Di negara manapun, bahkan di negara yang setenang dan sedamai Swiss, pasti ada saja hal-hal di luar kewajaran yang diupayakan oleh pihak-pihak tertentu menyangkut pemerintahan pemimpinnya. Mungkin di negara adi daya seperti Amerika, Jepang atau negara-negara Inti di Eropa, hal semacam itu sudah bukan sesuatu yang istimewa sehingga dapat dimaklumi oleh baik para pemegang kekuasaan maupun rakyatnya. Namun di Indonesia yang secara teorinya harusnya masuk kategori negara berkembang, hal ini punya dampak luar biasa karena secara prakteknya, Indonesia tidak lain adalah negara yang perkembangannya begitu timpang yang selama ini terus menerus menjadi boneka permainan bagi negara-negara lainnya, bahkan negara-negara tetangga yang usianya lebih muda. Salah satu dampaknya adalah dengan mengaburnya kejelasan sejarah kita.
Sebenarnya di setiap masa kepemimpinan presiden kita, akan selalu terjadi upaya pembelaan dan pembelokan sejarah, yang dilakukan demi mengangkat dan/atau menjatuhkan pihak-pihak lain. Di zaman revolusi perjuangan, upaya seperti itu sering digunakan untuk menghasut rakyat agar mau berpihak pada lawan. Lalu ada kabar burung tentang pembelokan sejarah seputar aksi pemberontakan G30S-PKI yang berbuntut Supersemar versi modifikasi. Ada juga ketidakjelasan tentang kronologi tumbangnya kepemimpinan Presiden Soeharto yang diwarnai dengan tragedi Trisakti dan Semanggi sebagai ujung dari krisis ekonomi yang sudah terlalu parah. Pembelokan sejarah yang paling terkini dan sedang marak terjadi pada pemerintahan saat ini umumnya berkaitan dengan usaha menutupi berbagai kasus penggelapan uang negara dan korupsi besar-besaran yang dilakoni pejabat pemerintah dan/atau figur masyarakat.
Dulu, di zaman pemerintahan presiden Soeharto, sangat tidak mudah bagi siapapun untuk bersuara, terlebih bila apa yang disuarakan itu dianggap menentang pemerintah. Aturan yang ditetapkan sangat tegas dan ketat, sehingga pihak-pihak yang nekat dipastikan tertangkap dan harus mendekam di penjara. Kantor berita dan media yang melakukan aksi "melawan" pemerintah dijatuhi sanksi bahkan dibredel kalau perlu. Dengan kata lain, bila memang masyarakat hidup di bawah pemerintahan yang keji, maka mereka akan hidup bagaikan di alam penjajahan. Tapi apakah itu terjadi saat itu?
Setidaknya apa yang aku lihat sendiri kenyataannya tidak begitu. Iklim kehidupan di negri ini saat itu jelas sekali mencerminkan indahnya kemerdekaan yang kita proklamirkan tahun 1945 itu. Jadi yang bisa aku bayangkan tentang apa yang disuarakan oleh mereka yang kemudian di tangkap hanyalah hal-hal yang miring tentang pemraktekan kemerdekaan seperti itu.
Sejak lengsernya presiden Soeharto, kebebasan masyarakat bagaikan tak terbatas. Dan kebebasan ini ditopang sepenuhnya oleh pilar-pilar Hak Azasi Manusia yang siap membela masyarakat yang merasa terdzalimi. Seolah kebal hukum, setiap orang diberi kebebasan dalam menyuarakan dan mengeksekusikan aspirasinya. Pemaparan hal-hal baru yang diaku sebagai bagian dari sejarah yang dianggap dulu pernah dibelokkan telah membuat aparat hukum seolah kehilangan senjata dan perisainya. Upaya pembelokan dan pembelaan sejarah terus menerus dilakukan demi kepentingan pihak penguasa dan pihak anti-penguasa. Kecanggihan teknologi yang daya jangkaunya tak terhingga, memungkinkan segala upaya seperti itu dilakukan secara luas oleh pihak manapun. Dan dengan keluguan masyarakat Indonesia yang masih tengah mengalami culture shock, "sejarah baru" sangat mudah diciptakan secara instan buat mereka.
Ada pendapat bahwa pembelokan ini dilakukan atas dasar "dendam" keturunan tokoh-tokoh yang dulu sempat menjadi tahanan politik di zaman Orde Baru. Biasanya merekalah yang mengandalkan kibaran bendera HAM. Tapi pastinya, pembelokan sejarah yang terjadi saat ini justru dilakukan oleh bangsa kita sendiri dengan memanfaatkan kekuasaannya. Sementara mereka sibuk mendesain ulang sejarah demi kemulusan laju kendaraannya menuju tahta yang lebih tinggi, materi pelajaran dan lagu-lagu perjuangan yang mengandung unsur-unsur sejarah di dalamnya perlahan disirnakan dari kurikulum sekolah dasar. Pencarian di dunia maya lewat internet dijadikan cara resmi yang disahkan oleh guru dan sekolah untuk mendapatkan jawaban atas pe-er sekolah jika tidak ditemukan dalam buku pelajaran.
Lalu seberapa otentik hal yang kita temukan lewat internet? Sejauh mana kita bisa mengandalkan kebenaran dari apa yang kita harapkan merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita? Apakah yang kita temukan merupakan bagian asli dari sejarah atau justru pembelokannya?
Ironisnya, kondisi seperti ini justru dimanfaatkan pihak asing yang sejak dulu berusaha mencari celah untuk bisa menembus pertahanan yang sempat kokoh dibangun oleh pemerintahan presiden Soekarno dan Soeharto. Dengan samaran yang jitu, berkibarkan panji-panji aliansi, mereka berusaha memberi pengaruh pada masyarakat kita. Negara Amerika Serikat butuh 237 tahun sejak merdekanya untuk mendewasakan diri hingga sampai pada fase kehidupan seperti hari ini. Pencapaian fase yang sama hanya dengan melewati 68 tahun pendewasaan diri inilah yang menyebabkan masyarakat kita menderita culture-shock yang parah, yang sangat membuka kemungkinan untuk mudah di arahkan. Seiring dengan kecanggihan teknologi, merebaklah situs-situs media sosial yang begitu digandrungi masyarakat kita, sehingga tidaklah sulit bagi pihak asing untuk "membaca" kita yang menggunakannya. Ibarat seorang anak yang baru bisa membaca, akan sangat gembira kalau diberi aneka buku dongeng "baru" yang dikemas dengan begitu menariknya dan dikisahkan oleh mereka yang menampilkan dirinya sebagai pendongeng-pendongeng ulung nan bijaksana. Dongeng seperti inilah yang menjadi kendaraan bagi pihak asing dalam memanipulasi cara berpikir masyarakat kita.
Aku ingat ketika aku menonton film, The Years of Living Dangerously, yang diputar di stasiun cable di Amerika. Saat itu, mendiang ayahku kebetulan tengah datang menjengukku sehingga beliau ikut menyaksikannya. Film tersebut mengkisahkan pengalaman seorang jurnalis asal Australia (Mel Gibson) meliput keadaan di Indonesia sekitar tahun 1960an sesaat sebelum pemberontakan G30S/PKI terjadi. Ada scene yang memperlihatkan bagaimana saking laparnya, beberapa orang sampai harus memakan beras yang tumpah dari atas truk. Ayahku langsung berkomentar bahwa saat itu, kondisi keamanan di Indonesia memang terbilang kritis dengan adanya pergolakan dimana-mana yang didalangi PKI sehingga pengiriman bahan makanan agak tersendat, namun tidak sampai parah seperti itu. Dan beliau juga menjelaskan bahwa upaya pembelokan sejarah yang dilakukan orang asing melalui pembuatan film itulah yang menjadi alasan mengapa film sperti itu tidak pernah diizinkan untuk diputar disini.
Aku sendiri sudah sering mempertanyakan bacaan-bacaan yang aku temukan di dunia maya. Jika kebetulan aku yakin dengan jawabanku sendiri, bacaan-bacaan itu aku anggap menyesatkan, apalagi jika tertera dalam situs resmi pemerintah atau departemen terkait. Bacaan seperti inilah yang kemudian dijadikan pedoman saat anak-anak muda menyerukan suaranya. Dengan gagah berani mereka menantang siapapun yang mencoba berkata sebaliknya untuk meralatnya. Namun apa lagi yang bisa diharapkan untuk dijadikan bukti otentik bila pembelokan sejarah itu dilakukan oleh pemerintah dan/atau mereka yang mengaku sebagai nara sumber terpercaya, yang kemudian disahkan oleh badan-badan hukum negara? Dengan dibukanya jalur komunikasi tanpa batasan, pemerintah kita tidak lagi menjadi pelindung bagi masyarakat dari upaya pembodohan oleh siapapun terutama pihak asing.
Aku cukup beruntung bisa mendengar ulasan sejarah langsung dari orang tuaku dan mereka yang sempat menjadi bagian perjuangan mencapai kemerdekaan. Aku juga beruntung sudah cukup umur untuk bisa melihat dan merasakan sendiri alam kedamaian negeri ini yang lalu dituding orang saat ini sebagai kebohongan sejarah, sehingga aku tidak perlu mencari-cari kebenarannya lewat apa yang mungkin justru menjadi nara sumber yang menyesatkan. Tidak ada memang, yang bisa aku lakukan untuk meluruskan sejarah yang kini tengah dibelokkan selama hal tersebut dilakoni sendiri oleh pihak penguasa yang harusnya justru menjaga kelestarian sejarah. Apalagi dengan arogansi generasi muda yang mungkin pintar tetapi tidak bijaksana. Aku rasa nasib masa depan bangsa ini sangat ditentukan oleh pemimpin berikutnya. Dan mungkin memang untuk sementara waktu, "Diam adalah emas" itu merupakan hal yang paling tepat buat mereka yang tau pasti tentang sejarah yang sebenarnya.