B, yang lebih menyeleksi nara sumbernya dengan menetapkan beberapa penceramah asing yang secara rutin ia tonton lewat internet. B ini lebih filosofis sehingga ia lebih mudah tertarik pada ilmu yang dikemas secara intelektual. Namun, meskipun yang ini lebih selektif dalam menyaring ajaran-ajaran yang didengarkannya, namun ia punya kesamaan dengan A dalam mencari ilmu baru yang diharapkan bisa membuatnya mengarahkannya ke pola hidup Islami yang baik dan benar. Dan seperti halnya A, ia juga rajin sekali membagi ilmu-ilmu barunya itu secara umum melalui jejaring sosial.
Aku memang bukan seperti mereka.
Mungkin aku lebih suka mempertahankan ilmu yang telah aku miliki ketimbang menggantinya dengan yang baru. Dalam hal ini, aku bicara lebih ke perubahan besar, karena akupun sadar bahwa tidaklah benar jika aku menganggap ilmu yang kumiliki sudah sempurna. Sehingga aku tau bahwa alterasi terhadap ilmu yang kuanggap benar itu kadang perlu dilakukan dalam skala kecil karena aku yakin segala ilmu yang kupraktekan selama ini tidak mungkin mutlak salah. Apalagi aku mendeteksi makin ramainya orang mencoba menunjukkan kalau dirinya berilmu, dan hal ini membuat apa yang beredar di kalangan umum merupakan campuran ilmu yang benar dan salah.
Aku menolak bahkan untuk mendengarkan ocehan orang-orang yang terlihat ingin terkenal seperti halnya banyak ustadz/ustadzah seleb. Atau orang yang memaparkan ilmu agamanya tanpa menyadari bahwa ia menjalani hari-harinya dengan melakukan hal-hal yang justru diharamkan oleh agamanya. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa Islam adalah agama yang mudah yang harusnya membuat penganutnya punya kesederhanaan hidup. Bahwa Al-Qur'an merupakan kitab suci yang gunanya menuntun penganut Islam ke jalan yang benar tanpa harus menyiksa kehidupannya. Dan aku sudah melihat bagaimana seorang kerabat dekatpun menghancurkan hidupnya dan keluarganya setelah mencoba menemukan arti sesungguhnya dibalik ajaran Al-Qur'an untuknya.
Buatku, Islam adalah agama yang menyejukkan. Dan hal itulah yang harusnya selalu kurasakan. Bukan agama yang njelimet yang justru membuat penganutnya terbebani dalam mendapatkan kebaikan dalam beragama. Dengan menggunakan ajaran Al-Qur'an dan "contoh-contoh" dari Rasulullah sebagai pedoman hidup, harusnya setiap insan Muslim mampu menikmati dan mensyukuri hidup yang dihadiahkan oleh Allah swt.
Apa yang terjadi padaku hingga saat ini adalah apa yang sudah menjadi suratanku. Seburuk-buruknya itu, aku tidak berpikir ada cara "khusus" untuk merubahnya selain apa yang telah aku lakukan selama ini.
Aku lebih suka mengkaji cara mempraktekkan ajaran-ajaran dasar agamaku terlebih dahulu sebelum mencari-cari ajaran-ajaran lainnya yang sifatnya lebih mendetil. Jika memang aku masih belum bisa memberikan komitmen yang sepenuhnya pada pengamalan ajaran dasarnya, bagaimana mungkin aku pantas memikirkan ajaran-ajaran lainnya yang sifatnya mendetil?
Bagaimana mungkin seseorang bisa mendapatkan ilmu dari negeri Cina jika perahu layar sederhana sebagai kendaraan yang seharusnya membawanya kesanapun masih belum bertiang sedangkan niat untuk mendirikannya masih belum dimilikinya?
Niatkanlah dulu untuk membenahi segala yang sederhana...