Bagaimana tidak jika dipenuhi udara cinta dari orang-orang yang aku cintai dan balik mencintaiku; ayahku, ibuku dan dirinya?
Tak ada pertengkaran dan pertikaian. Tak ada kegaduhan atau tekanan. Yang ada hanya senyuman, canda dan romansa.
Aku tak ingat bagaimana berakhirnya, namun yang pasti tak ada pemotongan kisah, yang biasanya membuatku terjaga dalam penasaran.
Dan yang lebih luar biasa lagi adalah bahwa aku terbangun di tengah malam persis seperti harapanku sehingga aku bisa sahur dan melakukan shalat malam. CintaNya kepadaku?
Aaww...cinta yang hadir semalam dalam tidurku begitu komplitnya.
Sebenarnya apa iya shalat yang diterima Allah swt itu hanya yang khusyuk? Lalu bagaimana sih shalat yang khusyuk itu?
Kalau bicara soal agama, ilmu ku amat sangat cetek. Ibarat sebuah kolam renang, mungkin bisa dibilang ilmu ku hanya setinggi genangan air yg tersisa setelah air sekolam itu dibuang. Jadi sebelum membahas soal khusyuk-nya shalat, perlu aku tekankan dulu bahwa apapun yang aku tulis berikutnya murni hanyalah hasil pemikiran ku sebagai seorang Muslim yang awam...yang pemikirannya lebih mendasar pada logika sederhana. Aku hanya sering bertanya dan menjawab sendiri sampai sejauh mana aku memfokuskan diri pada shalat yang aku kerjakan. Maaf...bukannya aku tidak menghargai pendapat orang lain yang (sangat) mungkin lebih mendalami ilmu Islamnya...tapi aku selalu berpendapat bahwa apapun yang aku lakukan dalam beragama itu baik buruknya toch buat aku sendiri, sehingga aku lebih suka menerapkan metode yang kuanggap paling pas buatku: metode ku sendiri. Tentunya ada dengan pengaruh dari pendapat si A dan/atau si B dan/atau si C, dst., yang kemudian bisa aku kombinasikan sesuai akal sehatku. Buatku, salah satu cara efektif untuk bisa khusyuk dalam menjalankan shalat adalah dengan mengerti arti setiap bacaan yang kita bacakan. Dalam hal ini, yang kumaksud tak hanya sekedar mengerti namun juga memikirkan arti itu ketika membacanya. Misalnya ketika aku mengucapkan takbir, yang ada dalam benakku tak lain adalah aku tengah mengatakan "Allah Maha Besar". Sama halnya dengan ketika aku tengah berbicara dalam bahasa Indonesia, aku tau pasti apa yang aku ucapkan. Dalam kasusku, hal itu juga terjadi ketika aku tengah menggunakan (mengucapkan atau menulis dengan) bahasa Inggris. Misalnya, ketika aku mengucapkan, "I'm talking to you", yang ada dalam benakku adalah kalimat, "Aku berbicara dengan anda". Berbeda dengan ketika aku sedang menyanyikan lagu berbahasa Inggris, bisa saja karena yang keluar dari mulutku adalah sesuatu yang sudah aku hafal sehingga di benakku yang terlintas bisa apa saja selain lirik lagu yang aku nyanyikan. Nah, jujur saja....sudah berkali-kali aku kecolongan sehingga ketika membaca takbir, pikiranku bisa sedang kemana-mana tanpa secuilpun terpikir tentang keMaha Besaran Allah swt. Sekarang bayangkan jika setiap kalimat, setiap ayat, dan setiap doa yang kita ucapkan dibarengi dengan pemikiran tentang arti harafiahnya. Betapa konsentrasinya kita terhadap apa yang kita ucapkan ketika kita sembari berpikir tentang bagaimana kita memuji Allah, Tuhan semesta alam, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dan Penguasa Hari Pembalasan, bagaimana kita menyembahNya, memohon pertolonganNya dan meminta ditunjukkan jalan yang lurus. Itu saja hanya baru saat kita membaca Al-Fatihah. Belum lagi surat-surat dan bacaan-bacaan lainnya. Dalam duduk diantara sujud saja kita minta diampuni, dikasihani, dicukupkan kekurangan kita, diangkat derajat kita, diberi rezeki, petunjuk, serta kesehatan, dan dimaafkan kesalahan kita. Bukankah itu sudah merangkup semua yang kita butuhkan dariNya? Kalau memang permintaan-permintaan itu memang ada dalam benak kita, dalam arti kita sadar dengan apa yang kita minta,bukankah kita sedang khusyuk? Tentunya akan berbeda total ketika kita sedang meminta tapi pikiran kita kosong atau bahkan kita sedang memikirkan hal yang lain. Permintaan kita seolah hanyalah materi hafalan yang terucap begitu saja sebagai bagian dari shalat tanpa dijiwai. Menurutku, melakukan shalat itu tak sama dengan menyanyikan sebuah lagu berbahasa Arab dengan fasih (karena hafal) tanpa mengerti artinya kalimat demi kalimat. Jika aku menjadi seorang imam dalam suatu shalat berjamaah, lalu membaca surat panjang dengan alunan nada yang indah, tapi tidak dibarengi dengan pengertian apa yang aku bacakan, mungkin saja kekhusyukanku hanya berapa persen yang mana itu buat konsentrasi pada kehati-hatianku agar aku tidak salah baca (yang bisa bikin malu sendiri di depan para jamaah). Mungkin ada saja orang yang bertanya dalam hati, "Koq surat yang dia pilih yang pendek-pendek melulu?", tapi aku lebih nyaman dengan surat-surat pendek yang ketika kubaca dibarengi dengan pengertian artinya, karena berarti aku bisa lebih khusyuk. Toch...sekali lagi...apa yang aku lakukan baik buruknya akhirnya hanya untuk aku sendiri...bukan untuk orang lain.
Jadi seperti itukah kekhusyukan semua shalatku? Sayangnya tidak. Aku masih sering kecolongan, lebih memikirkan hal-hal lain ketimbang arti dari apa yang aku bacakan... :p
Pesan tayangan kakakku semalam di grup Whatsapp keluarga itu tak terlalu panjang tapi tak seorangpun dari kami bertiga yang mempertanyakannya. Padahal tak jarang pernyataan darinya mengundang pertanyaan dari kedua siblingku yang lain saking formatnya yang cenderung tak lengkap dan misterius. Aku sendiri biasanya sudah lebih mengerti makna yang terkandung dibalik pernyataan-pernyataannya karena kami (biasanya) sudah membahasnya terlebih dahulu lewat jalur pribadi. Bahkan ia kadang perlu meminta pendapatku tentang bagaimana menyampaikannya di grup kami ini...meskipun nantinya tetap saja ia sajikan dengan caranya sendiri. Isi tayangannya begitu sederhana dan to the point. Buatku, sepertinya yang membuat pesannya mudah diterima dan dicerna oleh kami bukanlah kesederhanaan itu tapi justru kepasrahan kami atas apapun yang akan terjadi dengan nasib perusahaan tambang mendiang ayah kami yang sejak mangkatnya almarhum telah kami, khususnya aku dan kakakku ini, perjuangkan untuk bisa bertahan menghadapi dampak negatif dari aturan pemerintah yang sejak diberlakukannya tahun 2014 silam telah menumbangkan puluhan perusahaan tambang lokal. Dampak yang telah menganjlokkan nilai-nilai jual hasil tambang di pasar dunia ini akhirnya berpengaruh juga bagi kelangsungan hidup perusahaan ayah kami. Pesan kakakku yang dimulai dengan "Bad news" ini menjelaskan bahwa akhirnya perusahaan ini hanya dinilai impas untuk melunasi hutang-hutang perusahaan yang ditimbulkan oleh pimpinan perusahaan terdahulu setelah kiatnya untuk membangun kerjasama dengan pihak lain berakhir dengan kebuntuan. Nilai yang milyaran jauh di bawah nilai kandungan hasil bumi yang dikuasainya ini tentu layak membuat kami shock. Sudah pada tempatnya jika pemberitauan dari kakakku mendorong kami untuk mempertanyakannya padanya sebagai suatu aksi "tidak percaya" atau bahkan "tidak terima". Namun kesan yang semalam aku dapatkan dengan membaca respon-respon dari kedua siblingku yang lain adalah suatu wujud keikhlasan. Perjalanan kami melewati masa-masa kritis dalam memperjuangkan apa yang dahulu dirintis mendiang ayah kami memang luar biasa. Untuk kesejahteraan masa depan kami memang pasti...tapi mungkin yang dahsyat justru kami juga berusaha mewujudkan cita-cita beliau menyantuni ribuan mantan karyawan perusahaan BUMN yang pernah dipimpinnya selama puluhan tahun sebelum lebih kurang satu dekade kemudian ia mendirikan perusahaan ini. Mungkin memang akan menjadi sesuatu yang super dasyat jika hal itu akhirnya bisa kami realisasikan, namun bahwa dengan mengusung amanah almarhum sepanjang perjuangan kami justru memberi rasa manis dalam kebuntuan yang kami hadapi saat ini. Keteguhan kami memperjuangkan amanah itu seolah membiaskan suatu cahaya terang dan aroma yang harum ketika dipadukan dengan keikhlasan kami menerima kenyataan yang mungkin dirasa pahit bagi orang-orang yang mengincar keuntungan materi keduniawiannya. Kedua siblingku hanya merespon dengan pengharapan bahwa kelak kami mendapat sesuatu yang bermanfaat dengan keadaan ini. Entah impian apa saja yang pernah dimiliki oleh mereka, namun terasa sekali bahwa berita ini diterima dengan ikhlas dan legowo tanpa diiringi nada kekecewaan. Aku mengindikasikan keikhlasan itu karena itulah yang aku rasakan. Terlepas dari kegagalan atas segala usahaku menyelamatkannya, aku merasa lega bahwa akhirnya aku sampai di ujung jalan. Bahwa aku tak mungkin meneruskan perjalananku tentunya sudah jelas karena disitulah jalan itu berakhir...bukan karena aku tak punya kekuatan atau keinginan untuk berjalan. Sudah terlalu lama aku diombang ambingkan ketidakpastian akan nasib perusahaan ini. Sudah sekian kali usahaku disini gagal karena pihak lain. Sudah banyak aku bertemu mereka yang serakah, yang dengan egoisnya ingin menjadikan perusahaan ini sebagai mesin uang baginya. Melelahkan sekali. Karena itulah terhentinya aku disini terasa melegakan sekali. Aku tak kecewa karena aku sudah bekerja maksimal. Aku puas dengan effort yang telah aku berikan. Dan kalau memang akhirnya harus begini ya aku bersyukur alhamdulillah karena aku masih diberi kesempatan untuk merasakan manisnya akhir perjalanan panjang ini. Kelak aku (dan siblingku) mungkin masih mewujudkan harapan mendiang ayahku dengan cara lain dan lewat jalan yang berbeda. Dan ketika itu terjadi, aku yakin aku akan lebih berbunga-bunga lagi. Yaa Allah...terima kasih atas segala berkah, kekuatan dan kesabaran yang telah Kau limpahkan selama perjalanan ini sehingga aku bisa sampai disini. in shaa Allah apa yang aku dapat memberiku pelajaran yang sangat bermanfaat bagi hidupku kelak...aamiin.
Beberapa hari yang lalu, ada seorang teman yang bercerita tentang teman wanitanya. Tentang bagaimana ia berencana untuk meninggalkan pekerjaannya yang selama ini telah membuatnya hidup sangat nyaman. Bermasalah dengan pekerjaannya? Sama sekali tidak. Pasalnya, ia punya suara yang merdu yang membuatnya ambisius untuk menjajal karirnya di bisnis tarik suara. Meski umurnya tahun ini sudah berkepala empat, namun ia masih penasaran ingin membuahkan sebuah album rekaman yang diharapkannya bakal terjual laris manis mengingat ia sangat pe-de dengan suaranya. Karena ambisi itulah ia rela meninggalkan pekerjaannya dan menolak ajakan temanku untuk memulai bisnis kulineri yang, notabene menurut temanku, punya peluang sukses besar. Itulah yang membuat temanku ini datang kepadaku untuk curhat sekaligus minta pendapat tentang keputusan temannya. Aku memang bukan lagi seorang pelaku bisnis rekaman. Ranah itu sudah lama aku tinggalkan sejak lebih kurang satu dekade yang lalu. Alasannya simpel saja...pembajakan lagu di negeri ini tak mudah teratasi. Tapi aku tetap terus mengamati perkembangan bisnis musik yang hingga kini belum terlihat berjalan di track yang benar. Sudah se dekade terakhir ini satu demi satu perusahaan rekaman besar melakukan berbagai upaya yang sekiranya bisa mengantisipasi kerugian yang disebabkan oleh aksi pembajakan. Salah satu upayanya adalah dengan mengibarkan bendera label baru yang menelorkan produk-produk kecil seperti singles ketimbang album. Sifatnya lebih dikenal dengan istilah Indi, yang maksudnya adalah indipendent, seolah jauh dari major label atau perusahaan rekaman besar. Kenapa begitu? Karena disamping faktor reputasi yang harus dijaga di mata masyarakat, beberapa tahun yang lalu pernah berlangsung era kesinisan dari agen penyalur atau instansi yang berperan untuk menyebarluaskan sebuah produk musik dan artisnya, seperti misalnya radio, televisi dan event organizer. Tentunya urusan harga jual jadi sangat terpengaruh dimana produk dari perusahaan label besar otomatis dicap lebih mahal dan birokrasinya lebih njelimet. Lalu apakah di negeri ini penjahatnya begitu banyak jumlahnya sehingga urusan bajak membajak lagu masih belum bisa teratasi seperti yang teradi di manca negara? Justru kebalikannya. Masyarakat kita itu terkenal ramah tamah dan baik hati. Begitu baiknya sampai-sampai rela membagi-bagikan apa yang dimilikinya secara gratis kepada orang-orang yang tidak dikenalnya. Sebut saja pianist jazz, Indra Lesmana yang terdaftar sebagai musisi lokal pertama yang merilis karyanya lewat iTunes 5 tahun yang lalu. 6 lagu garapannya itu dijual dengan harga 99 sen (ketika itu mungkin sekitar 10ribu Rupiah) per lagu. Langkah tersebut memang diakui sebagai sebuah gebrakan hebat yang bisa memperluas marketing dari karya anak bangsa karena iTunes yang sifatnya mendunia. Namun bagaimana efeknya disini? Sekitar 2 minggu setelah tanggal perilisannya, lagu-lagu tersebut sudah bisa ditemukan bahkan di download secara gratis di beberapa situs, salah satunya 4shared yang terkenal sebagai gudangnya lagu gratis. Bagaimana history perjalanannya sehingga lagu-lagu itu bisa tersedia disitu aku tak tau, namun yang jelas sumbernya dari pihak yang telah membelinya dari iTunes. Baik hati bukan? Seperti itulah iklim yang dihadapi seniman kita. Sifat dermawan dan berbagi dari kebanyakan orang di negeri ini sangat berpengaruh dalam perkembangan industri musik kita. Sayangnya, sifat berbagi seperti ini sering berujung pada kerugian pihak lain, dalam hal ini produser rekaman dan artisnya. Dari segi popularitas, memang artis dan karyanya bisa dikenal lebih banyak orang. Namun dari segi kocek, tentunya artis tidak mendapatkan pendapatan yang semestinya. Apalagi pihak produser. Himbauan untuk tidak membajak lagu atau menghargai karya seniman tidak digubris banyak orang sehingga industri rekaman kita melemah karena masyarakat masih banyak yang berkonsep lebih baik yang gratisan. Akhirnya para pemusik lebih memilih membagi-bagikan karyanya secara gratis dengan harapan mereka bisa mudah dikenali dan mendapat keuntungan dari efeknya, seperti mendapatkan job-job pementasan. Banyak juga yang tak tanggung-tanggung merilis lagu barunya dalam bentuk video lewat YouTube. Sudah beberapa penyanyi atau seniman musik lokal maupun luar negeri yang memang mujur dan berhasil dengan mempraktekkan cara ini. Sekali waktu, sebuah album milik group band U2 sempat kecolongan dan lagu-lagunya beredar di internet selang beberapa waktu sebelum tanggal perilisan resminya. Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak label rekaman yang menaunginya. Bayangkan saja, tentunya angka penjualan album tersebut lagsung drop setelah perilisan. Memang hal yang sama juga teraplikasikan pada U2, namun di sisi lain, seperti yang diungkapkan vokalisnya, Bono, hal ini bisa membawa berkah tersendiri. Ia menyatakan bahwa setidaknya makin besar kemungkinan lagu-lagu dari album tersebut dikenal orang. Bahkan sebelum album tersebut resmi beredar, pasti sudah banyak orang yang hafal dengan lagu-lagunya. Ini suatu cara memandang sebuah musibah secara bijak dan positif. Dan beberapa tahun silam, semua iTunes menyertakan sebuah album baru U2 yang otomatis dimiliki secara gratis oleh setiap pengguna iPhone dan iPod. Apalagi alasannya kalau bukan demi popularitas U2? Kembali pada curhat temanku itu, aku hanya bisa berpesan padanya agar, minimal memberikan ulasan seperti itu pada temannya agar ia tidak keburu kecebur di sungai yang tidak akan membawanya kemana-mana. Terlebih dengan adanya pihak-pihak yang paham akan situasi ini tapi bermaksud meng-kadali seniman baru dengan menjanjikan pembuatan album yang dijamin meledak penjualannya dengan imbalan sejumlah besar uang produksi di depannya. Sudah waktunya seniman kita tidak melulu menjalankan aksi seni-nya, namun juga berpikir cerdas dalam menentukan strategi untuk mendulang kesuksesan karirnya. Dan yang lebih penting lagi adalah menyiapkan mental untuk mendapatkan yang terburuk. Karena biar bagaimanapun, tak semua usaha keras membuahkan hasil yang diharapkan.
Saat ini ada 2 sariawan baru yang bersarang di dalam mulutku. Masih muda tapi cukup menyengat sakitnya. Apalagi posisinya di bagian yang selalu bersentuan dengan gigi, sehingga cukup mengganggu ketika aku berbicara atau sedang makan. Sariawan itu adalah penyakit ringan dalam arti tidak mematikan namun bisa membuat korbannya tidak berkutik. Aku ingat seorang teman bule yang postur tubuhnya tinggi dan kekar berkata padaku bahwa semacho-machonya seseorang, bisa sekejap jadi layaknya orang yang cengeng ketika sariawan yang dideritanya begitu mengganggunya. Semalam ketika tengah menotol-notolkan Albothyl, menahan sakit sambil berarap kedua sariawan-ku itu tidak bertambah besar dan parah sehingga cepat hilang, aku memikirkan fakta bahwa tak seorangpun bakal luput dari sarawan. Kaya atau miskin, tua atau muda, pria atau wanita, siapapun dia bisa memiliki sariawan. Lalu biasanya apa yang dilakukan si korban ketika sariawan itu begitu mengganggu dan tak kunjung sembuh meski sudah berbagai cara dilakukan untuk melenyapkan kehadirannya? Pada akhirnya memang sariawan itu akan hilang dengan sendirinya seiring dengan membaiknya kondisi tubuh kita. Berapa lama hingga itu terjadi? Dokter sehebat apapun tak akan bisa mengetahuinya. Jadi kita hanya bisa bersabar sambil melakukan hal-hal yang dirasa bisa memperbaiki kesehatan badan kita. Nah sekarang ibaratkan cobaan yang kita dapatkan dalam hidup itu bagaikan sariawan. Bisa saja cobaan itu kita rasa sangat berat, namun kita harus yakin pasti akan terlewati. Seringkali ingin menyerah ketika segala usaha yang kita lakukan belum membuahkan hasil. Padahal di lain waktu kita bisa begitu tabah dan sabarnya menghadapi sariawan yang tak jarang bukannya sembuh tapi justru bertambah parah atau jadi beranak pinak. Ketika aku terkena cacar air, wedang asem pemberian almarhumah ibuku memaksa semua bakteri penyebab cacar air itu diaktifkan. Maksudnya adalah agar bakterinya dihabiskan sehingga kelak aku tak akan terjangkit cacar air lagi. Saat itu bagian dalam mulut, lidah dan kerongkonganku pun dipenuhi sariawan yang jumlah totalnya di atas 15. Sengsara memang, namun akhirnya kesengsaraan itu toch berakhir juga sekitar 3 minggu kemudian ketika kesehatanku pulih. Separah apapun sariawan tidak akan membuat orang depresi apalagi ingin bunuh diri. Bila kita menyikapi segala permasalahan hidup kita sebagimana penanganan terhadap sariawan, harusnya hidup kita akan terasa jauh lebih ringan. Bayangkan saja...tak satupun masalah yang jadi beban hidup karena semua dianggap pasti akan berlalu. Tak guna mengeluh karena keluhan tak pernah menyembuhkan kita dari sariawan. Dan jika ada yang bertanya, "bagaimana jika usia kita lebih pendek dari masalah kita?", ya anggap sama saja dengan ketika kita harus berpulang kepadaNya dengan sebuah atau lebih sariawan di mulut kita. Gampang khan?
Mungkin kondisi hidupku saat ini adalah yang terburuk dari semua yang pernah kulewati. Ya...situasi finansialku belum juga membaik, bahkan bisa dibilang memburuk karena income yang kian menipis. Bagaimana tidak bila memang lingkup pekerjaan yang selama ini menjadi lahan andalan penghasilanku makin diselimuti masalah kegetiran pasar. Beberapa resource yang selama ini setia mensuplai proyek2 buatku tumbang dan gulung tikar karena tak kuat lagi menanggung beban finansial yang tak kunjung menjadi ringan. Hal itu otomatis melahirkan penganggur2 baru yang entah harus dioper kemana lagi.
Aku memang sibuk mencari celah proyek baru, tapi tidaklah mudah ketika modalku hanya dengkul dan doa. Ya...jangan kira aku tidak berdoa atau kurang memasrahkan diri kepadaNya. Aku tak ingin mengaku2 bahwa aku telah total ikhlas menerima apapun yang berlaku buatku karena bukan hak ku untuk menilainya. Tapi jujur saja, aku sudah mencoba bertahan untuk tidak mengeluh..sekalipun hanya di dalam hati. Berulangkali aku mengingatkan diri sendiri bahwa aku harus percaya pada kehendakNya. Percaya bahwa Dia telah memberiku yang terbaik buatku. Percaya bahwa cintaNya kepadaku selayaknya berbuah hanya kebaikan dalam segala hal yang aku lakukan. Namun aku akui juga bahwa dahsyatnya masalah2 yang harus aku hadapi sangat mampu membuatku bagai orang kehilangan kewarasan. Bagaimana aku mampu meyakinkan diri aku akan disuguhi solusi di saat ketika yang akirnya aku dapatkan di ujung suatu jalan bukanlah hal yang aku tunggu2 namun justru keapesan yang aku harapkan bisa terindari? Kadang dalam keadaan terhimpit masalah yang tak bersolusi dan kepercayaanku padaNya, aku hanya bisa terduduk diam dengan pikiran dan pandangan mata yang kosong.
Ingin rasanya di saat seperti itu aku berwudhu kemudian menghadap kepadaNya dalam shalat, namun kekalutan hati dan pikiranku jelas tak memungkinkan aku untuk berkhusyu'. Sekali lagi, bukannya aku tidak ingin percaya bahwa menggantungkan harapanku dalam doa bisa memberi mukjizat...tapi bukan tidak perna pula gencarnya doa yang kupanjatkan tidak membuahkan solusi instan yang aku minta. Lalu bagaimana pula aku harus berikhlas menerima kondisi yang ikut menyudutkan nasib orang2 yang menjadi tanggung jawabku? Di situasi seperti itu, ketika aku mendengar anjuran dan nasehat dari orang2 yang berusaha menenangkanku, aku cenderung merespon dalam hati dengan "Yeah..right! Easy or you to say 'cause you're not in my freakin' shoes". Sudah setaun terakhir ini aku lebih mengharapkan solusi yang solid dan nyata buat hari ini...bukan iming2an hari esok yang lebih baik. Jika aku tengah menjadi target bidikan senjata tentunya aku berdoa sekuat tenaga agar senjata itu meletuspun tidak. Tapi ketika peluru yang akirnya ditembakkan tetap berhasil tepat mengenai sasarannya, salahkah aku bila mempertanyakan keabsahan doa ku itu? Atau berasumsi bahwa ada yang salah dengan caraku memohon petunjuknya? Ah...sudahlah. Kalau memang aku harus bersabar dan bersyukur, biarlah kesabaran dan rasa syukur itu kubawa ke liang kubur....
Penampilannya selalu rapih dan enak dipandang, bahkan ketika ia sedang dalam kondisi kecapean mengantuk atau sakit. Begitulah seorang teman yang aku kenal dekat sejak aku duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Bedanya dengan penampilannya semasa kecil atau ketika beranjak dewasa, kini ia terlihat macho dengan postur tubuhnya yang terbilang sedikit kekar. Dulu hingga di bangku SMP, ia terlihat gemulai dengan cara bicaranya yang cenderung feminin. Aku ingat ucapan seorang temanku lainnya yang mengisyaratkan keogahannya untuk bergaul bersama temanku ini hanya karena ia diduga sebagai seorang "gay" dengan sepak terjangnya yang lembut bak wanita dan akrab dengan semua teman pria-nya. Apalagi ketika itu kami semua tinggal di San Francisco yang diindikasikan sebagai kota tempat berhuninya banyak gay. Aku sendiri disana tidak sempat bertemu dengannya setelah terakhir bertemu di bangku SMA sekitar 8 tahun sebelumnya. Tahun lalu aku bertemu lagi dengannya di acara reuni SMA, tapi hanya sesaat saja kami mengobrol. Ia tidak lagi terlihat femini dan cara bicaranya pun berbeda jauh. Aku tidak berhubungan dengannya hingga beberapa bulan lalu ketika aku mencoba mengajaknya bergabung dalam grup band yang sedang aku bentuk. Seingatku, dulu ia menjadi andalan grup vokal kami untuk suara yang tinggi. Namun kali ini aku harus menghadapi tantangan baru dengan berubahnya suaranya menjadi jauh lebih rendah. Setelah ia bergabung, aku jadi sering bertemu dengannya dalam menjajaki proyek penampilan band kami di acara reuni SMA tanggal 5 kemarin. Ia memang hingga kini belum berkeluarga meskipun usianya sudah memasuki kepala 5 seperti aku. Masih banyak suara sumbang yang menduganya sebagai orang yang hanya suka pada sesama jenis. Buatku, yang lama hidup di komunitas yang open-minded, tidak mudah menghakimi atau melabeli-nya seperti itu tanpa fakta yang kongkrit. Kenyataan bahwa ia sering dikelilingi wanita cantik juga harusnya menyulitkan orang untuk menebak-nebak. Apalagi ia begitu telatennya mengurus kedua orangtuanya yang sakit-sakitan. Misalnya ia rajin mengantar mereka berobat ke luar negeri. Suatu hal yang tak mungkin dilakukannya jika ia sudah berkeluarga seperti halnya adiknya yang telah beristri dengan dua anaknya. Mungkin memang mudah buat orang lain untuk berprasangka buruk padanya hanya karena ia masih single, apalagi bagi orang yang tidak punya banyak teman sepertinya. Namun di negara maju seperti Amerika, tempat ia dan aku sempat menetap cukup lama, menjadi single bukanlah hal yang negatif atau mengindikasikan tidak suka dengan lawan jenis. Disana, pernikahan adalah hal yang tidak mudah dijalani mengingat segala kewajiban dan tanggung jawab yang dianggap serius untuk bisa dipikul. Hidup bersama sebagai pasangan saja bukanlah hal yang mudah, apalagi terikat dalam sebuah pernikahan. Jadi aku lebih suka berasumsi positif bahwa kejombloannya didasari hal-hal yang sifatnya lebih mementingkan orang lain, misalnya orangtuanya. Di usianya yang sudah setengah abad, ia terlihat ganteng. Berpakaian selalu dandy dan rapih, ia juga sangat rendah hati dan ringan tangan. Ada beberapa teman2 dekatnya yang mencapnya sebagai orang berkecukupan yang selalu siap membantu siapa saja untuk hal apa saja yang terjangkau olehnya. Dengan bermodal itu semua, tidak susahlah buatnya untuk disukai wanita. Namun bisa jadi pengurusan orangtua-nya menjadi hal yang prioritas baginya sehingga mungkin butuh banyak hal lain buatnya untuk berkeluarga. Jika kelak terkuak fakta bahwa ia memang hanya tertarik pada pria, ia akan tetap punya kelas dan kualitas yang tinggi buatku. Dan itu sudah lebih dari cukup buatku untuk tetap memiliki pertemanan yang tidak berubah sedikitpun dengannya.