Wednesday, July 31, 2013

Caraku

Aku tak kan berucap apapun selama itu hanya membuatku terlihat peduli tanpa dapat melakukan aksi nyata apapun yang berarti.
Aku tak kan melakukan aksi apapun selama itu hanya membuatku terlihat seperti pahlawan kesiangan yang memanfaatkan moment yang ada.
Aku tak kan menentang siapa saja yang bicara dengan kobaran semangat selama penentanganku hanya akan menuai debat yang sia-sia belaka.
Aku tak kan berdiri menghadang mereka yang menyeruak maju sambil mengusung papan protes selama aku hanya akan menjadi ganjalan tak berarti buat catatan sejarah.
Aku tak kan menyerukan ajakan untuk berjuang untuk perdamaian selama masih tersisa aroma permusuhan dalam hembusan nafasku.

Ikhlaskan mereka menudingku sebagai pengecut yang berlindung di balik ideologiku, sambil mencibir dan menatapku dengan sinis.
Relakan aku berdiri di tempat ini tanpa ikut serta dalam barisan yang berjalan dengan panji-panji kemanusiaan dan kebenaran.
Lepaskan aku dari pemaksaan mental itu sehingga aku bisa melakukan perjuangan dengan caraku sendiri.
Tinggalkan aku dalam kesendirianku agar aku dapat bersimpuh dan bersujud, memanjatkan do'a dan memohon kepada Allah swt. keselamatan dan kekuatan untuk mereka yang tengah meratapi nasibnya.
Biarkan diamku dan akal sehatku menjadi saksi bisu atas keikhlasan dan ketulusan do'aku.


Monday, July 29, 2013

Pembelaan dan Pembelokan Sejarah

Di negara manapun, bahkan di negara yang setenang dan sedamai Swiss, pasti ada saja hal-hal di luar kewajaran yang diupayakan oleh pihak-pihak tertentu menyangkut pemerintahan pemimpinnya. Mungkin di negara adi daya seperti Amerika, Jepang atau negara-negara Inti di Eropa, hal semacam itu sudah bukan sesuatu yang istimewa sehingga dapat dimaklumi oleh baik para pemegang kekuasaan maupun rakyatnya. Namun di Indonesia yang secara teorinya harusnya masuk kategori negara berkembang, hal ini punya dampak luar biasa karena secara prakteknya, Indonesia tidak lain adalah negara yang perkembangannya begitu timpang yang selama ini terus menerus menjadi boneka permainan bagi negara-negara lainnya, bahkan negara-negara tetangga yang usianya lebih muda. Salah satu dampaknya adalah dengan mengaburnya kejelasan sejarah kita.

Sebenarnya di setiap masa kepemimpinan presiden kita, akan selalu terjadi upaya pembelaan dan pembelokan sejarah, yang dilakukan demi mengangkat dan/atau menjatuhkan pihak-pihak lain. Di zaman revolusi perjuangan, upaya seperti itu sering digunakan untuk menghasut rakyat agar mau berpihak pada lawan. Lalu ada kabar burung tentang pembelokan sejarah seputar aksi pemberontakan G30S-PKI yang berbuntut Supersemar versi modifikasi. Ada juga ketidakjelasan tentang kronologi tumbangnya kepemimpinan Presiden Soeharto yang diwarnai dengan tragedi Trisakti dan Semanggi sebagai ujung dari krisis ekonomi yang sudah terlalu parah. Pembelokan sejarah yang paling terkini dan sedang marak terjadi pada pemerintahan saat ini umumnya berkaitan dengan usaha menutupi berbagai kasus penggelapan uang negara dan korupsi besar-besaran yang dilakoni pejabat pemerintah dan/atau figur masyarakat.

Dulu, di zaman pemerintahan presiden Soeharto, sangat tidak mudah bagi siapapun untuk bersuara, terlebih bila apa yang disuarakan itu dianggap menentang pemerintah. Aturan yang ditetapkan sangat tegas dan ketat, sehingga pihak-pihak yang nekat dipastikan tertangkap dan harus mendekam di penjara. Kantor berita dan media yang melakukan aksi "melawan" pemerintah dijatuhi sanksi bahkan dibredel kalau perlu. Dengan kata lain, bila memang masyarakat hidup di bawah pemerintahan yang keji, maka mereka akan hidup bagaikan di alam penjajahan. Tapi apakah itu terjadi saat itu?
Setidaknya apa yang aku lihat sendiri kenyataannya tidak begitu. Iklim kehidupan di negri ini saat itu jelas sekali mencerminkan indahnya kemerdekaan yang kita proklamirkan tahun 1945 itu. Jadi yang bisa aku bayangkan tentang apa yang disuarakan oleh mereka yang kemudian di tangkap hanyalah hal-hal yang miring tentang pemraktekan kemerdekaan seperti itu.

Sejak lengsernya presiden Soeharto, kebebasan masyarakat bagaikan tak terbatas. Dan kebebasan ini ditopang sepenuhnya oleh pilar-pilar Hak Azasi Manusia yang siap membela masyarakat yang merasa terdzalimi. Seolah kebal hukum, setiap orang diberi kebebasan dalam menyuarakan dan mengeksekusikan aspirasinya. Pemaparan hal-hal baru yang diaku sebagai bagian dari sejarah yang dianggap dulu pernah dibelokkan telah membuat aparat hukum seolah kehilangan senjata dan perisainya. Upaya pembelokan dan pembelaan sejarah terus menerus dilakukan demi kepentingan pihak penguasa dan pihak anti-penguasa. Kecanggihan teknologi yang daya jangkaunya tak terhingga, memungkinkan segala upaya seperti itu dilakukan secara luas oleh pihak manapun. Dan dengan keluguan masyarakat Indonesia yang masih tengah mengalami culture shock, "sejarah baru" sangat mudah diciptakan secara instan buat mereka.

Ada pendapat bahwa pembelokan ini dilakukan atas dasar "dendam" keturunan tokoh-tokoh yang dulu sempat menjadi tahanan politik di zaman Orde Baru. Biasanya merekalah yang mengandalkan kibaran bendera HAM. Tapi pastinya, pembelokan sejarah yang terjadi saat ini justru dilakukan oleh bangsa kita sendiri dengan memanfaatkan kekuasaannya. Sementara mereka sibuk mendesain ulang sejarah demi kemulusan laju kendaraannya menuju tahta yang lebih tinggi, materi pelajaran dan lagu-lagu perjuangan yang mengandung unsur-unsur sejarah di dalamnya perlahan disirnakan dari kurikulum sekolah dasar. Pencarian di dunia maya lewat internet dijadikan cara resmi yang disahkan oleh guru dan sekolah untuk mendapatkan jawaban atas pe-er sekolah jika tidak ditemukan dalam buku pelajaran.
Lalu seberapa otentik hal yang kita temukan lewat internet? Sejauh mana kita bisa mengandalkan kebenaran dari apa yang kita harapkan merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita? Apakah yang kita temukan merupakan bagian asli dari sejarah atau justru pembelokannya?

Ironisnya, kondisi seperti ini justru dimanfaatkan pihak asing yang sejak dulu berusaha mencari celah untuk bisa menembus pertahanan yang sempat kokoh dibangun oleh pemerintahan presiden Soekarno dan Soeharto. Dengan samaran yang jitu, berkibarkan panji-panji aliansi, mereka berusaha memberi pengaruh pada masyarakat kita. Negara Amerika Serikat butuh 237 tahun sejak merdekanya untuk mendewasakan diri hingga sampai pada fase kehidupan seperti hari ini. Pencapaian fase yang sama hanya dengan melewati 68 tahun pendewasaan diri inilah yang menyebabkan masyarakat kita menderita culture-shock yang parah, yang sangat membuka kemungkinan untuk mudah di arahkan. Seiring dengan kecanggihan teknologi, merebaklah situs-situs media sosial yang begitu digandrungi masyarakat kita, sehingga tidaklah sulit bagi pihak asing untuk "membaca" kita yang menggunakannya. Ibarat seorang anak yang baru bisa membaca, akan sangat gembira kalau diberi aneka buku dongeng "baru" yang dikemas dengan begitu menariknya dan dikisahkan oleh mereka yang menampilkan dirinya sebagai pendongeng-pendongeng ulung nan bijaksana. Dongeng seperti inilah yang menjadi kendaraan bagi pihak asing dalam memanipulasi cara berpikir masyarakat kita.

Aku ingat ketika aku menonton film, The Years of Living Dangerously, yang diputar di stasiun cable di Amerika. Saat itu, mendiang ayahku kebetulan tengah datang menjengukku sehingga beliau ikut menyaksikannya. Film tersebut mengkisahkan pengalaman seorang jurnalis asal Australia (Mel Gibson) meliput keadaan di Indonesia sekitar tahun 1960an sesaat sebelum pemberontakan G30S/PKI terjadi. Ada scene yang memperlihatkan bagaimana saking laparnya, beberapa orang sampai harus memakan beras yang tumpah dari atas truk. Ayahku langsung berkomentar bahwa saat itu, kondisi keamanan di Indonesia memang terbilang kritis dengan adanya pergolakan dimana-mana yang didalangi PKI sehingga pengiriman bahan makanan agak tersendat, namun tidak sampai parah seperti itu. Dan beliau juga menjelaskan bahwa upaya pembelokan sejarah yang dilakukan orang asing melalui pembuatan film itulah yang menjadi alasan mengapa film sperti itu tidak pernah diizinkan untuk diputar disini.

Aku sendiri sudah sering mempertanyakan bacaan-bacaan yang aku temukan di dunia maya. Jika kebetulan aku yakin dengan jawabanku sendiri, bacaan-bacaan itu aku anggap menyesatkan, apalagi jika tertera dalam situs resmi pemerintah atau departemen terkait. Bacaan seperti inilah yang kemudian dijadikan pedoman saat anak-anak muda menyerukan suaranya. Dengan gagah berani mereka menantang siapapun yang mencoba berkata sebaliknya untuk meralatnya. Namun apa lagi yang bisa diharapkan untuk dijadikan bukti otentik bila pembelokan sejarah itu dilakukan oleh pemerintah dan/atau mereka yang mengaku sebagai nara sumber terpercaya, yang kemudian disahkan oleh badan-badan hukum negara? Dengan dibukanya jalur komunikasi tanpa batasan, pemerintah kita tidak lagi menjadi pelindung bagi masyarakat dari upaya pembodohan oleh siapapun terutama pihak asing. 

Aku cukup beruntung bisa mendengar ulasan sejarah langsung dari orang tuaku dan mereka yang sempat menjadi bagian perjuangan mencapai kemerdekaan. Aku juga beruntung sudah cukup umur untuk bisa melihat dan merasakan sendiri alam kedamaian negeri ini yang lalu dituding orang saat ini sebagai kebohongan sejarah, sehingga aku tidak perlu mencari-cari kebenarannya lewat apa yang mungkin justru menjadi nara sumber yang menyesatkan. Tidak ada memang, yang bisa aku lakukan untuk meluruskan sejarah yang kini tengah dibelokkan selama hal tersebut dilakoni sendiri oleh pihak penguasa yang harusnya justru menjaga kelestarian sejarah. Apalagi dengan arogansi generasi muda yang mungkin pintar tetapi tidak bijaksana. Aku rasa nasib masa depan bangsa ini sangat ditentukan oleh pemimpin berikutnya. Dan mungkin memang untuk sementara waktu, "Diam adalah emas" itu merupakan hal yang paling tepat buat mereka yang tau pasti tentang sejarah yang sebenarnya.



Sunday, July 28, 2013

Balada Lagu Tercinta

Aku sering kecewa kalau aku tidak menemukan di YouTube lagu yang kusuka. Meskipun disajikan dengan visual yang kurang baik sekalipun, setidaknya aku masih bisa menyimpannya sebagai materi berharga yang bisa mengingatkan aku pada masa-masa yang indah dalam hidupku. Kalau memang perlu, aku sendiri yang mengunggahnya. Tentunya sesuatu yang harus aku kreasikan lebih dulu meskipun tidak jarang usaha itu digagalkam pihak YouTube karena aku dianngap tak punya cukup hak untuk melakukannya.

Lagu yang satu ini permah diunggah penciptanya sendiri di suatu situs audio & pernah aku share di halaman facebook-ku sampai ada beberapa teman yang memintaku mengirimkan file mp3-nya mengingat album dan kombinasi vokalis-vokalisnya yang begitu langka. Namun postingan itu sekaramg telah hilang, mungkin ditarik oleh penciptanya sendiri, entah kenapa. Dan karena kebetulan aku "kenal" dengan penciptanya, maka sudah aku unggah di YouTube dengan harapan ia tidak protes. Semoga saja awet.... ;)



Thursday, July 25, 2013

Amal Ibadah

Tak terasa sudah 1/2 bulan terlampaui, hari ini adalah hari pertama di 1/2 bagian kedua dari bulan Ramadhan. Jujur aku belum pernah mendengar sebelumnya, namun khatib itu menjelaskan bagaimana istimewanya melakukan ibadah sholat Tarawih semalam yang jatuh tepat di malam hari ke 16. Sebagai pembuka ceramah, ia menyatakan bahwa melakukan ibadah sholat Tarawih yang spesifik ini berarti mendapatkan tiket langsung ke Surga. Artinya, apapun yang menjadi beban yang ditanggung dari kehidupan di dunia akan dengan sendirinya terlepas.

Sebagai manusia biasa, tentunya aku ingin perjalananku menuju Surga nanti dimudahkan dan tidak diberatkan oleh segala dosa dan kesalahanku di dunia. Tapi aku juga tidak bisa begitu saja menjadi gembira dan lega mendengarkan penuturan sang khatib tersebut. Bukannya tidak percaya hal itu, namun aku harus berjaga-jaga jika ternyata akan ada hal lain yang saat ini tidak aku sadari keberadaannya. Sebuah surprise yang ternyata baru kutemui setelah aku sampai di akhirat sana. Sesuatu yang ternyata punya arti lain dari yang aku pahami dan cenderung nantinya membuatku kecele jika aku hidup takabur.

Di tengah-tengah ceramah, khatib mengulas 6 perkara dunia yang bisa membatalkan amal ibadah manusia. "Tuh khaaan?", pikirku. Baru saja aku mengingatkan diri sendiri untuk tidak terbuai dengan penjelasan sang khatib di awal ceramahnya, sudah ada penjelasan lain yang bisa dibilang berlawanan. Aku bisa saja langsung berspekulasi dengan segala pikiran negatif mengingat ada satu dua dari 6 perkara tersebut yang masih melekat pada diriku, tapi aku mencoba untuk mengimbanginya dengan kepositifan cerita tentang kemudahan jalan ke Surga tadi.

Aku kembali lagi berfikir bahwa kita tidak mungkin diberi melulu alasan untuk bersabar atau hanya untuk bersyukur. Tentunya selalu ada alasan untuk keduanya. Apalagi jika faktanya, kita diharuskan bersabar dan bersyukur untuk setiap alasan....positif atau negatif. Jadi ceramah semalam memang memberi pelajaran yang penting buatku dimana aku diingatkan tentang amal ibadah yang setiap saat bisa aku kumpulkan lewat kebaikan-kebaikanku, dan setiap saat bisa kandas begitu saja karena segala keburukanku, lalu terkumpul lagi, dan kandas lagi, begitu seterusnya. Yang lebih penting untuk diingat adalah bahwa proses itu bisa terhenti kapan saja, ketika amal sedang terkumpul atau sedang kandas...



Wednesday, July 24, 2013

Tahun Hijriah

Jum'at kemarin aku diingatkan oleh alarm di telpon genggamku bahwa aku baru saja menggenapkan puasaku di 10 hari pertama. Maklumlah...aku memang sengaja menset alarmku per sepuluh hari sejak Ramadhan dimulai karena, jujur saja, aku memang sebelumnya tidak terlalu rajin pergi ke masjid untuk Tarawih di 10 hari pertama. Bukan karena manfaat yang berbeda dengan pengamalan Tarawih di 10 hari kedua atau ketiga, tapi karena aku sulit bisa khusu kalau kondisi masjid penuh sesak. Itulah sebabnya aku berusaha tidak melewatkan kesempatan Tarawih di 10 hari terakhir disaat masjid seharusnya sudah lengang dan nyaman.

Lalu aku melihat ke penanggalan dinding untuk menghitung hari. Dan saat itulah aku sadar bahwa jika kita merayakan hari Lebaran di tanggal 8 Agustus seperti yang tertera di penanggalan, berarti kita hanya berpuasa selama hanya 29 hari tahun ini. Tapi kalau memang kita harus berpuasa 30 hari, berarti Lebaran harusnya jatuh pada tanggal 9. Jadi sebenarnya bagaimana menyikapi perbedaan penetapan tanggal di kalender dan kenyataannya ini?




Bak tradisi tahunan, hari pertama Ramadhan itu ditentukan oleh penampakan Hilal, sehingga pihak pemerintahpun selalu menunggu hingga semalam sebelumnya untuk menetapkan kapan bulan Ramadhan dimulai. Adapun secara teori, kalender Hijriah itu ditentukan dari pergerakan bulan dengan sistem Synodic month, yang punya jarak 29,53059 hari (29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik) antara satu bulan dengan bulan berikutnya. Sehingga dalam kurun waktu 12 bulan (1 tahun) jumlah total hari yang ada mencapai sekitar 354,367. Maka harusnya dapat dengan mudah dimengerti bagaimana pembuat penanggalan menentukan dengan tanggal berapa di kalender Masehi setiap tanggal Hijriah bertepatan. 

Itulah sebabnya kita sudah bisa mengetahui jatuh pada hari apa semua tanggal penting Islam di penanggalan tahun Masehi bahkan sejak sebelum pergantian tahun Masehi terjadi, termasuk tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Namun setiap tahun selalu dibutuhkan kepastian akan terlihatnya Hilal guna menentukan kapan dimulainya bulan Ramadhan. Artinya, apa yang telah tertera dan tercetak pada penanggalan, yang merupakan hasil perhitungan teori pergerakan bulan selama satu tahun itu tidak dianggap mutlak akurat. Contohnya yang terjadi tahun ini dimana, setelah mengamati Hilal, pemerintah menentukan Ramadhan dimulai tanggal 10, dan (seperti tradisi tahunan di Indonesia) ada sebagian masyarakat yang percaya bahwa selayaknya dimulai tanggal 9, sementara di penanggalan tertera 1 Ramadhan bertepatan dengan tanggal 8.

Selama ini memang masyarakat kita menanggapi dan menerima dengan baik semua ketetapan dari pemerintah. Alhamdulillah, pelaksanaan sholat Tarawih malam pertama maupun Ied yang dilakukan di tanggal yang berbeda sejauh ini juga disikapi dengan penuh kebijaksanaan dari semua pihak. Hanya saja kalau memang nantinya, hari Lebaran ditetapkan di tanggal yang sama seperti yang tertera pada penanggalan yang ada, berarti ada sebagian masyarakat yang berpuasa selama hanya 29 hari.
Yang jelas, penentuan tanggal 1 Ramadhan tahun ini menunjukkan bahwa jumlah hari dalam tahun Hijriah yang sedang berlaku saat ini bukanlah sebanyak 354,367. Kecuali bila tanggal 1 Muharram yang akan datang dinyatakan berbeda juga dengan yang telah tercantum di penanggalan.

Wallahu a'lam bishawab...  

Monday, July 22, 2013

Sederhana dan Polos

Mumpung tayang di sebuah saluran tv cable yang ber-subtitle bahasa Indonesia, aku "meliburkan diri" dari kegiatan mengikuti sholat Tarawih di masjid semalam. Film bagian terakhir dari trilogy "Lord of The Rings" itu merupakan kelanjutan dari bagian sebelumnya yang ditayangkan minggu lalu. Dan seperti dugaanku, mereka sangat menikmatinya sampai sempat menunda makan malam dikarenakan tidak adanya jeda iklan yang membuat mereka enggan mengalihkan perhatiannya dari film tersebut.

Atensi mereka tersita oleh serunya jalan ceritanya...hingga menjelang akhir saat adegan yang ditampilkan adalah penyelamatan tokoh utama oleh burung elang raksasa dari kepungan lahar panas. Sangat mengejutkanku bahwa bukanlah kelegaan atau kegembiraan yang tersirat dari mereka seperti halnya yang aku rasakan namun justru semacam kekecewaan. Hampir secara bersamaan mereka langsung berkomentar, "Yaah...gampang sekali selamatnya", kata yang satu dan dibalas oleh kakaknya, "Iya nih....kenapa nggak dari awal aja dia naik elang terbang langsung kesitu trus cincinnya dilempar dari atas?"
Dengan niat ingin menetralisir situasinya, aku segera merespon dengan jawaban spontan, "Ya kalau begitu nanti film-nya cuma sebentar donk..."

Di balik jawaban yang konyol itu, aku bertanya pada diri sendiri, "Iya ya, kenapa tidak begitu aja solusi pengantaran si tokoh utama? Tentunya jelas akan mempersingkat energi dan waktu. Belum lagi ribuan nyawa yang melayang sia-sia demi kelancaran perjalanan mengantar cincin itu". Aku juga bertanya mengapa hingga semalam, tidak pernah terpikirkan olehku cara yang lebih mudah seperti itu. Mungkin hal itu disebabkan karena dengan kepolosan yang dimiliki anak segalanya lebih jelas terlihat kemudahannya. Sementara aku, yang mewakili orang dewasa lainnya, lebih cenderung menyertakan lebih banyak pemikiran dalam melihat sesuatu.

Aku lalu jadi berpikir tentang bagaimana manusia menerima ilmu yang diajarkan kepadanya. Aku melihat mindset yang terbentuk dalam benak anak kecil itu adalah menerima dan menghafalkan semua hal sesuai dengan perintah yang diberikan padanya. Di sekolah, mereka mungkin jarang mempertanyakan mengapa mereka harus menghafalkannya dan mengapa hal -hal itu yang harus aku hafalkan. Kalaupun kebetulan memang ada pertanyaan, seperti yang lebih mungkin dilontarkan di luar sekolah, itu lebih berdasar pada basa-basi atau keisengan mereka dimana jawabannya tidak akan menjadi sesuatu yang mereka anggap penting.

Yang aku perhatikan, makin bertambah umur, seseorang makin cenderung tertantang untuk mempertanyakan lebih dahulu segala sesuatu yang diberikan kepada mereka. Manusia menjadi lebih suka memilih dan mensortir sebelum menerima. Untuk bisa memilih, mereka butuh "pembenaran" yang cukup untuk mewakili "kebenaran" buat mereka sendiri. Dan hal inilah yang kemudian menumbuhkan sifat mencari dan menggali-gali ilmu yang mereka anggap cocok buat mereka. Ilmu-ilmu ini bahkan bisa mereka simpulkan sebagai teori baru diterapkan dalam kehidupan mereka, baik itu sejalan ataupun tidak dengan ilmu yang sudah ada terlebih dahulu.

Dalam agamapun, ada penolakan aturan atau hukum yang sudah ribuan tahun berlaku. Dengan ilmu yang dimiliki, seseorang menyusun teori barunya yang bisa menjadi alasan mengapa suatu hukum tertentu tiba-tiba dianggap salah dan tidak layak lagi dipatuhi. Bertambahnya ilmu tidak membuat manusia makin bijaksana namun justru membuatnya takabur hingga merasa pantas menentukan untuk orang lain hukum dan aturan mana saja yang layak dipatuhi atau harus dihindari. Lebih parahnya lagi jika dengan teori-teori baru ini, terciptalah hukum-hukum baru yang sifatnya bertolak belakang dengan hukum yang lama tapi harus ditaati.

Islam mengajarkan ilmu-ilmu yang dimaksudkan untuk mengarahkan kita ke arah yang diridhoi Allah swt. Jalan yang disediakan untuk kita lalui memang tidaklah lurus dan mudah namun berliku-liku dan rumit, hanya saja ilmu-ilmu itu disodorkan sebagai panduan agar kita tidak tersesat. Sebagai panduan yang tujuannya bisa membantu dengan mudah, tentunya sudah selayaknya bila ilmu-ilmu itu sifatnya sederhana dan jelas. Ironisnya, tidak sedikit dari kita yang mempertanyakan bila ada makna atau maksud lain dari ilmu-ilmu itu. Sehingga apa yang harusnya bisa membantu kita menetap di jalanNya justru dikaburkan atau bahkan dihilangkan dan diganti dengan panduan baru yang belum tentu bermanfaat. Lalu kalau nantinya kita ternyata tersesat, siapa yang akan kita salahkan?

Aku percaya bahwa semua aturan dan hukum Islam yang dimaksudkan untuk menuntun kita sangat mudah. Mudah untuk dicerna dan mudah dijalankan. Bila kita masih menjumpai kesulitan dalam pelaksanaannya berarti kita mungkin masih belum melihat dan mengartikan aturan dan hukumnya dengan sederhana dan polos. 



Sunday, July 21, 2013

Keseimbangan Yang Samar


Akhirnya pertemuanku dengan para sibling terjadi juga. Event ngopi-ngopi yang pernah kami rencanakan untuk digelar sebelum memasuki bulan puasa tapi tak pernah tereksekusi akhirnya menjelma menjadi acara buka bersama. Agendanya tetap sama, yakni meng-update situasi hingar bingar permaslahan seputar proyek besar peninggalan orangtua kami yang sejak tahun lalu masih belum tampak jalan penyelesaiannya. Tentu saja yang jadi pembahasan termasuk kejanggalan sampai kenegatifan sikap pihak-pihak yang kami hadapi dengan segala keanehan aksi yang dilakukannya.

Masing-masing dari kami mengungkapkan pendapatnya meskipun pada akhirnya tak seorangpun yang meyakini pendapat mana yang menjadi jawaban atas aksi-aksi yang sering membuat kami tercengang saking mengherankannya. Seperti biasa aku lebih banyak diam sambil mencoba memahami situasi dengan seksama mengingat masalah ini memang butuh perhatian yang bukan main mendalam. 

Aku tak tau apa yang sebenarnya berlaku dalam soal perbandingan antara faktor negatif dan postif. Aku sendiri percaya bahwa keseimbangan itu terjadi bila memang kadar kedua faktor yang berlawanan itu sama banyaknya. Persis seperti yang dimaksud dalam pemahaman yin & yang lah. Dan ini berlaku di semua hal dalam kehidupan ini. Setiap hal, hidup atau mati, manusia atau mahluk hidup lainnya pasti memiliki kebaikan dan keburukan. Ada hal yang merugikan dan ada yang bermanfaat. Dan saat kedua faktor yang bertolak belakang itu, bila ditempatkan di atas sebuah neraca timbang, menduduki ketinggian yang sejajar maka orang boleh menyatakan kalau mereka berimbang rata.

Dalam hal pihak-pihak yang kami hadapi itu, apa yang membuat kami menganggapnya sebagai masalah adalah bahwa nilai negatifnya tidak berimbang dengan postifnya. Mungkin bagi yang lainnya, yang menjadi masalah adalah bahwa ketidakseimbangnya itu diwakili oleh lebih beratnya kadar kenegatifannya. Tapi bagiku, itu bukan lagi menjadi alasan yang tepat untuk menilainya sebagai sebuah masalah. Saat keseimbangan tidak terjadi, disitulah masalah sudah berlaku, tanpa dipengaruhi oleh fakta sisi timbangan yang mana yang lebih berat. Saat lebih berat sisi postifnyapun bisa selayaknya dianggap sebagai masalah. Mengapa begitu?

Kebanyakan dari kita men-set idealismenya justru pada kondisi saat kepositifan menjadi faktor primer. Kita merasa nyaman dengan suatu kondisi yang kebaikannya lebih berbobot dari keburukannya? Apakah memang kita akan nyaman dengan sesuatu yang tidak punya faktor negatif sama sekali? Mungkinkah seorang milyarder, yang bisa mendapatkan apa saja dengan menjentikan jari-jarinya, mencoba mencari hal yang sederhana seperti naik angkot? Atau orang yang punya pasangan yang begitu sabar, ramah, penurut dan pengabdi suatu saat ingin pasangannya sesekali membelot dan menolak bahkan marah dan menentangnya, hanya karena ia mulai merasa bosan dengan segala faktor kepositifan pasangannya itu.

Intinya...aku percaya bahwa keseimbangan yang sebenarnya itu adalah yang berkondisi 50-50. Seperti layaknya kesejajaran antara kedua sisi timbangan yang selalu dianggap merepresentasikan keadilan, aku rasa begitu pulalah kondisi yang selalu ditawarkan oleh Sang Pencipta. Hanya saja...kita sering tidak menyadarinya & merasa tidak puas dengan segala hal yang (kita anggap) negatif. Pada saat kita menganggap hidup kita dijajali dengan kenegatifan, kita mengeluh. Sementara kita baru bersyukur saat kenyamanan itu tercapai. Padahal ketidak adilan yang kita tuduhkan padaNya didasari hanya pada pendapat kita semata...bukan mewakili kondisi yang sebenarnya berlaku.

Semua kembali ke diri kita masing-masing. Tuhan itu berpredikat Maha Adil...yang artinya sangat amat super adil yang tiada taranya. Jadi apa yang terjadi pada setiap insan manusia sudah diperhitungkanNya seadil-adilnya dan itu sudah harga mutlak yang tidak seharusnya ditawar-tawar bahkan dipertanyakan. Dan buatku, disitulah kedahsyatan haddist Rasulullah SAW tentang sabar dan syukur yang bagiku selalu berarti kadarnya berimbang; 50-50.



Saturday, July 20, 2013

Dirimu & Diriku


Dalam impian dalam lamunan engkau selalu terbayang...



ramadhan H.11

Thursday, July 18, 2013

Rumah Kenangan

Dengan mudahnya aku dapat merasakan kewaspadaan wanita tua itu saat tengah bercerita. Tak seperti biasanya, tutur bahasanya terdengar sopan tapi kaku. Aku mengenalnya sebagai seseorang yang cukup dikenal di daerah tempat tinggalnya karena disamping ia pernah untuk beberapa periode menjabat sebagai ketua RT, hingga kini ia masih rutin memberikan bimbingan pembelajaran pada murid-murid dari beberapa SD setempat. Jadi bisa dikatakan ia adalah seorang wanita yang tegas sekaligus bawel.

Kali ini sikap ekstra hati-hatinya terlihat dalam pelannya suara dan tempo bicaranya. Mungkin kalau ini suatu hal yang berhubungan dengan tingkah putra-putraku selama mengikuti les-nya, aku akan gemas menunggu ia selesai berbicara atau menyampaikan inti pembicaraannya. Tapi aku bisa menduga apa inti dari yang ingin disampaikannya padaku. Oleh karenanya aku tidak mungkin akan berada dihadapannya jika ia tidak pernah memberi cukup alasan untukku memenuhi undangannya lewat telpon tadi. Dengan seksama aku menyimak setiap kata yang ia ucapkan dan berharap tidak melewatkan sedikit informasipun darinya.

Apalagi aku tau ia punya indera keenam yang membuatnya piyawai dalam membaca. Meski mungkin ia bukan orang pintar yang tersohor, yang membuka praktek sebagai cenayang komersial, namun banyak orang yang percaya pada hasil penerawangnya. Apa yang aku ingin dengar juga bukan hasil ramalan atau hasil bacaannya tentang aku, tapi penglihatannya atas kejadian yang baru saja dialami oleh seorang wanita muda penghuni bekas rumah orang tuaku. Ya...rumah cukup besar berlantai dua yang bersama adikku, aku bangun di atas dua kavling kosong, dan kemudian sempat aku huni beberapa tahun ketika aku harus mendampingi almarhumah ibuku yang sakit.

Rupanya 3 hari sebelum memasuki Ramadhan, seluruh penghuni rumah itu gempar karena wanita muda yang bersama suaminya menyewa sebuah kamar disitu mengalami suatu kejadian yang dianggapnya ghaib. Bukan seperti kesurupan yang membuatnya bertingkah aneh, namun ia merasa tidak enak badan yang sangat serius. Dengan tetap menguasai kesadarannya, ia merasakan ada yang merasuki tubuhnya yang membuat isi tubuhnya seolah teroyak-oyak. Selang beberapa saat setelah itu, ia dan beberapa penghuni lain rumah yang kini menjadi tempat kost itu melihat kehadiran seorang wanita tua berparas bersih dan cantik, duduk di sebuah kursi di seberang ruangan. Ia hanya duduk manis sambil pandangannya sibuk mengawasi seisi ruangan tanpa memberi perhatian khusus pada apa yang tengah dialamai si wanita muda. Dan sekitar setengah menit kemudian sosok wanita tua itu menghilang.

Saat ditemui wanita cenayang tadi, si wanita muda ini mengaku bahwa rupanya itu bukan kali pertama ia merasakan hal serupa. Bahkan sebelumnya ia sampai muntah-muntah sehingga harus ditangani oleh seorang pendeta agama yang dianutnya. Tanpa menyaksikannya sendiri, wanita cenayang ini menyatakan yakin bahwa sosok wanita tua itu adalah arwah mendiang ibuku. Namun ia sama sekali tidak tau apa makna yang ada dibalik peristiwa penampakan itu. Ia mengaku berasumsi karena akan memasuki bulan Ramadhan mungkin mendiang ibuku ingin dikirimi doa. Ia juga sempat mempertanyakan bagaimana pemeliharaan kebersihan rumah kost itu karena ia tau betul bagaimana selama hidupnya, mendiang ibuku sangat memperhatikan dan merawat rumahnya, dan tidak suka dengan hal yang jorok atau berantakan.

Seolah merasa cemas jika penuturannya kurang berkenan buatku, wanita cenayang ini bercerita sambil sesekali menanyakan apakah aku baik-baik saja, sementara aku mendengarkan dengan antusias sambil tetap tersenyum.  Aku tidak terganggu, takut atau sedih dengan cerita ini, namun justru bergairah mendengarnya. Bagaimana tidak? Mungkin ini bisa jadi sebuah solusi untuk bertemu dengan mendiang ibuku. Setidaknya, aku bisa berharap ia hadir lagi di tempat yang sama jika aku mendatangi rumah itu. Dan semua sibling-ku memberikan tanggapan yang sama ketika aku teruskan cerita ini pada mereka. Aku percaya sepenuhnya jika kehadirannya itu tidak didasari atas hal yang buruk atau berdampak negatif bagi siapapun. Kalau memang ia hadir hanya karena rindu pada rumah itu, wajar saja, karena rumah itu memang kami rancang dan bangun untuk mendiang orangtuaku dengan segala spesifikasi yang ditentukan oleh mendiang ibuku. Jadi bisa dikatakan peran mendiang ibuku sangatlah besar dalam menentukan fisik rumah itu.

Lalu apa yang harus aku lakukan dalam menyikapi kejadian ini? Tidak ada hal yang khusus. Doa selalu aku kirim disetiap waktu, khususnya selama bulan Ramadhan ini ketika aku memang meliburkan diri dari rutinitas berziarah ke makamnya.



Wednesday, July 17, 2013

Konsisten

Wow...aku salut pada dirimu.
Tapi tunggu...jangan besar kepala dulu. Bukanlah keelokan sosokmu yang kutau memang dikagumi banyak orang. Bukan juga ilmu yang kau miliki yang sering kau gunakan untuk merendahkan dirimu sekaligus mempesona lawan bicaramu. Memang rapormu tidak banyak merahnya bahkan prestasimu terbilang jauh di atas rata-rata, namun satu angka merah itu cukup untuk menghanguskan rapormu. Dan yang membuatku salut adalah ketangguhanmu dalam mempertahankan angka merah itu dari waktu ke waktu.

Aku harus jujur mengakui konsistensimu dalam memperjuangkan apa yang selama ini salah di mataku tapi benar buatmu. Aku memang tidak dan belum bisa membuktikan kebenaran dari apa yang aku sendiri jalani, yang tentunya otomatis membuatmu salah. Namun kalaupun memang begitu, setidaknya kau tampak sudah begitu berpegang teguh pada komitmenmu, hingga sampai pada hari-hari di bulan suci seperti ini. Kau mampu dan tetap membela apa yang kau yakini meski itu berarti kau harus menjilat ludahmu sendiri.

Hebat!
Hanya itu yang saat ini dapat aku utarakan sambil juga mencoba mengambil hikmah dari ini semua karena aku sudah memulai pelatihanku. Aku hanya mengingatkan agar engkau berhati-hati karena ketangguhanmu itu bisa menjadi jerat buatmu sendiri kelak.



Tuesday, July 16, 2013

The Take Over


The day is finally here.
After half of a decade of relentless waiting.
Conquered an undiscovered land they have.
Turning me into a stranger in my own turf.



Congratulation, Son...

Naseeb...

Seperti telah diketahui cukup banyak kenalan dekatku, aku ini sangat percaya bahwa nasib itu bukan ditentukan oleh manusia tetapi oleh Sang Pencipta. Terserah jika hal itu ditentang orang dan dianggap salah, pendapatku tidak sedikitpun bergeming. Aku percaya garis nasibku sudah jelas nyata ditarik olehNya secara komplit bahkan jauh-jauh hari sebelum aku dilahirkan. Sehingga aku sangat setuju dengan istilah, "manusia boleh berusaha tetapi Tuhan yang menentukan". Pesannya jelas, mau jungkir balik seperti apapun manusia dalam berusaha, ia tidak akan pernah tau sebelumnya nasib seperti apa yang akan harus diterimanya karena bukan dialah yang menetukannya.

Apa yang terjadi akhir minggu kemarin sangat mewakili apa yang aku yakini. Bermula dengan gerimis dan awan tebal mendung yang mengiringi keberangkatanku. Aku dari awal telah menduga jika hujan deras mungkin akan menyambutku di tengah perjalanan, sehingga perangkat anti hujanpun sudah kusiapkan bersamaan dengan sikap waspada plus doa keselamatan. Dan ketika lebatnya hujan memang menyertaiku selama di perjalanan, meski aku tau kondisi ban-ban yang bergulir di atas aspal basah itu sangat baik, aku bersikap ekstra hati-hati mengingat motor yang kukendarai itu masih baru.

Kewaspadaku itu ternyata tidak menghindarkan aku dari bencana yang aku alami saat melintasi pintu kereta apa. Aksi melambatkan motor dan penyebrangan rel yang aku terapkan itu tidak membuat nasibku sebaik yang aku rencanakan terjadi. Ban karet yang teorinya menurunkan prosentase tergelincirnya motor tidak merubah fakta bahwa aku terpeleset dan terjatuh di atas rel, dan sempat membuat lalu lintas tersendat sesaat.

Aku boleh saja menset kewaspadaanku pada level yang maksimal sejak awal, namun itu hal itu bukan berarti aku akan terhindar dari bahaya. Kalau nasibku yang telah ditentukan seperti itu, tentunya pasti akan terjadi dan aku harus melewati segala tahap, termasuk tahap berwaspada yang menjadi bagian dari perjalananku menuju nasibku itu. Aku bisa saja berencana untuk tidak beranjak pergi agar kans mengalami kecelakaan pun jadi lebih besar. Tapi pada akhirnya, aku pasti akan tetap melakukan perjalanan yang mengarahkanku pada kecelekaan itu karen memang itulah yang akan aku hadapi hari itu.

Biasanya ada saja orang yang lalu mempertanyakan apakah Tuhan begitu teganya memilih keburukan sebagai nasib kita. Tapi aku selalu percaya bahwa Tuhan selalu menentukan yang terbaik buat manusia. Yang terbaik bukan selalu berarti yang baik dan bagus. Dan aku percaya bahwa nasib buruk yang menimpaku kemarin adalah sesuatu yang sifatnya terbaik buatku. Tinggal tugasku untuk mencari tau makna baik apa yang mungkin terkandung di balik peristiwa itu.



Saturday, July 13, 2013

Ajaran Baru, Lagu Lama.


Aku tidak protes atas merebaknya postingan religius Islam di pelbagai situs jejaring sosial, yang isinya hal-hal yang sifatnya informatif atau mendidik mengingat bulan ini umat Muslim memang dianjurkan mempertebal imannya sambil menimba ilmu yang bermanfaat dan pahala yang berlipat. Tapi disaat inilah, seperti di tahun-tahun sebelumnya, aku bisa menemukan banyak postingan yang akhirnya tidak mendidik dan justru bisa menuai tanggapan negatif dari berbagai pihak hingga bisa menciptakan perdebatan pendapat yang sebenarnya tidak bermanfaat.  

Postingan seperti itu berisi pendapat yang berkesan menggurui dengan teori baru yang (dengan kata lain) berarti menyatakan kesalahan pada teori terdahulu yang telah sekian lama dianggap benar. Penulisnya biasanya cenderung muda dan punya antusias yang sangat besar dalam menggali dan mencari fakta yang kemudian diolah menjadi pemahaman baru yang diharapkannya lebih benar dari yang sudah ada. Kebanyakan komentator yang sependapat juga tergolong muda karena pembaca yang lebih tua memilih untuk tidak berkomentar.

Suatu contoh saja, kemarin baru kubaca sebuah postingan yang menampilkan sebuah doa dalam bahasa Arab lengkap dengan artinya. Postingan itu diberi pengantar sebuah kalimat yang menyatakan bahwa do'a tersebut adalah do'a berbuka puasa "yang sebenarnya", seolah do'a yang sudah umum digunakan dimana-mana selama ini bukanlah do'a yang benar. Aku tidak perlu mempertanyakan atau mendebatkan do'a mana yg lebih benar mengingat tak seorangpun tau jawabannya. Hanya saja aku sempat bertanya pada diri sendiri, apakah si penulis ini benar-benar berharap pembaca postingannya akan lalu mengganti do'a-nya?

Contoh lain dengan postingan yang dipasang bahkan sebelum Ramadhan dimulai adalah tentang tidur selama berpuasa. Dalam postingan tersebut dinyatakan bahwa ada kondisi dan situasi tertentu yang bisa membuat tidur kita diaggap tidak bermanfaat, bahkan dianggap sebagai sebuah kesalahan. Sepengetahuanku, tidur selagi berpuasa itu, dengan niat apapun atau tidak, selama ini dianggap sebagai tindakan yang bijaksana karena otomatis menjauhkan kita dari perbuatan keji dan mungkar yang menuaian dosa yang bisa setiap saat terjadi di kala kita terjaga. Dan hal ini kebetulan juga diterangkan oleh ustadz yang berceramah dalam sholat Tarawih semalam.

Di bulan ini kita dianjurkan untuk bersabar dalam segala hal tanpa pengecualian. Sabar dalam mengendalikan emosi dan ego kita, termasuk tidak terpancing postingan atau pendapat yang cenderung menyulut emosi. Dan seharusnya juga, kita bisa bijaksana dalam menentukan apa yang perlu kita bagi kepada orang lain dan menahan diri dari pembuatan pernyataan yang bisa memicu adrenalin orang lain untuk bersikap emosi. Karena dengan ego yang tak terkontrol, postingan dan/atau pernyataan yang tidak tepat dapat merubah niat berbagi ilmu yang tulus menjadi aksi pemaksaan ajaran yang didasari oleh kesombongan



Friday, July 12, 2013

Kata-kata Yang Berguguran

Aku mencoba mendapatkan hal-hal yang lebih baik selama Ramadan kali ini dari sebelumnya. Aku berusaha agar aku tidak hanya mendapatkan lapar dan hausnya, namun segala manfaat dari keberkahan bulan ini.
Aku menganggap bulan ini bukan sebagai bulan pengujian namun lebih sebagai bulan pelatihan dimana kita selayaknya melatih diri untuk menghadapi ujian yang justru hadir pasca bulan ini berlalu, selama berbulan-bulan hingga kita beruntung dapat bertemu bulan ini lagi di tahun berikutnya. Jadi, ketimbang bersikap sebagai peserta sebuah ujian, aku cenderung bersikap sebagai seorang peserta pelatihan yang seyogyanya menyerap sebanyak mungkin ilmu yang kemudian secara bijaksana diseleksi untuk disimpang sebagai pedoman hidup.
Di saat istirahat dari pekerjaan, kalau sedang tidak mood untuk membaca-baca, aku lebih suka memanfaatkan kesendirianku untuk merenung. Hal ini cukup efektif bagiku untuk menelaah dan mencerna dengan tenang pelbagai ilmu atau teori yang pernah masuk ke dalam otakku, sehingga aku bisa mendapatkan kesimpulan atau keputusan yang bisa diandalkan buat jalan hidupku.

Pagi tadi aku melakukan perenungan atas kiat melewati hari-hari Ramadan tahun ini yang lebih intense dari tahun sebelumnya. Meskipun aku sadar kiat seperti itu besar kemungkinannya akan menambah beban puasaku seperti halnya yg terjadi tahun lalu saat aku akhirnya tumbang tak berdaya dibuatnya, namun tekad mulia sekalian untuk melahirkan sosok yang lebih baik yang mendasari kiat ini lah yang akhirnya juga memantapkan langkahku saat memasuki bulan suci ini. Sebetulnya yang membuat aku ragu adalah kekuatan imanku yang keliatannya tidak dapat mengimbangi bobot materi pelatihan yang akan aku dapati. Itulah yang membuatku merasa perlu sedikit-sedikit merenung, hanya sekedar untuk meyakinkan diri bahwa semuanya akan berjalan mulus dan berakhir sebaik yang aku harapkan. Suatu saat muncullah kata "perdamaian" dalam benakku. Lalu aku merasa bahwa begitu mudahnya pilihan yang kita biarkan terhidangkan di depan kita saat relefansinya ke orang lain; berdamai atau tidak...itu saja. Tapi kita sendiri mungkin bahkan tidak pernah berpikir seberapa pentingnya kita perlu berdamai dengan diri kita sendiri.

Ya....yang ini memang terkesan tricky, tapi sebetulnya simple dan mudah.
Begitu seringnya ego kita bisa mengatur hidup kita sampai-sampai saking terbiasanya, kita tidak lagi menyadari jika hal itu terjadi. Kita bahkan mungkin siap menyangkal fakta itu hanya karena kita lebih dipengaruhi ego daripada logika. Seperti halnya logika yang bisa menjadikan kita humble (merendah), egopun bisa menjadikan kita, tanpa disadari, sombong dan suka "mengeyel". Dalam aksi berdamai ini, kita mencoba mengesampingkan ego, dan sebaliknya mengutamakan logika. Agar aksi ini mudah dieksekusikan, kita perlu berdiam diri dalam arti menciptakan suatu kesunyian dalam benak dan hati kita, karena dengan ketenangan seperti itulah kita bisa mendapatkan kebenaran dan kenyataan tentang diri kita sendiri, bukan suatu wujud yang telah dimanipulasi oleh ego. Dan ketika kebenaran itu kita dapatkan, kita seharusnya bisa melihat dengan jelas apa saja yang belum tuntas kita lakukan.

Menuntaskannya tentu dengan berbagai macam cara tergantung pada masalahnya, namun ada semacam pesan terselubung yang aku tangkap di balik itu semua. Kesunyian yang disinggung sebelumnya di atas bisa jadi adalah kata kunci yang mungkin mendasari cara apapun yang kita gunakan dalam menuntaskan masalah-masalah kita. Aku mengarahkan kesunyian ini pada minimnya penggunaan kata-kata yang lebih cenderung kita pakai dalam mencoba mencari solusi. Bak tukang obat, kita gunakan kata-kata untuk menjelaskan, meyakinkan, bahkan kalau perlu memanipulasi pihak lain demi tercapainya sebuah resolusi yang kita harapkan. Padahal, mungkin saja kita telah terlalu sering mengumbar kata-kata dan pihak lainpun telah terlalu sering mendengarkan kata-kata itu, sehingga bukanlah kata-kata yang dapat menjadi medium untuk menyelesaikan masalah. Ada saatnya seseorang hanya ingin melihat, bukan lagi mendengar di saat ia telah sekian lama mendengar pengulangan kata-kata yang sama.

Ibarat dedaunan yang gugur dari ranting pohon setiap kita mengucap kata-kata, haruskah pohon itu menjadi gundul tanpa sehelai daunpun hanya karena kita berulang kali mengucapkan kata-kata yang sama? Kata-kata yang harusnya tidak lagi perlu diucapkan untuk menerangkan sesuatu kepada seseorang yang butuh penjelasan visual yang lebih kongkrit?
Renungan ini mengingatkanku pada janji yang aku ikrarkan untuk aku laksanakan selama bulan Ramadan ini. Seolah memang ada benang merahnya, menutup mulut bisa jadi seuatu cara buatku menuntaskan apa yang selama ini masih menggantung.



Thursday, July 11, 2013

Dua Wanita

Kemarin dulu aku mendengar lagi sebuah cerita tentang seorang wanita bersuami yang rupanya sedang kasmaran dengan seorang pemuda yang berumur terpaut cukup jauh dari umurnya. Aku sendiri tidak mengenal dekat dengan wanita ini karena aku tidak membiasakan diri untuk akrab dengan kenalan dan teman istri. Yang kutau, ia adalah seorang muslimah berhijab yang kelihatannya periang dan ibu dari temen sekelas anakku.

Hasil keluh kesah dan curhat yang akhirnya sampai ke telingaku adalah bahwa, tidak seperti yang diketaui banyak orang, pernikahannya yang telah berlangsung selama 10 tahun dan membuahkan dua orang anak itu bagaikan sebuah rangkaian ujian kesabaran baginya. Berawal dari perkawinan yang tidak didahului dengan tahap pacaran, di tahun-tahun pertama setelah putri pertamanya lahir, ia sudah harus merasakan pedihnya kata-kata kasar dan sumpah serapah dari suaminya yang memang temperamental. Ia juga menyatakan bahwa tidak ada keromantisan dalam pernikahannya karena sikap suaminya yang sangat menyudutkan posisinya. Jangankan membelikan barang untuknya, uang belanja yang diberikanpun sangat terbatas sampai terkadang harus ia tomboki dengan uang dari koceknya sendiri yang tidak seberapa adanya.

Selama ini ia berhasil menutup-nutupi segala keburukan tabiat suaminya dan aib yang ia alami, namun dengan  bertambah parahnya kondisi rumah tangganya, semakin enggan dan capai juga ia berusaha menyembunyikannya. Cacian dan amarah suaminya sering dilontarkan di depan orang lain hingga kedua putrinya pun kini sudah faham dan sering mencoba menghiburnya saat ia baru kena damprat suaminya. Dan Situasi yang seperti inilah yang kemudian merubahnya menjadi akrab berhubungan dengan para pria, kenalan barunya di media sosial di dunia maya, yang akhirnya memberinya rasa kasmaran pada pemuda itu.

Apa yang telah dan akan terjadi antar mereka berdua bukanlah sebuah isu buatku. Aku lebih memikirkan jalan pemikiran pasangan suami istri ini sejak pertama mereka merasakan ketidaknyamanan dalam pernikahannya hingga saat ini dimana mereka masih mempertahankannya.
Wanita ini mengaku bahwa selama ini yang menjadi alasannya untuk bersikap "nrimo" adalah demi anak-anaknya. Baginya, perpisahan akan menjadi suatu peristiwa yang sangat dapat mengacaukan hidup anak-anaknya. Bahkan pertengkaranpun dihindari agar anak-anaknya tidak mendeteksi adanya beda pendapat. Begitu pula usaha membendung tereksposnya berita ini agar anak-anaknya tidak pernah akan tau.
Tapi kalau sudah seperti ini situasinya, lalu bagaimana ke depannya?

Aku bukanlah seorang pakar atau konsultan pernikahan, bukan pula seorang ahli agama yang berhak berbicara mewakili hukum agama yang aku anut. Aku hanya seorang suami dan seorang ayah dengan pemikiran logika yang sangat sederhana. Dan dalam kesederhanaan itu, ada dua pemikiran yang aku anggap penting untuk diajdikan pertimbangan. Pertama, bahwa seburuk apapun kondisi yang terjadi antara suami dan istri, anak berhak tau, seumur berapapun ia. Penyembunyian perselisihan paham yang parah dari anak, yang biasanya disusul dengan terwujudnya perang dingin itu hanyalah sebuah bom waktu yang kapan saja bisa meledak, terutama hal itu sering dan mudah terjadi. Sebaiknya memang pemberitauan ini dilakukan dengan cara yang baik, perlahan dan berkala. Intinya, anak perlu dapat kesempatan untuk punya gambaran sejak dini seperti apa kondisi yang ada disekelilingnya sehingga ia tidak ada shock kelak nanti.

Kedua, pernikahan adalah ikatan antara suami dan istri, dimana anak bukanlah sebuah aspek utama di dalamnya, namun hanya tambahan. Pernikahan yang tidak memberikan kenyamanan kepada suami dan/atau istri, harusnya bukanlah jenis ikatan yang layak dipertahankan. Kenyamanan suami dan istri akan melahirkan kenyamanan anak dan keluarga. Sehingga bila dari awal, suami dan/atau istri memang telah merasa tidak nyaman, bagaimana mungkin anak-anaknya menjadi nyaman? Bagaimana mungkin keharmonisan keluarga tercipta jika keharmonisan itu sendiri tidak tercipta antara suami dan istri? Jadi alasan untuk mempertahankan atau menyudahi sebuah pernikahan itu ada pada faktor nyaman tidaknya suami dan/atau istri. Tidak seharusnya pernikahan yang tidak nyaman itu dipertahankan dengan alasan demi kenyamanan anak. Tapi memang banyak sekali kasus rumah tangga yang dipaksa berjalan terus hanya karena alasan demi anak, sementara suami dan istri sudah lebih pantas untuk hidup terpisah.

Lalu aku ingat akan seorang teman wanita yang curhat kepadaku akhir tahun lalu. Ia juga mengalami dilema pernikahan yang semu dimana suaminya selalu pulang larut karena disibukkan dengan "pacar baru"nya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahkan telah diakui oleh sang suami. Namun keduanya tidak menginginkan adanya perpisahan. Sang istri khawatir perceraian, yang mungkin adalah solusi paling tepat baginya untuk menyudahi rasa sakit hatinya itu, justru menjadi hal yang dapat mengganggu mental anak-anaknya. Sementara sang suami lebih ingin berpoligami karena selama ini memang sang istri lah yang menghidupi keluarganya. Ia bahkan telah bersumpah tidak akan menceraikan sang istri walau dalam keadaan apapun.

Aku lalu bertanya pada temanku ini tentang seberapa besar sakit hati yang dirasakannya. Dan aku juga memintanya mempertimbangkan kemungkinan ia kehilangan kewarasan atau kesehatannya hingga tak mampu lagi menjadi tumpuan harapan anak-anaknya. Ia menyatakan bahwa putri sulungnya yang duduk di bangku SMP sebenarnya telah acap kali mencoba menenangkan dan menghiburnya. Putrinya ini memang sangat tidak menyukai prilaku ayahnya yang tega menyakiti hati ibunya.
Setelah temanku ini berkonsultasi dengan pihak keluarganya tentang apa yang aku sampaikan, ia akhirnya menggugat cerai suaminya, kemudian melalui suatu sidang pengadilan agama ia akhirnya resmi bercerai.
Sekitar sebulan lalu, iya mengumumkan telah menemukan seorang pria yang telah mengisi hatinya sejak 3 bulan yang lalu dan akan menikahinya awal tahun depan.

Wanita pertama tadi, kini tengah menjalani dua kehidupan; satu dalam ketegangan dan rasa acuh tak acuh terhadap suaminya. Satu lagi dalam kebahagiaan yang terbatas tapi membuat hatinya berbunga-bunga. Sedangkan bagi temanku, bulan ini mungkin menjadi Ramadhan yang terindah sejauh ini karena ia berhasil meninggalkan situasi buruk yang telah lama ia pertahankan demi anak-anaknya dan menempatkan dirinya kembali dalam situasi yang baik.




Wednesday, July 10, 2013

1 Ramadan 1434H

Bahwa hari ini memang hari pertama puasa bagi sebagian besar masyarakat negeri ini seperti aku, bukan berarti acara-acara religi non-talkshow yang ditampilkan di televisi pada pagi hari menjadi istimewa seperti halnya acara-acara sore hari dan waktu sahur. Aku lebih suka menonton acara-acara religi seperti ini di pagi hari yang, mungkin karena dianggap miris pemirsa, pembuatannya memang dibuat sederhana dan bukan untuk mengejar "rating". Tidak hanya materi yang terkesan ringan, penyajian dan pembawa acaranya pun terlihat "membumi". Artinya, mungkin bukan tokoh terkenal, atau tidak tampil dengan busana dengan label besar atau bernama, atau didampingin bintang tamu yang  juga tidak perlu seorang selebriti.

Pagi ini, sambil melakukan penyampulan buku-buku sekolah anak-anaku,.aku menyaksikan salah satu acara itu. Topiknya sederhana, tentang peranan dan sejarah Ka'bah yang menjadi sumber kekuatan iman bagi umat Muslim sedunia. Pembawa acaranya seorang lelaki muda yang tidak aku kenali, ditemani oleh seorang nara sumber yang juga lelaki muda dengan panggilan nama, sebut saja RD. Tokoh ini bisa dikatakan berperawakan agak pendek jika dibandingkan pembawa acara yang terlihat punya tinggi yang standar. Bersama pembawa acara, ia berkeliling seputar tanah suci Mekkah, menjelaskan sejarah Ka'bah sambil sesekali mereferensikan potongan ayat-ayat dari Al-Qur'an atau hadist Nabi pada penjelasannya.

Yang menarik adalah penampilan RD ini. Tidak seperti umumnya para da'i atau nara sumber lainnya, RD tampil dengan pakaian ala kadarnya. Jangankan selendang yang sering menjuntai di pundak & leher para da'i dan ustadz lainnya, tidak sepotong tutup kepala pun dikenakan olehnya. Baju koko lengan pendek yang dipakainya juga terlihat standar saja terbuat dari bahan katun dengan sedikit dekorasi ornament sederhana dibagian depannya. Wajahnya klimis tanpa kumis dan janggut, dengan cambang tipis sepanjang hingga garis bawah telinganya. Pendek kata, sosoknya sama sekali tidak mewakili tampilan tipikal kebanyakan da'i dan ustadz.

Aku lalu teringat bagaimana orang-orang yang sering berlomba mendandani dirinya sedemikian rupa agar terlihat "agamais". Kalau perlu sampai bisa dianggap dan disebut sebagai seorang "haji" oleh mereka yang tidak mengetahui bahwa dirinya belum pernah naik haji. Sebagian orang memang ada yang percaya bahwa semakin dalam ilmu agama yang dimiliki seseorang, semakin agamais pula seharusnya ia berpenampilan. Misalnya dengan jubah (yang mungkin berlapis-lapis) dan selendang atau selembang yang dikalungkan di lehernya. Belum lagi kopiah atau bahkan sorban yang menutupi kepalanya, dan mungkin sebuah tasbih dalam genggamannya. Jadi sebelum ia membagi ilmunya, bahkan sebelum mengucapkan sepatah katapun, ia sudah bisa diasumsikan sebagai seorang ilmuwan agama.

Kalau hal ini bisa disebut sebagai sebuah nafsu, tentunya ini bulan yang tepat buat menahannya. Sehingga di bulan suci ini harusnya jumlah orang yang seperti itu minimal berkurang. Tapi mengapa justru di saat-saat seperti inilah terlihat makin banyak orang yang berpenampilan seperti itu? Apakah mungkin masyarakat negeri ini sudah begitu terperangkapnya dalam keterbatasan penilaian yang sangat ditentukan dengan penampilan? Ironisnya....memang sangat mungkin.



Tuesday, July 2, 2013

Islam Yahudi

Meskipun dilahirkan dan dibesarkan di Lower East Side, sebuah distrik di New York City yang identik dengan komunitas Yahudi, sejak kecil, Yosef Wassermann lebih sering bermain jauh dari rumahnya. Di usia kanak-kanaknya, ia lebih suka berteman dengan anak-anak yang bukan penghuni distrik tersebut. Kakeknya adalah seorang imigran dari Israel yang mengungsi ke New York sesaat sebelum perang Dunia 2 dimulai. Keluarganya adalah kaum Yahudi tulen yang masih dengan taat melaksanakan segala ritual keagamaannya. Hingga saat Yosef dewasapun, masih banyak yang keluarga dekatnya di Israel.

Selepas sekolah dasar, ia berkutat ingin melanjutkan sekolahnya bersama paman dan bibinya yang tinggal di negara bagian Rhode Island. Setelah dewasa, ia memang mengaku tidak merasa bebas tinggal di lingkungan kaum Yahudi yang dianggapnya tertutup dari dunia luar. Namun hal tersebut tidak pernah ia kemukakan pada orang tuanya karena khawatir mereka tidak akan mengizinkannya pindah dari New York.

Masa-masa sekolah menengah ia habiskan sebagai anggota tim basket di sekolahnya. Kesukaannya terhadap tim Lakers mendorongnya ingin hijrah ke Los Angeles melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Ia memang berhasil kuiah di Cal-State University, namun karirnya di tim basketnya perlahan pudar. Jurusan Sosiologi yang diambilnya justru membuatnya lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan kampus. Banyak teman kuliahnya yang menyebutnya sebagai kutu buku sekaligus menyeganinya karena keramah tamahan dan kepintarannya. Hal ini pulalah yang membuatnya cukup dikenal baik oleh para dosennya. Ia sering diundang oleh mereka untuk hadir dalam acara-acara seminar dan lecture yang mereka selenggarakan di luar kampus hingga suatu hari ia dikenalkan pada seorang pengurus Islamic Center di San Francisco (ICSF) yang saat itu menjadi salah satu pembicara. Dari perkenalan inilah ia kemudian diundang ke sebuah acara yang diselenggarakan oleh ICSF.

Awalnya, banyak jemaat ICSF yang menerima kehadirannya dengan penuh keheranan, mengingat ia adalah seorang Yahudi. Namun kerendahan hati dan sikap bersahabat yang mendasari cara bicaranya seolah menawarkan perdamaian kepada jemaat. Ia mengaku terkesan dengan keramah tamahan hadirin yang diajaknya mengobrol. Dan sejak itulah, ia tekun membaca dan mempelajari Islam dengan tujuan untuk mengerti cara berfikir umat Muslim sambil membandingkannya dengan cara berfikir kaumnya. Ia juga lebih sering menyempatkan dirinya untuk membedah buku-buku Islam yang tersedia di perpustakaan ICSF. Pada tiap Jum'at, ia duduk di luar pintu musholla untuk ikut mendengarkan khotbah Jum'at.

Setelah ia menyelesaikan kuliahnya, ia langsung bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kemanusiaan. Tak lama kemudian, ia memutuskan untuk menjadi seorang mualaf di depan jemaat ICSF seusai sholat Jum'at. Kepindahannya menjadi seorang Muslim disusul dengan tawaran untuk menjadi salah seorang penceramah di lingkungan ICSF yang segera diterimanya. Tidak hanya itu, ia juga kerap memberikan ceramah di masjid-masjid di pelbagai kota lainnya. Yang unik adalah bahwa ia tidak lalu mengganti namanya yang merupakan nama khas Yahudi. Baginya, nama yang disandangnya tidaklah mencerminkan baik-buruk atau benar-salahnya ia sebagai seorang manusia. "Apapun agama saya, apapun yang saya lakukan, saya tetap seorang bangsa Yahudi, tapi bukan beragama Yahudi. Biarkan saya mempertahankan nama yang selama ini sudah menjadi bagian hidup saya sejak saya dilahirkan", jelasnya.

Aku suka dengan sosoknya. Ia tidak pernah memilih siapa yang pantas ia ajak bicara. Ia juga bukan tipe penceramah yang merasa pantas untuk memaksakan pendapatnya pada orang lain. Cara bicara dan berpikirnya jelas memperlihatkan ilmu yang tinggi dibalik kerendahan hatinya. Ia tidak akan beranjak pergi sebelum ia yakin tidak ada lagi yang memerlukan dirinya, baik untuk mendapatkan pencerahan atau sekedar obrolan ringan tentang hal diluar agama. Aku selalu merasa gembira setiap mengetahui bahwa ia lah yang akan berkhotbah ketika aku datang di ICSF untuk Jum'atan.

Hari ini, aku mendapat email dari seorang kawan yang tinggal di San Francisco, yang memberitakan bahwa Yosef Wassermann telah berpulang ke Rahmatullah Jum'at dini hari yang lalu di usia yang ke 57.

Farewell brother. You will always be remembered.