Akhirnya pertemuanku dengan para sibling terjadi juga. Event ngopi-ngopi yang pernah kami rencanakan untuk digelar sebelum memasuki bulan puasa tapi tak pernah tereksekusi akhirnya menjelma menjadi acara buka bersama. Agendanya tetap sama, yakni meng-update situasi hingar bingar permaslahan seputar proyek besar peninggalan orangtua kami yang sejak tahun lalu masih belum tampak jalan penyelesaiannya. Tentu saja yang jadi pembahasan termasuk kejanggalan sampai kenegatifan sikap pihak-pihak yang kami hadapi dengan segala keanehan aksi yang dilakukannya.
Masing-masing dari kami mengungkapkan pendapatnya meskipun pada akhirnya tak seorangpun yang meyakini pendapat mana yang menjadi jawaban atas aksi-aksi yang sering membuat kami tercengang saking mengherankannya. Seperti biasa aku lebih banyak diam sambil mencoba memahami situasi dengan seksama mengingat masalah ini memang butuh perhatian yang bukan main mendalam.
Aku tak tau apa yang sebenarnya berlaku dalam soal perbandingan antara faktor negatif dan postif. Aku sendiri percaya bahwa keseimbangan itu terjadi bila memang kadar kedua faktor yang berlawanan itu sama banyaknya. Persis seperti yang dimaksud dalam pemahaman yin & yang lah. Dan ini berlaku di semua hal dalam kehidupan ini. Setiap hal, hidup atau mati, manusia atau mahluk hidup lainnya pasti memiliki kebaikan dan keburukan. Ada hal yang merugikan dan ada yang bermanfaat. Dan saat kedua faktor yang bertolak belakang itu, bila ditempatkan di atas sebuah neraca timbang, menduduki ketinggian yang sejajar maka orang boleh menyatakan kalau mereka berimbang rata.
Dalam hal pihak-pihak yang kami hadapi itu, apa yang membuat kami menganggapnya sebagai masalah adalah bahwa nilai negatifnya tidak berimbang dengan postifnya. Mungkin bagi yang lainnya, yang menjadi masalah adalah bahwa ketidakseimbangnya itu diwakili oleh lebih beratnya kadar kenegatifannya. Tapi bagiku, itu bukan lagi menjadi alasan yang tepat untuk menilainya sebagai sebuah masalah. Saat keseimbangan tidak terjadi, disitulah masalah sudah berlaku, tanpa dipengaruhi oleh fakta sisi timbangan yang mana yang lebih berat. Saat lebih berat sisi postifnyapun bisa selayaknya dianggap sebagai masalah. Mengapa begitu?
Kebanyakan dari kita men-set idealismenya justru pada kondisi saat kepositifan menjadi faktor primer. Kita merasa nyaman dengan suatu kondisi yang kebaikannya lebih berbobot dari keburukannya? Apakah memang kita akan nyaman dengan sesuatu yang tidak punya faktor negatif sama sekali? Mungkinkah seorang milyarder, yang bisa mendapatkan apa saja dengan menjentikan jari-jarinya, mencoba mencari hal yang sederhana seperti naik angkot? Atau orang yang punya pasangan yang begitu sabar, ramah, penurut dan pengabdi suatu saat ingin pasangannya sesekali membelot dan menolak bahkan marah dan menentangnya, hanya karena ia mulai merasa bosan dengan segala faktor kepositifan pasangannya itu.
Intinya...aku percaya bahwa keseimbangan yang sebenarnya itu adalah yang berkondisi 50-50. Seperti layaknya kesejajaran antara kedua sisi timbangan yang selalu dianggap merepresentasikan keadilan, aku rasa begitu pulalah kondisi yang selalu ditawarkan oleh Sang Pencipta. Hanya saja...kita sering tidak menyadarinya & merasa tidak puas dengan segala hal yang (kita anggap) negatif. Pada saat kita menganggap hidup kita dijajali dengan kenegatifan, kita mengeluh. Sementara kita baru bersyukur saat kenyamanan itu tercapai. Padahal ketidak adilan yang kita tuduhkan padaNya didasari hanya pada pendapat kita semata...bukan mewakili kondisi yang sebenarnya berlaku.
Semua kembali ke diri kita masing-masing. Tuhan itu berpredikat Maha Adil...yang artinya sangat amat super adil yang tiada taranya. Jadi apa yang terjadi pada setiap insan manusia sudah diperhitungkanNya seadil-adilnya dan itu sudah harga mutlak yang tidak seharusnya ditawar-tawar bahkan dipertanyakan. Dan buatku, disitulah kedahsyatan haddist Rasulullah SAW tentang sabar dan syukur yang bagiku selalu berarti kadarnya berimbang; 50-50.