Thursday, June 29, 2017

Keberhasilan Anak

Kisah tentang lika liku perjalanan karir pendidikan putra sulungku ini memang seolah bagai tak ada habisnya. Sejak awal ketika ia usai mengikuti Ujian Nasional sekolah dasar saja aku sudah dibuatnya cemas. Jawaban "In shaa Allah" yang selalu diberikannya sebagai respon jika kutanya apakah ia akan mendapatkan hasil yang bagus membuatku bungkam karena aku tau setelah itu aku tak seharusnya mengharapkan jawaban yang lebih tepat dari penyerahan keputusannya kepada Allah meskipun hal itu memberi ganjalan dalam hati. Apalagi ia punya sikap cuek seolah tak peduli ke sekolah mana ia akan melanjutkan pendidikannya.

Namun aku seterperanjat teman-temannya ketika ternyata ia mendapat nilai tertinggi di sekolahnya. Seorang temannya, Putri, yang selama lima tahun sebelumnya selalu menjadi juara angkatanpun hanya menempati peringkat kedua. Yang lebih lucu sekaligus mengesalkan adalah bahwa guru bimbingan test-nya pun justru sempat mempertanyakan keabsahan hasil ujiannya disaat sewajarnya ia harusnya bangga akan prestasi anak didiknya sendiri itu. Tak ketinggalan kesan tak percaya dari para orang tua siswa lainnya dibalik ucapan selamat yang diberikan kepada anakku. Sikap anakku sendiri tentang keberhasilannya? Tetap datar-datar saja seperti tak ada yang istimewa....

Maka ia pun berhasil dengan mudah diterima dan melanjutkan pendidikannya di SMP pilihannya bersama sembilan teman sealmamaternya, termasuk Putri.
Tak ada juga yang terlihat istimewa dari putraku ini sepanjang tiga tahun pendidikannya disitu. Bahkan aku lebih sering melihat kewajarannya sebagai murid yang nilai hasil belajarnya tergolong rata-rata. Hasil belajarnya di tengah semester terakhirnyapun tak menempatkannya di lima belas besar di kelasnya. Suatu prestasi yang wajar bagi seorang anak yang banyak menghabiskan waktu di rumahnya menatap laptop atau telpon selulernya.

Sempat gemas juga aku dibuatnya beberapa kali karena ia tak sering memperlihatkan keseriusannya dalam persiapannya menghadapi Ujian Nasional. Memang kondisi finansialku tak memberinya kesempatan untuk mengikuti program-program bimbingan belajar seperti kebanyakan teman-temannya, namun minat belajar atas kemauannya sendiri juga sering tak ditunjukkannya. Saat aku mengingatkannya untuk lebih mempersiapkan diri, ia cenderung menurutinya dengan sikap ogah-ogahan dan mimik muka kesalnya. Itupun tak aku tindak lanjuti dengan pemaksaan karena buatku belajar dengan paksaan orang lain tak akan pernah membuatnya mudah menyerap ilmu.

Seusainya mengikuti Ujian Nasional, ia memang sempat menyatakan bahwa ada soal-soal yang tak terjawab olehnya. Tapi ia tetap terlihat santai dan enteng-enteng saja menjalani hari-harinya sambil menanti pengumuman hasil ujiannya. Dan pada akhirnya, semua terjawab dengan nilai yang ternyata lumayan cukup jauh di atas nilai rata-rata sekolahnya. Untuk sementara waktu memang hal ini membuatku lega mengingat begitu banyak teman di sekolahnya yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata. Hanya saja kelegaanku tak bisa dijadikan patokan saat faktanya ia harus bertarung menghadapi siswa-siswa dari sekolah lain yang lebih tinggi dari nilainya.

Lucunya...setelah mendaftarkan pilihannya pada sekolah menengah kejuruan negeri unggulan dan melewati tiga hari proses seleksinya, namanya terkunci di peringkat sepuluh dari enam puluh enam tempat yang dipertarungkan. Artinya, nilai hasil Ujian Nasional dari minimal lima puluh enam siswa yang mendaftar di jurusan yang sama di sekolah ini tak mengungguli nilainya. Yang mengejutkan adalah bahwa nilai terendah dari siswa yang diterima lebih rendah dari mereka yang berada di posisi terbawah di sekolah menengah atas, sehingga tak sedikit orangtua teman-temannya yang menganggap bahwa pertarungan untuk masuk ke sekolah unggulan ini ternyata tak sesengit masuk ke sekolah-sekolah menengah atas negeri yang selama ini dianggap sejajar predikatnya.

Aku akui tak ada yang salah dengan anggapan itu karena rupanya memang begitulah adanya. Buktinya...di penghujung proses seleksi tahap satu ini, hampir semua teman putraku yang mendaftar di sekolah-sekolah menengah atas pilihannya tak berhasil mengunci namanya di daftar siswa yang diterima. Kecuali mereka mau namanya terkunci di sekolah yang berpredikat lebih rendah, mereka terpaksa harus ikhlas mengikuti proses perebutan tempat berikutnya di tahap kedua yang berbasis rayonisasi atau kesamaan lokasi dengan tempat tinggal...suatu tahap yang dianggap lebih memberikan harapan.
Nah...disinilah mulai terdengar suara-suara sumbang yang kesannya didasari rasa iri atau sirik atas keberhasilan putraku lolos di tahap satu.

Selain berpendapat bahwa masuk ke sekolah menengah kejuruan lebih mudah, ada juga yang mengatakan bahwa sekolah pilihan putraku yang selama ini menyandang gelar sekolah unggulan ini ternyata tidak sehebat kabarnya. Hal ini didasari fakta diterimanya sejumlah siswa yang nilai hasil Ujian Nasionalnya rendah. Kemudian terdengar lagi pendapat bahwa dengan kondisi begitu, sekolah kejuruan seperti ini tak akan menjembatani siswanya ke perguruan tinggi negeri yang notabene selalu dianggap sulit dimasuki. Lalu ada yang berpendapat karena alasan itulah sekolah menengah kejuruan cenderung mengarahkan siswanya untuk bekerja seusai lulus.

Apakah semua ini harus mengganggu kelegaanku atas keberhasilan putraku? Tentu saja tidak.

Sederhananya begini tentang putra sulungku.
Sudah sejak masih belum sekolah, ia menaruh minat yang menggila pada mobil. Lalu ketika masuk sekolah dasar, ia rajin mengumpulkan brosur mobil disamping menyukai buku-buku tentang mobil. Ia bukan tipe anak yang cenderung tertidur ketika sedang dalam perjalanan darat, tapi justru sibuk mengamati mobil-mobil yang ada di sekelilingnya. Dari yang klasik hingga yang paling gres, dapat dikenali merk-nya. Sebelum lulus sekolah dasarpun ia sudah mulai memahami mesin mobil dan mekanisme nya hingga ia punya cita-cita memiliki usaha bengkel modifikasi mesin dan bodi mobil.

Ia begitu terpikatnya ketika ia kali pertama mengetahui dari penjual mie ayam tentang jurusan otomotif di sekolah menengah kejuruan ini sekitar empat tahun yang lalu saat secara tak sengaja aku mengajaknya jajan mie ayam gerobakan yang mangkal di depannya. Ia sangat terkesima dengan cerita bahwa para siswanya dikirim ke Jepang untuk diberi kesempatan melakukan studi lapangan di perusahaan otomotif di sana. Sejak itulah ia selalu mengarahkan tujuan pendidikannya di sekolah ini.

Sekarang...boleh saja orang menganggap sekolah ini tak sebaik sekolah menengah atas negeri. Atau masuk ke sekolah ini sangat mudah dan nyaris tak ada saingan yang berarti. Atau seusainya di sekolah ini, siswanya akan mengalami kesulitan untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi negeri unggulan.
Intinya...ia sudah resmi lolos seleksi dan diterima di sekolah unggulan yang menjadi incarannya selama empat tahun belakangan ini, dimana ia bisa berharap mendapat banyak ilmu tentang apa yang menjadi hasrat hidupnya selama lebih dari satu dekade. Sekolah yang mungkin akan menjembataninya ke kesuksesan hidupnya. Dan itu sangat solid untuk dijadikan alasan mengapa buatku tak ada yang bisa mengganggu kelegaanku.

Sementara temen-temannya masih ketar ketir menunggu nasibnya di seleksi masuk ke sekolah menengah atas tahap kedua, putraku sudah tengah mempersiapkan diri untuk memulai pendidikannya.

Congratulation, son. I am and forever be proud of you....


 

Thursday, April 27, 2017

Sukses dan Gagal

Semalam tiba-tiba aku ditelpon seorang kawan dan diminta untuk menemaninya pergi menjemput sepedanya yang baru saja ditawar orang. Ceritanya...ia memang sudah sejak beberapa waktu lalu memasarkannya tapi selama ini, meskipun telah banyak yang menyatakan berminat membelinya, tak satupun yang mengajukan penawaran yang layak diterimanya. Dan akhirnya siang kemarin ada seorang peminat dari Yogya yang tak hanya memberi penawaran yang bagus tapi juga langsung mentransfer sejumlah dana sebagai tanda jadi. Maka akan disiapkan untuk dikirimlah sepeda yang sedang dititipkan di sebuah bengkel sepeda milik kenalannya.

Selama dalam perjalanan, kawanku ini terlihat sangat riang. Rupanya ia juga punya rencana membeli sepeda lain yang lebih mahal sebagai gantinya. Dan dengan terjualnya sepeda ini, maka ia pun akan dapat segera membeli sepeda yang sedang diincarnya. Sebenarnya ia tak punya dana yang cukup untuk menutup selisih harganya, namun sejumlah dana pinjaman guna meng-cover itu sudah disiapkan oleh seorang kawannya. Jadi semalam, ia berulang kali menyatakan kelegaannya karena segalanya tampak teratasi dengan mulus. Baginya, jika ia sampai berhasil membeli sepeda barunya berarti ia telah mencapai kesuksesan atas usahanya.

Ia sempat bercerita bahwa ia sempat kesal pada para peminat yang dianggapnya tidak serius dan hanya mempermainkan mentalnya sehingga ia pernah berniat menghentikan usaha penjualannya beberapa saat sebelum kemudian tanpa diduga masuk penawaran dari Yogya ini. Dengan pengalaman insiden ini ia mengingatkan aku untuk tidak menyerah ketika aku sering dihadapkan pada kegagalan karena "kegagalan adalah sukses yang tertunda", katanya. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik meskipun sesungguhnya ingin juga aku membahas soal semboyan ini...tapi pada saat yang sama aku tak ingin merusak nuansa hatinya yang sedang berbunga-bunga.

Yup...sebuah semboyan yang sudah sering aku dengar sejak lama terutama ketika aku dulu sesekali ikutan bisnis Multi Level Marketing. Semboyan yang sering digaungkan oleh para pesukses dalam memotivasi mereka yang sedang berjuang mendapatkan kesuksesan yang sama. Aku seratus persen setuju karena buatku tak ada yang salah dengan semboyan itu dan penggunaannya.  Sudah terbukti efektif untuk banyak orang termasuk aku sendiri dari waktu ke waktu dan dari kasus ke kasus. Tapi dari segala hal negatif yang hadir kemudian setelah kesuksesan, mungkin hal sebaliknyapun perlu dijadikan sebagai pengingatan.

Kita diingatkan bahwa kegagalan itu bisa memacu semangat kita untuk terus berusaha sehingga kesuksesan itu (akhirnya) bisa dihadirkan. Jadi bisa diartikan bahwa peran kegagalan sangat besar dalam mewujudkan kesuksesan. Bukan berarti kesuksesan itu hanya hadir setelah adanya kegagalan, namun kesuksesan orang yang pernah gagal biasanya justru lebih besar dari kesuksesan mereka yang tidak pernah mengalami kegagalan. Minimal kesuksesan menjadi lebih berarti bagi mereka yang sebelumnya menemui kegagalan. Bisa jadi makin besar kegagalan, makin besar pula kesuksesan yang menyusulnya.

Suka tidak suka...mau tidak mau...di belakang kesuksesan pun ada kegagalan yang siap menghampiri kita. Bagaimana tidak? Adalah hal yang wajar jika segala sesuatu yang terjadi ada konsekuensinya. Keuletan kita memperjuangkan kesuksesan ketika sedang gagal bisa sama besarnya dengan kelengahan kita dalam menghindari kegagalan ketika sedang sukses. Tanpa disadari, nikmatnya kesuksesan sering begitu membuai sehingga kita jadi lupa diri sampai-sampai kita melakukan kesalahan-kesalahan yang mampu mengarahkan kita pada kegagalan yang kemudian datang menyusul. Aku paham hal itu karena aku pernah mengalamaninya beberapa kali.

Seperti apa yang sempat dialami kawanku saat kegagalan dirasakan mempermainkan mentalnya, kesuksesanpun bisa mempermainkan bahkan merusak mental peraihnya. Para penawar yang dianggapnya abal-abal adalah bagian dari suatu ujian kesabaran yang kuatnya sama dengan semua hal muluk yang menjadi bagian dari ujian buat kita dalam mensyukuri kesuksesan. Jadi kita selayaknya mampu menangani kedua jenis ujian itu dengan kebijaksanaan yang sama. Berjuang meraih kesuksesan itu sulit...tapi tak sesulit memeliharanya, yang sama artinya dengan berjuang menghindari kegagalan.

Pada setiap orang yang mempertanyakan bagaimana jika mereka gagal dalam usahanya, aku cenderung merespon, "Saya sudah tau kalau anda gagal ya anda akan terus miskin. Yang saya tidak tau justru apa jadinya jika anda sukses dalam usaha anda. Apakah anda sudah siap?"
Nyatanya...tidak sedikit pesukses yang tidak siap menghadapi kondisi yang diburunya. Kesuksesan yang didapat dengan susah payah ternyata cepat dikandaskan dalam sekejap oleh kegagalan yang datang kemudian hanya karena mereka jadi kaget tau-tau sukses lalu mblinger, tak bijaksana dalam me-manage kesuksesannya atau bahkan seperti orang gila yang bertindak ceroboh tanpa berpikir.
Intinya...gagal dan sukses itu bisa datang tanpa diduga kapan dan ukurannya. Soal kans-nya...tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.

Jadi semalam aku hanya bisa memberi anjuran pendek kepadanya agar lebih berhati-hati dalam menindaklanjuti kesuksesan dalam penjualan sepedanya. Terlebih ketika dana yang digunakan untuk membeli sepeda barunya itu sifatnya titipan yang kelak harus dikembalikan. Banyak faktor X yang mungkin terjadi yang nantinya bisa membuyarkan atau mengubah apapun yang telah direncanakannya. Tinggal bagaimana ia bertindak bijaksana supaya terhindar dari kegagalan yang mungkin datang kapan saja.
After all...kesuksesan (pun bisa jadi) adalah kegagalan yang tertunda... :p

Thursday, April 20, 2017

Pilihan Baru

Akhirnya terpilihlah gubernur DKI Jakarta yang baru setelah pilkada putaran kedua sukses dilakukan kemarin dengan aman tanpa gangguan apapun yang sebelumnya dikhawatirkan banyak pihak termasuk pemerintah.
Terbukti sudah bahwa rakyat kita, khususnya warga Jakarta masih rukun, taat hukum dan menjaga kedamaian. Suatu kondisi yang bertolak belakang dengan kesan yang ditampilkan sebagian besar pendukung kedua paslon sepanjang masa kampanye.
 

Memang keputusan resmi belum dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum, namun hasil hitungan cepat (Quick Count) sudah meyakinkan kedua belah kubu siapa pemenangnya. Keduanya telah melakukan konferensi pers sebagai tindaklanjut dari hasil hitungan cepat ini. Yang satu sudah menyatakan rasa syukurnya atas kemenangannya, dan yang lawannya sudah menyatakan ikhlas menerima kekalahannya.
Maka di kalangan para paslon dan tim sukses yang terjun langsung ke dalam arena pertarungan ini semuanya telah diselesaikan dengan cara yang resmi dan baik.
 

Sayangnya tidak begitu halnya di kalangan pendukungnya. Meski sambil mengucapkan selamat atas kemenangan kubu lawan, dengan nada menyinyir pendukung paslon yang kalah mengingatkan paslon pemenang akan janji-janji yang pernah diberikan, dengan keyakinan semua itu tak akan terpenuhi. Sementara sebagai responnya, para pendukung paslon pemenang ikut menyinyir atas ketidak legowoan pendukung lawan. Yang sebelumnya medsos dipenuhi aksi saling serang dengan kampanye, terrmasuk yang hitam, tudingan dan tuduhan, kini dipenuhi dengan aksi nagih janji, ngeles dan mbully.

Ah...mau sampai kapan sih bertindak childish seperti ini? Padahal pengguna medsos seperti ini khan bisa dianggap sebagai golongan menengah ke atas yang cukup terdidik. Harusnya mereka bisa belajar dari masyarakat dari lapisan bawah yang siap melanjutkan perjuangan hidup di bawah kepemimpinan yang baru.
Aku juga pernah kecewa saat jagoanku tidak menang di Pilpres yang lalu. Namun kekecewaanku hanya kusimpan sebatas dalam diri saja karena toh tak akan mengubah kondisi yang ada. Aku harus ikhlas menerima kemenangan lawan kandidat yang aku dukung karena dia lah pilihan mayoritas rakyat negeri ini. Selama aku menjadi warga negara negeri ini, aku harus mengakui dan menghormatinya sebagai pemimpinku. 

Begitu pula yang selayaknya diterapkan oleh pendukung paslon yang kalah kemarin. Kalau kemarin mereka dihadapkan pada dua pilihan paslon, mulai hari ini mereka juga punya dua pilihan; tetap menetap di Jakarta dengan segala peraturan daerahnya yang ditentukan oleh gubernur baru, atau pindah dari Jakarta. Sesederhana itu lah...


Selamat kepada gubernur dan wakil gubernur terpilih. Semoga amanah dan bisa menjadikan Jakarta lebih makmur, aman dan nyaman.
 


Sunday, April 16, 2017

Halo Jakarta

Pilkada Jakarta putaran kedua dan terakhir sudah diambang pintu, hanya tinggal menghitung hari. Setiap hari ada saja kegiatan yang berkaitan dengan kampanye kedua pasangan calon (paslon) yang akan bertarung memperebutkan tampuk kepemimpinan ibukota negara ini. Ada yang berkonsep agama, ada yang sosial maupun juga yang berkaitan dengan hiburan. Intinya, masing-masing tim sukses berlomba menebar pesona demi mengambil hati rakyat. Maka janji-janji manispun diobral.

Secara paralel, ada juga pihak-pihak pendukung biasa yang dengan gencar melancarkan kampanye hitamnya. Mereka ini masyarakat biasa yang tidak tergabung dalam tim sukses atau organisasi resmi pendukung paslon. Bebasnya mereka menulis dan mempublikasikan tulisannya di dunia maya membuat suasana menjelang pilkada ini semakin menggila. Tak terkecuali beberapa teman di grup-grup whatsapp yang aku ikuti hingga aku lebih sering melewatkan postingan-postingannya. Jujur saja, aku tak peduli hal baik atau hal buruk yang dipaparkan tentang kedua paslon karena aku tak menilai mereka dari hal-hal yang diutarakan oleh pihak-pihak yang mungkin tidak mengenal langsung sosok mereka.

Ada dua hal yang aku pertanyakan tentang semua ini.

Seperti pilkada lain yang sudah-sudah di masa lalu, banyak sekali janji para kandidat yang ternyata bodong dan tak pernah terlaksana setelah mereka menang. Buntut dari pilkada kali ini nantinya bisa jadi sama saja dengan yang terdahulu. 
Lalu sadarkah masyarakat bahwa kemungkinan besar segala kegiatan yang marak digalangkan ini sifatnya sementara yang memang hanya terjadi saat menuju pilkada? 
Bahwa bantuan dan bakti sosial, cenderamata atau sejumlah dana yang dibagikan secara gratis, ibadah bersama, bahkan remeh temeh antara paslon dengan masyarakat dalam acara open house atau kunjungan ke tempat-tempat terpencil di pelosok ibukota, yang notabene memungkinkan masyarakat selfie bersama paslon itu semuanya mungkin akan jarang terjadi lagi pasca pilkada.

Bagi anggota tim sukses, kegagalan paslon yang diusungnya mungkin adalah hal yang sudah jauh-jauh hari diwaspadainya. Mental mereka dari awal harusnya sudah dilatih sehingga mereka siap menerima kondisi seperti itu.
Pertanyaan kedua menyangkut para pendukung biasa yang ikutan aktif hingga memakai cara yang ekstrim dalam menggembar gemborkan kehebatan paslon pilihannya atau bahkan kebusukan lawannya di berbagai media sosial.
Siapkah mereka ini menerima fakta bahwa lawan paslon-nyalah yang akan menjadi pemimpinnya?
Bahwa mungkin mereka akan dibully oleh para pendukung paslon pemenang yang bisa jadi selama ini kesal dengan segala postingan dan tanggapan kampanyenya, termasuk oleh teman-teman dan kerabatnya sediri.

Pilkada Jakarta yang satu ini memang berbeda dengan semua pilkada yang pernah ada. Bahkan bisa dibilang lebih menyita perhatian dari pilpres terakhir karena dikaitkan dengan agama dan etnis...dua faktor super sensitif yang selama puluhan tahun dijaga ketat kerukunannya demi menciptakan kehidupan bangsa yang harmonis.
Sudah tidak mungkin lagi untuk menjadikan Jakarta senyaman seperti 40 tahun yang lalu, tapi aku berharap pilkada ini tidak menyisakan efek negatif setelah usai nanti. Sampah, polusi, kemacetan, cuaca dan semua permasalahan yang ada selama ini sudah cukup untuk membuatku ingin hidup jauh-jauh dari Jakarta. Jangan sampai jadi lebih parah...

Thursday, March 16, 2017

Lancang

Rupanya kemarin istriku baru beres-beres sebuah sudut rumah yang selama ini dijadikan tempat penimbunan berbagai barang termasuk barang-barang miliknya sendiri. Memang jenis barang paling banyak disitu adalah buku dan kertas milik kedua putraku. Maklumlah...mungkin memang lelaki umumnya tidak mudah membuang barangnya meskipun tak terpikirkan kegunaannya. Kebanyakan mereka cenderung menyimpannya dengan konsep pemikiran kelak suatu hari nanti ada manfaatnya.

Diantara barang-barang itu ditemukan sebuah foto putra sulungku bersama seorang tukang parkir yang merupakan bagian dari tugas sekolahnya dua tahun silam. Saat itu ia harus mencari dan mewawancarai seorang pekerja lepasaan yang pendapatannya tidak tetap, kemudian mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan disertai foto dirinya bersamanya (sebagai bukti kebenaran wawancaranya). Kebetulan sekali tukang parkir ini dulu pernah bekerja sebagai tukang sapu di sekitar sekolah dasar putraku sehingga ia bukan lagi sosok asing buat putraku.

Dan foto yang dulu disertakan dengan tulisannya secara terpisah itu ditempelkan di atas selembar kertas berwarna berukuran lebih besar sehingga terkesan berbingkai. Fotonya terbilang bagus karena memang putraku ini hanya lebih mudah tersenyum jika difoto bersama teman atau kenalannya dibanding jika bersama ayah atau ibunya. Namun entah sebagus apapun nilai yang mungkin ia dapat, faktanya adalah foto dan tulisannya itu telah begitu lama tak terlihat diantara tumpukan kertas di pojok ruangan. Aku sendiri juga baru melihatnya semalam tergeletak di atas meja makan setelah dipisahkan dari barang-barang yang dianggap sebagai sampah dan telah dibuang sorenya.

Aku sempat mengamati foto itu beberapa saat, mengagumi senyum sekaligus kreatifitas putraku membuatnya lebih menarik. Mungkin ia sudah tak terlalu peduli lagi dengan foto ini, tapi setidaknya ia pernah memberikan perhatian yang besar dalam pengerjaannya sampai memberi kesan berbingkai. Terlintas dalam pikiranku untuk suatu hari nanti memberinya sebuah bingkai foto berkaca jika memang putraku ingin menyimpannya seperti itu. Maka aku berencana untuk membicarakannya siang ini dengannya setelah ia pulang sekolah.

Sayangnya...semua rencanaku buyar setelah pagi tadi istriku menggunting foto itu dan membuang setengah bagiannya sang tukang parkir. Otomatis foto itu tidak semenarik sebelumnya karena meski senyum putraku masih terlihat namun bingkainya sendiri hanya tersisa setengah. Lhah...apa bagusnya bingkai begitu?? Ini kebiasaan istri menyunting foto orang lain seenaknya. Belum lagi kalau memang ia belum dapat izin sebelumnya dari putraku.

Aku lalu teringat apa yang ia lakukan dulu dengan koleksi foto lamaku yang tersusun rapih di dua album foto. Dulu khan belum ada sistem foto digital sehingga semuanya berbentuk cetakan. Apalagi internet yang menyediakan banyak tempat untuk menyimpan foto digital. Jadi satu-satunya cara menyimpan foto kenangan ya dengan menggunakan album foto. Aku rajin mengumpulkan foto masa kecilku yang kudapat dari orangtuaku, dan alhamdulillah foto-foto itu selamat tak tersentuh. Tapi beberapa fotoku bersama teman wanita atau foto teman-temanku wanita (semua bukan mantan) kena screening. Ia menggunting atau mengganti dengan fotonya. Alasannya...aku sudah memasuki hidup baru sebagai suaminya sehingga fotonya harus ada lebih banyak dari foto wanita lainnya.

Ketika itu aku marah besar atas kelancangannya itu. Aku menyatakan bahwa apa yang aku simpan dalam album itu merupakan dokumentasi dari perjalanan hidupku. Semua orang yang fotonya aku simpan di dalamnya punya makna tersendiri buatku. Dari waktu ke waktu aku perlu diingatkan tentang pernah seperti apa aku dan hidup yang pernah aku jalani sehingga aku bisa terus belajar menjadi a better person. Dan jika ia ingin foto-fotonya menjadi bagian dari albumku itu, seharusnya aku yang menentukan di halaman mana dan seperti apa diikutsertakannya.
Hanya saja, kekesalan dan kemarahanku itu tak berefek banyak karena foto-foto yang kena screening sudah dibuangnya dan tak mungkin kudapatkan kembali. Seiring waktu berjalan, proses pengisian album-album foto itupun terhenti secara berkala dengan hadirnya kamera digital, scanner dan internet.

Yang mengejutkan adalah...tujuhbelas tahun kemudian, putraku menjadi korban tabiat buruk ibunya yang ternyata masih dipertahankan. Pheeww.... 


Wednesday, March 15, 2017

Seteguk Air

Hari ini aku pergi lagi ke gedung Setiabudi dengan menggunakan layanan Gojek. Dan seperti yang sudah-sudah, seusainya urusanku disana aku selalu berjalan kaki sekitar satu setengah kilometer untuk sampai ke titik ideal buatku memesan layanan Gojek kembali ke rumah. Hal ini perlu aku lakukan guna menghindari rute perjalanan yang memutar agar aku bisa berhemat di ongkos Gojek-nya.

Nah, kebetulan siang tadi langitnya sangat cerah sehingga sinar matahari-nya terasa menyengat dan udaranya cukup terasa panas. Sebenarnya aku tak berencana untuk jajan makanan atau minuman, karena aku memang bawa uang pas-pasan, apalagi biasanya di daerah komersial dan perkantoran seperti disitu harga-harga panganan bisa lebih tinggi dari umumnya. Namun perjalanan panjang itu membuat perut kosongku yang memang belum terisi sejak pagi seolah tak mau diajak kompromi ketika aku melewati sebuah gerobak gorengan. Untung saja harga gorengan tersebut masih normal sehingga aku memutuskan untuk membeli tiga potong risol buat sanguku selama berjalan kaki.

Sanyangnya, tak satupun kutemui tempat yang menjual air mineral dalam kemasan gelas. Ukuran kemasan air mineral terkecil yang mereka sediakan adalah botol 500ml. Koq lucu ya...seolah semua pedagang disitu kompak tidak menyetok kemasan gelas bermerk apapun. Jadi bisa dikatakan bahwa siapapun yang butuh air mineral harus mau membayar untuk kemasan botolan meskipun tak sebanyak itu air yang mereka butuhkan.

Jujur saja aku sangat butuh minum saat itu, namun dilain sisi aku tak perlu air sebanyak satu botol untuk mengimbangi tiga potong gorengan yang tengah aku makan. Lha wong gorengan saja hanya kubeli sesedikit itu demi menghemat biaya dan itupun karena perut yang sudah bersenandung, bagaimana mungkin aku harus merogoh kocek lebih banyak untuk jumlah air yang tak kubutuhkan? So...aku memenangkan ego-ku dengan menahan haus selama perjalanan pulangku.

Dalam keadaan yang sedikit beda dimana aku punya dana lebih, aku yakin aku tak akan berpikir dua kali untuk membeli sebotol air minum. Kalaupun tak habis diminum saat itu, aku kemungkinan akan menyimpan sisanya untuk waktu yang lain. Tapi aku memang tadi terjepit diantara kebutuhan dan kemampuan membeli yang saling tidak mendukung satu sama lain. Keinginan untuk melepaskan diri dari dahaga yang sempat menggila harus aku abaikan demi mendukung program penghematan yang dtaku jalani.

Tenggorokanku memang sempat terasa amat seret, tapi air gratisan yang kuteguk sesampaiku di rumah menjadi terasa jauh lebih nikmat dan melegakan. Memang kemenangan yang didapat lewat perjuangan berat biasanya terasa lebih manis...



Monday, March 13, 2017

Berlatih (tidak) Bicara

Semalam aku melakukan brain storming dengan adikku hingga larut sekitar jam dua. Sudah sekitar 5 tahun lamanya aku tidak melakukan pertemuan one-on-one dengannya sejak terakhir kami bertemu di sebuah cafe. Pertemuan semalam kami lakukan di rumahnya karena ia merasa lebih leluasa untuk bicara tanpa batasan waktu. Nah...soal "bicara" ini yang jadi topik tulisanku ini.

Umurnya hanya terpaut satu setengah tahun dari umurku, dan ketika kami kecil dulu hingga aku selesai SMA, kamar kami bersebelahan dengan sebuah pintu yang penghubung yang nyaris tak pernah tertutup. Jadi bisa dikatakan diantara kami enam bersaudara, ia lah yang paling kenal karaterku dan begitupun sebaliknya. 

Salah satu ciri khas darinya adalah bahwa ia doyan sekali berbicara. Tak hanya itu, ia bukanlah seorang pendengar yang baik. Bukan berarti ia tidak mengindahkan apa yang didengar, tapi ia cenderung tak sabar untuk menunggu lawan bicaranya selesai berbicara. Hal ini membuatnya sering memotong pembicaraan lawan bicaranya. Tak jarang ia bisa tertidur dalam rapat dengan boss-nya di saat ia tak mungkin menyelanya.

Begitulah yang terjadi semalam. Dan saking lamanya tak bicara man-to-man dengannya, aku sampai lupa kebiasaannya itu. Berkali-kali di awalnya aku terjebak situasi dimana ia memotong pembicaraanku. Padahal kebanyakan apa yang aku coba utarakan merupakan respon dari pertanyaannya buatku. Seolah ia sebenarnya tak butuh jawaban dariku, ia bisa nyelonong begitu saja melanjutkan bicaranya. Huff...sesaat sempat kesal juga aku dibuatnya, hingga aku teringatkan kembali tentang kebiasaannya ini.

Namun, aku tak marah padanya. Aku juga tak lalu ngoyo untuk menyelesaikan dulu jatah giliranku yang dipotong olehnya mengingat ada tiga hal yang jadi pertimbanganku. Pertama, apa gunanya pula aku bicara jika ia hanya akan terkantuk-kantuk mendengarkannya? Disamping itu, pertemuan semalam ini dimaksudkan agar ia bisa menjelaskan panjang lebar tentang sebuah proyek yang sedang dirintisnya dimana aku diajak terlibat di dalamnya. Jadi aku rasa selain yang formatnya pertanyaan tentang proyek ini, penting tidaknya apapun yang terucap dariku untuk diresponi memang ia yang berhak menentukan. Dan yang terakhir...yang bermanfaat buatku juga...ini bagaikan sebuah pelatihan untuk membatasi diri dalam bicara.

Aku masih sering terlambat menyadari setelah aku kebablasan dalam bicara. Tak berarti aku ngember bocor, tapi mengutarakan lebih dari yang diperlukan saja. TMI...Too Much Information, kalau istilahnya orang seberang. Masih harus banyak melatih diri aku ini dalam soal angkat bicara. Dan punya lawan bicara seperti adikku, dengan kondisi seperti semalam menjadi suatu hal yang bermanfaat buatku untuk belajar nge-rem sekaligus berpahala membuat orang lain senang karena diberi keleluasaan bicara sepuasnya. :p