Apa yang terjadi akhir minggu kemarin sangat mewakili apa yang aku yakini. Bermula dengan gerimis dan awan tebal mendung yang mengiringi keberangkatanku. Aku dari awal telah menduga jika hujan deras mungkin akan menyambutku di tengah perjalanan, sehingga perangkat anti hujanpun sudah kusiapkan bersamaan dengan sikap waspada plus doa keselamatan. Dan ketika lebatnya hujan memang menyertaiku selama di perjalanan, meski aku tau kondisi ban-ban yang bergulir di atas aspal basah itu sangat baik, aku bersikap ekstra hati-hati mengingat motor yang kukendarai itu masih baru.
Kewaspadaku itu ternyata tidak menghindarkan aku dari bencana yang aku alami saat melintasi pintu kereta apa. Aksi melambatkan motor dan penyebrangan rel yang aku terapkan itu tidak membuat nasibku sebaik yang aku rencanakan terjadi. Ban karet yang teorinya menurunkan prosentase tergelincirnya motor tidak merubah fakta bahwa aku terpeleset dan terjatuh di atas rel, dan sempat membuat lalu lintas tersendat sesaat.
Aku boleh saja menset kewaspadaanku pada level yang maksimal sejak awal, namun itu hal itu bukan berarti aku akan terhindar dari bahaya. Kalau nasibku yang telah ditentukan seperti itu, tentunya pasti akan terjadi dan aku harus melewati segala tahap, termasuk tahap berwaspada yang menjadi bagian dari perjalananku menuju nasibku itu. Aku bisa saja berencana untuk tidak beranjak pergi agar kans mengalami kecelakaan pun jadi lebih besar. Tapi pada akhirnya, aku pasti akan tetap melakukan perjalanan yang mengarahkanku pada kecelekaan itu karen memang itulah yang akan aku hadapi hari itu.
Biasanya ada saja orang yang lalu mempertanyakan apakah Tuhan begitu teganya memilih keburukan sebagai nasib kita. Tapi aku selalu percaya bahwa Tuhan selalu menentukan yang terbaik buat manusia. Yang terbaik bukan selalu berarti yang baik dan bagus. Dan aku percaya bahwa nasib buruk yang menimpaku kemarin adalah sesuatu yang sifatnya terbaik buatku. Tinggal tugasku untuk mencari tau makna baik apa yang mungkin terkandung di balik peristiwa itu.