Penampilannya selalu rapih dan enak dipandang, bahkan ketika ia sedang dalam kondisi kecapean mengantuk atau sakit. Begitulah seorang teman yang aku kenal dekat sejak aku duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Bedanya dengan penampilannya semasa kecil atau ketika beranjak dewasa, kini ia terlihat macho dengan postur tubuhnya yang terbilang sedikit kekar. Dulu hingga di bangku SMP, ia terlihat gemulai dengan cara bicaranya yang cenderung feminin. Aku ingat ucapan seorang temanku lainnya yang mengisyaratkan keogahannya untuk bergaul bersama temanku ini hanya karena ia diduga sebagai seorang "gay" dengan sepak terjangnya yang lembut bak wanita dan akrab dengan semua teman pria-nya. Apalagi ketika itu kami semua tinggal di San Francisco yang diindikasikan sebagai kota tempat berhuninya banyak gay. Aku sendiri disana tidak sempat bertemu dengannya setelah terakhir bertemu di bangku SMA sekitar 8 tahun sebelumnya. Tahun lalu aku bertemu lagi dengannya di acara reuni SMA, tapi hanya sesaat saja kami mengobrol. Ia tidak lagi terlihat femini dan cara bicaranya pun berbeda jauh. Aku tidak berhubungan dengannya hingga beberapa bulan lalu ketika aku mencoba mengajaknya bergabung dalam grup band yang sedang aku bentuk. Seingatku, dulu ia menjadi andalan grup vokal kami untuk suara yang tinggi. Namun kali ini aku harus menghadapi tantangan baru dengan berubahnya suaranya menjadi jauh lebih rendah. Setelah ia bergabung, aku jadi sering bertemu dengannya dalam menjajaki proyek penampilan band kami di acara reuni SMA tanggal 5 kemarin. Ia memang hingga kini belum berkeluarga meskipun usianya sudah memasuki kepala 5 seperti aku. Masih banyak suara sumbang yang menduganya sebagai orang yang hanya suka pada sesama jenis. Buatku, yang lama hidup di komunitas yang open-minded, tidak mudah menghakimi atau melabeli-nya seperti itu tanpa fakta yang kongkrit. Kenyataan bahwa ia sering dikelilingi wanita cantik juga harusnya menyulitkan orang untuk menebak-nebak. Apalagi ia begitu telatennya mengurus kedua orangtuanya yang sakit-sakitan. Misalnya ia rajin mengantar mereka berobat ke luar negeri. Suatu hal yang tak mungkin dilakukannya jika ia sudah berkeluarga seperti halnya adiknya yang telah beristri dengan dua anaknya. Mungkin memang mudah buat orang lain untuk berprasangka buruk padanya hanya karena ia masih single, apalagi bagi orang yang tidak punya banyak teman sepertinya. Namun di negara maju seperti Amerika, tempat ia dan aku sempat menetap cukup lama, menjadi single bukanlah hal yang negatif atau mengindikasikan tidak suka dengan lawan jenis. Disana, pernikahan adalah hal yang tidak mudah dijalani mengingat segala kewajiban dan tanggung jawab yang dianggap serius untuk bisa dipikul. Hidup bersama sebagai pasangan saja bukanlah hal yang mudah, apalagi terikat dalam sebuah pernikahan. Jadi aku lebih suka berasumsi positif bahwa kejombloannya didasari hal-hal yang sifatnya lebih mementingkan orang lain, misalnya orangtuanya. Di usianya yang sudah setengah abad, ia terlihat ganteng. Berpakaian selalu dandy dan rapih, ia juga sangat rendah hati dan ringan tangan. Ada beberapa teman2 dekatnya yang mencapnya sebagai orang berkecukupan yang selalu siap membantu siapa saja untuk hal apa saja yang terjangkau olehnya. Dengan bermodal itu semua, tidak susahlah buatnya untuk disukai wanita. Namun bisa jadi pengurusan orangtua-nya menjadi hal yang prioritas baginya sehingga mungkin butuh banyak hal lain buatnya untuk berkeluarga. Jika kelak terkuak fakta bahwa ia memang hanya tertarik pada pria, ia akan tetap punya kelas dan kualitas yang tinggi buatku. Dan itu sudah lebih dari cukup buatku untuk tetap memiliki pertemanan yang tidak berubah sedikitpun dengannya.
Sudah lebih dari 30 tahun aku tidak lagi bermusik serius. Yaah..kalau hanya sekedar jrangjrengan saja sih masih aku lakukan disana sini dalam konteks yang sifatnya santai ketika sedang sendiri atau bersama sekelompok kecil teman2 dekat saja. Tidak lagi di atas panggung atau di depan banyak penonton. Gitar bass yang dulu aku beli dengan bersusah payah dan sempat menjadi kebanggaanku telah aku berikan kepada adikku sepulangnya aku ke tanah air. Aku puas dan senang bisa mewariskan gitar bass kesayanganku itu kepadanya karena ia sempat merebut gelar bassist terbaik saat masih duduk di bangku SMA. Jadi rasanya memang pilianku itu jatuh pada orang yang tepat, yang tentunya mampu merawatnya minimal sebaik aku merawatnya. Dan setelah tampil di sebuah acara reuni SMAnya bulan Juni yang lalu, ia juga yang kemudian insist agar aku juga tampil di acara yang menjadi sequalnya tanggal 5 kemarin. Wah..sebetulnya aku sangat tidak pede tampil di depan begitu banyak penonton setela vakum selama ini. Namun bahwa venue nya Hard Rock Cafe, tidak mungkin juga tawaran ini aku mentahkan begitu saja. Bagaikan seorang newcomer yang sedang rajin2nya membangun kreditasi diri agar bisa punya Curriculum Vitae yang berbobot, tawaran ini aku sambut dengan aksi mengumpulkan kembali teman2 sealmamater yang mungkin berminat ikut tampil dalam ajang ini. Namun memang tidak mudah menarik minat yang sama dari teman2 yang saat ini telah "merasa tua"untuk nge-band di umurnya yang sudah setengah abad. Butuh waktu hampir 3 bulan hingga akhirnya terbentuk juga grup band yang beranggotakan 9 pemain. Itupun termasuk additional drummer yang kami comot dari angkatan 5 tahun di bawah kami. Sebenarnya bukanlah hal yang mudah mengajak mereka membentuk sesuatu band, mengingat dahulu ketika kami sering bermusik di saat masih di SMP & SMA, format grup kami selalu vocal group. Jadi pemain gitarnya pun saat itu tidak pernah tampil dengan gitar listrik & pemain kibornya hanya berwara wiri dengan piano. Namun aku berhasil memotivasi mereka dengan fakta bahwa akupun saat itu belum pernah dan belum bisa bermain bass. Ketika itu, kami memang tidak pernah memiliki pemain drum karena grup vokal kami tidak pernah membutuhkannya. Dengan modal bongo atau conga pun, kami terbilang cukup handal dalam menguasai pentas hingga pernah menjadi juara favorit dalam sebuah festival. Harapanku kemarin...kalau dalam kurun waktu 30 tahun lebih aku bisa belajar bermain bass, mungkin saja ada teman seperjuangan yang juga menekuni ilmu bermain drum. Tapi nyatanya aku salah. Itu sebabnya kami harus meminjam seorang adik kelas untuk menangani jatah drum di grup kami. Perjalanan kami menuju ajang ini juga bukanlah sesuatu yang mudah dilakoni. Untuk berkumpul komplit latihan saja sangat sulit mengingat kami semua punya kesibukan berkarir sebagai kepala rumah tangga. Jadi aku sangat mengerti bila akhirnya latihan kami baru menjadi intensif sekitar satu setengah bulan sebelum acara. Itupun tidak selalu dihadiri semua personil yang kadang dapat tugas ke luar kota atau bahkan luar negeri. Dan pada akhirnya pun pemain biola yang selama ini termasuk yang paling rajin latihan dan paling concern dengan proyek ini harus absen di hari penyelenggaraan acara karena dapat tugas mendampingi seorang menteri dalam lawatan dinasnya ke luar negeri. Untungnya, kami bisa dibantu rekaman permainan biolanya dalam format MIDI ketika kami tampil. Penampilan kami malam itu memang bukan yang terbaik dari 16 performers yang ada, namun dengan bantuan playback MIDI, kami dianggap sebagai performer yang musiknya paling berisi meskipun masalah sound di atas panggung yang kami hadapi malam itu bisa dikatakan merontokkan keharmonisan 4 vokalis yang menjadi frontliners band kami. Aku sendiri sangat puas dengan penampilan grup kami. Tidak dalam segi musikalitas tapi lebih ke fakta bahwa kami sudah berhasil menetaskan telur yang selama ini tidak pernah dierami. Dan kepuasan di diriku mungkin melebihi yang lain karena beratnya perjuangan atas proyek yang aku prakarsai. Tentunya jika perjalanannya tidak seberat kemarin, keberhasilan ini juga tidak akan terasa semanis ini. Dan seiring dengan kepuasan yang kami dapatkan, kami sudah sempat membahas langkah2 apa saja yang perlu kami lakukan jika di kemudian hari kami akan mentas lagi. Belum ada ajang berikutnya selain menyumbang dua buah lagu dalam format semi akustik di acara pernikahan pemain kibor kami minggu depan, namun paling tidak kami sepakat untuk tidak berhenti disini. Alhamdulillah...
Sudah lama aku tidak menulis-nulis di sini atau di media sosial lainnya. Bukan karena malas menulis tapi memang keinginannya tidak ada. Pudar begitu saja tak lama setelah Ramadhan kemarin usai. Bahkan selama Ramadhan pun aku tak menulis sesering tahun-tahun sebelumnya. Banyak sekali kejadian sarat makna yang telah terjadi selama ini yang bisa aku tuangkan dalam tulisan atau postingan, namun aku tak tergerak untuk menyimpannya dalam bentuk tulisan. Beberapa kali aku bertanya pada diri sendiri, "Bagaimana jika aku sampai melupakan kejadian penting yang harusnya bisa teringatkan oleh tulisanku di kala kelak aku lupa?" Namun aku hanya membiarkan pertanyaan itu tak terjawab dan melanjutkan apapun aktifitasku yang biasanya membuatku tak peduli lagi tentang hal itu. Sebenarnya kegiatanku dalam membuat postingan tidak sepenuhnya terhenti. Di akun twitter ku, aku lumayan rajin meng-self-update tentang kegiatanku lewat tulisan-tulisan pendek atau foto-foto sederhana yang berkaitan dengan aktifitas keseharianku, sementara di sebuah blog, aku masih terbilang rajin menyimpan kumpulan imaji pilihan yang menarik perhatianku. Blog ku ini isinya melulu hanya foto. Mungkin karena itulah ada sejumlah pengunjung yang aktif memantaunya, mungkin karena tak perlu pandai bahkan harus berpikir keras untuk bisa mengerti atau menikmati apa yang tersimpan di dalamnya. Dan yang pasti, aku sama sekali tak berniat untuk mengetengahkan topik yang rawan dijadikan bahan perdebatan. Pernah ada seorang pengunjung yang meninggalkan komen berupa pertanyaan tentang mengapa tak banyak pengunjung, sementara apa yang disajikan di dalamnya bisa dinikmati siapa saja tanpa pandang usia, gender, agama dan lain-lain. Aku tidak pernah mempromosikan blog-ku ini meskipun terbuka untuk umum. Tujuan utama pembuatan blog ini adalah ibaratnya untuk menyimpan harta karun yang aku temukan di sana sini, yang mudah-mudahan kelak bisa selalu aku nikmati. Bahwa orang lain bisa ikut melihatnya, bukan karena aku yang mengajak tapi karena adanya faktor kebetulan. Dan kalau ada yg juga bisa menikmati kontennya, ya syukur alhamdulillah...
Sudah beberapa hari belakangan ini aku mengalami keresahan yang (bisa dikatakan) cukup parah. Sebenarnya berada di posisi yang serba kesulitan dalam finansial seperti sekarang ini sudah sering aku alami dan tidak membuatku gundah, tapi hanya sesekali saja hal itu terjadi jika tekanan aku dapat ditambahi keluhan dari pihak-pihak yang harusnya mengerti keadaanku dan ikut bersabar menghadapinya. Di saat aku menunggu tagihan dariku yang terus menerus ditunda pembayarannya, tagihan-tagihan yang harus aku bayarpun tak berhenti berdatangan. Ingin rasanya menutup kupingku agar tidak mendengar keluhan-keluhan itu, namun aku tau itu tidak akan menghentikannya mengeluh dan aku tak mungkin selamanya menghindarinya. Lagipula aku sadar bahwa hal itu sejujurnya justru memompa semangatku untuk berusaha lebih keras dalam mencari solusinya. Seperti halnya yang terjadi kemarin ketika aku berniat untuk tidak pulang ke rumah sampai aku menyelesaikan sebuah tagihan yang telah tertunggak dua bulan. Aku menjadwalkan kegiatanku pagiku untuk menyambangi klien-klien ku yang selama ini menunda pembayaran atas layanan jasa yang telah kuberikan. Panjangnya perjalanan yang harus aku tempuh tidak menjadi halangan buatku demi penyelesaiannya sebuah tunggakan tagihan yang harus beres di tengah hari. Sayangnya usahaku belum juga satupun berhasil, namun aku tak ingin kegagalanku itu menghalangiku untuk menyempatkan diri singgah di masjid kecil di sebuah jalan yang aku lalui. Dan di saat aku sedang berusaha ikhlas menerima kenyataan itu, seorang teman yang baru setahun kukenal dan menjadi akrab denganku menelponku dan mengajakku bersantai di sebuah warung kopi dimana ia sedang berada. Aku menerima ajakannya karena aku memang butuh waktu sejenak untuk duduk tenang dan memutar otak mencari alternatif lain yang bisa menghasilkan uang. Mungkin saja temanku ini bisa juga memberi usulan solusi mengingat ia juga seorang pekerja independen yang terbilang sukses dalam menangani kegentingan finansial yang pernah dihadapinya. Lucunya, bukan usulan cara mendapatkan peluang yang aku dapat darinya, tapi justru tawaran pinjaman dana tanpa batas waktu pengembaliannya. Memang tidak seluruhnya tunggakan itu bisa tertutup oleh dana yang ditawarkannya, tapi setidaknya bebanku jadi lebih ringan. Wah...alhamdulillah sekali. Sekarang aku tinggal mencari cara untuk mendapatkan sisa dana untuk mengkumplitkannya. Pinjaman ini pun yang kemudian membuat aku lebih tenang dan mampu berpikir jernih untuk mendapatkan solusinya. Singkat cerita, tunggakan tagihan itu aku bereskan tepat pada waktunya. Itupun aku lalui dengan bersabar dan merendah hati ketika pihak penagih berusaha memaksaku membayar sekaligus tagihan berikutnya yang akan jatuh tempo tiga hari dari sekarang. Meskipun dalam hal ini aku yakin aku lebih benar dari mereka, tanpa mengotot aku mencoba meminta dengan baik dan sopan pengertian mereka akan keadaanku, bahwa rezeki yang menjadi milikku tidak selamanya sebesar yang aku harapkan. Bahwa kendatipun aku belum tentu bisa membayar tagihan berikutnya dari mereka, selayaknya aku mensyukuri rezeki yang aku dapat untuk bisa menyelesaikan tunggakan kali ini, yang pada akhirnya dianggap cukup oleh mereka. Dan dalam perjalanan pulangku, aku terus menerus terkagum-kagum atas bagaimana Allah memberiku ujian dan cara mendapatkan solusinya. Amazing!
Salah satu alasan mengapa kita diberi Allah swt ujian adalah agar kita bisa belajar tentang kemampuan kita dalam menarik hikmah yang ada di balik ujian itu sendiri. Ujian finansial yang datang bertubi-tubi selama setahun terakhir ini memang kalibernya berat. Bukan berarti aku tak pernah mengalami ujian serupa dan lulus, tapi dulu situasiku jauh berbeda dimana yang harus aku luluskan itu hanya aku sendiri. Sekarang ada 3 kehidupan lainnya yang menjadi tanggung jawabku. Dan mungkin bagian ujian yang cukup krusial adalah mendengar keluhan dari yang aku tanggung atas kesulitan yang dihadapi. Mendengarnya saja sulit apalagi menerimanya dengan sabar dan lapang dada. Berbagai cara sudah aku coba lakukan sebagai refleksi dari kiat untuk tidak berputus asa. Dari hunting proyek, survey lahan pekerjaan baru yang mungkin bisa digarap, bahkan mencari pinjaman dana dari kerabat dan kenalan. Nah, yang terakhir ini rupanya memberi banyak hikmah dan pembelajaran padaku. Banyak sekali dari mereka yang (ternyata) juga sedang kesulitan keuangan. Jujur saja, di awalnya aku sempat kecewa dan berburuk sangka pada mereka yang mengaku tidak mampu membantu. Namun tak lama kemudian akupun menyadari betapa salahnya aku menilai seperti itu. Aku lupa menempatkan diriku di posisi mereka. Bagaimana jika disaat yang sama, ada seorang kenalan yang datang kepadaku dan meminta bantuan juga? Egois sekali aku kesannya, bukan?
Sebetulnya yang bisa dibilang membuat ujian kali ini terasa lebih berat adalah bahwa ada beberapa hal yang nampak begitu jelasnya di depanku, yang nantinya bisa melepaskanku dari jeratan hutang dan tagihan yang tertunggak...tapi masalahnya, semua itu belum bisa tergapai. Ibaratnya ada celah berjurang dalam yang memisahkan aku dengan hal-hal tersebut. Yang aku butuhkan hanyalah sesuatu yang bisa menjembatani aku dengan semua itu. Tak perlu kubangun jembatan besi yang strukturnya njelimet. Sebuah batang pohon besar yang kokohpun sudah cukup untuk kujadikan tempat meniti perlahan ke seberang. Banyak pohon di sekitarku, namun kapak atau alat pemotong yang layak untuk menebangnya tersembunyi entah dimana. Tugasku adalah mencari alat pemotong itu dengan bermodal kesabaran dan keikhlasan. Sambil aku mencarinya, aku terus membayangkan apa saja yang akan aku lakukan setelah aku berhasil menyebrangi celah itu. Selain membereskan segala urusan tunggakan, impian dan keinginanku tak banyak dan tak muluk-muluk. Sehingga aku mempertanyakan diri sendiri akan aku apakan rezeki yang tersisa. Dan pemikiranku kembali pada bagaimana sulitnya mendapatkan bantuan dari para kerabat dan kenalanku itu. Aku lalu mebayangkan betapa akan senangnya mereka bila kelak mereka datang dengan mengharapkan bantuan kemudian mendapatkannya dengan mudah dariku karena aku memang mampu. Mereka tak akan perlu kecewa dan pergi mencari bantuan lagi ke tempat lain. Betapa akan bahagianya aku jadinya. Berkah dan rezeki kita itu sudah ditentukan olehNya. Aku sadar bahwa ketika aku gagal mendapatkan pinjaman dana dari suatu sumber, artinya rezeki untukku memang bukan dari situ. Sedangkan rezeki apapun yang menjadi milikku juga sifatnya hanya duniawi, sehingga tidak sepantasnya aku dewakan. Dan ketika ada kerabat, kenalan atau siapapun yang membutuhkannya, in shaa Allah rezeki yang aku punya bisa menjadi rezekinya pula. Kebahagiaan yang aku dapatkan kelak saat berbagi rezeki menjadi berkah yang tak ternilai itu lalu memotivasi aku untuk terus berusaha mencari dan mencari dengan sabar solusi dari permasalahan yang aku hadapi. Dan buatku, itulah hikmah yang ada di balik ujian berat ini.