Monday, June 1, 2020

Asian


Di era 80an, menjalani hidup di negeri Paman Sam bukanlah hal yang ideal bagi seorang mahasiswa. Buktinya, banyak teman seangkatanku yang tidak lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) atau kala itu sebutannya Sipenmaru, lebih memilih kuliah di perguruan tinggi swasta meskipun orangtua mereka lebih dari mampu untuk menutup biaya kuliah di luar negeri. Saat itu kehidupan di Indonesia terasa begitu nyaman untuk ditinggal studi selama lebih kurang lima tahun.
Banyak aturan yang mau tidak mau harus ditaati seperti misalnya dalam berkendara. Tak hanya aturan lalu lintas yang terbilang ketat, dokumen berkendara yang harus dimiliki juga lebih dari yang diharuskan di Indonesia. Selain SIM & STNK, semua pengemudi juga perlu memiliki bukti asuransi kendaraan. Sebenarnya saat itu, kepemilikan asuransi kendaraan bukan suatu keharusan kecuali pada situasi tertentu terutama ketika mengalami musibah karena hanya kepemilikan asuransi kendaraan lah yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan beban biaya perbaikan/ penggantian yang harus ditanggung, bagi pihak manapun yang terlibat. Misalnya ketika terjadi kecelakaan antar 2 mobil atau lebih, bagi siapapun yang memiliki asuransi kendaraan, kerusakan kendaraannya akan ditutup sebagian atau seluruhnya oleh perusahaan asuransi penanggung yang menabrak atau yang ditabrak, tergantung dari kasusnya. Tentunya jika tidak terlindungi asuransi, maka apapun biaya kerugian harus ditanggung  koceknya sendiri. Begitu pula halnya dengan jika musibah yang tidak melibatkan pengemudi lain seperti pengrusakan mobil (vandalisme) atau pencurian.
Buat orang Indonesia (anak mudanya) yang mindsetnya terpaku pada pengiritan pengeluaran, kepemilikan asuransi ini sering dianggap sebagai beban. Ketimbang memikirkan akibatnya jika terjadi kecelakaan tapi terlindungi asuransi, kebanyakan lebih memikirkan betapa percumanya membayar premi asuransi tahunan jika ternyata selama setahun itu mereka tidak mengalami kecelakaan. Sehingga "awalnya" mereka lebih memilih tidak memiliki asuransi dengan harapan tidak akan tertimpa musibah.

Mengapa aku mengutip kata awalnya? Karena ada masa dimana peraturan bahwa kepemilikan asuransi itu bukanlah suatu kewajiban direvisi pemerintah setempat menjadi kewajiban yang kondisional. Kondisionalnya adalah bahwa setiap kali pengemudi dihentikan polisi, selain SIM & STNK, mereka juga wajib menunjukkan bukti kepemilikan asuransi. Jika tidak punya, maka tilang dikenakan. Jadi contohnya, jika kita dihentikan karena ngebut, dan kita tidak punya asuransi, maka kita akan kena tilang dua kali; berkendara di luar batas kecepatan dan tidak memiliki asuransi.
Lalu apa yang dilakukan anak-anak muda Indonesia? Ya mereka terpaksa harus keluar biaya lagi untuk memiliki asuransi kendaraan. Aku sebut terpaksa karena dasarnya memang tidak ikhlas. Ketidak ikhlasan inilah yang membuat mereka mencari cara supaya tidak merugi di penghujung tahun kepemilikan asuransi. Ada yang sengaja menabrakkan mobil hingga ringsek, ada pula yang mendorongnya ke jurang sehingga penggantian kerugiannya bukan berupa perbaikan di bengkel namun berupa tunai.
Ya begitulah opsi yang  ditawarkan pihak perusahaan asuransi dalam penggantian kerugian. Jika memang tidak mungkin lagi dimasukkan bengkel karena kerusakannya fatal, maka penggantiannya berupa dana sebesar harga pasaran mobilnya yang sudah ditentukan saat membeli asuransi. Jadi ketika melihat teman yang tiba-tiba ganti mobil, aku menebak mobilnya sudah dihancurkan sendiri dan diganti dana yang kemudian dipakai untuk beli mobil baru.

Suatu ketika, Wibi, roommate-ku kala itu, mobilnya raib dari parkiran kampusnya saat ia sedang kuliah. Apesnya, mobil itu tidak terasuransikan dan hal ini membuatnya sangat gundah. Ia bingung harus bagaimana mengabarkan hal ini pada orangtua nya. Ia harus mempertanggung jawabkan kepada orangtuanya atas dana yang pernah dikirimkan kepadanya untuk membeli asuransi yang kemudian justru dihabiskan untuk hal-hal lain yang tidak diperlukan. Kepadaku dan beberapa teman, ia meminta saran apa yang harus ia katakan pada orangtuanya. Roommate-ku lainnya, Sani, kebetulan punya koneksi dengan sebuah cabang perusahaan asuransi besar yang sudah dikenal di kalangan mahasiswa Indonesia sering membantu dalam kasus serupa. Caranya dengan membuatkan perjanjian pembelian asuransi dengan tanggal yang dimundurkan beberapa hari. Hal ini dilakukan agar terkesan bahwa saat musibah terjadi, korban sudah memiliki asuransi yang baru dibeli sebelumnya. Kenapa hanya beberapa hari? Saat itu belum ada yang namanya sistem online. Jadi segala proses transaksi apapun di semua sektor termasuk perbankan, dilakukan secara manual sehingga makan waktu beberapa hari. Jika, katakanlah musibah terjadi tanggal 10, lalu dibuatkan perjanjian seolah pembelian asuransi terjadi tanggal 7 atau 6 di sebuah kantor cabang, maka sangat lumrah jika laporan transaksi pembelian itu belum sampai di kantor pusat. Selama memang ada bukti transaksi resmi dari kantor cabang, maka transaksi itu dianggap sah dan asuransi dinyatakan aktif saat musibah terjadi. Nah, kepada cabang inilah Wibi diarahkan untuk mendapatkan solusi. Tapi seperti yang aku pertanyakan saat usulan itu dilemparkan, agak aneh juga jika ada cabang yang mau melakukan kecurangan seperti itu. Maklumlah, aku bicara tentang Amerika, negeri yang padat dengan penduduk yang jujur (atau takut melanggar hukum). Selidik punya selidik, ternyata cabang itu dimiliki oleh warga keturunan yang kalau dinilai dari aksen bicaranya, masih kental adat istiadatnya. Ya, satu cabang itu karyawannya satu ras, bahkan ada yang satu keluarga dengan pemiliknya, keturunan Filipina atau disana sebutannya Pinoy. Mungkin karena sama-sama perantau dari Asia Tenggara, bisa diajak "main".

Maka dengan hati gembira penuh harap, Wibi pergi ke cabang tersebut diantar Sani. Sepulangnya dari sana, antara senang dan kecewa, Wibi menyatakan bahwa ternyata nilai transaksi pembelian itu cukup mahal hingga tiga kali lipat dari nilai standardnya. Namanya saja lewat jalan pintas, pasti ada konsekuensinya yang tidak ringan. Tapi ia tetap gembira karena transaksi itu akan terjadi keesokan harinya setelah dokumen siap, yang artinya begitu perjanjian dan pelunasan dilakukan ia tak perlu khawatir lagi atas musibah itu. Malam itu, ia menelpon orangtua nya untuk mengabarkan tentang kehilangan mobilnya dan prosedur penggantian dengan mobil serupa yang baru atau sejumlah dana oleh pihak perusahaan asuransi bila mobilnya tidak ditemukan dalam tempo 30 hari ke depan. Tentu saja orangtuanya memaklumi keadaannya sekaligus bersyukur karena semua teratasi dengan baik tanpa perlu tau bagaimana sebenarnya cara penanganannya. Dan Wibi pun sibuk menggalang pinjaman dana dari beberapa teman guna pembelian asuransi yang tidak murah itu. Rencananya, keesokan siangnya sepulang dari kuliah ia akan pergi sendiri untuk melakukan transaksi pembelian asuransi tersebut.

Paginya, ia berangkat kuliah dengan semangat yang tinggi karena upaya pengumpulan dana sejak semalam akan terlengkapi oleh teman sekuliahnya di kampus. Sementara hari itu, aku sendiri tidak ada jadwal kuliah sehingga aku lah yang menerima telpon di tengah hari untuk Wibi dari kantor polisi. Rupanya kurang dari 24 jam polisi berhasil menemukan mobilnya, terparkir di sebuah sudut daerah yang terbilang kumuh, dengan empat ban serep yang terpasang sebagai pengganti ban utamanya. Sebagai catatan, ban serep mobil disana umumnya lebih kecil ukurannya dari ban utamanya. Dibuat lebih kecil karena sifatnya yang hanya terpasang sementara sampai ban utama yang digantikannya diperbaiki dan bisa dipasang kembali. Polisi menyatakan kepadaku bahwa jika Wibi masih menyimpan kunci serep mobilnya, ia dapat mengambilnya di garasi penampungan kendaraan yang diderek pihak berwajib karena setelah diperiksa tidak ditemukan indikasi penjarahan pada mesin mobil. Mungkin berita itu sewajarnya merupakan hal yang positif untuk orang yang kehilangan mobilnya. Apalagi ditemukannya dengan kondisi "hanya" tanpa ban utama karena banyak kasus mobil hilang yang ditemukan dalam kondisi tanpa roda dan hanya terganjal di atas tumpukan batubata. Aku sempat heran dengan ketelatenan si maling dalam menyiapkan bahkan memasang ke empat ban serep itu. Tapi untuk Wibi tentunya beda jika ia keburu melakukan transaksi yang nilainya jauh sekali di atas nilai 4 velg dan roda standard Honda yang hilang. Maka selesai menerima laporan polisi, aku segera berusaha mencari tau keberadaan Wibi dengan harapan bisa menghentikannya mengeksekusi transaksi pembelian asuransi itu. Namun dengan minimnya sarana untuk mencari Wibi yang seharusnya berada di kampus (jaman itu belum ada telpon genggam), usahaku buntu. Ada sejam dua jam aku hanya duduk di ruang tamu memandangi jalan menunggu datangnya Wibi. Ia datang diantar teman kuliahnya dengan wajah berseri². Dugaanku bahwa ia pasti sudah membereskan urusan asuransi mundurnya memang tepat. Dan kegembiraannya hilang saat aku menyampaikan kabar baik tapi buruknya.

Hingga sore hari, ia hanya merenung sambil sebentar² menanyakan solusi pada semua teman yang kian sore kian bertambah banyak di tempat kami tinggal. Tempat tinggal di ujung jalan di atas bukit ini memang terbilang nyaman buat dijadikan tempat hang out. Banyak teman yang suka nongkrong disini sampai larut bahkan kadang ada yang menginap. Itu sebabnya jika ada teman yang punya masalah, cenderung datang ke rumah ini dengan harapan dapat pencerahan dari yang kebetulan hadir. Sekitar maghrib, seorang teman datang selesai kuliah seharian. Bima memang bukan termasuk dari enam penghuni rumah ini tapi sudah seperti penghuni karena meski tempat mondoknya jauh lebih dekat ke kampusnya, ia lebih suka menginap disini karena merasa sulit beradaptasi dengan lifestyle keluarga bule pemilik tempat mondoknya yang dinilainya kaku. Ia akan pulang ke tempat mondoknya seperlunya dan biasanya di akhir minggu. Itupun hanya untuk rehat beberapa jam lalu pergi lagi dengan membawa pakaian bersih. Bima ini orang yang rajin kuliah dan tidak mudah ikutan begitu saja dalam kegiatan kami. Tergantung mood nya saja. Kami menyebutnya sebagai pertapa karena kalaupun sesekali ikut ke diskotik atau pesta, ia lebih suka duduk menyendiri di pojokan ruangan yang tidak ramai. Introvert sejati lah. Aku sendiri menduga disaat kesendiriannya itu ia banyak memikirkan tentang berbagai masalah dan mencari solusinya. Tak hanya masalahnya tapi juga milik orang lain yang diserapnya saat ada yang sedang curhat ke kami. Dan ketika kami memberinya update tentang situasi yang dihadapi Wibi, tanpa berpikir panjang ia langsung mengusulkan agar Wibi ikut dengannya ke bengkel langganannya tanpa memberikan alasan yang mendetil. Karena kami sudah paham dengan cara kerja Bima, kami tidak mempertanyakan lebih jauh tentang usulannya dan hanya ikut memberi support pada Wibi untuk menurutinya sesegera mungkin.

Di hari berikutnya, aku berangkat kuliah pagi bersamaan dengan keberangkatan Wibi dan Bima untuk mengambil mobil dari garasi penampungan. Aku di kampus hingga menjelang sore dan sampai di rumah sekitar pukul empat, mendapati Wibi, Bima dan dua teman lainnya sedang tertawa-tawa di samping mobil Wibi yang masih beroda ban serep. Serta merta aku langsung melihat kondisi mobil tersebut dan kaget saat mendapati bagian interior nya yang semrawut kondisinya. Hanya jok belakang yang masih terpasang, tanpa jok depan, tanpa radio/cassette player, tanpa speaker baik di belakang maupun di pintu depan, bahkan tanpa setir.
"Lhoh...katanya cuma roda aja yang diembat?", tanyaku. Mereka tertawa lalu Wibi menjelaskan dengan rinci seperti ini:
Untuk meminimalkan kerugian dari pembayaran premi asuransi yang besarnya bisa mencapai lima kali lipat dari kerugian aslinya, Bima membawa Wibi ke bengkel modifikasi langganannya. Rupanya pihak bengkel bersedia membuatkan bon pembelian ban dan velg yang harganya mahal, sehingga terkesan nilai kerugiannya lebih tinggi dari sebenarnya. Kemudian bon itu diserahkan ke cabang asuransi sebagai bukti bahwa kerugian Wibi tidak sekedar harga ban dan velg standar bawaan pabrik Honda. Pembelian itu dinyatakan terjadi di antara tanggal pembelian asuransi dan tanggal hilangnya mobil. Dengan begitu, pihak perusahaan asuransi tak punya celah untuk menolak penyerahan bukti tersebut.
"Lalu trus ini pada diembat juga ternyata?", tanyaku masih belum paham.
"Bukan diembat tapi kita yang nglepas tadi sebelum ke asuransi biar bisa sekalian di claim", jawab Wibi.
"Wah..segitunya? Sampai potong kabel segala?", tanyaku lagi setelah melihat banyak kabel buntung bergantung di lubang tempat radio/cassette player harusnya berada.
"Jadi gini...waktu tadi kita tarik dari garasi, sebenarnya speaker dan radio itu dalam keadaan tergantung. Kayaknya mau diembat juga tapi gak jadi, mungkin karena mereka gak mau motong kabel. Bima lalu punya ide supaya gak cuma minta bon untuk ban dan velg aja."
Memang biasanya aksesoris asli bawaan pabrik itu kabelnya tidak pakai sambungan. Jadi mungkin inilah yang membuat si maling mobil enggan untuk mengambilnya karena sulit untuk melego barang elektronik yang kabelnya buntungan, kecuali kalau menjualnya di Black Market (pasar gelap).

Aku tanya lagi, "Trus memangnya aksesoris nya apa aja yang loe claim?"
"Ya atas usulan orang bengkelnya Bima, gue dibikinin bon buat stir Momo, jok Recarro, radio/cassette/CD player Nakamichi, speakernya Bose semua depan belakang. Top of the line semua deh pokoknya.", kata Wibi bangga.
"Oh my! Trus, ban nya minta merk apa? Pirelli?", aku merespon bercanda.
"Iya lah. Sama velg nya BBS".
Aku berdecak kagum sambil menaruh curiga pada pemilik bengkel langganannya Bima, "Pinoy lagi ya? Atau malah Chicano (ras Meksiko)? Soalnya rada gak mungkin kalo bule".
Sambil nyengir Bima menjawab, "Bukan...Korean".
Dan kamipun tertawa bersama.

Dan ketika dua hari kemudian pihak asuransi telah memberikan penggantian berupa uang tunai sesuai dengan permintaan Wibi yang total nilainya jauh di atas nilai premi yang sudah dibayarkan, semua aksesoris asli bawaan pabrik Honda itupun dipasang kembali. Sedangkan dananya untuk mengganti yang dipakai membeli asuransi.

Orang Asia memang luar biasa.



Catatan: Beberapa nama dan kondisi harus diubah dalam menghormati privacy tokoh yang bersangkutan

Wednesday, June 12, 2019

Common Sense vs Keparat

Sekilas tampaknya tidak fair sekali jika aku menganggap Lebaran tahun ini merupakan yang tersuram dari yang lebih lalu. Simply hanya karena aku sudah berkali² melewati Lebaran dalam kondisi finansial yang miris. Namun yang tahun ini terasa lebih miris karena memang ada satu dua faktor minor yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Misalnya saking gundahnya istri karena keterbatasan ruang gerak yang sebetulnya bukan hal baru baginya, attitude-nya yang cenderung bitchy di kala dalam kekalutan (akhirnya) berdampak pula ke prosesi Sungkeman yang selayaknya menjadi moment yang mengharukan. Tak seperti di tahun² sebelumnya dimana ia pasti menangis saat meminta maaf padaku sambil sungkeman di kedua lututku, kemarin jangankan menitik, sedikitpun airmata tak menggenang di matanya. Ia bahkan tak berucap sepatah katapun saat sungkeman, hingga aku harus bertanya padanya apa ada yang hendak ia ucapkan. Dan dengan cepat dan ringkas ia menjawab, "Maafin segala kesalahan ya"...itu saja. Huft...!!

Sebenarnya aku menduga ada satu hal yang membuat Lebaran ini terasa paling suram. Sudah baca blog ku yang ini: Hikmah Dibalik Secuil Pizza ? Nah...ini kebalikannya. Apa yang terjadi di Lebaran tahun lalu sangat mempengaruhi Lebaran tahun ini. Betapa tidak? Saat itu aku baru mulai bekerja di perusahaan yang baru saja diambil alih oleh sekelompok teman yang punya kecenderungan untuk jor-joran dalam memulai usahanya, sehingga aku termasuk diantara 7 pegawai yang langsung disewakan mobil. Meski tidak dapat THR karena memang baru setengah bulan bekerja, aku sudah super mapan menghadapi Lebaran dengan bayaran gaji yang sudah aku terima seminggu sebelum Lebaran. Jadi dari mulai menjalani hari-hari terakhir Ramadhan seperti melaksanakan shalat Tarawih yang bisa di lokasi yang jauh sekalipun, bukber di sana sini, belanja perangkat shalat untuk disedekahkan, hingga shalat Ied di dekat TPU tempat orangtuaku dimakamkan dan kemudian "muter" bersilaturahim dengan para sesepuh dan senior sambil bagi-bagi THR kepada banyak keponakan, semua berjalan lancar..car..car.

Jika Pizza itu terasa luar biasa nikmatnya, begitu pula Lebaran tahun ini terasa sekali suramnya. Tak lain penyebabnya adalah kelancaran (baca: kenikmatan) yang seolah tak berbatas di Lebaran tahun lalu. Nikmat yang mungkin terlalu dimasukkan ke dalam hati tanpa disadari sifatnya hanya sekedar duniawi, sehingga di saat tak didapatkan lagi, kecewa pun hadir.
Sama halnya dengan peristiwa Pizza yang harusnya membuat kita bersyukur namun tetap sabar karena sifatnya duniawi, peristiwa Lebaran inipun perlu disabari namun tetap disyukuri masih bisa dirasakan. Aku memang "ngrasani" (lagi) kondisi finansial ku Lebaran tahun ini, namu aku harus tetap waras dalam mengambil sikap...apalagi Minta Maaf dan Memaafkan itu merupakan hal-hal yang sangat sakral di moment seperti ini. Belum lagi kita berhadapan dengan banyak sanak keluarga yang dituakan sehingga respect itu sangat dijunjung tinggi.

Tak jarang memang aku ingin sekali melampiaskan kekesalanku atas nasibku ini...tapi aku juga tau tak ada seorangpun yang bertanggung jawab atasnya. Lalu kepada siapa lagi? Allah swt.? Bisa saja. Kita bisa kapan pun mengeluh bahkan memaki dan menghujatNya karena menganggap Ia tak memberiku cukup rezeki seperti yang kita harapkan. Atau bahkan karena kita menganggap diberi kenaasan bertubi-tubi. Namun kita harus berandai-andai juga...bagaimana jika setelah kita menghujatNya, Ia lalu mutung dan mengabaikan kita? Bagaimana jika Ia, Yang sebelumnya hanya sekedar menguji keimanan kita, sekarang malah jadi kesal? Siapkah kita untuk kemudian menghadapi ujian yang lebih hebat lagi? Kalau aku...secara teori pasti akan merasa kewalahan. Prakteknya, wallahualam....
Yang penting jangan sampai kehilangan akal sehat saja.....



Thursday, December 7, 2017

Perseteruan Yang Berlanjut

Ternyata masih ada duri yang tertinggal dalam tubuh perusahaan yang ditinggalkan mendiang ayahku. Perbedaan paham diantara kami, ahli warisnya, yang aku kira telah kami selesaikan beberapa bulan yang lalu ketika kami (akhirnya) berkumpul dalam susana damai dan sepakat untuk mengesampingkannya demi keutuhan persaudaran kami, nyatanya belum tuntas sempurna.

Di saat kami sedang mencoba menjalin kerjasama dengan pihak lain untuk proyek yang sudah terkatung-katung selama hampir genap lima tahun, muncul gugatan dari kakak ku yang ditujukan ke perusahaan. Otomatis gugatan ini juga teralamatkan pada kami semua termasuk dirinya sendiri yang menjadi pemegang saham diantara empat belas nama lainnya. Dan karena gugatan ini secara spesifik juga mempertanyakan keabsahan sebuah akta notaris, maka notaris pembuatnya pun ikut menjadi salah satu tergugat. Padahal, beliau telah membantu kami menyelesaikan banyak masalah yang pernah mengekang ruang gerak perusahaan ini. Lebih sialnya lagi, aku lah yang mereferensikan beliau ke perusahaan ini.

Aku yakin di balik upaya gugatan ini ada hal yang bersifat pribadi bagi kakak ku. Ini bukanlah masalah ia tidak terima dengan proses yang terjadi selama ini sehingga menempatkan perusahaan di posisi seperti sekarang yang berarti tidak akan memberinya rezeki sebanyak yang diharapkannya dulu, namun lebih tepatnya ia harus mendapatkan sesuatu yang lebih demi kepentingan pihak lain. Ya...pihak lain yang mungkin dulu pernah memberi banyak padanya dengan kompensasi yang sebanding. Dan kini ia terjepit diantara pihak tersebut dan pihak kami serta pemegang saham lainnya yang seharusnya lebih dibelanya. Segala kemewahan yang pernah didapatkannya selama ini, termasuk kesuksesan kerja anak-anaknya, kini menjadi bukti nyata yang menyudutkannya dan tak mungkin dipungkiri. Kata-kata manisnya yang diumbarnya ke banyak pihak kini menjadi bumerang baginya.

Itulah sebabnya aku yakin gugatan ini sangat kecil kemungkinan ditariknya meski para ahli hukum yang sudah siap mendampingi kami dalam menghadapi gugatan ini acapkali menganjurkan untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan. Personally...aku anggap mata hatinya telah sekian lama dibutakan oleh urusan duniawi hingga sulit baginya untuk bisa melihat kembali. Jika dulu ia rela menyimpang dari jalan kebenaran demi mendapatkan kemewahan duniawi, maka kinipun seperti itu pulalah ia harus menyelesaikan urusan yang menghimpitnya. Sampai kapan hal ini akan berlanjut? Entahlah. Yang pasti, tak satu pun pihak lain yang akan ikut terseret jika kelak ia harus menemui jalan buntu atas kasus gugatan ini dan harus terjerat jebakan hukum yang diciptakannya sendiri.

Ah...mirip sekali dengan kondisi persaudaraan antar warga negara di negeri ini saat ini. Ironis...


Wednesday, November 8, 2017

Memburu San Ustadz

Ustadz Abdul Somad, Lc., MA adalah seorang ustadz yang saat ini sedang naik daun. Beliau bisa dalam waktu singkat menjadi kondang karena video-video dakwahnya yang tersebar dan menjadi viral lewat berbagai media sosial. Adalah seorang temanku yang sekitar empat bulan yang lalu memintaku menyimaknya di YouTube. Dan begitu aku kali pertama menontonnya, aku langsung menyukainya.

Dakwahannya lucu dan menghibur. Itu kesan pertama darinya yang membuatku tertarik. Tapi lebih jauh lagi, tak seperti kebanyakan pendakwah, beliau bukan tipe yang menggunakan unsur paksaan atau ancaman dalam memberikan petunjuk tentang visi-nya. Beliau lebih menyajikannya sebagai ilmu yang ia anut dan praktekan ketimbang sebagai yang seolah berdampak "dosa besar" jika tidak dilakukan. Inilah yang membuatku makin tertarik pada dakwahnya.

Semakin sering aku menonton videonya, semakin suka aku padanya karena ia terkesan sebagai sosok apa adanya yang sederhana. Cara bicaranya mengisyaratkan seperti itulah beliau bicara dalam kesehariannya yang bisa membuat lawan bicaranya di satu sisi terhibur dan tertawa, sementara di sisi lain mudah menyerap hikmahnya. Intinya, beliau bisa menjadi seorang teman bicara yang baik, yang bisa memberi nasehat dan mengkoreksiku tanpa membuatku kecil hati.

Nah, akhir minggu kemarin beliau melakukan tur dakwah yang kebetulan mencakup dua tempat di wilayah tempat tinggalku. Sontak aku langsung membuat agenda untuk menghadiri salah satunya yang diselenggarakan setelah waktu shalat Dhuhur. Meskipun aku sudah dianjurkan untuk datang pagi, aku tetap datang sekitar pukul setengah sebelas dengan harapan dapat tempat di dalam masjid  walau tak harus di shaf-shaf terdepan. Kenyataannya, aku hanya bisa dapat tempat di teras masjid hingga shalat Dhuhur dilaksanakan.

Untungnya, begitu shalat Dhuhur berjamaah usai, aku bisa ikut terdorong ke dalam masjid karena saking banyaknya jemaah di belakangku yang mencoba "memblesek" masuk. Namun itu hanya cukup menempatkanku di shaf bagian belakang tepat disebelah partisi pembatas yang memisahkan jemaah pria dan wanita. Adapun mimbar tempat beliau berkhatbah berada di belakang dua kamera video di atas tripot yang diletakkan di ujung partisi pembatas. Kondisi ini yang membuat pandanganku agak terhalangi sehingga aku harus sesekali menegakkan badan untuk dapat melihat beliau.

Tak puas dengan pengalaman ini, bersama temanku yang datang dari Bogor akupun berniat menghadiri acara dakwah beliau berikutnya yang diselenggarakan di masjid lain malam harinya seusai pelaksanaan shalat Isya. Yang tak kuketaui sebelumnya, berbeda dengan masjid pertama, masjid kedua ini hanya memanjang ke samping dimana jarak antara mimbar dan pintu masuk terbilang pendek yang hanya muat terisi tujuh shaf. Untung saja aku telah hadir sekitar pukul setengah lima sehingga bisa mendapatkan spot di shaf ketiga setelah begitu banyaknya jemaah yang memaksa masuk memadati masjid.

Sebenarnya, sebagian besar isi dakwahannya pernah aku dengar lewat video-videonya, namun mendengarnya secara "live" memberi kesan tersendiri buatku. Apalagi dengan berburu tempat dan rela berjubel-jubelan untuk menjadi bagian dari jemaah yang shalat dan berdoa bersama beliau di bawah satu atap, pengalaman ini sungguh berharga.
Apakah aku akan mau melakukannya lagi kelak bila ada kesempatan serupa? Ah...cukup kali ini saja...kecuali jika event-nya lebih istimewa. :)


Monday, October 30, 2017

Hikmah Dibalik Secuil Pizza



Sering sudah kita dengar nasihat agar kita mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi, terlebih dari peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan. Kesannya memang klise saat kita sedang berada dalam kondisi yang tidak mengenakan kita. Anjuran itu tentunya dimaksudkan agar kita bisa sabar menerima suatu penolakan atas apa yang kita harapkan termasuk sedang mengalami  musibah. Tapi alangkah berat menelannya ketika kita lebih berkeinginan untuk mengeluh, berteriak atau memaki-maki.

Awalnya memang susah...namun saat perbaikan situasi yang sesuai harapan tidak juga kunjung tiba tapi justru sebaliknya makin memburuk, kita mungkin bisa sampai pada fase dimana kita sudah capek mengeluh, capek kesal, capek marah-marah, dlsb. Dan ketika itulah kita tak lagi punya pilihan lain selain menerima dengan ikhlas apa saja yang menimpa kita...seburuk-buruknya pun itu. Bagaimana tidak? Segala sikap tidak menerima kita akan kondisi kita ternyata tak juga membuatnya lebih baik hingga akhirnya kita harus menyerah.

Menyerah itu tak berarti kalah tapi berarti berserah diri pada Yang Kuasa...pada kehendakNya...pada kalamNya. Maksudnya secara ikhlas dan tulus menerima keputusanNya sambil terus berharap akan diberkahi olehNya rezeki di kemudian waktu. Intinya, ketimbang menunggu waktu tersebut sambil melakukan hal-hal yang negatif, yang bisa saja justru menambah dosa, kita justru melakukan perbuatan baik yang menambah amal dan pahala kita. Dengan bersabar dan tetap bersyukur atas apa yang diberikan olehNya, seharusnya perjalanan waktu kita akan terasa lebih ringan daripada jika kita mengisinya dengan kegelisahan dan emosi.

Sudah lebih dari empat tahun terakhir ini perjalanan hidupku bagaikan roller coaster yang kebanyakan turunnya. "Kebanyakan" ini artinya tidak melulu turun tapi ada juga naiknya. Hanya saja jumlah kenaikannya terbilang sedikit. Awalnya, saking seringnya aku meratapi penurunannya, aku sangat sering tak menyadari adanya kenaikannya. Bahkan seringkali kenaikan yang tak seberapa itu aku responi dengan rasa kecewa karena tak sesuai harapan atau tak sebanding dengan drastisnya penurunan yang sudah aku lewati. Akibatnya kenaikan itu lebih aku anggap masih sebagai penurunan yang membuatku tambah tertekan. Ironis bukan?

Nah...disaat aku telah kehabisan hasrat untuk tetap mengeluh, putus asa mendapati segala keluhan dan amarah yang tak kunjung memperbaiki kondisiku, aku menyerah. Aku mencoba me-reset ulang mindset ku dengan mencoba meyakini bahwa selalu ada hal baik dibalik segala hal yang buruk yang menimpaku. Mau tidak mau...suka tidak suka...aku melakukan manuver ekstrim dengan mencoba menerima nasibku secara ikhlas sambil berharap hal itu akan diganjar dengan berkah olehNya. Akibatnya, kesantaian itu benar-benar membuat hatiku tenang tak seperti keluhan yang menguras tenaga dan pikiranku. Hati dan pikiranku menjadi tenang ketika aku memohon kepadaNya segala kebaikan dengan berniat menunggunya secara ikhlas. Artinya...dikasih ya bersyukur, tidak dikasih ya bersabar.

Hasilnya pun luar biasa. Rezeki yang mungkin tidak seberapa, terasa sangat menyejukkan. Kenapa? Karena aku tak berharap yang muluk-muluk. Setelah berikhlas menerima semua tempaan hidup yang datangnya sambut menyambut, rezeki seperti ini ibarat setetes air di padang tandus.
Suatu contoh saja...beberapa waktu yang lalu, ketika aku dapat rezeki berupa dana pembayaran atas sebuah proyek kecil yang baru aku selesaikan, aku memesan pizza buat keluargaku. Dan setelah gigitan pertamanya, rasanya lezat sekali. Padahal ini bukan kali pertamanya kami menyantap pizza. Bahkan dahulu, pizza itu termasuk makanan yang setidaknya kami makan minimal dua bulan sekali. Aku yakin rasanya masih sama dengan yang dulu kami sering santap, namun kelezatan kali ini terasa karena mungkin sudah setahun lebih kami tidak makan pizza yang harganya tidak murah.

Kenikmatan seperti ini yang kemudian memotivasiku untuk selalu ikhlas dan tetap bersyukur atas kondisi buruk apapun yang aku hadapi. Rezeki yang terlihat kecil menjadi terasa bagai sebesar raksasa ketika datangnya setelah kita ikhlas bersabar menerima cobaan berat yang sifatnya hanya duniawi. Dan bisa saja tanpa disadari, ketika kenikmatan duniawi yang datang seperti itu kita sambut dengan rasa syukur yang, hadiahnya adalah kenikmatan ukhrawi kelak di kemudian hari.
Indah bukan?

TetapSabar&SyukurModeON....!!

Thursday, October 26, 2017

Cacar Air

Senin kemarin, tak seperti biasanya putra sulungku tiba-tiba sudah kembali di rumah dari sekolah pukul setengah empat. Aku mendapatinya sedang duduk di teras depan sambil menunduk dan memegangi kepalanya. Rupanya ia sedang sakit kepala yang dirasakannya seusai upacara bendera paginya. Hal inilah yang membuatnya melewatkan kegiatan ekstra kurikulernya dan memutuskan untuk segera pulang.

Seiringan dengan pernyataan tentang dugaannya tertular teman dekatnya, aku mendapati semacam dua bisul kering di mukanya. Memang awalnya ia tak menerangkan secara detil penyakit apa yang mungkin telah ditularkan, namun aku langsung curiga itu cacar air. Dan ternyata kemudian ia pun menyatakan bahwa temannya itu baru saja kembali masuk sekolah setelah seminggu absen karena sakit cacar air. Wali kelasnya pun menyatakan kepadaku kemungkinan hal itu karena ia tau mereka berteman dekat.

Phew...akhirnya ada juga putraku yang terjangkit penyakit ini. Tindakanku selanjutnya adalah konsultasi dengan kakak perempuanku yang seorang dokter anak tentang penanganannya. Yang jadi pertanyaan buatku sendiri adalah, apakah akan aku upayakan kesembuhannya dalam arti mencegahnya bertambah parah, atau kudiamkan bertambah parah dalam arti diforsir agar keluar semua sekaligus terbuang semua virus dan calon virusnya? Konon kabarnya setiap orang punya kadar maksimal tersendiri atas penyakit cacar air ini. Artinya, selama kadar yang tercapai pada saat terjangkit hingga sembuh belum maksimal maka kemungkinan terjangkit lagi masih ada.

Dulu ketika aku terjangkit juga saat duduk di bangku SMA, mendiang ibuku memberiku wedang asem yang dimaksudkan untuk memaksakan kadarnya mencapai maksimal agar setelah sembuh aku tak akan pernah terjangkit lagi. Itu sebabnya di awalnya aku hanya mengkonsumsi obat dan bedak penghilang rasa sakit dan gatal. Tak ada obat pembunuh virus hingga kadarnya mencapai maksimal. Rambutku bahkan sempat dipangkas habis oleh ibuku hingga kepalaku plontos agar cacar air yang ada di kepala bisa diberi salep dan bedak. Aku ingat benar saat itu salah satu derita terberatnya adalah menjalani hari-hariku dengan sariawan yang jumlahnya mencapai belasan, dan itu belum termasuk tujuh buah yang ada di lidah dan kerongkonganku.

Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan upaya penyembuhan atas apapun yang sudah terjangkit di tubuh putraku karena aku tak tega melihatnya harus menjalani hari-hari seperti yang pernah aku alami dulu. Lagipula, sebagai seorang siswa yang baru memulai studinya di sekolah menengah kejuruan ini, ia sedang giat-giatnya mengikuti berbagai kegiatan di sekolahnya. Kasihan jika ia harus melewatinya begitu lama. Dan aku pun meluangkan banyak waktu untuk mendampinginya dalam upaya penyembuhannya mengingat mungkin hanya akulah satu-satunya kandidat yang tidak akan tertular.

Namun entah mengapa, cacar air yang ada justru terus bertambah seolah segala obat yang aku berikan tidak berfungsi apa-apa. Hari-harinya semakin sulit karena rasa perih dan gatal yang terus bertambah. Biasanya suhu badannya meningkat drastis di malam hari sehingga tidurnya pun semakin sering terganggu. Kakak perempuanku juga terheran-heran atas hal ini hingga ia sempat berkelakar kalau ini disebabkan karena faktor turunan...halah! Pagi ini ia sempat memberi anjuran obat lain sebagai upaya penanganannya, namun aku sudah tak memfokuskan pada kesembuhan putraku dalam waktu dekat ini mengingat banyaknya cacar air yang sudah bermunculan di seluruh tubuhnya.

Mungkin putraku memang pada akhirnya harus lebih lama melewati fase ini, namun aku juga berharap jika memang ini berarti kemungkinannya kelak ia akan terjangkiti lagi adalah nol, maka biarlah ini terjadi sekarang. Toh aku sudah berusaha semaksimal mungkin dan ia juga sudah menuruti semua anjuran yang diterimanya. Kami sudah berusaha, tapi semua kembali ke padaNya yang sudah menentukan kalam putraku ini. Sabar dan ikhlas lagi....


Kehebatannya

Kakakku yang sulung ini memang sungguh istimewa. Istimewa karena ia punya sifat, tabiat, sikap, perangai atau apalah yang mau disebut, yang lain dari pada yang lain. Itu bisa berarti berdampak positif ataupun negatif untuknya sendiri, keluarganya, dan orang lain. Otaknya sangat amat encer, dan hal ini sudah dimilikinya sejak di bangku SD dulu. Buktinya ia, minimal, selalu menduduki peringkat tiga yang teratas dalam pencapaian prestasi tiap tahunnya. Ia sudah lumayan fasih menguasai bahasa Inggris di kelas dua SD. Tak lama pula setelah ia dikenalkan pada Tabel Unsur Kimia pun ia langsung hafal semua unsur di luar kepala, lengkap dengan posisi dan jumlah ion-ion yang dikandungnya. Selepasnya SMA, ia dengan mudahnya langsung lolos ujian seleksi masuk ke perguruan tinggi dengan mendapatkan tempat di kampus pilihan pertamanya di Bandung.

Apa yang kemudian terjadi setelah itu memang sama sekali tidak seperti yang diharapkan orangtua kami, tapi bukan berarti ia tak menyukainya. Pilihan arah yang ditentukannya di tiap persimpangan jalan hidupnya terlihat ekstrim namun rupanya ia tentukan dengan penuh pertimbangan akan segala konsekuensinya. Kami sekeluarga sempat berpikir bahwa keputusannya untuk menikah tidak tepat karena terkesan buru-buru sebelum ia mengenal betul calon istrinya. Tapi pernikahan itu telah diarunginya selama tiga dekade lebih dengan dikarunia empat anak lelaki yang kini semuanya sudah menjadi orang-orang yang sukses di pekerjaan dan sekolahnya. Dan semua kesuksesan itu tak lepas dari konsep hidupnya yang hingga kini masih sering kami anggap aneh dan tak lazim.

Hebatnya...ia bukan tipe orang yang cenderung menampilkan kehebatannya di depan umum. Ia sangat mengerti teknologi karena ia juga pernah menggeluti bidang IT sebagai bisnisnya, tapi ia tidak memanfaatkannya untuk mempromosikan data dirinya. Pernah sekali seorang Laksamana Sukardi terkagum-kagum atas kepintaran kakakku ini seusai mendengarkan presentasinya tentang lahan tambang yang izinnya dipegang oleh perusahaan ayah kami. Ia pun sempat mempertanyakan tentang sosok kakakku ini pada mediator yang mengenalkan pada kakakku hanya karena ia tak pernah mendengar nama kakakku di dunia bisnis dan ekonomi sedangkan ia mengira ia mengenal semua orang pintar yang ada dalam dunia bisnis di tanah air. Well...bagaimana ia bisa mendengar nama kakakku ketika data dirinya tidak pernah diekspos bahkan di dunia maya, wadah paling efisien bagi setiap orang untuk menjual diri?

Ketika ada yang mencari data dirinya dengan menggunakan nama kakakku sebagai keyword-nya, mungkin yang akan tampil hanya satu dua situs yang dibuat orang lain yang kebetulan mengikutsertakan nama kakakku, seperti situs silsilah keluarga yang pernah aku buat. Itupun tak dapat diakses tanpa izin dariku sebagai pembuatnya. Tak ada facebook, google account, linkedIn, blog atau media sosial miliknya. Kalaupun ia punya alamat email, tak mengandung nama lengkap apalagi fotonya.
 
Begitulah kakakku. Melanglang buana selama ini dengan menempatkan dirinya di belakang layar. Kalau dalam pertunjukkan wayang kulit atau wayang orang, jelas ia bukan wayangnya tapi mungkin juga bukan dalangnya. Ia lebih pantas disebut sebagai tim sukses sang dalang yang ikut mengatur alur cerita yang di suguhkan sang dalang. Sosok dalang bisa terekspos dan mungkin menjadi sosok yang terkenal, namun siapapun yang membantunya mengatur babak demi babak pertunjukannya tak pernah dimunculkan ke permukaan, betapapun suksesnya pertunjukannya itu. Di sisi lain, jika ada masalah di tengah jalan, ia tak akan jadi yang termasuk harus bertanggung jawab langsung. Akibatnya, namanya pun otomatis aman dari publikasi dan sorotan media.

Buatku, ia tak sekedar pintar tapi juga orang yang jenius atau brilian. Hubunganku dengannya yang terbilang kaku karena diantara semua adiknya, akulah yang paling suka menentang secara terbuka pola berpikirnya yang aku nilai cenderung egois sehingga lebih pantas aku sebut licik ketimbang cerdik. Namun jujur saja, aku tak enggan menganggapnya cerdik karena ia pandai bicara sehingga sifat egoisnya itu bisa dibungkusnya rapih dengan teori dan ilmu tinggi yang dimiliki kemudian disajikan dalam tutur bahasa yang sangat sopan dan terkesan menghormati lawan bicaranya. Bagi seorang awam yang artinya tidak mengenalnya sedalam aku mengenalnya, kakakku bisa dianggap sebagai nara sumber yang potensial dan motivator yang pantas diikuti omongannya. Itu sebabnya ia dapat dengan mudah meyakinkan orang untuk menggandengnya dalam berbisnis di bidang apapun.

Sudah sekitar tiga bulan belakangan ini aku mencoba untuk melakukan pendekatan kepadanya setelah tujuh tahun kami jarang sekali bertemu karena ia tinggal di pulau seberang dan jadwal masing-masing tak memungkinkan kami untuk mudah buka kontak. Selama tiga bulan ini aku mencoba menerimanya tanpa ingin melihatnya sebagai sosok yang aku uraikan di atas. Kami sama-sama sudah berusia kepala lima, dan itu menjadi alasanku mengapa aku mencoba untuk tidak judgemental terhadapnya. Secara teori, proses pendekatan ini akan berjalan mulus selama kami tidak saling menghakimi dan saling menerima apa adanya sehingga tidak condong menyerang satu sama lain dengan prinsip masing-masing.

Nah...disaat aku dan semua kakak adikku kini telah sepakat untuk menyelesaikan urusan keluarga yang selama ini belum tuntas karena adanya perbedaan paham diantara kami, ia jadi sulit dihubungi. Padahal proses penyelesaian ini sudah sampai pada tahap akhir dimana kami perlu menandatangani sebuah akta di depan notaris. Tempat tinggalnya yang jauh itu menjadi kendala sehingga ia juga tak mudah untuk didatangi, sementara tenggat waktu yang ada semakin sempit. Seandainya saja ia merespon kami lewat WAG, SMS atau telpon, kami pasti tak akan berada di posisi yang tidak mengenakkan ini. Pasalnya, kami tau pasti bahwa ia tau kami mencarinya. Ia juga membaca semua pesan kami, namun kalaupun merespon ia tak memberikan info yang akurat dan kena sasaran. Jawaban atas pertanyaan dan permintaan kami kebanyakan sifatnya menggantung bahkan sering mengundang tanya.

Pheew...kami pun mulai bertanya-tanya, jangan-jangan ada hal yang mengganjalnya (lagi) yang ia sembunyikan sehingga ia lalu menghindari kami dan proses penyelesaian ini. Dan hingga hari ini pun, meskipun ia telah menjelaskan kondisi fisiknya yang telah seminggu sakit berat sehingga baru bisa terbang untuk datang sore ini, selama ia belum menampakkan dirinya di depan kami, tidak ada yang dapat kami pastikan. Pada akhirnya, apapun yang ada dibalik semua peristiwa ini, aku dan adik-adiknya yang lain memang tak punya pilihan lain selain bersabar dan ikhlas menerima semua alasan yang ia berikan..seolah kami memang hanya wayang, sementara kakakku punya kuasa yang lebih besar dari dalangnya. Disitulah hebatnya kakakku... :p