Bahwa hari ini memang hari pertama puasa bagi sebagian besar masyarakat negeri ini seperti aku, bukan berarti acara-acara religi non-talkshow yang ditampilkan di televisi pada pagi hari menjadi istimewa seperti halnya acara-acara sore hari dan waktu sahur. Aku lebih suka menonton acara-acara religi seperti ini di pagi hari yang, mungkin karena dianggap miris pemirsa, pembuatannya memang dibuat sederhana dan bukan untuk mengejar "rating". Tidak hanya materi yang terkesan ringan, penyajian dan pembawa acaranya pun terlihat "membumi". Artinya, mungkin bukan tokoh terkenal, atau tidak tampil dengan busana dengan label besar atau bernama, atau didampingin bintang tamu yang juga tidak perlu seorang selebriti.
Pagi ini, sambil melakukan penyampulan buku-buku sekolah anak-anaku,.aku menyaksikan salah satu acara itu. Topiknya sederhana, tentang peranan dan sejarah Ka'bah yang menjadi sumber kekuatan iman bagi umat Muslim sedunia. Pembawa acaranya seorang lelaki muda yang tidak aku kenali, ditemani oleh seorang nara sumber yang juga lelaki muda dengan panggilan nama, sebut saja RD. Tokoh ini bisa dikatakan berperawakan agak pendek jika dibandingkan pembawa acara yang terlihat punya tinggi yang standar. Bersama pembawa acara, ia berkeliling seputar tanah suci Mekkah, menjelaskan sejarah Ka'bah sambil sesekali mereferensikan potongan ayat-ayat dari Al-Qur'an atau hadist Nabi pada penjelasannya.
Yang menarik adalah penampilan RD ini. Tidak seperti umumnya para da'i atau nara sumber lainnya, RD tampil dengan pakaian ala kadarnya. Jangankan selendang yang sering menjuntai di pundak & leher para da'i dan ustadz lainnya, tidak sepotong tutup kepala pun dikenakan olehnya. Baju koko lengan pendek yang dipakainya juga terlihat standar saja terbuat dari bahan katun dengan sedikit dekorasi ornament sederhana dibagian depannya. Wajahnya klimis tanpa kumis dan janggut, dengan cambang tipis sepanjang hingga garis bawah telinganya. Pendek kata, sosoknya sama sekali tidak mewakili tampilan tipikal kebanyakan da'i dan ustadz.
Aku lalu teringat bagaimana orang-orang yang sering berlomba mendandani dirinya sedemikian rupa agar terlihat "agamais". Kalau perlu sampai bisa dianggap dan disebut sebagai seorang "haji" oleh mereka yang tidak mengetahui bahwa dirinya belum pernah naik haji. Sebagian orang memang ada yang percaya bahwa semakin dalam ilmu agama yang dimiliki seseorang, semakin agamais pula seharusnya ia berpenampilan. Misalnya dengan jubah (yang mungkin berlapis-lapis) dan selendang atau selembang yang dikalungkan di lehernya. Belum lagi kopiah atau bahkan sorban yang menutupi kepalanya, dan mungkin sebuah tasbih dalam genggamannya. Jadi sebelum ia membagi ilmunya, bahkan sebelum mengucapkan sepatah katapun, ia sudah bisa diasumsikan sebagai seorang ilmuwan agama.
Kalau hal ini bisa disebut sebagai sebuah nafsu, tentunya ini bulan yang tepat buat menahannya. Sehingga di bulan suci ini harusnya jumlah orang yang seperti itu minimal berkurang. Tapi mengapa justru di saat-saat seperti inilah terlihat makin banyak orang yang berpenampilan seperti itu? Apakah mungkin masyarakat negeri ini sudah begitu terperangkapnya dalam keterbatasan penilaian yang sangat ditentukan dengan penampilan? Ironisnya....memang sangat mungkin.