Tuesday, January 7, 2014

The Unknown B.W

Ada beberapa kenalan dari stus-situs media sosial yang ternyata punya bakat seni yang tidak dijalani secara profesional. Dalam keluangan waktunya, mereka kadang mempublikasikan karya-karyanya tanpa mengharapkan komen apapun apalagi peluang untuk menjadi orang terkenal. Ada yang trampil dalam membuat sketsa dan lukisan, ada yang puitis, dan adapula yang cakap dalam bidang musik. Hasrat ingin berbagi sajalah yang melatarbelakangi postingan mereka itu.

Salah satunya, sebut saja namanya Hitam Putih (karena akupun tidak tau apakah nama yang ia gunakan di situs seberang sana itu nama aslinya atau bukan), sempat menampilkan beberapa corat coretannya yang diakuinya dilakukan sebagai pembunuh waktu nganggurnya. Biasanya, ia memulai karya dari sekedar menggunakan bolpen atau pinsil di atas kertas biasa. Namun karena ia juga sering menggunakan komputer, setelah karyanya itu discan, ia terus menyelesaikannya dengan komputer atau gadget lainnya. Umumnya penyelesaian dengan penggunaan teknologi ini dilakukan dalam pewarnaan.

Hanya dua yang aku tampilkan di sini karena aku juga tidak ingin terlalu mengekspos semua karyanya mengingat ia menganggap bahwa apa yang dibuatnya belum layak dilihat banyak orang. Mungkin suatu hari nanti, aku bisa membuat suatu pameran sketsa dan lukisan yang dibuatnya, dan/atau kenalanku yang lainnya.

So, Hitam Putih, wherever you are, you know I'm talking about you and thank you for letting me use these pictures to make my site more cheerful.






Saturday, January 4, 2014

Pembelajaran

Suatu sore, sekitar 3 tahun yang lalu, aku menerima sebuah pesan singkat yang terkirim dari nomor telpon yang tidak kukenal. Isi pesannya sangat mirip sekali dengan tipikal spam yang biasanya diramu seolah berasal dari kenalan yang minta diisikan pulsa. Pesan seperti ini mungkin bisa sekali tiap dua minggu aku terima dari nomor-nomor asing, sehingga aku hampir saja mengabaikan dan langsung menghapus pesan yang aku terima sore itu. Namun ketika aku menyadari namaku disebut di dalamnya, aku mulai mempertanyakan identitas si pengirim dengan membalas pesan itu. Ternyata ia adalah kenalan dekat yang pernah berbisnis denganku beberapa tahun sebelumnya. Ia juga orang yang berjasa mengenalkan dan mengajari aku tentang penggunaan photoshop yang kemudian menjadi salah satu program andalan dalam menjalankan bisnisku.

Nilai pulsa yang dimintanya memang cukup besar hingga seratus ribu, nominal yang tidak pernah aku beli kecuali untuk pembelian paket internetan, apalagi ketika nilai sebesar itu harus aku belikan untuk orang lain. Tidak ada yang istimewa dari permintaannya kecuali permohonan yang bernada memelas tanpa memberi alasan jelas untuk apa ia membutuhkan pulsa sebanyak itu. Berhubung dana yang kumiliki juga tidak seberapa, aku tawarkan setengah dari jumlah yang dimintanya, yang langsung disetujuinya. Serta merta aku belikan pulsa untuknya dengan menggunakan internet banking karena saat itu aku harus segera pergi meninggalkan tempat kerjaku sehingga aku tidak akan mungkin lagi melakukan transaksi keuangan untuk beberapa saat. Pesan singkat mengenai pengiriman pulsa itupun aku kirimkan padanya sebelum aku pergi.

Di tengah perjalanan, ia mencoba menghubungi aku lagi untuk beberapa kali karena kondisiku tidak memungkinkanku menjawab panggilan telponnya. Lagipula aku merasa tidaklah perlu menjawab panggilan telpon itu jika ia hanya ingin mengucapkan terima kasih.
Sesampainya aku di tempat tujuan, aku langsung menjawab telpon darinya yang masih juga menghubungiku. Kali ini, ia justru memintaku untuk kembali membelikannya pulsa sebesar lima ratus ribu rupiah. Hah?! Bukankah tadi sudah jelas aku informasikan bahwa seratus ribupun aku tak mampu, mengapa sekarang jumlahnya lebih besar lagi? Lima kali lipat pula jumlahnya. Pertanyaan itu diresponnya dengan nada yang sedikit keras dengan dalih bahwa ia sedang menghadapi masalah yang sulit. Entah apa yang dilakukannya sehingga ia, seperti yang diakuinya, tengah berurusan dengan pihak berwajib di kantor polisi.

Ketika aku mencoba menjelaskan lagi kondisiku, ia malah mulai berbicara dengan nada tinggi. Semakin aku mencoba membuatnya mengerti, semakin kasar pula bahasa yang digunakannya dan semakin aku kehilangan simpatiku padanya. Permohonannya berubah menjadi makian dengan kata-kata yang kasar hingga kotor. Belum lagi tuduhan bahwa aku tidak punya belas kasihan dan keinginan untuk menolongnya...salah satu tabiat yang aku benci dari orang yang pernah aku bantu. Ia juga sempat mengancam akan menterorku kelak nanti bila kesempatan itu datang. Di posisi seperti inilah aku menyadari kalau orang yang tengah aku hadapi bagaikan bukan dirinya yang kukenal. Seribu pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dihadapinya memenuhi benakku, namun aku tidak merasa perlu mendapatkan jawabannya saat kekalapannya telah menguasainya seluruh dirinya.

Dua tahun sebelumnya, ketika aku baru saja dipaksa melepas hak kepemilikanku atas usaha jasa percetakan oleh mitra kerjaku, aku mencoba mencari jalan untuk memutar dana yang aku dapatkan sebagai kompensasi atas pelepasan sahamku itu kepada beberapa teman termasuk seseorang yang saat itu masih secara rutin bekerja sama dengan bekas perusahaan percetakaanku. Ia adalah wiraswastawan kecil yang dulunya sering menawarkan usaha kerjasama di luar urusan perusahaan dengan konsep aku yang memodali calon proyek-proyek kecil di bidang pengkomplitan barang cetakan yang dilakukannya untuk perusahaan lain. Hal seperti ini sudah beberapa kali kami lakukan dengan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Karena saat itu ia sedang tidak ada proyek, maka ia berjanji akan menghubungiku jika ada peluang lagi.

Sekitar tiga bulan kemudian, ia mengontakku dan menagih janjiku atas dana yang pernah aku tawarkan. Jumlah terbilang sedang, namun ada dua faktor yang memberatkanku. Pertama, dana yang dulu kumiliki kini telah terpakai untuk usaha lain yang telah kumulai, dan kedua adalah bahwa ternyata dana yang dibutuhkannya itu bukan untuk suatu proyek tapi untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Dengan kata lain, yang ia ajukan adalah proposal peminjaman dana untuk keperluan pribadinya. Aku sempat iba dengan kondisi keuangannya yang seret sementara tuntutan pendidikan anaknya begitu menjepitnya. Namun aku jadi kaget mendengar apa yang dikatakannya padaku setelah aku menyampaikan kesediaanku untuk memberinya sepertiga dari jumlah yang diharapkannya.

Alasan bahwa dana yang kumiliki memang sudah tidak tersedia sebanyak itu tidak menahannya untuk mencaci makiku. Ia menuduhku sebagai orang yang riya', menyombongkan kekayaan yang kumiliki sekaligus memberikan harapan kosong padanya dengan memberikan janji palsu. Lhoh...janji palsu gimana? Riya' gimana? Bukankah dana yang pernah jadi pembahasan itu aku siapkan untuk suatu kolaborasi bisnis yang sifatnya win/win? Apakah gagasan untuk menjalankan usaha bersama karena aku sedang punya dana membuatku riya'? Lagipula kami toch tidak pernah membuat perjanjian kalau dana pasti selalu tersedia untuknya? Kalaupun dana yang ia minta memang untuk suatu usaha, bagaimana kalau ia datangnya satu tahun kemudian? Apakah aku akan tetap dianggap tidak menepati janji?

Intinya, ia tengah berada di ujung tanduk. Di satu pihak ada keperluan sekolah anak-anaknya yang sangat mendesak yang harus dipenuhinya, di lain pihak bisnis yang digelutinya sedang lesu sehingga income-nya sedikit. Tapi apa iya situasi seperti ini lalu memberinya hak untuk melemparkan tuduhan-tuduhan seperti itu kepadaku? Aku mengenalnya sebagai orang yang taat beragama, dan hal itu pulalah yang mendasari minatku untuk berbisnis dengannya. Namun jika ketaatannya itu lalu melahirkan penilaian riya' padaku, aku jadi enggan sekali untuk berurusan dengannya. Ia juga sempat melontarkan mencap aku sebagai orang yang tidak punya belas kasihan sehingga tidak mau membantunya. Maka setelah gagal memberinya pemahaman tentang maksud awalku, aku sudahi saja pembicaraanku dengannya saat itu.

Hingga saat ini, aku tidak pernah lagi berhubungan dengan kedua orang ini, meskipun ia telah beberapa kali mereka mencoba menelponku atau sekedar menyapa lewat nomor-nomor telpon yang aku kenali. Aku tidak tau apa yang akan diucapkannya...kekesalan, kemarahan atau justru penyesalan. Namun aku sudah terlanjur kesal dengan yang mereka lakukan dulu, apapun alasan yang melatarbelakanginya. Buatku, lebih baik menghindari konflik yang masih mungkin terulang daripada gambling merespon mereka untuk mencari tau mengapa mereka mencoba menghubungiku lagi setelah apa yang mereka lakukan.
Dan ketika aku ceritakan hal ini pada orang lain, ada yang menganjurkan agar aku merespon mereka dengan niat yang baik, untuk menjaga hubungan silaturahim dengan mengasumsikan bahwa niat mereka pun baik. Tapi aku cenderung bertahan pada keputusanku sekedar untuk mengusung prinsip yang kumiliki....baik itu dianggap orang lain benar atau salah.

Yaaah...anggap saja aku mencoba belajar dari pengalaman...



Friday, January 3, 2014

Friends Indeed

Sekali lagi aku dihadapkan pada masalah yang bersumber dari kebodohanku sendiri. Bukan hanya kebodohan dalam menentukan nilai tunggakan hutang tanpa memeriksa dengan teliti semua dokumen yang harusnya bisa memberiku informasi terlengkap, namun yang lebih parah adalah bahwa kejadian semacam ini sudah berulang kali kualami. Ini benar-benar bukti bahwa aku seringkali tidak belajar dari pengalaman.

Maka sebagai akibatnya, selain kenyamanan finansial yang telah beberapa bulan terakhir akhirnya dapat aku nikmati tiba-tba sirna dalam sekejap, aku juga dihimpit tenggat waktu dan tanggung jawab yang kemudian menjadi beban yang terasa begitu berat di pundakku. Di satu sisi aku punya tanggung jawab moral berupa janji pada pihak tertentu, di lain sisi aku hanya punya sedikit waktu untuk menepatinya. Dan semua itu menjadi bumerang dari kecerobohanku dalam menyeimbangkan income dengan expenses ku.

Sudah seminggu terakhir ini aku mencoba mencari jalan keluar yang bisa membebaskanku dari ancaman stress. Acapkali aku berdoa dan mengharapkan suatu mukjizat dariNya, namun tidak jarang pula aku seolah lupa ingatan dan mulai memakiNya atas kesialan yang hadir lagi dalam hidupku. Terkadang meskipun aku sependapat dengan nasihat soul mate ku untuk tetap bersabar dan ikhlas menghadapinya, aku masih saja sempat nekad mengeluh saat jalan pikiranku sudah membuntu.

Mungkin aku akan menjalani ini semua dengan tenang jika saja aku (bisa dan mau) bersikap terbuka pada mereka-mereka yang punya urusan langsung dengan masalah yang aku hadapi. Tapi itu memang bukan lah aku. Dari dulu aku punya kecenderungan untuk menjalani hari-hari sulit ku dengan cara bersolo karir. Bedanya, dahulu aku memang tidak perlu memikirkan individu lain selain diriku sendiri, dan itulah yang membuatku lebih siap menerima pukulan hidup yang setelak-telaknya.

Untungnya, kebesaranNya telah dibuktikan dengan menghadirkan segelintir orang-orang yang bisa mengerti dan memaklumi caraku berpikir sehingga bantuan moril maupun materil dari mereka masih bisa aku terima. Memang individu seperti mereka ini tidak mudah dipertahankan kalau saja aku tidak melakukan hal yang sama untuk mereka pada saat keadaan sedang membalik. Entah apakah hal itu pernah terjadi atau tidak, yang jelas bantuan dari mereka ini membuatku sadar bahwa perilakuku pasti sangat menentukan berapa besar atau kecilnya kans untuk lolos dari suatu masalah atas jasa orang lain.

Perjalanan hidup yang telah aku lalui terbilang cukup panjang yang penuh dengan keanekaragaman peristiwa yang bisa memberi pembelajaran penting buatku. Jarak yang masih harus aku tempuh selalu menjadi misteri yang tak seorangpun bisa mengetahuinya. Namun menggandeng dan merangkul orang dengan cara yang bijaksana juga menjadi tuntutan hidup sebagai jaminan mulusnya perjalanan hidupku yang mudah-mudahan masih panjang. Dari jumlah orang yang berada dekat denganku, mungkin hanya sedikit dari mereka yang bisa aku sebut sebagai "teman" yang layak berjalan di depan, di samping ataupun di belakangku.



Tuesday, December 3, 2013

Sepatu Pembawa Berkah

Mimpi itu begitu indah ketika aku dipertemukan lagi dengan ayahku. Seperti semasa hidupnya, aku memang lebih sering bertemu ibuku mengingat kesibukan ayahku yang begitu hebatnya. Dan meskipun harus diomelin ayahku, aku selalu menganggap apapun yang dilakukannya kepadaku adalah suatu tanda kecintaannya padaku dan betapa beliau masih memperhatikanku disela-sela kepadatan jadwal kerjanya.

Itulah yang terjadi dalam mimpiku semalam ketika aku kena semprot beliau hanya karena ia tidak suka melihat sepatu yang kupakai. Buatnya, kondisi sepatuku berada jauh di bawah standard-nya meskipun terlihat sah-sah saja buatku. Sepatu yang kupakai itu memang tidak sebaik dan semengkilap kembarannya, yang jarang dipakai dan masih tersimpan apik di rumahku, namun (buatku) masih layak pakai. Satu hal yang aku sukai dari sepatu ini adalah sol-nya yang sudah aus sehingga memungkinkanku untuk sering bermain prosot-prosotan di atas lantai.


"Sepatu sudah dekil begitu koq masih dipakai?", kata ayahku emosi.

"Begini koq dekil sih Pap?", aku membela sepatu yang seringkali aku semir untuk menghilangkan kesan kusamnya.

"Ya dekil lah. Coba lihat itu pinggirannya sudah mbrodol jahitannya gitu"

"Khan nggak keliatan karena ketutup celana, Pap"

"Nggak peduli (ini phrase khas dari ayahku). Kalau duduk khan celananya terangkat...khan kliatan jadinya. Nggak punya sepatu lain?"

"Ada sih Pap...persis seperti ini"

"Dekil juga??"

"Ya nggak lah, Pap. Jarang dipakai jadi masih mengkilap koq."

"Kenapa nggak dipakai?"

"Khan buat serep kalau yang ini jebol"

"Pakai saja yang itu. Yang ini dibuang!"

"Nah terus kalau yang itu jebol? Khan jadi nggak ada serepnya."

"Ya beli lagi! Uang begitu banyaknya koq pelit buat beli sepatu?"



Yang aku ingat dari sisa mimpi itu hanyalah bagaimana aku merasa geli mendengar bagian terakhir dari omelannya itu. Beliau memang sama sekali tidak menyebut seberapa kayanya aku atau mengindikasikan dari mana aku mendapatkan begitu banyak uang seperti yang diungkapkannya, namun aku mengakui kebenarannya.
Dan ketika aku terbangun, kegelian itu masih kurasakan. Entah dari mana asalnya, somehow aku berasumsi bahwa kekayaan itu aku dapatkan dari keberhasilanku dalam menjalankan amanahnya mengurus usaha yang ditinggalkannya kepada semua anaknya.

Satu hal lagi yang aku tidak mengerti dari mana asalnya namun jelas terbentuk dalam mindset ku adalah bahwa aku tau pasti beliau mengarahkan aku pada toko-toko sepatu ternama di Amerika yang menjadi tempat langganannya belanja sepatu. Tidak pernah terbayang sebelumnya jika aku akan pernah belanja sepatu di toko-toko itu, namun dalam mimpiku kemungkinan itu jelas dapat terlaksana dengan mudah.

Apakah ini suatu ramalan terselubung atas masa depanku? In shaa Allah begitu. Aamiin.
Yang jelas sepatuku menjadi hal yang membuat mimpiku indah. Sebuah berkah buatku.




Thursday, November 14, 2013

Broadcast

Lagi-lagi aku menulis postingan soal agama. Suatu hal yang sering aku hindari karena aku bukanlah ahli agama dan juga tidak suka menuai masalah. Tapi kali ini aku dibuat terkagum-kagum oleh hal yang dilakukan kakakku dua hari yang lalu.


#Puasa dibulan Muharram,pada Taasu'a(9 Muharram) dan hari ‘Asyura (10 Muharram)#

Bismillah,

Insya Allah Ta’alaa Puasa

9 Muharram jatuh tanggal 13-11-2013 (hari Rabu)
10 Muharram jatuh tanggal 14-11-2013 (hari Kamis)

Dianjurkan berpuasa pada tanggal sembilan muharram,berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata: tatkala Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Mereka (para shahabat) berkata:wahai Rasulullah,itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara. Maka bersabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam : jika tiba tahun yang berikutnya,insya Allah kita pun berpuasa pada hari kesembilan. Namun belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam wafat.” (HR.Muslim:1134)

Hadits Abu Qatadah bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura,maka beliau menjawab:


يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ


“menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (HR.Muslim:1162).



Begitulah tepatnya isi broadcast yang ia terima di hape-nya. Sengaja aku copy/paste-kan lengkap dengan tulisan aksara Arab-nya agar aku tidak salah tulis atau dianggap meng-edit konteksnya.
Maka beginilah ia merespon broadcast tersebut:


Menyimak cerita diatas:
Nabi Muhamad SAW bersabda: insya Allah (yg berarti atas ijin Allah) kita pun berpuasa pada hari kesembilan. Namun belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam wafat.
Yang menjadikan bahwa Allah tidak mengijinkan beliau dan para sahabatnya untuk berpuasa bersama-sama pada hari kesembilan tsb.


Yang aku kagumi darinya adalah bahasa halus dan sopan yang digunakan dalam mengungkapkan apa yang ia percaya benar tapi bisa dikatakan penentangan terhadap pesan yang terkandung dalam broadcast tersebut. Begitu santunnya hingga tentangan itu bisa jadi mencegah keinginan si pengirim broadcast untuk mendebatkannya jika bukan karena memang respon kakakku sangat masuk akal.

Aku menemukan banyak kesamaan prinsip beragama dengan kakakku yang satu ini. Mungkin karena kami pernah menjalani masa muda yang serupa dengan segala perjuangan terhadap tantangan hidup yang serupa pula. Sehingga kami sama-sama menilai banyak hal dengan logika yang menjadikan kami anti-fanatisme dalam beragama. Kami masih sering tukar pendapat tentang agama dan meskipun sesekali kami punya pengartian yang berbeda, dengan mudahnya kami menyudahinya secara damai dan ikhlas tanpa perlu saling berusaha untuk menjadi yang lebih benar.

2 hari belakangan ini adalah hari-hari ke 9 dan 10 bulan Muharram, yang dianggap banyak orang sebagai hari mustajab yang jika diisi dengan berpuasa niscaya puasanya akan memberikan imbalan yang berlipat-lipat. Ada yang mengatakan imbalannya puasa setahun, ada juga yang bilang pengampunan dosa selama setahun, dan lain sebagainya. Mengapa ada anggapan seperti itu? Sederhananya karena itulah yang tersebut dalam hadits di atas.
Aku tidak menentang puasa tersebut, namun yang tidak aku suka adalah mereka yang memperlakukannya sedemikian rupa sehingga terkesan sebagai suatu keharusan. Dari yang kesal jika himbauannya untuk menjalankan puasa tersebut tidak diindahkan, hingga yang berani menghakimi orang sebagai pendosa jika tidak menjalankannya.

Bedanya dengan kakakku, aku berulang kali berdiam menahan keinginan berkomentar dalam menghadapi kaum yang suka memberikan rupa mengerikan pada agama atau bahkan pada Tuhan dengan cara mengumbar ancaman hukuman yang berat bagi siapapun yang dinilainya berdosa. Ironisnya, hal tersebut sudah merembet ke hal-hal yang hanya formatnya sunnah, bukan wajib. Aku menahan diri karena aku memang bukan (lagi) seorang pendebat yang umumnya punya ideologi harus memenangkan setiap perdebatan. Aku justru menghindar dan menarik diri sebelum aku terjebak dalam arena perdebatan yang sangat mungkin mempertemukan aku dengan lawan yang memaksaku untuk percaya pada fahamnya yang dianggap paling benar.

Semua insan manusia punya hak untuk berpendapat dan aku hargai pendapat mereka. Perbedaan faham itu adalah variasi hidup yang dianugerahkan dariNya sehingga harusnya dimengerti dan diterima dengan baik oleh semua orang. Harusnya orang dengan mudah bisa menerima perbedaan tanpa harus merubahnya jika tidak dirasa perlu. Pada akhirnyapun, kelak di hadapanNya semua kembali pada individu masing-masing dimana segala keduniawian akan ditanggung sendiri-sendiri. Bak saat umat Islam berada di tanah suci, harusnya tak seorangpun yang punya waktu untuk mengurus orang lain yang punya faham berbeda agama dalam menjalani hari-harinya sebagai tamu Allah swt.


Insya Allah mereka, baik yang berpuasa sunnah maupun yang tidak, sama-sama berlimpah berkah dariNya. Aamiin.
  

 

Tuesday, November 5, 2013

Jinx

Seorang teman bercerita tentang perkara yang baru ia alami akhir minggu kemarin. Mobilnya yang tengah dalam posisi terparkir di sisi jalan diserempet mobil lain sehingga dudukan kaca spionnya patah terhantam kaca spion mobil lainnya itu. beruntung temanku itu memang sedang berada di dalam mobilnya sehingga ia lalu dapat mengejar dan menghentikan mobil yang menyerempetnya. Maka setelah melalui negosiasi dan tawar menawar biaya dan upaya penggantian kerusakan yang ada kedua belah pihak mencapai kesepakatan secara damai.
Ceritanya lumayan seru karena ia juga menceritakannya dengan penuh semangat mengingat ia sempat khawatir jika urusan ini jadi bertele-tele dan mungkin berujung pada pertikaian yang buntu. Namun aku justru tertarik pada fakta yang bisa mengukuhkan pola pemikiranku yang selama ini ditentang banyak orang yang notabene kuanggap religius.

Aku selalu kesal dengan mereka yang menanggapi suatu musibah dengan nasehat atau himbauan agar kita seharusnya membaca doa-doa tertentu agar terhindar dari musibah. Pendek kata, seolah dengan membaca doa-doa tertentu kita akan (pasti) terhindar dari petaka. Lalu ketika kita telah membaca doa tertentu tapi masih mengalami musibah, berarti doa yang kita panjatkan belum lengkap atau bahkan salah.
Kejadian yang dialami temanku kemarin itu telah membuktikan bahwa musibah tetap saja menghampirinya bahkan ketika ia tidak sedang mengemudi dan mobilnya diparkir di posisi yang pada tempatnya. Sama halnya dengan orang yang memutuskan untuk tidak keluar rumah agar ia tidak mengalami kecelakaan tidak berarti ia akan terhindar dari kecelakaan. Umpamakan saja ia tengah bersantai dududk di atas sofa yang nyaman menikmati cemilan sambil menonton tv tiba-tiba diseruduk sebuah truk tronton yang rem-nya blog, kehilangan kendali dan menerobos tembok rumahnya.

Bagiku seburuk-buruknya musibah adalah perkara yang sudah disuratkan pada siapapun yang mengalaminya, baik itu dicoba dihindarinya atau tidak. Bukan berarti Tuhan tidak adil dengan menuliskan sesuatu yang buruk untuk terjadi pada manusia, namun aku yakin bahwa justru hal buruk yang dialami manusia merupakan pengimbang dari kebaikan yang kesemuanya hanya menunjukkan betapa adilnya Tuhan. Hanya saja manusia cenderung picik untuk bisa melihatnya. Sangatlah manusiawi jika di kala sedang ketiban sial, seseorang tidak ingat akan segala kebaikan yang pernah diterima sebelumnya. Aku tidak menganggap pemanjatan doa adalah hal yang sia-sia, namun aku tidak juga menganggapnya sebagai tiket jaminan untuk mendapatkan segala kebaikan atau untuk menolak bala. Aku meminta dalam doa keselamatan dan segala kebaikan dengan catatan aku juga harus ikhlas menerima ketentuanNya yang wujudnya justru bertolak belakang dari yang jadi pengharapkanku. Disitulah aku menjadi lebih realistis dalam berharap dari apa yang kuminta dari Tuhan.

Jadi...cukup lah kita mengutarakan rasa keprihatinan kita pada orang yang sedang atau telah menerima sebuah musibah tanpa kita harus mencoba mengajarkan orang teori ilmu yang bisa saja kelak akan membuatnya tambah kecewa jika terbukti tidak manjur buatnya.