Hasil keluh kesah dan curhat yang akhirnya sampai ke telingaku adalah bahwa, tidak seperti yang diketaui banyak orang, pernikahannya yang telah berlangsung selama 10 tahun dan membuahkan dua orang anak itu bagaikan sebuah rangkaian ujian kesabaran baginya. Berawal dari perkawinan yang tidak didahului dengan tahap pacaran, di tahun-tahun pertama setelah putri pertamanya lahir, ia sudah harus merasakan pedihnya kata-kata kasar dan sumpah serapah dari suaminya yang memang temperamental. Ia juga menyatakan bahwa tidak ada keromantisan dalam pernikahannya karena sikap suaminya yang sangat menyudutkan posisinya. Jangankan membelikan barang untuknya, uang belanja yang diberikanpun sangat terbatas sampai terkadang harus ia tomboki dengan uang dari koceknya sendiri yang tidak seberapa adanya.
Selama ini ia berhasil menutup-nutupi segala keburukan tabiat suaminya dan aib yang ia alami, namun dengan bertambah parahnya kondisi rumah tangganya, semakin enggan dan capai juga ia berusaha menyembunyikannya. Cacian dan amarah suaminya sering dilontarkan di depan orang lain hingga kedua putrinya pun kini sudah faham dan sering mencoba menghiburnya saat ia baru kena damprat suaminya. Dan Situasi yang seperti inilah yang kemudian merubahnya menjadi akrab berhubungan dengan para pria, kenalan barunya di media sosial di dunia maya, yang akhirnya memberinya rasa kasmaran pada pemuda itu.
Apa yang telah dan akan terjadi antar mereka berdua bukanlah sebuah isu buatku. Aku lebih memikirkan jalan pemikiran pasangan suami istri ini sejak pertama mereka merasakan ketidaknyamanan dalam pernikahannya hingga saat ini dimana mereka masih mempertahankannya.
Wanita ini mengaku bahwa selama ini yang menjadi alasannya untuk bersikap "nrimo" adalah demi anak-anaknya. Baginya, perpisahan akan menjadi suatu peristiwa yang sangat dapat mengacaukan hidup anak-anaknya. Bahkan pertengkaranpun dihindari agar anak-anaknya tidak mendeteksi adanya beda pendapat. Begitu pula usaha membendung tereksposnya berita ini agar anak-anaknya tidak pernah akan tau.
Tapi kalau sudah seperti ini situasinya, lalu bagaimana ke depannya?
Aku bukanlah seorang pakar atau konsultan pernikahan, bukan pula seorang ahli agama yang berhak berbicara mewakili hukum agama yang aku anut. Aku hanya seorang suami dan seorang ayah dengan pemikiran logika yang sangat sederhana. Dan dalam kesederhanaan itu, ada dua pemikiran yang aku anggap penting untuk diajdikan pertimbangan. Pertama, bahwa seburuk apapun kondisi yang terjadi antara suami dan istri, anak berhak tau, seumur berapapun ia. Penyembunyian perselisihan paham yang parah dari anak, yang biasanya disusul dengan terwujudnya perang dingin itu hanyalah sebuah bom waktu yang kapan saja bisa meledak, terutama hal itu sering dan mudah terjadi. Sebaiknya memang pemberitauan ini dilakukan dengan cara yang baik, perlahan dan berkala. Intinya, anak perlu dapat kesempatan untuk punya gambaran sejak dini seperti apa kondisi yang ada disekelilingnya sehingga ia tidak ada shock kelak nanti.
Kedua, pernikahan adalah ikatan antara suami dan istri, dimana anak bukanlah sebuah aspek utama di dalamnya, namun hanya tambahan. Pernikahan yang tidak memberikan kenyamanan kepada suami dan/atau istri, harusnya bukanlah jenis ikatan yang layak dipertahankan. Kenyamanan suami dan istri akan melahirkan kenyamanan anak dan keluarga. Sehingga bila dari awal, suami dan/atau istri memang telah merasa tidak nyaman, bagaimana mungkin anak-anaknya menjadi nyaman? Bagaimana mungkin keharmonisan keluarga tercipta jika keharmonisan itu sendiri tidak tercipta antara suami dan istri? Jadi alasan untuk mempertahankan atau menyudahi sebuah pernikahan itu ada pada faktor nyaman tidaknya suami dan/atau istri. Tidak seharusnya pernikahan yang tidak nyaman itu dipertahankan dengan alasan demi kenyamanan anak. Tapi memang banyak sekali kasus rumah tangga yang dipaksa berjalan terus hanya karena alasan demi anak, sementara suami dan istri sudah lebih pantas untuk hidup terpisah.
Lalu aku ingat akan seorang teman wanita yang curhat kepadaku akhir tahun lalu. Ia juga mengalami dilema pernikahan yang semu dimana suaminya selalu pulang larut karena disibukkan dengan "pacar baru"nya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, bahkan telah diakui oleh sang suami. Namun keduanya tidak menginginkan adanya perpisahan. Sang istri khawatir perceraian, yang mungkin adalah solusi paling tepat baginya untuk menyudahi rasa sakit hatinya itu, justru menjadi hal yang dapat mengganggu mental anak-anaknya. Sementara sang suami lebih ingin berpoligami karena selama ini memang sang istri lah yang menghidupi keluarganya. Ia bahkan telah bersumpah tidak akan menceraikan sang istri walau dalam keadaan apapun.
Aku lalu bertanya pada temanku ini tentang seberapa besar sakit hati yang dirasakannya. Dan aku juga memintanya mempertimbangkan kemungkinan ia kehilangan kewarasan atau kesehatannya hingga tak mampu lagi menjadi tumpuan harapan anak-anaknya. Ia menyatakan bahwa putri sulungnya yang duduk di bangku SMP sebenarnya telah acap kali mencoba menenangkan dan menghiburnya. Putrinya ini memang sangat tidak menyukai prilaku ayahnya yang tega menyakiti hati ibunya.
Setelah temanku ini berkonsultasi dengan pihak keluarganya tentang apa yang aku sampaikan, ia akhirnya menggugat cerai suaminya, kemudian melalui suatu sidang pengadilan agama ia akhirnya resmi bercerai.
Sekitar sebulan lalu, iya mengumumkan telah menemukan seorang pria yang telah mengisi hatinya sejak 3 bulan yang lalu dan akan menikahinya awal tahun depan.
Wanita pertama tadi, kini tengah menjalani dua kehidupan; satu dalam ketegangan dan rasa acuh tak acuh terhadap suaminya. Satu lagi dalam kebahagiaan yang terbatas tapi membuat hatinya berbunga-bunga. Sedangkan bagi temanku, bulan ini mungkin menjadi Ramadhan yang terindah sejauh ini karena ia berhasil meninggalkan situasi buruk yang telah lama ia pertahankan demi anak-anaknya dan menempatkan dirinya kembali dalam situasi yang baik.