Friday, December 21, 2012

Proses

Sepintas tulisan itu tampak telah siap untuk dibaca orang lain. Bahkan setelah kuperiksa ulang beberapa kali, aku sempat memutuskan untuk mempublikasikannya secara umum. Namun entah kenapa, ada yang terasa mengganjal dalam hatiku sehingga aku urungkan niatku itu dan kuputuskan untuk menyimpannya sebagai sebuah draft yang akan kubaca lagi setelah beberapa hari kemudian. Aku sendiri tidak tau ganjalan apakah itu.

Lalu di saat-saat kesendirianku, aku mencoba memikirkan makna apa yang terkandung di dalam tulisan itu. Aku mencoba mengingat apa yang menjadi alasanku menulisnya.
Akhirnya setelah menimbang benar-salahnya isi dan arti yang hendak kusampaikan disitu, baik-buruknya dampak yang akan ternuai dari penulisan itu, mengingat keaneka ragaman persespsi masing-masing pembacanya, maka aku urungkan niat awalku.

Tulisan itu merupakan suatu ulasan isi hati yang mungkin lebih tepat untuk disimpan sendiri bagaikan sebuah jurnal yang layaknya dituangkan ke dalam buku harian yang sifatnya sangat pribadi. Pada siapa lagi aku bisa mengandalkan pengertian yang murni sejalan dengan pengertianku kalau bukan pada aku sendiri. Aku bisa salah menilai siapapun yang kuduga mampu menarik arti tulisanku itu dengan benar. Dan jika itu terjadi, aku hanya akan menambah masalah dalam kehidupanku. Nantinya, bisa jadi tulisan yang seharusnya merupakan upaya dalam melepaskan beban pikiranku justru menciptakan beban baru.

Aku kian menyadari bahwa aku hidup di tengah begitu banyak orang yang merasa perlu untuk mengenakan topeng dalam menjalani kesehariannya. Topeng yang dianggap perlu untuk mendapatkan keinginan pribadi...ketenaran, kesusksesan, pertemanan, cinta, kehormatan, dan banyak hal lainnya. Aku tau betul jika topeng-topeng ini bermanfaat untuk menebar pesona, karena akupun sering mengenakannya. Aku yakin banyak orang yang mengandalkan topengnya untuk menutupi identitas yang oleh dirinya sendiri dianggap tidak layak untuk ditampilkan.

Mengapa kemudian aku lebih memilih untuk tidak melepaskan topengku saat aku memutuskan untuk men-delete saja tulisanku itu?
Ini adalah hasil dari suatu proses pembelajaran, yang kemudian menjadi bagian dari pembelajaran yang lain. Aku masih harus belajar banyak tentang bagaimana membuka diri pada masyarakat. Seringkali bersifat transparan justru membuntukan jalan yang aku lalui jika dilakukan pada tempat dan waktu yang tidak tepat. Dan dari pembelajaran yang kulakukan selama ini, keputusanku untuk tetap mengenakan topengku disini merupakan langkah yang tepat untuk saat ini.

Sangat melelahkan memang mengenakan topengku. Bersikap manis pada saat aku seharusnya memaki-maki atau menangis sangat menguras tenaga dan menggerogoti perasaanku. Ingin sekali aku melepaskan topengku dan membakarnya hingga abu terakhir agar tidak akan ada lagi celah buatku untuk kembali mengenakannya.
Namun sekali lagi, ini sebuah proses yang layak aku lalui. Pembelajaran demi pembelajaran masih harus aku lalui sebelum sampai waktuku untuk membuka diri sepenuhnya, mengingat apa yang aku inginkan untuk hidupku bukanlah suatu hal yang kecil. Dan demi bisa mendapatkannya, aku harus rela berkorban dengan berikhlas dalam terus mengenakan topengku ini.




Thursday, November 1, 2012

Sebuah Kenangan

Dua malam yang lalu seorang lagi teman memenuhi panggilanNya. Bang Remy bukan saja teman namun juga mentor yang telah memberiku banyak ilmu terutama di dunia musik dan hiburan. Bagi kebanyakan seniman Indonesia, ia termasuk tokoh terkenal yang telah sekian lama menekuni bidangnya sebagai jurnalis, pengamat musik dan budayawan. Sosok yang sangat santai dan berpikiran sederhana. Tidak habis-habisnya ia memberikan pengarahan pada seniman-seniman muda dalam meniti karirnya. Yang aku segani darinya adalah bahwa ia bukan tipe penjilat yang terus haus pujian atau dukungan orang. Ia sangat jujur dalam memberi penilaian dan kejujuran itu ia utarakan dengan gamblang, apa adanya tanpa ragu.

Aku ingat ketika aku bertikai dengan seorang musisi, yang kebetulan memang yang mengenalkanku dengan bang Remy. Musisi ini adalah teman masa kecilku yang sempat aku bantu dalam bisnis label rekamannya. Banyak sekali teman di sekitarku yang meskipun sangat memahami duduk perkara yang terjadi, cenderung mengambil sikap abstain seolah tidak ingin di cap sebagai aliansiku. Bahkan ada yang lebih dulu mengenalku, justru menjauhiku demi mempertahankan pertemanannya dengan musisi ini sekedar untuk ikut menikmati cipratan kepopulerannya. Mungkin jumlah orang yang kemudian mengambil sikap membelaku bisa dihitung dengan jari-jari tanganku. Bang Remy merupakan salah satu dari kelompok kecil ini, dan ia malah dengan tegasnya kerap menceritakan ke orang lain betapa besarnya dukungan yang ia berikan padaku. Ia juga sering menjelaskan kepada orang lain bahwa musisi ini merupakan suatu contoh sosok yang penuh ego yang kerap melakukan berbagai tindakan tanpa logika. Bang Remy juga menyebutnya sebagai contoh seniman yang karirnya berantakan karena ulahnya sendiri yang tidak menjunjung tinggi etika dalam bisnis musik.

Menyedihkan memang, jika mendengarkan cara khas berceritanya bang Remy tentang musisi ini mengingat aku pernah menganggapnya sebagai teman dekat. Namun bahwa pertemanan itu berakhir dengan pertikaian yang berbumbu pemfitnahan, aku sama sekali tidak melihat adanya upaya pendramatisan dari bang Remy. Itulah salah satu diantara sekian banyak sifat bang Remy yang aku ingin teladani. Aku yakin banyak orang yang beranggapan serupa tentang dirinya. Semoga sifat-sifatnya itu terus memberikan banyak manfaat bagi semua yang mencintainya.

Selamat jalan bang Remy Soetansyah. Doaku selalu menyertai perjalananmu menujuNya.




Wednesday, October 31, 2012

Korban Qurban

Mungkin memang lucu kedengarannya sehingga aku cukup memaklumi dan merasa tidak tersinggung ketika orang tertawa begitu mendengar cerita tentang nasibku diseruduk seekor hewan. Meskipun rasa sakit dan kecederaan yang diakibatkannya kurang lebih sama dengan ditabrak kendaraan bermotor yang melaju dengan kecepatan 10 km/jam, namun aku sendiri tidak begitu menanggapinya secara serius mengingat penabraknya adalah sapi qurban yang lepas kontrol.

Bermula dari kehadiranku sekeluarga yang hendak menyaksikan penyembelihan hewan qurban hari sabtu kemarin di halaman belakang sebuah masjid seputar tempat tinggalku. Kemudian aku langsung terlibat pembicaraan tentang prosedur penyembelihan seekor kambing yang telah aku pesan sebelumnya. Naasnya, baru selang sekitar 1 menit, aku mendengar suara keributan masyarakat yang hadir disitu. Belum lagi mengetahui penyebab kegaduhan itu aku merasakan badanku terhempas ke udara dan mendarat tertelungkup di atas tanah becek bercampur darah dan air. Hanya satu dua detik yang kubutuhkan untuk memulihkan kekuatanku untuk bangkit sambil melihat sekilas seekor sapi yang berlari menjauh menuju ke tanah lapang dan membubarkan massa.

Intuisiku langsung menggerakku memeriksa dimana keluargaku berada. Dan aku kaget luar biasa menemukan anak sulungku terbaring di atas dadanya dekat tempatku terjatuh. Untungnya, ia berada dalam keadaan sadar meskipun kondisi sebagian tubuhnya mengalami luka dan memar. Aku segera mengangkatnya dan mendudukannya di bangku yang ada, kemudian membersihkan tubuh dan lukanya dengan air dari sejumlah kemasan air minum yang tersedia karena tidak satu orang panitia pun yang datang memberikan air kepadaku.

Rumah seorang teman anakku yang terletak sangat dekat langsung aku sambangi agar aku dapat melepas pakaiannya yang penuh dengan lumpur dan darah, dan memandikannya dengan baik.
Hari itu, tanpa akhirnya menyaksikan penyembelihan qurbanku, aku sibuk melakukan pelbagai upaya untuk pengobatan anakku termasuk membawanya ke tukang urut dan ke rumah sakit untuk tindakan pengambilan foto ronsen. Alhamdulillah, tidak ada tulang yang patah atau retak pada tubuhnya dan lenganku yang sempat ku gunakan untuk menahan badanku ketika mendarat di atas tanah. Aku hanya mengalami kesleo pada kaki dan pergelangan tangan kananku serta sedikit memar di lenganku. Namun anakku harus mengalami patah gigi depan, gusi yang berdarah, luka di kening, tangan dan kakinya.

Hari yang aku harap akan berkesan bagi kedua putraku yang baru kali pertama hadir untuk menyaksikan penyembelihan hewan qurban berakhir tragis.
Mungkin saja pada akhirnya cerita ini memang lucu karena kini putra sulungku ikut tertawa jika mengingat kejadian yang sangat langka untuk bisa terjadi pada siapa saja. Ia bahkan mungkin suatu hari dapat berbangga dirinya karena bisa bertahan selamat setelah dihajar seekor sapi. Tapi tidak ada yang lucu dengan fakta bahwa hingga kini tidak satupun panitia menyatakan mau bertanggung jawab atas musibah ini bahkan sekedar mencoba mencari tau nasib anakku. Bagi mereka, apa yang kami alami adalah sebuah pengorbanan yang menjadi bagian dari tradisi qurban itu sendiri....




Thursday, October 25, 2012

Tanpa Jaminan


Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah atau sehari sebelum Hari Raya Idul Adha. Dinamakan puasa Arafah karena pada saat itu jamaah haji sedang wukuf di Padang Arafah. Puasa Arafah dianjurkan bagi yang tidak berhaji sedangkan bagi yang sedang berhaji tidak disyariatkan berpuasa.
Keutamaan Puasa Arafah
Rasululllah bersabda: “Puasa Arafah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan dosa setahun akan datang.Puasa asyuro (10 Muharam) akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim)

“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)”.” (HR. Tirmidzi, hasan)

Begitulah tepatnya isi pesan singkat (yang cukup panjang) yang aku terima di ponselku dari seorang kerabat dekat. Dan pesan itu hanya satu diantara beberapa pesan lainnya yang bernada serupa.
Sekali lagi aku mendecak sendiri. Bukan karena himbauan itu sendiri tapi justru karena para pengirim pesan ini. Terbayang olehku, sementara di waktu-waktu seperti sekarang yang sudah mendekati hari raya Idul Adha mereka sibuk mengirim anjuran seperti ini sambil membawa nama Rasulullah, namun di waktu lainnya mereka umumnya masih lebih suka menyibukkan diri dengan segala urusan duniawinya...suatu hal yang tidak dilakukan oleh Rasulullah.

Sebenarnya apa yang terlintas dalam benak mereka saat mereka mengajak orang lain melakukan tauladan Rasulullah? Mungkinkah mereka, karena suasana yang makin mereligius menjelang hari besar seperti ini, seolah lupa akan segala tindak tanduk negatifnya, atau memang mereka benar-benar berniat bertobat? Tanpa meragukan kebenaran sabda Rasulullah, aku dengan mudah berburuk sangka bahwa dengan melakukan puasa Arafah, dosa mereka setahun kemarin dihapuskan, dan dengan ringannya mereka kemudian dapat lebih mengumbar nafsu duniawinya setelah menganggap telah mengantongi penghapusan dosa-dosa yang akan mereka lakukan selama satu tahun ke depan. Wow...nyaman sekali!

Aneh bahkan lucu kelihatannya jika himbauan atau ajakan seperti ini datang dari orang yang selama ini begitu teganya merampas hak orang lain. Dengan semena-mena mengabaikan berbagai larangan agama demi kepuasan dirinya sendiri. Mungkin akan masuk akal bila himbauan ini diiringi dengan aksi pengembalian hasil rampasannya lengkap dengan permintaan maaf atas segala kekhilafannya sambil berjanji utnuk tidak mengulanginya. Kalau tidak, akan sama saja dengan menikmati hidangan sahur dan buka puasa yang dibelinya dengan uang yang bukan menjadi haknya. Menjalankan puasa di tengah-tengah harta yang menjadi kebanggaannya sebagai simbolisasi kesuksesan hidupnya.

Banyak sekali orang yang begitu dahsyat usahanya mendapatkan air kehidupan ini melebihi kecukupannya hingga merasa perlu merenggut hak orang lain sampai-sampai tidak mampu lagi menyadari jika mereka tidak sepantasnya berteriak-teriak mengajak orang lain untuk melakukan ibadah. Butuh kesadaran yang tinggi dan jiwa yang bersih untuk seseorang memberi nasihat dan himbauan seperti ini. Belum lagi pakai bumbu kekesalan dan kemarahan atau bahkan sekedar hasrat untuk berdebat jika himbauannya tidak diindahkan dan mendapat penolakan.

Selain mengejar penghapusan dosa 2 tahun, aku tidak tau alasan lain orang ingin melaksanakan puasa ini. Apakah mugnkin sebagai penghormatan pada mereka yang tengah menunaikan ibadah haji dan berada di padang Arafah? Yang jelas, para jemaat haji itu tidak melakukannya. Bagiku. respek kepada para jemaat itu cukup aku wujudkan dalam bentuk pelaksanaan ibadah shalat Ied smbil berdoa untuk keberhasilan dan keselamatan mereka. Karena biar bagaimanapun, beban hidup mereka sekembalinya dari perjalanan haji akan sangat berat guna mendapatkan kemabruran hajinya. Sekali lagi, urusan duniawi jelas harus jauh dari prioritas kehidupannya.

Aku tidak sedikitpun berniat untuk menghadapi ujian berpuasa Arafah, karena apa yang tengah aku hadapi dalam hidup saat ini sudah menjadi suatu ujian yang sangat berat. Hari-hariku telah penuh dengan ujian berat yang harus aku lewati dengan sebaik mungkin agar aku bisa menetapkan langkahku di jalanNya.
Aku juga tidak tergiur dengan peghapusan dosa itu, karena aku hanya bisa berharap taubat yang pernah aku mohon kepadaNya atas setiap dosaku di waktu yang lampau dihadiahi pengampunan dan penghapusan tanpa penentuan batasan periode. Dan aku hanya bisa berharap bisa menghindari diri dari dosa di waktu mendatang tanpa merasa perlu punya jaminan keselamatan bak surat sakti atau kekebalan hukum.




Thursday, October 4, 2012

Kepuasan Tersendiri

Mungkin bukan pada tempatnya bila aku tertawa di atas penderitaan orang lain. Tapi kalau boleh aku mencari pembenaran atas apa yang aku rasakan, alasanku sepertinya cukup masuk akal.
Coba bayangkan apa yang akan anda rasakan bila seorang yang begitu dekat dengan anda, yang telah anda anggap sebagai saudara sendiri, anda pinjami sejumlah besar uang, namun kemudian menolak untuk mengembalikan pinjaman tersebut? Apalagi penolakan itu berbumbu alasan yang tidak masuk akal bahkan cenderung menjurus pada fitnah.

Nah, hal itulah yang aku alami sekitar satu dekade yang lalu. Pinjaman yang aku berikan pada teman masa kecilku yang aku kenal sejak di bangku sekolah dasar itu cukup besar. Saat itu ia mengajak aku membangun sebuah perusahaan label rekaman yang rencananya akan menaungi artis-artis baru dan muda yang menurutnya layak diorbitkan. Sebenarnya tawaran untuk menanamkan investasi pada usaha ini cukup menggiurkan mengingat ia saat itu merupakan seorang musisi lokal terkenal dan aku mengakui kejeliannya dalam memilih musisi dan musik yang berbobot, sehingga usahanya bisa diprediksi punya peluang yang bagus untuk sukses. Tapi aku merasa perlunya menjadikan dana tersebut sebagai pinjaman ketimbang investasi karena aku sendiri belum tau persis bagaimana ia bekerja selaku seorang usahawan karena selama ia hanya baru membuktikan dirinya sebagai seseorang yang sukses sebagai musisi.

Aku kemudian memang ikut membantunya menggerakan roda bisnis label rekamannya. Bahkan aku sudah sepakat untuk nantinya mengurus urusan manajemen semua artis yang musiknya bernaung di bawah bendera label rekaman tersebut. Sebelum album rekaman diluncurkan, tentunya aktifitas yang ada dalam perusahaan itu melulu hanya perekaman, sehingga aku belum punya tugas resmi. Kehadiranku yang hampir setiap hari di kantor itu lebih merupakan bagian dari proses dari persiapan membentuk manajemen artisnya. Aku juga sering mendampingi dan membantunya dalam menjalankan aktifitas yang berkenaan dengan segala urusan perekaman dan karirnya sendiri.

Dan ketika ia butuh tambahan investasi, ia meminta tolong aku menjembatani usahanya untuk mendatangi dengan seorang sahabatku, Chandra yang sebelumnya pernah menjadi house mate ku selama masa kuliahku di luar negeri. Tidak ada sedikitpun penentangan atas niatnya ini karena bagiku semua bergantung pada masing-masing pihak. Aku bahkan menekankan pada Chandra bahwa aku bukanlah penjamin baik omongan teman kecilku ini maupun investasi yang mungkin dilakukan oleh Chandra. Bahwa yang akhirnya terjadi adalah kesepakatan pinjam-meminjam sejumlah besar uangpun dilakukan kedua belah pihak dengan menyadari segala hak, kewajiban dan konsekuensi dari masing-masing pihak tanpa melibatkan aku.


Sayangnya, ego tinggi dan sifat keras kepala yang dimiliki teman kecilku ini kemudian menjadi penyebab rontoknya usaha yang dirintisnya. Belum lagi pola hidupnya yang akrab dengan kehidupan malam, lengkap dengan clubbing dan entertaining nya. Meski tidak diakuinya, aku menduga ia terpengaruh efek minuman alkohol saat mobil sewaan yang dikendarainya menabrak sebuah tiang listrik pukul 4 pagi sepulangnya menjamu teman lama yang tengah berkunjung dari luar kota. Mobil itulah yang saat itu menjadi andalan untuk antar jemput salah seorang artis perusahaannya. Itu hanya satu diantara serentetan kasus lain yang lalu memposisikan baik dirinya maupun usahanya di bawah jurang kehancuran.


Yang lebih mengenaskan lagi, situasi genting yang dihadapinya justru disikapi dengan pemfitnahan terhadap berbagai pihak termasuk aku. Mungkin peringatan, nasehat atau himbauan yang pernah aku lemparkan kepadanya justru menjadi bumerang buatku. Seolah tidak ingin mengakui kebenaran dari apa yang pernah aku katakan padanya, ia justru melemparkan tuduhan bahwa aku merupakan faktor terbesar dari semua kegagalan yang ia temui. Buntutnya, ia dengan lantang mendeklarasikan bahwa tidak akan mengembalikan dana pinjaman dariku sebagai pelampiasan kekesalannya terhadapku.

Hmm..baiklah. Ini bukanlah sesuatu yang mudah ditelan begitu saja jika aku menganggapnya sebagai hal yang jelas merugikanku, namun setelah beberapa lama, aku sanggup menerimanya dengan penuh keikhlasan. Dan itu bisa terjadi karena aku lebih mengangapnya sebagai suatu kegagalan besar untuknya hingga ia mampu mengarang berbagai fitnah dan mengambil sikap negatif yang nantinya akan menjadi beban berat yang harus digendongnya.

Lalu bagaimana dengan kewajibannya yang belum selesai dengan Chandra?

Lucunya, apa yang terjadi sebagai kelanjutan dari kesepakatan itu sama dengan yang terjadi antara aku dengan teman kecilku itu. Padahal, Chandra jelas tidak ikut campur dalam usaha yang dilakukan teman kecilku. Pinjaman dana yang harusnya kembali dalam kurun waktu tertentu tidak pernah terlaksana. Niat yang mengarah kesanapun tidak diperlihatkan teman kecilku. Ia tidak berusaha menghubungi Chandra untuk hanya sekedar meminta maaf atas keterlambatnya dan ia tidak pernah punya nomor telpon yang tetap untuk jangka waktu yang lama mengingat banyak sekali pihak yang berusaha menghubunginya untuk menagih hutang.

Tentunya, dengan sikapnya mengabaikan kewajiban dalam menyelesaikan hutang selama lebih kurang 5 tahun ini ia tidak pernah tau menau apapun yang terjadi pada Chnadra. Kalaupun tau, mungkin saja ia tidak peduli. Begitu pula ketika Chandra divonis menderita gagal ginjal sekitar setahun yang lalu. Perjuangannya begitu besar hingga ia harus melalui operasi transplantasi ginjal di negeri Cina hanya untuk kemudian menerima fakta bahwa operasi itupun berbuntut kegagalan. Proses penyembuhan yang memakan biaya besar ini memaksanya menjual banyak harta bendanya termasuk sebidang tanah kosong yang dimilikinya sejak lama. Dan penderitaan itu berakhir ketika hari Sabtu yang lalu, Chandra berpulang memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa.


Apa yang kemudian akan berlaku pada masalah hutang piutang antara almarhum dengan teman kecilku? Apakah berita mangkatnya Chandra sampai ke teman kecilku? Entahlah. Sewajarnya ada mutual friend yang mungkin menyampaikan berita duka itu kepada teman kecilnya. Jika iya, mungkinkah teman kecilku itu merasa berdosa dan masih mau berbesar hati untuk menyampaikan rasa penyesalannya pada keluarga almarhum? Mungkinkah ia lalu melunasi hutang yang telah bertahun-tahun diabaikannya? Atau justru dengan arogansinya, ia kini merasa lega bahwa pihak yang dihutanginya sudah berkurang satu?

Apapun yang terjadi, aku melihatnya sebagai suatu keterlambatan. Bagaimanapun ia selama ini bisa dengan ringannya menganggap remeh hutangnya kepada almarhum, ia kini memanggul dosa yang jauh lebih berat. Aku merasakan iba yang mendalam terhadap keluarga yang ditinggalkan almarhum, dan aku sangat kehilangan sahabatku ini, namun aku juga mendapatkan kepuasan tersendiri jika melihat apa yang harus ditanggung teman kecilku dengan kepergian almarhum.

Doaku untuk sahabatku Chandra; Semoga hutang teman kecilku yang tidak pernah terbayar selama hidupmu bisa ikut melancarkan perjalananmu ke kebahagiaan hidup di sisiNya. Aamiiin...






Friday, September 21, 2012

Non Stop

Aku rasa hampir semua orang tau apa itu berkah. Segala hal yang nilainya positif dianggap sebagai berkah. Dengan kondisi seperti itu, otomatis berkah itu sendiri sepantasnya disyukuri. Jika itu teorinya maka sangat wajar jika penilaian terhadap berkah tergantung pada bagaimana kita menilai apa yang kita dapatkan. Tapi apakah betul berkah itu tidak selalu kita dapatkan jika kita percaya bahwa hal yang positif tidak selalu ada? Apakah saat kita (dalam penilaian kita) tengah mendapat suatu musibah atau ujian berat (yang dinilai negatif) berkah itu tidak turun pada kita? Jika begitu, apakah berarti berkah itu tidak selalu diberikan kepada kita? Akalku (yang hanya sederhana ini) berkata lain.

Dari sekian banyak hadist Nabi yang pernah aku baca, ada satu yang amat sangat mengena pada pemikiranku dan sangat bisa aku terapkan dalam hidupku. Mungkin hadist tersebut merupakan hadist yang terpendek dari semua. Di situ disebutkan bahwa Iman terbagi atas 2, separo dalam sabar, separo dalam syukur. Kalau aku interpretasikan, selama kita beriman kita harusnya menghadapi segala hal dengan kesabaran dan rasa syukur. Artinya, baik saat kita tengah berada dalam situasi yang bagus maupun yang buruk, cara menghadapinya adalah dengan mengaplikasikan kedua faktor itu saja. Pastinya ada saja hal yang patut disyukuri bahkan ketika naas menghampiri kita dan sebaliknya pula dengan hal yang harus disabari saat keberuntungan tengah berada dalam genggaman tangan kita. Dengan pengartian hadist seperti tersebutlah, aku menganggap bahwa tentunya kita patut selalu mensyukuri apapun yang kita dapat. Bagaimana caranya? Yaitu dengan selalu mengambil nilai positif dari setiap kejadian yang menimpa kita.

Nah kembali lagi pada soal berkah.
Kesimpulannya, agar bisa bersyukur kita perlu menilai suatu perkara secara positif. Dan semua yang nilainya positif kita sebut berkah. Selama kita bisa selalu menerima perkara apapun dengan keimanan maka, seperti halnya bersabar, bersyukur itu tidak pernah ada batasnya. Dan jika kita selalu mendapatkan hal yang positif (yang membuat kita bersyukur) niscaya kita juga selalu mendapat berkah.
Jadi, selama kita beriman, selama itu pula nilai positif didapatkan, dan selama itu pulalah berkah mengalir tanpa henti dariNya.

Paham? Alhamdulillah...




Tuesday, September 18, 2012

Tidak Malu

Hari ini aku dapat pelajaran berharga lagi. Mungkin orang lain bisa dengan mudahnya menyatakan "tidak heran" mendengar cerita tentangnya, namun cerita itu tetap menakjubkanku. Aku tidak bosan-bosannya mendengarkan lagu-lagu baru yang masih saja bernafaskan genre yang sama. Kenapa tidak? Aku jadi punya alasan yang lebih kuat lagi untuk percaya bahwa aku berdiri di tempat yang benar.

Memang sudah semestinya aku malu terhadap aib yang telah dilakukannya selama ini. Namun sangatlah manusiawi jika aku lebih suka tersenyum bahkan tawa atasnya dari pada tersipu-sipu menahan malu karena rasa malu itupun rasanya sudah tak mungkin lagi menghantuiku. Kisah-kisah (jenaka) itu justru membuatku bersyukur karena aku telah menjauhimu.

Sepertinya cerita seperti ini akan terus berlanjut, entah sampai kapan karena aku belum juga melihat kasus apapun yang dapat membuatnya bertobat. Meskipun begitu, aku cukup yakin suatu saat nanti, ada sebuah (atau lebih) kerikil tajam yang dapat dan akan menghentikan langkahnya. Bisa jadi itu dampak balik dari semua kemurtadannya atau ilmu-ilmu sesat yang telah diajarkan pada orang-orang terdekatnya.

Yang jelas, aku tidak mungkin lagi menatapnya dengan hormat karena harga dirinya telah hilang digerogoti ulahnya sendiri. Dan hari ini, aku mengetahui aku tidak lagi berdiri sendirian di ruangan yang penuh dengan cahaya kebenaran, sementara dirinya membusungkan dada di dalam kegelapan. Dan ketika dirinya terjatuh bersimbah darah di depanku, rasa ibaku mungkin tidak mampu lagi menyembuhkan kelumpuhannya.

#SBD



Wednesday, September 12, 2012

MP QN - Pahlawan

Semalam waktu sdg membantu anak saya bikin pe-er mengumpulkan gambar pahlawan nasional, ia terkagum-kagum mendengar kisah perjuangan para pahlawan kita yang saya ceritakan. Kemudian ia bertanya,
"Kalau zaman sekarang yg bisa dianggap pahlawan nasional itu siapa saja?"
Jawab saya, "Nggak ada. Yang ada cuma pahlawan wani piro...banyak pulak!" #Hminus79

It's Almost The Time


I can see how you may soon hit rock buttom if you don't patch things up rigth away. Somehow I can see too that you may be too arrogant to admit that you have been walking on the wrong path of life. But then again, I understand the situation you have been in all this time. I gave some chances to come up clean but you tried to convince me that nothing went wrong. That everything was normal as it should be. Well we would both find out the real truth someday...soon I hope. And when it happens, I hope it wouldn't be too late for you to step forward and show your remorse.

Try to ask yourself again if you have been truthful to yourself. Look deep within your heart to see whether you are still making it right of not. Are you really standing on the right spot where you should be surrounded by those truely care? Are you heading to an endless rough sea with dark sky above or a small but lush garden whose flowers bathing with sunlight? Listen to what the words that you speak of. Would they really take you to where you want to be or they may someday jeopardize your future?
Determine your decision wisely and make no more mistakes for the sake of your own life.




Tuesday, September 4, 2012

Me and the Sun




I have been through a very colorful life and still am. It's not a glamorous one where I never need to worry about a thing because wealth or someone would take care of it in no time. It's not a poor one either where I never get what I want at all. I have been in situations where I had enough to please myself physically and mentally, and there were times when I was right at the edge of sanity because I didn't know how to think straight anymore in facing hard problems.

I don't get jealous of what other people can have but I envy them instead. I always think that everyone has his or her own share of happiness and should be entitled for it. Some may get it easily and some others have to work extra hard to get it. For each individual, happiness is measured differently and it's up to us how far we would go to achieve it. I'm not the kind who's always hungry for better living that I often stop chasing that pot of gold at the end of the rainbow when I can lie down on the grass and watch the clouds pass by in the sky above.

In difficult times, I can waste time doing nothing but probably waiting for a miracle to happen, when I should be searching for ways to solve the problems I'm facing. While in times when I get fortunate, I may look for someone with whom I can share my happiness, as opposed to keep all my fortune to myself. There were cases when I didn't think much that some trusted friend actually took advantage on my good intention. It's hurting, but it brings more color into the simple life I'm living. After all, some say that if you don't have the ups and downs in life, then you are not alive.

I'm living one day at a time and trying to make the best out of it to please myself. I could be so high before that people looked up to me and were amazed of what I did. I can be so low as well like right now that even close friends can't afford to make an attempt to make it better. However, I can still feel there's so much love in the air that keeps me standing tall. And I'm pretty sure that it will always help me pass this and smile when I'm back on top again. I may walk slow on the rough path but I'm surely getting closer everyday to where I want to be.

Why chase the rainbow when it will always need my light in order to appear?

Thursday, August 30, 2012

Wednesday, August 29, 2012

You Are My Answer To It All

I finally got the words straight from the artist himself through a personal message, so I could create my own version of this fine tunes. Thank you so much Mr. Taco Ockerse.






Tuesday, August 28, 2012

Jurang Hutang

Aku itu selalu merasakan mual kalau diposisikan sebagai orang yang tidak mampu mengembalikan hutang ketika ditagih pada waktunya. Apalgi jika penagihan itu datang membombardir dari hari ke hari sampai benar-benar mengganggu ketenanganku. Telpon dari nomor-nomor yang tak dikenal harus aku abaikan agar aku tidak perlu secara tidak sengaja berbicara dengan orang yang bermaksud menagih hutang. Keceriaan sebesar apapun dapat begitu saja sirna ketika penagihan itu terjadi. Sudah berkali-kali aku berada dalam situasi seperti itu namun aku tidak akan pernah terbiasa dengannya. Aku sering membayangkan betapa indah dan tenangnya hidupku jika mampu memiliki segalanya tanpa harus berhutang.

Belakangan ini, aku dapat kabar tentang seorang kerabat yang diduga punya hutang yang menggunung demi kemakmuran hidupnya sekeluarga. Itu jelas menerangkan bagaimana ia tau-tau dapat memiliki begitu banyak kekayaan yang (aku anggap) berlebihan. Parah sekali jika kabar itu ternyata benar. Yang lebih parah lagi adalah bahwa dalam keserakahannya, ia tidak menyadari bagaimana hutang yang ditanggungnya itu dapat tiba-tiba menjadi hal yang mematikan baginya dan keluarganya. Bahwa apa yang diharapkannya bisa menjadi sumber masukan untuk membayar hutangnya dapat hilang begitu saja setiap saat. Dan hal itu mungkin sekali terjadi karena semua itu ia dapatkan lewat cara yang sesat. Ia begitu mudahnya menggunakan kepandaiannya dalam membohongi orang. Begitu pandainya ia hingga tidak sedikit orang yang terbuai oleh bualannya. Namun ia juga harus terus menerus menciptakan kebohongan baru untuk menutupi kebohongan yang terdahulu sehingga akhirnya ia menjadi sangat sibuk dalam mengatur hidupnya yang penuh dengan kebohongan, sementara ia juga teledor dalam menjaga sikap dan segala tindak tanduknya.

Kini satu demi satu korbannya mulai menyadari ulahnya dan tidak semuanya merelakan hal itu berlalu begitu saja. Pembalasan yang mungkin hingga kini tidak disangkanya bisa terjadi mulai terlihat gejalanya. Karma yang tidak pernah terpikirkan olehnya bisa segera berlaku baginya. Dan pada saatnya nanti, ketika semua pintu rezeki baginya sudah tertutup rapat, ia mungkin akan dicari oleh banyak pihak yang menuntut balik semua kenyamanan yang telah ia dapatkan lewat aksi keserakahannya itu. Mungkin baru saat itulah ia menyadari dalamnya jurang yang telah ia ciptakan selama ini untuk dirinya sendiri. Mengerikan sekali gambaran itu. Aku bisa membayangkan, jika aku berada di tempat ia berdiri, aku akan begitu mualnya hingga muntah darah!



Tuesday, August 14, 2012

Ajaran Untuk Anakku


Sabtu malam kemarin, aku menunaikan ibadah tarawih lagi bersama kedua putraku. Aku memang telah mengamankan malam itu untuk tujuan tersebut karena dua malam sebelumnya kondisi badanku tidak cukup sehat bahkan untuk diajak melakukan ibadah yang harusnya istimewa mengingat sudah masuk 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Esoknya, ketika tengah berbuka puasa, mereka mencoba memastikan padaku atas rencana tarawih malam itu. Mereka terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku tidak berencana untuk tarawih karena rupanya mereka mengira di sepuluh hari terakhir Ramadhan, aku akan mengintensifkan ibadah tarawihku. Lalu aku jelaskan pada mereka tentang Lailatul Qadar yang seyogyanya terjadi di malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir, yang menjadi alasanku untuk melakukan ibadah tarawih hanya di malam-malam tersebut. 
Aku yakin tentu saja akan ada orang yang berpendapat bahwa caraku menyiasati 10 malam terakhir Ramadhan itu tidak tepat, namun....itulah aku.

Ya...itulah aku, seorang muslim, yang bukan Islam KTP tapi juga bukan yang fanatik. Aku bukan tipe muslim yang sholat wajibnya bolong-bolong atau tidak menganggap sholat Jum'at sebagai suatu kewajiban, atau menganggap sholat wajib dapat dengan mudah ditunda dan dipindahkan ke waktu-waktu lain, dlsb, namun aku juga bukan tipe muslim yang percaya bahwa ada doa-doa khusus tertentu yang pasti mustajab dalam mengatasi masalah tertentu, atau harus selalu melakukan sholat wajib di masjid dan kalau perlu di barisan terdepan, atau bahkan selalu membumbui semua ucapanku dengan hal-hal yang bersifat religi. Bukan. Aku hanya seorang muslim sederhana yang berusaha menngedepankan 5 kewajibanku dan melaksanakan perintahNya sesuai yang tertulis dalm Al-Qur'an tanpa berusaha menggali-gali untuk mendapatkan makna yang ada dibaliknya. Bukan seseorang yang berteriak-teriak mengingatkan orang lain untuk menjadi lebih Islami karena aku seharusnya sudah cukup sibuk melaksanakan tugas khusus untuk menjaga diriku sendiri menjadi penganut agama Islam seperti yang aku hendaki.

Aku memang tidak dibesarkan dalam keluarga yang ketat agamanya. Bahkan aku menghabiskan masa-masa sekolahku di sekolah non-Islam yang pada zaman itu termasuk sekolah terhebat di Jakarta. Meski sempat mendatangkan guru mengaji ke rumah, orang tuaku juga bukan tipe yang mengharuskan anak-anaknya mempelajari agama secara ekstrim dan mereka membiarkan kami untuk menerima ajaran Islam yang simpel. Bukannya hal itu lalu menelantarkan aku dalam beragama, justru aku lebih bisa menghargai nilai-nilai ajaran Islam yang aku anggap tidak pernah menggandeng unsur pemaksaan. Aku percaya bahwa yang dimaksud sebagai agama yang "mudah" oleh Allah swt, adalah kemudahan tiap individu dalam menjalaninya sesuai dengan interpretasinya secara individu. Bagiku, kerumitan akan Islam yang mungkin ditemui justru merupakan hasil dari pengartian yang kompleks, yang justru mendiskreditkan kemudahannya.

Tidak banyak memang, orang di negeri ini yang berpikir secara sederhana dibanding mereka yang cenderung mencari dan mencari jawaban yang dirasa paling pas. Banyak sekali orang yang mencari jawaban yang lain hanya karena alasan ingin menjadi orang yang terpandang dalam agama (Islam). Hal ini sangat aku maklumi mengingat betapa pentingnya derajat keagamaan seseorang di mata masyarakat kita hingga, sebagai contohnya, seseorang sengaja berdandan dengan kelengkapan pakaian Islamnya agar dianggap sebagai seorang haji. Dan faktanya, seorang haji bisa mendapat penghargaan lebih tinggi dari masyarakat ketimbang seorang sarjana atau pejabat. Orang berlomba-lomba mendapatkan penghargaan seperti itu dengan cara menunjukkan hasil penggaliannya atas ajaran-ajaran Islam atau dengan menggunakan ciri khas tertentu untuk bisa dijadikan trend baru, sehingga kemudian apa yang tampak sebenarnya bisa saja hanya sesuatu yang semu mengingat mereka hanyalah manusia biasa yang bisa setiap saat terjerat urusan duniawi. Karena itulah aku tidak pernah mengidolakan satupun pemuka agama atau falsafah-falsafah lain tentang ajaran Al-Qur'an diluar pengkajianku sendiri atasnya.

Jika disini, orang begitu memperhatikan cara berpakaian, cara bicara, perilaku, topik pembicaraan, yang kemudian dianggapnya bisa menempatkannya pada posisi tertentu di masyarakat, saya justru takjub pada kesederhanaan pengelolaan jemaat yang mengunjungi tanah suci, dimana saat itu tidak satupun sosok yang berkesempatan untuk menonjolkan kelebihannya dalam hal apapun. Disana, berbagai tipe kaum muslim berbaur menjadi satu tanpa pengecualian yang dipengaruhi oleh harta, tahta maupun ilmu. Pelbagai aliran Islam disatukan di atas tanah suci dimana tidak satu orangpun berhak mempermasalahkan perbedaanya. Segala sesuatunya kembali kepada urusan antara tiap jemaat berdua dengan Allah swt...itu saja. Setinggi-tingginya derajat atau sekaya-kaya dan sepandai-pandainya seseorang di tempat asalnya, ia disana akan mendapat perlakuan yang sejajar dengan jemaat lainnya, yang jelata atau miskin atau mungkin bodoh. Saat sholat, ia mungkin berdiri diapit jemaat yang miskin dan yang bodoh.

Aku tidak ingin kedudukan, harta ataupun hal-hal duniawi lainnya membutakan putra-putraku. Aku ingin mereka menjadi umat muslim yang sederhana yang tidak pernah menghindar dari ajaran-ajaran agama Islam karena dianggap rumit dan sulit. Aku bersyukur bahwa aku menjadi seorang muslim seperti ini dengan segala kesederhanaan pemikiran agama yang telah ditawarkan padaku sejak kecil dan itulah yang aku tawarkan pada putra-putraku. Aku berharap mereka bisa menjalani hidupnya kelak nanti dengan kesederhanaannya beragama.
Aku tidak menganggap remeh Islam dan aku juga tidak menskralkannya sedemikian rupa sehingga menjadi suatu agama yang menakutkan. Islam seharusnya adalah agama yang mudah dan nikmat untuk dianut. Dan itulah yang aku ajarkan pada mereka.




Thursday, August 9, 2012

MP QN - Love Theme

Kalau saat mendengarkan lagu ini yang ada dalam benak anda adalah sebuah pesawat Cathay Pacific yang tengah melayang di angkasa, maka anda boleh bangga krn anda termasuk yang beruntung pernah hidup di era keemasaan.




Tuesday, August 7, 2012

I'm So Puzzled!



Unwanted News

After hearing rumors so many times and even signing a couple of petitions to keep it existing, I finally have to accept the fact that they're going to shut Multiply.com down. So it's like having to leave the house that I have well built since March 2007. It's probably the most comfortable account called home among others. It still gives me so much joy in making good friends and maintaining the friendships. It's the place where I can really explore and exploit my sense of art in posting what I have in mind.

Well...nothing lasts forever and I guess this is where the bus stops. I'm trying to find another place like it now, and for the time being I will make here as the place to crash in temporarily. And for that, I will move most of its content here as drafts until I get the new place. Should I be so unfortunate, that I can't find another shack, then I would launch them here instead as antiques. Not a wise choice of course but it would have to be executed that way.
So let's hope I would find that new home....



Monday, August 6, 2012

Teganya...



 
Masya Allah!
Aku baru menemukan lagi kebohonganmu. Benar-benar sulit dipercaya kebenarannya. Setelah apa yang kau katakan selama ini untuk meyakinkanku hingga kau rela bersumpah atasnya? Hei...apakah kau menyadari kalau suatu hari aku akan mungkin mengetahui kebohonganmu seperti yang pernah terjadi? Apa kau tidak belajar apa-apa dari peristiwa yang pernah terjadi? Apakah begitu rendahnya dirimu sehingga kau tidak punya malu lagi untuk terus membohongiku? Apakah ini pengaruh dari sekelilingmu atau memang sifat aslimu yang sudah terlanjur membusuk dibalik segala kepalsuan yang kau tampilkan selama ini?

Masya Allah!
Mungkin itu sebabnya aku sering tidak mampu mempercayaimu sepenuhnya meskipun kau sudah berusaha memaparkan bukti-bukti yang kau pikir dapat membantu menyembunyikan kebohonganmu. Mungkin juga jika aku tidak mencoba memaksakan diri untuk mempercayaimu, namun justru mencoba mencari tau kebenaran yang sesungguhnya sejak dini, sudah lama pula aku membongkar kebohonganmu padaku. Hanya saja aku terlalu ingin percaya bahwa engkau tidak seperti yang lain.

Aku berpikir dan berpikir keras tentang bagaimana menyikapi hal ini. Apakah aku harus datang kepadamu dan membentakmu sambil memaparkan apa yang aku ketahui, atau hanya berdiam dan menunggu waktu yang tepat untuk menindaklanjutinya? Datang kepadamu mungkin hanya membuatmu sedikit malu dan berujung pada suatu perdebatan yang konyol mengingat sifatmu yang begitu arogan untuk mengakui kesalahanmu meskipun fatal. Sedangkan berdiam diri akan mengikis perlahan bathinku meskipun aku bisa terhindar dari sakit hati yang lebih mendalam. Setidak-tidaknya aku menyediakan waktu untuk menyiasati apa yang akan aku lakukan selanjutnya sambil mencoba menjaga emosiku yang saat ini siap meledak.

Ya, ya, ya. Mungkin memang sebaiknya aku berdiam diri dahulu. Aku juga ingin tau apa lagi kebohongan yang telah kau tawarkan padaku. Dan mungkin saja, setelah hal ini terulang dan terulang lagi, kau mau memberanikan diri untuk datang dan mengaku padaku bahwa kau telah sengaja membutakan aku, dengan alasan apapun yang menjadi pembelaanmu.
Aku akan bersikap seperti biasa dan membiarkamu merasa aman dengan dustamu sambil aku menyiapkan diri untuk menghadapi yang terburuk yang bisa menimpamu dan diriku tiap saat nanti.

Semoga kau menyadari apa yang kau sembunyikan dan aku ketahui tanpa harus kusebutkan. Aku memilih menantimu menentukan pilihanmu, karena apapun yang kau pilih adalah pilihan buatku juga. Dan jika ternyata apa yang aku ungkapkan ini membingungkanmu, mungkin terlalu banyak kebohongan yang telah kau lakukan. Sekarang kau tinggal menentukan akan membongkar sendiri semua kebohongan itu atau membiarkanku membongkarnya lagi suatu hari nanti dengan caraku sendiri, tanpa bantuanmu, dengan kondisi kita yang telah berbeda.

Masya Allah, teganya dirimu....
Hari ini hidupku kelam lagi dalam pelatihan ini.
 

Friday, August 3, 2012

MP Blog - Karya Tatyana Deriy


Tatyana Deriy adalah seorang pelukis dinamis yang tengah berkembang, yang tujuan kreatifitas utamanya adalah memahami gabungan dari keindahan estetik dunia dan arti sebenarnya, serta menorehkannya lewat lukisan.

Perjalanan hidupnya tidak biasa dan ekspresif dan begitu juga kreasinya. Lahir di daerah yang indah di Moskow, tidak jauh dari estate Archangelskoye yang penuh dengan karya-karya arsitek dan dan pematung terkenal, pada usia dini ia telah membuka pandangannya khusus pada dunia yang kemudian mempengaruhi karyanya, berdasarkan harmonisasi dan keindahan.

Pada tahun 1985 ia masuk Moskow Art College, yang kemudian memungkinkannya setelah lulus untuk melanjutkan pendidikannya di Moscow State Institute Akademik. Pada tahun 1999 ia mendapat ijazah dan gelar sebagai seorang pelukis.

Ia sangat menaruh perhatian yang besar terhadap komposisi lukisan. Jarang sekali ditemui benda-benda yang umum terlukis dalam karya-karyanya. Akuratnya semua garis, pewarnaan yang sempurna, perlakuan yang lembut terhadap bentuk, warna dan nuansa teraplikasi dalam setiap karyanya.
Figur-figur boneka dan hewan yang sering dihadirkan dalam karyanya ikut membantu memindahkan "mood" dan perasaan hatinya ke dalam karyanya.

Dalam penggarapan lukisan yang bertemakan anak-anak, ia menemukan masa kecil dalam dirinya, perasaan sukacita dan keriangan yang murni. Lukisan anak-anaknya menampilkan ketulusan yang luar biasa. Lukisannya bisa mengajak pemerhati untuk kembali ke masa kecilnya dan merasakan lagu masa kecilnya sendiri dalam hati.

Lukisan Tatyana Deriy bersifat tradisional dan inovatif. Mereka menyajikan dunia baru melalui interpretasi klasik atas bentuk dan penguasaan teknik seni yang hebat.





































Thursday, August 2, 2012

Seratus Lima Puluh Satu Derajat

Sudah berulang kali aku menganggap, setelah menyaksikan apa yang terjadi padaku, seharusnya orang lain mulai berpikir jika aku bukanlah seperti yang mereka kenal selama ini. Bahwa sudah saatnya mereka merubah persepsi mereka tentang seperti apa sebenarnya aku ini. Bahwa mereka harusnya sadar aku ini mungkin saja punya sifat dan cara berpikir yang sangat bertolak belakang dengan yang mereka tau sejauh ini. Aku berulang mencoba mencari pembenaran atas setiap tindakanku sebagai suatu hal yang mewakili diriku yang sebenarnya. Dan jika ada yang menganggap bahwa apa yang aku lakukan itu justru menandakan perubahan dalam diriku, maka kalaupun aku harus terpaksa mengakui adanya perubahan itu tentunya aku anggap itu adalah perubahan yang pantas terjadi karena mengarah ke kebaikan dan kesempurnaan.

Namun tidak jarang pula aku dikucilkan oleh suasana hati dan pikiranku yang membuatku bertanya-tanya sendiri, apakah aku masih bisa menjalani hidupku yang seolah kian tak menentu? Apakah aku sanggup menerima tantangan hidup yang tak bertambah ringan tapi justru sebaliknya? Mampukah aku menerjang segala rintangan yang menghalangi langkahku dan tantangan yang mencoba menghentikan irama hidupku? Masih bisakah aku berjalan tegap dan menuai senyum kemenangan di ujung perjuanganku ini? Cukup terlatihkah akau sehingga cukup kuat untuk menerima semua konsekuensi yang terpapar di depanku?

Setelah menjalani tiga tahun hidupku belakangan ini, aku menyaksikan sendiri bagaimana aku bisa tiba-tiba berubah menjadi sosok yang aku sendiri tak pernah jumpai sebelumnya. Aku bisa menjadi sosok yang seratus lima puluh satu derajat berbeda dari sebelumnya dan menyisakan hanya dua puluh sembilan derajat sebagai kewarasan untuk tidak mengakhiri hidupku. Aku dengan mudahnya kehilangan "coolness" yang dahulu sering dianggap orang lain sangat signifikan denganku. Senyum yang kata ibuku menjadi satu ciri khas-ku juga tidak lagi mudah terlihat. Bahkan musik yang dulu begitu akrabnya denganku kini mengalami kesulitan dalam menetralisir mood-ku yang secara acak seringkali bisa tersaji dalam kesedihan, ketololan, kebencian, kemarahan, dengki, iri, cemburu, putus asa dan lain sebagainya, baik secara individu maupun kompilasi.

Di suatu saat aku bisa saja memaksa orang lain untuk mengerti aku apa adanya sekarang. Namun di lain waktu aku begitu menyadari bahwa aku sendiri sering belum bisa mengerti dan menerima apa yang terjadi padaku. Aku lebih sering menganggap bahwa aku bukan sosok yang berbeda. Aku tetap seseorang dengan pembawaan yang mungkin tidak terlalu tertarik pada banyak hal namun kritikal pada hal yang menjadi perhatianku. Aku bukan orang yang pandai bahkan suka bersosialisasi namun ketenanganku tidak pernah menyesatkan aku di saat aku memilih untuk menyendiri. Senyum dan gurauanku mengakrabkan kehadiranku yang langka dan mungkin hanya sesaat. Dan ketika aku menyadari hilangnya sifat-sifatku yang dulu itu, aku lalu menganggapnya sebagai hal yang sifatnya sementara.
Tapi apakah memang hanya untuk sementara waktu?

Mungkin....mungkin sekali. Satu hal yang aku percaya adalah bahwa penempaan yang telah aku alami puluhan tahun lamanya itu begitu kerasnya sehingga apa yang sempat dianggap sebagai karakterku sudah sangat melekat dalam diri dan tidak mudah sirna begitu saja karena satu atau dua kondisi seperti susu yang terteteskan nila atau panas setahun yang terbasuh hujan sehari. Tapi mungkin juga, segala sifat yang belakangan ini baru terlihat sebenarnya sudah lama ada, hanya saja terkubur dalam-dalam dan akhirnya menampakkan diri setelah aku ditempatkan di posisi yang jauh lebih sulit dari sebelumnya. Artinya, sifat-sifat itu bisa hadir untuk kemudian menetap selamanya atau suatu hari kembali terkubur bersama perubahan situasi yang aku hadapi.  Dan hilangnya sifat itu pun bisa berarti aku menjadi kembali seperti dulu atau justru kehilangan akal sehatku.

Aku makin menyadari bagaimana kondisi di sekitarku punya peranan penting dalam memainkan emosiku. Terlebih setelah aku memutuskan untuk mempersempit ruang gerakku bulan ini, yang berarti lebih menggentingkan kondisi itu. Belum lagi hantaman-hantaman yang tiba-tiba datang tak terduga sehingga dapat dengan mudah menumbangkanku dan apa yang aku coba tegakkan. Pada saat seperti inilah aku benar-benar merasa perlu belajar lebih jauh tentang diriku sendiri. Mungkin sekali aku memang belum mengenali diriku yang sebenarnya. Aku mungkin hanya percaya pada apa yang aku ingin percaya tanpa mencoba menerima fakta bahwa aku punya lebih dari yang aku ingin tau...baik itu lebih bagus atau lebih jelek.

Bulan ini bulan pelatihan. Segala yang terjadi adalah bagian dari penempaan diri untuk menghadapi hal yang lebih berat. Sedahsyat dan seberat apapun yang terjadi di bulan ini bisa dianggap hanyalah simulasi dari apa yang akan terjadi nantinya. Aku pikir sudah menjadi keputusan yang tepat jika aku membiarkan diriku diombang-ambingkan gelombang ujian di bulan ini, sehingga nantinya apa yang tersisa dalam diriku adalah hal-hal yang memang layak dipertahankan. Aku perlu berkaca diri dan mengenali lebih baik siapa sebenarnya aku ini agar nantinya aku bisa memulai semuanya dari nol lagi, baik seperti bayi yang baru pertama kali dilahirkan atau seperti bayi yang terlahir sebagai buntut dari sebuah reinkarnasi..