Pagi ini, selagi membaca postingan tentang situasi di Mesir dan Suriah, tiba-tiba aku teringat cerita ibuku dulu ketika aku duduk di bangku kelas 2 SD. Cerita seram tentang sebuah rumah yang aku tidak ingat lagi sama sekali dimana letaknya, namun sering dilewati oleh ayahku setiap beliau mengajak kami sekeluarga berkeliling kota dengan mobilnya. Rumah itu keliatan tidak berpenghuni memang, karena taman di depannya tampak tak terurus sampai dipenuhi rumput yang tumbuh tinggi tidak beraturan. Di malam hari lebih jelas terlihat keterbengkalaiannya karena meskipun kondisinya masih kokoh dengan jendela dan pintu yang masih lengkap dan utuh, rumah moderen berlantai satu dengan ukuran lebih kurang 200 meter persegi ini sangat gelap. Satu-satunya sumber cahaya yang sedikit meneranginya hanyalah lampu jalanan yang remang-remang.
Kata ibuku, rumah ini dihuni oleh setan yang dulunya sempat dipercaya bisa mengabulkan permintaan siapapun yang meminta kepadanya. Dan tidak sedikit orang yang mencoba menjajal mitos tentang rumah pesugihan ini tapi gagal, sampai akhirnya ada sebuah pembuktian dari seorang pendatang dari luar kota yang kesehariannya bekerja sebagai penjual roti keliling. Ia meninggalkan istri dan seorang anaknya di Jawa Tengah untuk mengadu nasib di Jakarta. Namun karena penghasilan yang didapatkan kurang mencukupi, ia lalu mencoba mendapatkan kekayaan dengan cara yang instan.
Pendeknya, setan berjanji akan memberikan apa yang dimintanya dengan syarat ia harus juga melakukan apa yang diminta setan. Kesepakatanpun dilakukan dan setan menyajikan sepiring ayam goreng yang harus dihabiskannya. Entah karena tergiur dengan janji setan ataukah ayam itu memang lezat, ia memakannya dengan lahap tanpa ditemani nasi atau lauk lainnya. Berawal dengan kedua paha dan paha atas yang juicy, lalu sayap dan badan. Sebenranya, ia merasa jijik sehingga tidak pernah suka makan kepala ayam, namun karena setan mengingatkan untuk menghabiskannya sesuai dengan kesepakatan, maka dengan sedikit risih perlahan ia gerogoti daging di leher dan kepala ayam tersebut.
Kekayaan yang diharapkannya belum kunjung hadir ketika beberapa hari kemudian ia mendapat kabar tentang anak semata wayangnya yang meninggal secara misterius. Ia begitu kaget ketika sesampainya di rumah, istrinya mengisahkan bagaimana tiba-tiba anak mereka menjerit-jerit merasakan sakit yang menggerogoti sekujur tubuhnya dengan urutan persis seperti ketika ia melahap ayam itu. Ketika hal itu terjadi, tidak seorangpun mengetahui apa penyebabnya selain praduga adanya pengaruh santet atau kesurupan.
Soal kekayaan instan itu sendiri, akhirnya memang ia dapatkan dalam bentuk sumbangan yang cukup besar dari warga di kampungnya, karyawan dan pihak perusahaan dimana ia bekerja karena rasa iba yang begitu besar atas kematian misterius yang dialami seorang anak kecil.
Ironis? Sangat!
Mitos? Mungkin saja.
Dan mengapa setelah puluhan tahun berlalu, hingga di era semoderen ini terbukti masih banyak manusia yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan apa yang diinginkannya meski itu berarti harus mengorbankan apa yang telah dimilikinya? Kita bisa punya teknologi yang jauh lebih canggih dari yang ada ketika ibuku bercerita. Dengan perkembangan ilmu selama ini. kita harusnya bisa jauh lebih pintar dari sosok sang penjual roti. Tapi itu bukan berarti setan ketinggalan zaman. Setan tidak pernah berhenti bekerja dalam menggoda manusia dan memang itulah tugasnya. Kalau kita percaya pada misteri yang dimiliki Allah swt., tentunya kita perlu percaya bahwa cara kerja setan juga sulit ditebak. Godaan setan disesuaikan dengan kondisi yang ada sehingga cara dan ujud penyampaiannya bisa selalu terlihat menggiurkan dan up-to-date. Artinya, aspek yang dijadikan kendaraan olehnya untuk mengusik ketenangan manusia bisa apa saja, termasuk hal yang harusnya menguatkan keimanan kita: agama.
Bijaksanalah dalam beragama.
Wednesday, August 28, 2013
Ah...teori!!
Sebenarnya sudah cukup lama aku menahan diri untuk tidak membuka mulut dan menumpahkan uneg-unegku kepada siapapun, dan mungkin kondisi seperti ini masih bisa aku pertahankan entah sampai kapan. Konsep pemikiran akan kelegaan yang didapat jika suatu masalah dishare itu tidak berlaku dalam hal ini karena aku terlalu naif untuk menganggap ada orang yang bisa sepenuhnya mengerti posisiku dan memberi asupan yang bermanfaat. Jadi aku lebih memilih diam dan memendam masalahku sebagai rahasia yang sangat mungkin perlahan menggerogoti imanku.
Ingin rasanya menyakiti fisik ini sekedar untuk mengalihkan rasa sakit hatiku, bahkan aku sering sampai beranggapan bahwa perihnya kulit yang tersayat pisau silet cukup buat melupakan perihnya hati yang tersayat. Tapi aku juga berulang kali mengingatkan diri sendiri bahwa hal itu hanya akan berlangsung untuk waktu yang relatif singkat kecuali bila aku susulkan dengan episode-episode berikutnya. Seberapa lamanyapun pengalihan itu berlangsung aku tetap sadar kalau itu tidak akan melenyapkan masalah yang kuhadapi.
Boleh saja orang menganjurkanku untuk berwudhu atau membenamkan diri pada do'a yang dalam. Tapi aku sudah membuktikan kalau tidaklah mudah berkonsentrasi pada apapun disaat pikiran sedang kacau. Sungguh aku belum menemukan jawabannya karena hingga saat inipun kemelutan dalam diriku masih saja menghantuiku tanpa kenal waktu. Ujian untuk berikhlas menerima keadaan dan belajar dari pengalaman juga bukan hal yang mudah diluluskan. Polemiknya adalah bahwa aku butuh ketenangan jiwa untuk bisa melalui ujian ini, tapi hal itu juga sulit untuk kudapatkan dengan ujian seperti ini
Aku tau aku tidak punya pilihan lain selain menunggu dan menunggu terpenuhinya pengharapan yang belum tentu juga akan terjadi. Kalau segala yang terjadi padaku adalah bagian dari kalamku, berarti bukan aku saja yang harus menerimanya dengan keikhlasan yang sempurna tapi juga mereka yang ada di sekitarku. Mungkin aku baru mudah berikhlas setelah menyaksikan sendiri bagaimana orang lain sulit menerima dengan ikhlas apa yang akhirnya terjadi padaku. Itupun kalau aku masih punya kesempatan untuk bisa berikhlas.
Teori memang selalu lebih mudah dari praktek...
Ingin rasanya menyakiti fisik ini sekedar untuk mengalihkan rasa sakit hatiku, bahkan aku sering sampai beranggapan bahwa perihnya kulit yang tersayat pisau silet cukup buat melupakan perihnya hati yang tersayat. Tapi aku juga berulang kali mengingatkan diri sendiri bahwa hal itu hanya akan berlangsung untuk waktu yang relatif singkat kecuali bila aku susulkan dengan episode-episode berikutnya. Seberapa lamanyapun pengalihan itu berlangsung aku tetap sadar kalau itu tidak akan melenyapkan masalah yang kuhadapi.
Boleh saja orang menganjurkanku untuk berwudhu atau membenamkan diri pada do'a yang dalam. Tapi aku sudah membuktikan kalau tidaklah mudah berkonsentrasi pada apapun disaat pikiran sedang kacau. Sungguh aku belum menemukan jawabannya karena hingga saat inipun kemelutan dalam diriku masih saja menghantuiku tanpa kenal waktu. Ujian untuk berikhlas menerima keadaan dan belajar dari pengalaman juga bukan hal yang mudah diluluskan. Polemiknya adalah bahwa aku butuh ketenangan jiwa untuk bisa melalui ujian ini, tapi hal itu juga sulit untuk kudapatkan dengan ujian seperti ini
Aku tau aku tidak punya pilihan lain selain menunggu dan menunggu terpenuhinya pengharapan yang belum tentu juga akan terjadi. Kalau segala yang terjadi padaku adalah bagian dari kalamku, berarti bukan aku saja yang harus menerimanya dengan keikhlasan yang sempurna tapi juga mereka yang ada di sekitarku. Mungkin aku baru mudah berikhlas setelah menyaksikan sendiri bagaimana orang lain sulit menerima dengan ikhlas apa yang akhirnya terjadi padaku. Itupun kalau aku masih punya kesempatan untuk bisa berikhlas.
Teori memang selalu lebih mudah dari praktek...
Friday, August 23, 2013
Idealis
Seorang kenalan yang berteman dekat dengan seorang kerabatku punya watak yang terbilang aneh. Bermodal pengalaman mengenyam pendidikan di luar negeri selama bertahun-tahun, ia bisa dikatakan punya persepsi yang idealis terhadap berbagai aspek, bahkan yang sepele. Awalnya aku tidak terlalu menggubris sifatnya yang cenderung memancing orang untuk berdebat. Bahkan aku sering menganggap ucapan dan pernyataannya sebagai hal lucu yang bisa membuatku tersenyum. Namun belakangan ini hal itu mulai ia lakukan dalam mengungkapkan rasa ketidaksukaannya atas kondisi yang tengah aku hadapi. Yang menjadi masalah adalah bahwa kondisi ini berlangsung antar anggota keluargaku. Jadi ia, yang sama sekali tidak punya hubungan kekeluargaan denganku meskipun berstatus sebagai teman dekat kerabatku, tidak punya posisi yang layak untuk ikut melibatkan diri di dalamnya.
Sejarah hidupnya yang sempat tercoreng oleh peristiwa pengurungan dirinya dalam bui yang berkaitan dengan penggunaan obat-obatan terlarang seolah tidak memberinya pelajaran untuk menjadi orang yang bijaksana. Justru aku berpikir, pengalaman itu membuatnya merasa lebih pintar dan berhak untuk menyuarakan isi benaknya di waktu dan tempat yang salah. Mungkin ilmu yang didapat selama berada di balik jeruji penjara justru dujadikan alasan untuk menyajikan ego-nya dalam keangkuhan. Ia sering menggunakan bahasa yang "tinggi" dengan disertai kutipan-kutipan dari orang-orang terkenal untuk mengungkapkan kekecewaannya atas apa yang tengah terjadi dalam keluargaku.
Aku lalu bertanya-tanya pada diri sendiri motif apa yang menadasari perilakunya ini. Sekedar solidaritas pada kerabatku atau politik uang? Mungkin juga karena hutang jasa, mengingat kerabatku termasuk yang dulu rajin menjenguknya ketika ia dalam penahan? Entahlah...aku memang tidak mengenalnya secara dekat untuk tau lebih banyak tentang latar belakang kehidupannya. Apapun motifnya, aku hanya menganggapnya sebagai korban "korslet otak" yang mungkin disebabkan oleh terlalu banyaknya ilmu yang diserap melebihi kapasitas yang tersedia sehingga penerapannya jadi error...tercampur aduk tidak karuan. Bisa jadi karena hal inilah juga ia, yang kini tidak muda lagi, belum punya pekerjaan tetap dan pasangan hidupnya.
Belum ada yang sanggup mengatasi idealismenya!
Wednesday, August 21, 2013
Balada Kacamata
Aku mungkin termasuk orang yang tidak mudah menyingkirkan barang-barang milikku begitu saja. Seperti halnya mendiang ibuku, aku suka menyimpan barang-barang yang punya kenangan khusus, baik itu indah atau buruk selama bisa mengingatkanku tentang pembelajaran yang pernah aku dapatkan dari kepemilikannya. Bahkan yang rusakpun akan kupertahankan jika menurutku masih punya kegunaan meskipun dengan fungsi yang tentunya berbeda, misalnya sebagai pajangan. Tidak sebagai seorang kolektor, aku tidak berburu mencari barang untuk dikoleksi, sehingga barang yang kumiliki beraneka ragam jenisnya.
Tapi aku mengakui bahwa aku tidak pandai menjaga keawetan kacamata, baik itu jenis silinder, baca maupun gelap. Sebesar apapun kiatku untuk menjaganya, sudah berkali-kali aku harus mengalami kehilangan atau kerusakan. Tidak hanya melupakan peletakannya, kehilangan itu juga bisa disebabkan karena aku kurang berhati-hati dalam menempatkannya sehingga bisa terjatuh dimana saja. Bahkan sebuah kacamata gelap mahal yang dikaitkan pada tali pengaman yang menggantung di leherku dengan mudah hancur begitu saja tertindih dadaku setelah aku tersungkur kena seruduk sapi liar di suatu acara potong qurban awal tahun ini.
Untuk aksesoris ini, aku memang berkonsep "murahan". Artinya, aku tidak berminat membayar mahal dalam membelinya karena begitu seringnya aku kehilangan. Aku lebih suka mengutamakan fungsinya tanpa memikirkan kualitas atau bahkan style-nya. Yang penting nyaman dipakai dan memenuhi kebutuhanku. Seorang teman pernah mengingatkan bahwa harga tidak membohongi. Membayar lebih untuk suatu barang setaraf dengan panjangnya umur barang tersebut sehingga kita tidak perlu terus menerus merogoh kantong untuk mengganti barang murahan yang gampang rusak. "Toh kalau diakumulasikan nantinya total pengeluaran uangnya juga akan sama", katanya.
Benar juga teorinya.
Kalau sebuah kacamata mahal yang keawetannya berlangsung selama suatu periode tertentu, mungkin selama itu pula aku telah menghabiskan dana yang sama untuk seringnya membeli sejumlah kacamata murahan. Tapi kacamataku yang luluh lantah karena ulah seekor sapi liar itu kebetulan juga bukan yang murahan. Harusnya kerugianku saat itu bisa sangat kecil kalau aku hanya mengandalkan barang murahan, khan?
Mungkin aku memang tidak layak pakai kacamata mahal..... #kalam
Tapi aku mengakui bahwa aku tidak pandai menjaga keawetan kacamata, baik itu jenis silinder, baca maupun gelap. Sebesar apapun kiatku untuk menjaganya, sudah berkali-kali aku harus mengalami kehilangan atau kerusakan. Tidak hanya melupakan peletakannya, kehilangan itu juga bisa disebabkan karena aku kurang berhati-hati dalam menempatkannya sehingga bisa terjatuh dimana saja. Bahkan sebuah kacamata gelap mahal yang dikaitkan pada tali pengaman yang menggantung di leherku dengan mudah hancur begitu saja tertindih dadaku setelah aku tersungkur kena seruduk sapi liar di suatu acara potong qurban awal tahun ini.
Untuk aksesoris ini, aku memang berkonsep "murahan". Artinya, aku tidak berminat membayar mahal dalam membelinya karena begitu seringnya aku kehilangan. Aku lebih suka mengutamakan fungsinya tanpa memikirkan kualitas atau bahkan style-nya. Yang penting nyaman dipakai dan memenuhi kebutuhanku. Seorang teman pernah mengingatkan bahwa harga tidak membohongi. Membayar lebih untuk suatu barang setaraf dengan panjangnya umur barang tersebut sehingga kita tidak perlu terus menerus merogoh kantong untuk mengganti barang murahan yang gampang rusak. "Toh kalau diakumulasikan nantinya total pengeluaran uangnya juga akan sama", katanya.
Benar juga teorinya.
Kalau sebuah kacamata mahal yang keawetannya berlangsung selama suatu periode tertentu, mungkin selama itu pula aku telah menghabiskan dana yang sama untuk seringnya membeli sejumlah kacamata murahan. Tapi kacamataku yang luluh lantah karena ulah seekor sapi liar itu kebetulan juga bukan yang murahan. Harusnya kerugianku saat itu bisa sangat kecil kalau aku hanya mengandalkan barang murahan, khan?
Mungkin aku memang tidak layak pakai kacamata mahal..... #kalam
~dalam kelegaan karena kacamata yang kemarin hilang sudah ditemukan~
Monday, August 19, 2013
Boys Will Be Boys
Punya 2 anak lelaki yang hanya berbeda umur sekitar 1 tahun itu memang tidak mudah. Apalagi mereka sekarang sedang dalam masa-masa egonya tinggi. Hampir tiap hal bisa dijadikan pemicu kasus pertengkaran hanya karena mendahulukan ego masing-masing. Di satu saat mereka sering memperebutkan hak meskipun kadarnya terbilang sangat sepele. Di lain waktu mereka bisa terlihat sangat kompak seolah apapun yang mereka dapatkan mereka terima dengan legowo. Tapi itu juga jarang terlihat awet karena biasanya anak yang mendapat lebih kemudian jadi "nglunjak", sehingga menuai ketidaknyamanan pada yang lain.
Ada saja hal-hal yang mendasari perseteruan antar mereka; iri lah, dendam lah atau sekedar iseng belaka. Kadang aku yang punya prinsip ingin mendidik mereka dengan cara memperlakukan mereka dengan kedewasaan dan kesabaran, namun seringkali akhirnya aku masih juga sampai harus berteriak-teriak memarahi mereka. Kadang aku harus mencubit mereka saat kata-kata ku seolah tidak mujarab lagi. Dan aku yakin di balik tangisan mereka ada rasa sakit hati ketimbang sakit fisik karena mereka sudah cukup besar untuk masih bisa merasakan sakitnya cubitan a la kadarku itu. Terbukti dengan munculnya kasus perseteruan baru dengan alasan yang sama tak lama setelah situasi reda diantara mereka. Bahkan mereka mampu menciptakan kasus pertengkaran baru dengan menggunakan hukumanku sebagai alasan untuk saling menyalahkan.
Hukuman penyitaan barang kesukaan mereka juga tidak selalu jadi solusi yang tepat karena ada saja hal yang mereka temui untuk mewujudkan keisengannya. Cukup dengan membuat bunyi-bunyian atau mimik muka yang sifatnya mengejek di saat mereka hanya aku izinkan untuk duduk diam tak bersuara di tempat yang berjauhan saja bisa membuat suasana keruh kembali seolah pertengkaran merupakan hal yang sangat dinikmatinya, hingga aku sering membiarkan mereka saling meledek sepuasnya. Aku memang kadang mecoba membiarkan mereka menyelesaikan masalah sendiri meskipun sampai harus kontak fisiknya, tapi itu sering berarti ada yang akhirnya menangis...hufft!
Yang pasti, sekejam apapun kelakuan mereka terhadap masing-masing, mereka akan saling mencari ketika mereka sedang terpisahkan. Saat seperti itulah yang selalu membuatku merasa kasian pada mereka karena semua sifat nakal, iseng dan keras kepala mereka lenyap dari ingatanku. Apalagi ketika mereka tengah lelap dalam tidurnya. Wajah pulas mereka sangat mampu membuatku merasa sebagai orang tua yang paling bahagia dan beruntung. Oh well....boys will be boys.
Ada saja hal-hal yang mendasari perseteruan antar mereka; iri lah, dendam lah atau sekedar iseng belaka. Kadang aku yang punya prinsip ingin mendidik mereka dengan cara memperlakukan mereka dengan kedewasaan dan kesabaran, namun seringkali akhirnya aku masih juga sampai harus berteriak-teriak memarahi mereka. Kadang aku harus mencubit mereka saat kata-kata ku seolah tidak mujarab lagi. Dan aku yakin di balik tangisan mereka ada rasa sakit hati ketimbang sakit fisik karena mereka sudah cukup besar untuk masih bisa merasakan sakitnya cubitan a la kadarku itu. Terbukti dengan munculnya kasus perseteruan baru dengan alasan yang sama tak lama setelah situasi reda diantara mereka. Bahkan mereka mampu menciptakan kasus pertengkaran baru dengan menggunakan hukumanku sebagai alasan untuk saling menyalahkan.
Hukuman penyitaan barang kesukaan mereka juga tidak selalu jadi solusi yang tepat karena ada saja hal yang mereka temui untuk mewujudkan keisengannya. Cukup dengan membuat bunyi-bunyian atau mimik muka yang sifatnya mengejek di saat mereka hanya aku izinkan untuk duduk diam tak bersuara di tempat yang berjauhan saja bisa membuat suasana keruh kembali seolah pertengkaran merupakan hal yang sangat dinikmatinya, hingga aku sering membiarkan mereka saling meledek sepuasnya. Aku memang kadang mecoba membiarkan mereka menyelesaikan masalah sendiri meskipun sampai harus kontak fisiknya, tapi itu sering berarti ada yang akhirnya menangis...hufft!
Yang pasti, sekejam apapun kelakuan mereka terhadap masing-masing, mereka akan saling mencari ketika mereka sedang terpisahkan. Saat seperti itulah yang selalu membuatku merasa kasian pada mereka karena semua sifat nakal, iseng dan keras kepala mereka lenyap dari ingatanku. Apalagi ketika mereka tengah lelap dalam tidurnya. Wajah pulas mereka sangat mampu membuatku merasa sebagai orang tua yang paling bahagia dan beruntung. Oh well....boys will be boys.
Friday, August 16, 2013
Bukan Tentang Islam
Sejak kemarin sudah digaungkan bahwa akan ada pengumpulan massa Islam besar-besaran di pelbagai kota besar di tanah air sebagai simbol kepedulian terhadap tragedi yang tengah berlangsung di Mesir. Pengumpulan massa yang terjadi di 32 kota meliputi hingga sejauh Makassar ini bukan untuk demonstrasi namun hanya sekedar aksi menunjukkan rasa solidaritas saja. Begitu hebatnya kepedulian ini hingga banyak pengguna media sosial yang tak henti-hentinya memasang postingan yang berhubungan dengan tragedi ini, dari yang sekedar mengingatkan untuk mengirim do'a, menampilkan foto-foto yang mengenaskan, sampai yang dengan nada keras dan sinis mempertanyakan sikap-sikap yang dianggap tidak atau kurang mencerminkan keprihatinan, lalu mempertanyakan kadar ke-Islam-an yang bersangkutan.
Sebenarnya apa sih yang terjadi di Mesir? Sampai sejauh mana Islam berkaitan dengan insiden berdarah yang telah memakan korban begitu besar itu?
Aku punya pandangan pribadi mengenai hal ini. Tentunya semua didasari oleh berita-berita yang kudapat dari beberapa sumber termasuk dari seorang rekanku yang asli orang Mesir. Beginilah ringkasan dari apa yang aku lihat dengan kacamataku;
Presiden terpilih dalam Pemilu 2012, Muḥammad Muḥammad Mursī ‘Īsá al-‘Ayyāṭ (Morsi) dari partai Islam Ikhwanul Muslimin, yang mulai menduduki jabatannya sejak 30 Juni 2012, sempat memberlakukan keputusan yang memberinya wewenang tak terbatas, yang dimaksudkan untuk melindungi rakyat Mesir dari undang-undang pemerintahan yang pernah diterapkan oleh presiden terdahulunya, Hosni Mubarak, yang ia gulingkan dari jabatannya. Keputusan yang kemudian dinilai tidak menyelesaikan masalah negara yang serius seperti minimnya persediaan bahan bakar dan tenaga listrik ini yang kemudian mengundang amarah rakyat seperti halnya yang terjadi dengan krisi moneter yang berakhir dengan lengsernya presiden Soeharto.
Setelah terjadi demonstrasi massa besar-besaran sejak 22 November 2012 hingga puncaknya pada 30 Juni 2013, yang menuntut mundur dirinya, disusul dengan pernyataan pihak militer yang mengancam akan bertindak bila tuntutan rakyat tidak dipenuhi, dewan yang terdiri dari menteri pertahanan Abdul Fatah al-Sisi, pemimpin oposisi Mohamed ElBaradei, Imam Besar Al-Azhar Ahmed el Tayeb, dan Paus Tawadros menyatakan Morsi resmi turun tahta. Keputusan yang diumumkan secara resmi oleh pihak militer Mesir inilah yang banyak disebut sebagai "kudeta". Dan mungkin hal ini yang kemudian mendorong pendukung Morsi untuk melakukan demonstrasi melawan pemerintahan sementara.
Demonstrasi besar-besaran yang kemudian berubah menjadi sebuah tragedi berdarah inilah yang hingga hari ini menuai banyak aksi unjuk rasa solidaritas di kalangan kaum Muslim di tanah air. Sangat mudah dimengerti bila kebanyakan korban yang luka dan meninggal adalah umat Muslim mengingat demonstran adalah pendukung partai Islam. Bukan berarti korban dari pihak militer sebagai oposisi tidak ada atau bukanlah umat Muslim, namun tingginya jumlah korban dari pihak demonstran yang beragama Islam ini kemudian menuai anggapan bahwa yang telah terjadi merupakan suatu aksi pembantaian kaum Muslim.
Lalu apa yang menyebabkan kematian begitu banyak korban ini?
Kabarnya, demonstrasi yang melibatkan wanita dan anak-anak ini sempat mencapai fase anarkis dimana terjadi pengrusakan berbagai fasilitas umum dari toko hingga gereja. Sangat mudah membayangkan bagaimana massa yang tengah gusar dikompor-kompori oleh pihak-pihak tertentu sehingga menjadi liar. Massa juga memblokir jalanan dengan membuat barikade yang begitu kokohnya sehingga perlu kendaraan lapis baja untuk menembusnya. Pihak pemerintah sempat memberikan peringatan akan menggunakan peluru tajam bila demonstrasi ini tidak segera dibubarkan. Mungkin saja peringatan ini dianggap perlu mengingat adanya massa demonstran yang mempersenjatai dirinya. Dan akhirnya pergolakan besarpun tidak terhindari. Di satu pihak terdapat massa Islam yang terdiri dari mereka yang anarkis, yang bersenjata, yang tua, juga yang wanita dan anak-anak, sedangkan di pihak seberang ada militer yang bersenjata lengkap.
"Perang saudara" yang terasa tidak imbang ini telah memakan jauh lebih banyak korban dari pihak demonstran, tidak terkecuali rakyat biasa, wanita dan anak-anak. Apakah memang ini sebuah pembantaian terhadap kaum Muslim? Apakah pihak milliter yang pelurunya mematikan begitu banyak korban Muslim tak berdosa bisa disebut sebagai pembantai kaum Muslim dalam kondisi seperti ini?
Dalam ilmu peperangan memang dikenal larangan membunuh rakyat yang tidak berdosa. Dan hal itu mungkin saja diterapkan ketika sangat mudah membedakan musuh berdasarkan atribut yang dikenakan. Namun bukanlah hal yang mudah menghadapi gelombang amukan massa yang tidak berseragam, dimana siapapun bisa menggunakan apa saja sebagai senjata. "Chaos" yang terjadi secara instan sangat mampu membutakan pihak militer yang kemudian sulit memilah-milah sasaran tembaknya.
Lalu ada berita tentang penembakan terhadap jema'ah Muslim yang tengah sholat oleh pihak militer. Sementara itu pihak pemerintah dan militer tidak mengakui perbuatan itu. Sejauh ini mereka yang terlihat berseragam militer dan menembaki jema'ah itu tidak diakui sebagai aparat militer Mesir. Bisa saja ini suatu usaha menggunakan pergolakan yang tengah berlangsung sebagai kendaraan untuk memfitnah. Yang pasti, kalau para pelaku itu memang berasal dari kubu pemerintahan, berarti ini kasus pembantaian kaum Muslim oleh sesama Muslim yang sangat mungkin dikemudikan pihak lain yang non-Muslim. Dari pihak manapun korbannya kemungkinan besar adalah kaum Muslim.
Apa yang terjadi adalah perang saudara yang disebabkan oleh perseteruan antar kubu-kubu pemerintahan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kebetulan memang hal ini terjadi di Mesir, yang kata seorang teman merupakan porosnya Islam secara sunnatullah, sehingga mayoritas korban juga kaum Muslim. Jadi sangat berbeda dengan apa yang terus menerus terjadi antara Palestina dan Israel. Menurutku tragedi ini murni pergolakan antar kubu-kubu di pemerintahan saja dan tidak berhubungan dengan Islam. Toh yang namanya pergolakan di negara-negara Arab sudah terjadi sejak lama. Dari suksesnya kudeta yang terjadi di Tunisia dengan berkedok demonstrasi besar-besaran, pemberontakan bersenjata di Lybia dan Suriah, hingga demonstrasi yang tidak menghasilkan apa-apa di Bahrain, Irak, Yordania, Palestina dan Sudan.
Aku akan tergerak bila himbauan itu berdasar pada faktor kemanusiaan, bukan pada faktor agama.
Bahwa hal ini berkaitan dengan strategi New World Order, sangat mungkin. Ditambah pula kemungkinan kaitannya juga bisa pada propaganda dan pemberitaan yang dirancang sedemikian rupa untuk memecah belah Islam sedunia. Dan sangat mungkin segala bentuk himbauan untuk bersolidaritas dalam bentuk aksi apapun yang digaungkan di dunia maya oleh siapapun, tanpa disadari bisa kemudian jadi bagian dari strategi itu.
Wallahualam...
June 8, 2013.
Sebenarnya apa sih yang terjadi di Mesir? Sampai sejauh mana Islam berkaitan dengan insiden berdarah yang telah memakan korban begitu besar itu?
Aku punya pandangan pribadi mengenai hal ini. Tentunya semua didasari oleh berita-berita yang kudapat dari beberapa sumber termasuk dari seorang rekanku yang asli orang Mesir. Beginilah ringkasan dari apa yang aku lihat dengan kacamataku;
Presiden terpilih dalam Pemilu 2012, Muḥammad Muḥammad Mursī ‘Īsá al-‘Ayyāṭ (Morsi) dari partai Islam Ikhwanul Muslimin, yang mulai menduduki jabatannya sejak 30 Juni 2012, sempat memberlakukan keputusan yang memberinya wewenang tak terbatas, yang dimaksudkan untuk melindungi rakyat Mesir dari undang-undang pemerintahan yang pernah diterapkan oleh presiden terdahulunya, Hosni Mubarak, yang ia gulingkan dari jabatannya. Keputusan yang kemudian dinilai tidak menyelesaikan masalah negara yang serius seperti minimnya persediaan bahan bakar dan tenaga listrik ini yang kemudian mengundang amarah rakyat seperti halnya yang terjadi dengan krisi moneter yang berakhir dengan lengsernya presiden Soeharto.
Setelah terjadi demonstrasi massa besar-besaran sejak 22 November 2012 hingga puncaknya pada 30 Juni 2013, yang menuntut mundur dirinya, disusul dengan pernyataan pihak militer yang mengancam akan bertindak bila tuntutan rakyat tidak dipenuhi, dewan yang terdiri dari menteri pertahanan Abdul Fatah al-Sisi, pemimpin oposisi Mohamed ElBaradei, Imam Besar Al-Azhar Ahmed el Tayeb, dan Paus Tawadros menyatakan Morsi resmi turun tahta. Keputusan yang diumumkan secara resmi oleh pihak militer Mesir inilah yang banyak disebut sebagai "kudeta". Dan mungkin hal ini yang kemudian mendorong pendukung Morsi untuk melakukan demonstrasi melawan pemerintahan sementara.
Demonstrasi besar-besaran yang kemudian berubah menjadi sebuah tragedi berdarah inilah yang hingga hari ini menuai banyak aksi unjuk rasa solidaritas di kalangan kaum Muslim di tanah air. Sangat mudah dimengerti bila kebanyakan korban yang luka dan meninggal adalah umat Muslim mengingat demonstran adalah pendukung partai Islam. Bukan berarti korban dari pihak militer sebagai oposisi tidak ada atau bukanlah umat Muslim, namun tingginya jumlah korban dari pihak demonstran yang beragama Islam ini kemudian menuai anggapan bahwa yang telah terjadi merupakan suatu aksi pembantaian kaum Muslim.
Lalu apa yang menyebabkan kematian begitu banyak korban ini?
Kabarnya, demonstrasi yang melibatkan wanita dan anak-anak ini sempat mencapai fase anarkis dimana terjadi pengrusakan berbagai fasilitas umum dari toko hingga gereja. Sangat mudah membayangkan bagaimana massa yang tengah gusar dikompor-kompori oleh pihak-pihak tertentu sehingga menjadi liar. Massa juga memblokir jalanan dengan membuat barikade yang begitu kokohnya sehingga perlu kendaraan lapis baja untuk menembusnya. Pihak pemerintah sempat memberikan peringatan akan menggunakan peluru tajam bila demonstrasi ini tidak segera dibubarkan. Mungkin saja peringatan ini dianggap perlu mengingat adanya massa demonstran yang mempersenjatai dirinya. Dan akhirnya pergolakan besarpun tidak terhindari. Di satu pihak terdapat massa Islam yang terdiri dari mereka yang anarkis, yang bersenjata, yang tua, juga yang wanita dan anak-anak, sedangkan di pihak seberang ada militer yang bersenjata lengkap.
"Perang saudara" yang terasa tidak imbang ini telah memakan jauh lebih banyak korban dari pihak demonstran, tidak terkecuali rakyat biasa, wanita dan anak-anak. Apakah memang ini sebuah pembantaian terhadap kaum Muslim? Apakah pihak milliter yang pelurunya mematikan begitu banyak korban Muslim tak berdosa bisa disebut sebagai pembantai kaum Muslim dalam kondisi seperti ini?
Dalam ilmu peperangan memang dikenal larangan membunuh rakyat yang tidak berdosa. Dan hal itu mungkin saja diterapkan ketika sangat mudah membedakan musuh berdasarkan atribut yang dikenakan. Namun bukanlah hal yang mudah menghadapi gelombang amukan massa yang tidak berseragam, dimana siapapun bisa menggunakan apa saja sebagai senjata. "Chaos" yang terjadi secara instan sangat mampu membutakan pihak militer yang kemudian sulit memilah-milah sasaran tembaknya.
Lalu ada berita tentang penembakan terhadap jema'ah Muslim yang tengah sholat oleh pihak militer. Sementara itu pihak pemerintah dan militer tidak mengakui perbuatan itu. Sejauh ini mereka yang terlihat berseragam militer dan menembaki jema'ah itu tidak diakui sebagai aparat militer Mesir. Bisa saja ini suatu usaha menggunakan pergolakan yang tengah berlangsung sebagai kendaraan untuk memfitnah. Yang pasti, kalau para pelaku itu memang berasal dari kubu pemerintahan, berarti ini kasus pembantaian kaum Muslim oleh sesama Muslim yang sangat mungkin dikemudikan pihak lain yang non-Muslim. Dari pihak manapun korbannya kemungkinan besar adalah kaum Muslim.
Apa yang terjadi adalah perang saudara yang disebabkan oleh perseteruan antar kubu-kubu pemerintahan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kebetulan memang hal ini terjadi di Mesir, yang kata seorang teman merupakan porosnya Islam secara sunnatullah, sehingga mayoritas korban juga kaum Muslim. Jadi sangat berbeda dengan apa yang terus menerus terjadi antara Palestina dan Israel. Menurutku tragedi ini murni pergolakan antar kubu-kubu di pemerintahan saja dan tidak berhubungan dengan Islam. Toh yang namanya pergolakan di negara-negara Arab sudah terjadi sejak lama. Dari suksesnya kudeta yang terjadi di Tunisia dengan berkedok demonstrasi besar-besaran, pemberontakan bersenjata di Lybia dan Suriah, hingga demonstrasi yang tidak menghasilkan apa-apa di Bahrain, Irak, Yordania, Palestina dan Sudan.
Aku akan tergerak bila himbauan itu berdasar pada faktor kemanusiaan, bukan pada faktor agama.
Bahwa hal ini berkaitan dengan strategi New World Order, sangat mungkin. Ditambah pula kemungkinan kaitannya juga bisa pada propaganda dan pemberitaan yang dirancang sedemikian rupa untuk memecah belah Islam sedunia. Dan sangat mungkin segala bentuk himbauan untuk bersolidaritas dalam bentuk aksi apapun yang digaungkan di dunia maya oleh siapapun, tanpa disadari bisa kemudian jadi bagian dari strategi itu.
Wallahualam...
June 8, 2013.
Wednesday, August 14, 2013
Harap Tenang. Ujian Sedang Berlangsung.
Kemarin aku dihadapkan dengan kasus tindakan seorang kontakku di sebuah situs jejaring sosial yang memasang ulang sebuah postinganku tapi setelah memodifikasinya dulu sedemikian rupa sehingga punya penampilan baru. Masalahnya adalah bahwa penampilan baru ini sifatnya memfitnahku dan dipasang di tempat umum. Awalnya aku menduga ia melakukannya hanya untuk lucu-lucuan saja mengingat ia cukup dikenal sebagai sosok yang suka bercanda. Seperti itulah juga aku menilai sosoknya selama ini dari membaca postingan dan komennya karena aku hanya mengenalnya sebagai kontak di dunia maya sehingga aku buta soal kepribadiannya. Tapi seharusnya ia menyadari bahwa dengan kondisi seperti itu tindakannya yang mungkin dinilai sebagai gurauan di kalangan teman-teman atau "keluarga kecil"nya itu justru menjadi sebuah fitnah saat dilakukan terhadap orang yang bukan kenalan dekatnya.
Yang lebih parah adalah responnya atas teguran yang aku layangkan secara pribadi. Tak hanya tanpa rasa bersalah, ia membenarkan tindakannya sebagai pembalasan atas kesalahanku menyertakannya dalam kelompok kontak yang menerima notifikasi postingan-postinganku. Aku heran mengapa tidak terbetik sedikitpun pada benaknya untuk memintaku secara baik-baik merubah settingan akun-ku dan mencabut namanya dari daftar kelompok kontak itu agar ia tidak lagi mendapat notifikasinya. Ketidaknyamanannya itu ia tebus dengan memasang sebuah postingan negatif yang ia harapkan bisa menyeimbangkan skor denganku.
Dalam responnya, ia juga menganjurkanku untuk mengabaikan fitnah ini bila faktanya tidak benar. Helloooo? Namanya juga fitnah, pasti bertentangan dengan fakta. Kalau seseorang dipanggil "anjing" oleh orang lain yang tergolong sebagai "orang asing", apa iya orang itu harus menyikapinya dengan cara mengabaikannya tanpa rasa tersinggung?
Di lain waktu, ia juga termasuk yang berteriak-teriak memaki seorang pembuat onar yang sempat memberikan komen bernada fitnah ke sejumlah orang tanpa alasan yang benar. Kalau ia bahkan menyertakan kata-kata yang kasar dan kotor dalam serangan baliknya ke si pembuat onar sebagai bentuk solidaritas pada teman-temannya yang difitnah, tentunya sekarang ia perlu berkaca diri sebelum memberikan anjuran kepadaku untuk mengabaikan fitnahnya.
Satu hal yang selalu ikut terseret dalam kasus pemfitnahan adalah orang-orang yang terposisikan di antara aku dan si pembuat fitnah. Umumnya mereka cenderung "cari aman" dengan mengibarkan bendera abstain ketimbang memihak meskipun mereka sangat memahami duduk perkaranya. That's okay...aku toh juga bukan tipe orang yang meminta-minta dukungan ketika aku menghadapi situasi seperti ini. Aku bahkan mencoba tidak kecewa saat mereka berdiri di pihak seberang karena paling tidak semua sikap yang mereka tunjukkan itu ibarat isi buku yang menjadi dasar buatku untuk melakuan penilaian dan mengevaluasi ulang kadar kedekatanku dengan mereka. Dalam situasi begini, aku bisa lebih jelas melihat sifat-sifat asli mereka sehingga aku bisa lebih bijaksana dalam menjaga pertemanan.
Sudah sejak lama konsep kesederhanaan yang melatar belakangi caraku bersosialisasi, tapi dinilai oleh orang lain sebagai kebodohan itu, menuai begitu banyak fitnah. Bukan...bukan karena cemburu, iri hati ataupun syirik, tapi kebanyakan dilakukan oleh mantan "teman baik" yang kecewa karena aku tidak mampu memberi bantuan yang mereka harapkan dariku. Dan seperti yang sudah-sudah, tanpa melakukan pembelaan lebih jauh yang mungkin akan mengarah ke debat kusir, akhirnya aku juga menutup kasus ini begitu saja tanpa menuntut ganti rugi kesadaran, pengertian atau permintaan maaf apalagi materi dari si pembuat fitnah. Dan apapun sikap yang nantinya dipilih oleh mereka yang terjebak di tengah-tengahnya, aku harus mensyukuri pengalaman buruk ini sebagai bagian dari ujian yang tengah berlangsung.
Yang lebih parah adalah responnya atas teguran yang aku layangkan secara pribadi. Tak hanya tanpa rasa bersalah, ia membenarkan tindakannya sebagai pembalasan atas kesalahanku menyertakannya dalam kelompok kontak yang menerima notifikasi postingan-postinganku. Aku heran mengapa tidak terbetik sedikitpun pada benaknya untuk memintaku secara baik-baik merubah settingan akun-ku dan mencabut namanya dari daftar kelompok kontak itu agar ia tidak lagi mendapat notifikasinya. Ketidaknyamanannya itu ia tebus dengan memasang sebuah postingan negatif yang ia harapkan bisa menyeimbangkan skor denganku.
Dalam responnya, ia juga menganjurkanku untuk mengabaikan fitnah ini bila faktanya tidak benar. Helloooo? Namanya juga fitnah, pasti bertentangan dengan fakta. Kalau seseorang dipanggil "anjing" oleh orang lain yang tergolong sebagai "orang asing", apa iya orang itu harus menyikapinya dengan cara mengabaikannya tanpa rasa tersinggung?
Di lain waktu, ia juga termasuk yang berteriak-teriak memaki seorang pembuat onar yang sempat memberikan komen bernada fitnah ke sejumlah orang tanpa alasan yang benar. Kalau ia bahkan menyertakan kata-kata yang kasar dan kotor dalam serangan baliknya ke si pembuat onar sebagai bentuk solidaritas pada teman-temannya yang difitnah, tentunya sekarang ia perlu berkaca diri sebelum memberikan anjuran kepadaku untuk mengabaikan fitnahnya.
Satu hal yang selalu ikut terseret dalam kasus pemfitnahan adalah orang-orang yang terposisikan di antara aku dan si pembuat fitnah. Umumnya mereka cenderung "cari aman" dengan mengibarkan bendera abstain ketimbang memihak meskipun mereka sangat memahami duduk perkaranya. That's okay...aku toh juga bukan tipe orang yang meminta-minta dukungan ketika aku menghadapi situasi seperti ini. Aku bahkan mencoba tidak kecewa saat mereka berdiri di pihak seberang karena paling tidak semua sikap yang mereka tunjukkan itu ibarat isi buku yang menjadi dasar buatku untuk melakuan penilaian dan mengevaluasi ulang kadar kedekatanku dengan mereka. Dalam situasi begini, aku bisa lebih jelas melihat sifat-sifat asli mereka sehingga aku bisa lebih bijaksana dalam menjaga pertemanan.
Sudah sejak lama konsep kesederhanaan yang melatar belakangi caraku bersosialisasi, tapi dinilai oleh orang lain sebagai kebodohan itu, menuai begitu banyak fitnah. Bukan...bukan karena cemburu, iri hati ataupun syirik, tapi kebanyakan dilakukan oleh mantan "teman baik" yang kecewa karena aku tidak mampu memberi bantuan yang mereka harapkan dariku. Dan seperti yang sudah-sudah, tanpa melakukan pembelaan lebih jauh yang mungkin akan mengarah ke debat kusir, akhirnya aku juga menutup kasus ini begitu saja tanpa menuntut ganti rugi kesadaran, pengertian atau permintaan maaf apalagi materi dari si pembuat fitnah. Dan apapun sikap yang nantinya dipilih oleh mereka yang terjebak di tengah-tengahnya, aku harus mensyukuri pengalaman buruk ini sebagai bagian dari ujian yang tengah berlangsung.
Subscribe to:
Posts (Atom)