Thursday, December 7, 2017

Perseteruan Yang Berlanjut

Ternyata masih ada duri yang tertinggal dalam tubuh perusahaan yang ditinggalkan mendiang ayahku. Perbedaan paham diantara kami, ahli warisnya, yang aku kira telah kami selesaikan beberapa bulan yang lalu ketika kami (akhirnya) berkumpul dalam susana damai dan sepakat untuk mengesampingkannya demi keutuhan persaudaran kami, nyatanya belum tuntas sempurna.

Di saat kami sedang mencoba menjalin kerjasama dengan pihak lain untuk proyek yang sudah terkatung-katung selama hampir genap lima tahun, muncul gugatan dari kakak ku yang ditujukan ke perusahaan. Otomatis gugatan ini juga teralamatkan pada kami semua termasuk dirinya sendiri yang menjadi pemegang saham diantara empat belas nama lainnya. Dan karena gugatan ini secara spesifik juga mempertanyakan keabsahan sebuah akta notaris, maka notaris pembuatnya pun ikut menjadi salah satu tergugat. Padahal, beliau telah membantu kami menyelesaikan banyak masalah yang pernah mengekang ruang gerak perusahaan ini. Lebih sialnya lagi, aku lah yang mereferensikan beliau ke perusahaan ini.

Aku yakin di balik upaya gugatan ini ada hal yang bersifat pribadi bagi kakak ku. Ini bukanlah masalah ia tidak terima dengan proses yang terjadi selama ini sehingga menempatkan perusahaan di posisi seperti sekarang yang berarti tidak akan memberinya rezeki sebanyak yang diharapkannya dulu, namun lebih tepatnya ia harus mendapatkan sesuatu yang lebih demi kepentingan pihak lain. Ya...pihak lain yang mungkin dulu pernah memberi banyak padanya dengan kompensasi yang sebanding. Dan kini ia terjepit diantara pihak tersebut dan pihak kami serta pemegang saham lainnya yang seharusnya lebih dibelanya. Segala kemewahan yang pernah didapatkannya selama ini, termasuk kesuksesan kerja anak-anaknya, kini menjadi bukti nyata yang menyudutkannya dan tak mungkin dipungkiri. Kata-kata manisnya yang diumbarnya ke banyak pihak kini menjadi bumerang baginya.

Itulah sebabnya aku yakin gugatan ini sangat kecil kemungkinan ditariknya meski para ahli hukum yang sudah siap mendampingi kami dalam menghadapi gugatan ini acapkali menganjurkan untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan. Personally...aku anggap mata hatinya telah sekian lama dibutakan oleh urusan duniawi hingga sulit baginya untuk bisa melihat kembali. Jika dulu ia rela menyimpang dari jalan kebenaran demi mendapatkan kemewahan duniawi, maka kinipun seperti itu pulalah ia harus menyelesaikan urusan yang menghimpitnya. Sampai kapan hal ini akan berlanjut? Entahlah. Yang pasti, tak satu pun pihak lain yang akan ikut terseret jika kelak ia harus menemui jalan buntu atas kasus gugatan ini dan harus terjerat jebakan hukum yang diciptakannya sendiri.

Ah...mirip sekali dengan kondisi persaudaraan antar warga negara di negeri ini saat ini. Ironis...


Wednesday, November 8, 2017

Memburu San Ustadz

Ustadz Abdul Somad, Lc., MA adalah seorang ustadz yang saat ini sedang naik daun. Beliau bisa dalam waktu singkat menjadi kondang karena video-video dakwahnya yang tersebar dan menjadi viral lewat berbagai media sosial. Adalah seorang temanku yang sekitar empat bulan yang lalu memintaku menyimaknya di YouTube. Dan begitu aku kali pertama menontonnya, aku langsung menyukainya.

Dakwahannya lucu dan menghibur. Itu kesan pertama darinya yang membuatku tertarik. Tapi lebih jauh lagi, tak seperti kebanyakan pendakwah, beliau bukan tipe yang menggunakan unsur paksaan atau ancaman dalam memberikan petunjuk tentang visi-nya. Beliau lebih menyajikannya sebagai ilmu yang ia anut dan praktekan ketimbang sebagai yang seolah berdampak "dosa besar" jika tidak dilakukan. Inilah yang membuatku makin tertarik pada dakwahnya.

Semakin sering aku menonton videonya, semakin suka aku padanya karena ia terkesan sebagai sosok apa adanya yang sederhana. Cara bicaranya mengisyaratkan seperti itulah beliau bicara dalam kesehariannya yang bisa membuat lawan bicaranya di satu sisi terhibur dan tertawa, sementara di sisi lain mudah menyerap hikmahnya. Intinya, beliau bisa menjadi seorang teman bicara yang baik, yang bisa memberi nasehat dan mengkoreksiku tanpa membuatku kecil hati.

Nah, akhir minggu kemarin beliau melakukan tur dakwah yang kebetulan mencakup dua tempat di wilayah tempat tinggalku. Sontak aku langsung membuat agenda untuk menghadiri salah satunya yang diselenggarakan setelah waktu shalat Dhuhur. Meskipun aku sudah dianjurkan untuk datang pagi, aku tetap datang sekitar pukul setengah sebelas dengan harapan dapat tempat di dalam masjid  walau tak harus di shaf-shaf terdepan. Kenyataannya, aku hanya bisa dapat tempat di teras masjid hingga shalat Dhuhur dilaksanakan.

Untungnya, begitu shalat Dhuhur berjamaah usai, aku bisa ikut terdorong ke dalam masjid karena saking banyaknya jemaah di belakangku yang mencoba "memblesek" masuk. Namun itu hanya cukup menempatkanku di shaf bagian belakang tepat disebelah partisi pembatas yang memisahkan jemaah pria dan wanita. Adapun mimbar tempat beliau berkhatbah berada di belakang dua kamera video di atas tripot yang diletakkan di ujung partisi pembatas. Kondisi ini yang membuat pandanganku agak terhalangi sehingga aku harus sesekali menegakkan badan untuk dapat melihat beliau.

Tak puas dengan pengalaman ini, bersama temanku yang datang dari Bogor akupun berniat menghadiri acara dakwah beliau berikutnya yang diselenggarakan di masjid lain malam harinya seusai pelaksanaan shalat Isya. Yang tak kuketaui sebelumnya, berbeda dengan masjid pertama, masjid kedua ini hanya memanjang ke samping dimana jarak antara mimbar dan pintu masuk terbilang pendek yang hanya muat terisi tujuh shaf. Untung saja aku telah hadir sekitar pukul setengah lima sehingga bisa mendapatkan spot di shaf ketiga setelah begitu banyaknya jemaah yang memaksa masuk memadati masjid.

Sebenarnya, sebagian besar isi dakwahannya pernah aku dengar lewat video-videonya, namun mendengarnya secara "live" memberi kesan tersendiri buatku. Apalagi dengan berburu tempat dan rela berjubel-jubelan untuk menjadi bagian dari jemaah yang shalat dan berdoa bersama beliau di bawah satu atap, pengalaman ini sungguh berharga.
Apakah aku akan mau melakukannya lagi kelak bila ada kesempatan serupa? Ah...cukup kali ini saja...kecuali jika event-nya lebih istimewa. :)


Monday, October 30, 2017

Hikmah Dibalik Secuil Pizza



Sering sudah kita dengar nasihat agar kita mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi, terlebih dari peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan. Kesannya memang klise saat kita sedang berada dalam kondisi yang tidak mengenakan kita. Anjuran itu tentunya dimaksudkan agar kita bisa sabar menerima suatu penolakan atas apa yang kita harapkan termasuk sedang mengalami  musibah. Tapi alangkah berat menelannya ketika kita lebih berkeinginan untuk mengeluh, berteriak atau memaki-maki.

Awalnya memang susah...namun saat perbaikan situasi yang sesuai harapan tidak juga kunjung tiba tapi justru sebaliknya makin memburuk, kita mungkin bisa sampai pada fase dimana kita sudah capek mengeluh, capek kesal, capek marah-marah, dlsb. Dan ketika itulah kita tak lagi punya pilihan lain selain menerima dengan ikhlas apa saja yang menimpa kita...seburuk-buruknya pun itu. Bagaimana tidak? Segala sikap tidak menerima kita akan kondisi kita ternyata tak juga membuatnya lebih baik hingga akhirnya kita harus menyerah.

Menyerah itu tak berarti kalah tapi berarti berserah diri pada Yang Kuasa...pada kehendakNya...pada kalamNya. Maksudnya secara ikhlas dan tulus menerima keputusanNya sambil terus berharap akan diberkahi olehNya rezeki di kemudian waktu. Intinya, ketimbang menunggu waktu tersebut sambil melakukan hal-hal yang negatif, yang bisa saja justru menambah dosa, kita justru melakukan perbuatan baik yang menambah amal dan pahala kita. Dengan bersabar dan tetap bersyukur atas apa yang diberikan olehNya, seharusnya perjalanan waktu kita akan terasa lebih ringan daripada jika kita mengisinya dengan kegelisahan dan emosi.

Sudah lebih dari empat tahun terakhir ini perjalanan hidupku bagaikan roller coaster yang kebanyakan turunnya. "Kebanyakan" ini artinya tidak melulu turun tapi ada juga naiknya. Hanya saja jumlah kenaikannya terbilang sedikit. Awalnya, saking seringnya aku meratapi penurunannya, aku sangat sering tak menyadari adanya kenaikannya. Bahkan seringkali kenaikan yang tak seberapa itu aku responi dengan rasa kecewa karena tak sesuai harapan atau tak sebanding dengan drastisnya penurunan yang sudah aku lewati. Akibatnya kenaikan itu lebih aku anggap masih sebagai penurunan yang membuatku tambah tertekan. Ironis bukan?

Nah...disaat aku telah kehabisan hasrat untuk tetap mengeluh, putus asa mendapati segala keluhan dan amarah yang tak kunjung memperbaiki kondisiku, aku menyerah. Aku mencoba me-reset ulang mindset ku dengan mencoba meyakini bahwa selalu ada hal baik dibalik segala hal yang buruk yang menimpaku. Mau tidak mau...suka tidak suka...aku melakukan manuver ekstrim dengan mencoba menerima nasibku secara ikhlas sambil berharap hal itu akan diganjar dengan berkah olehNya. Akibatnya, kesantaian itu benar-benar membuat hatiku tenang tak seperti keluhan yang menguras tenaga dan pikiranku. Hati dan pikiranku menjadi tenang ketika aku memohon kepadaNya segala kebaikan dengan berniat menunggunya secara ikhlas. Artinya...dikasih ya bersyukur, tidak dikasih ya bersabar.

Hasilnya pun luar biasa. Rezeki yang mungkin tidak seberapa, terasa sangat menyejukkan. Kenapa? Karena aku tak berharap yang muluk-muluk. Setelah berikhlas menerima semua tempaan hidup yang datangnya sambut menyambut, rezeki seperti ini ibarat setetes air di padang tandus.
Suatu contoh saja...beberapa waktu yang lalu, ketika aku dapat rezeki berupa dana pembayaran atas sebuah proyek kecil yang baru aku selesaikan, aku memesan pizza buat keluargaku. Dan setelah gigitan pertamanya, rasanya lezat sekali. Padahal ini bukan kali pertamanya kami menyantap pizza. Bahkan dahulu, pizza itu termasuk makanan yang setidaknya kami makan minimal dua bulan sekali. Aku yakin rasanya masih sama dengan yang dulu kami sering santap, namun kelezatan kali ini terasa karena mungkin sudah setahun lebih kami tidak makan pizza yang harganya tidak murah.

Kenikmatan seperti ini yang kemudian memotivasiku untuk selalu ikhlas dan tetap bersyukur atas kondisi buruk apapun yang aku hadapi. Rezeki yang terlihat kecil menjadi terasa bagai sebesar raksasa ketika datangnya setelah kita ikhlas bersabar menerima cobaan berat yang sifatnya hanya duniawi. Dan bisa saja tanpa disadari, ketika kenikmatan duniawi yang datang seperti itu kita sambut dengan rasa syukur yang, hadiahnya adalah kenikmatan ukhrawi kelak di kemudian hari.
Indah bukan?

TetapSabar&SyukurModeON....!!

Thursday, October 26, 2017

Cacar Air

Senin kemarin, tak seperti biasanya putra sulungku tiba-tiba sudah kembali di rumah dari sekolah pukul setengah empat. Aku mendapatinya sedang duduk di teras depan sambil menunduk dan memegangi kepalanya. Rupanya ia sedang sakit kepala yang dirasakannya seusai upacara bendera paginya. Hal inilah yang membuatnya melewatkan kegiatan ekstra kurikulernya dan memutuskan untuk segera pulang.

Seiringan dengan pernyataan tentang dugaannya tertular teman dekatnya, aku mendapati semacam dua bisul kering di mukanya. Memang awalnya ia tak menerangkan secara detil penyakit apa yang mungkin telah ditularkan, namun aku langsung curiga itu cacar air. Dan ternyata kemudian ia pun menyatakan bahwa temannya itu baru saja kembali masuk sekolah setelah seminggu absen karena sakit cacar air. Wali kelasnya pun menyatakan kepadaku kemungkinan hal itu karena ia tau mereka berteman dekat.

Phew...akhirnya ada juga putraku yang terjangkit penyakit ini. Tindakanku selanjutnya adalah konsultasi dengan kakak perempuanku yang seorang dokter anak tentang penanganannya. Yang jadi pertanyaan buatku sendiri adalah, apakah akan aku upayakan kesembuhannya dalam arti mencegahnya bertambah parah, atau kudiamkan bertambah parah dalam arti diforsir agar keluar semua sekaligus terbuang semua virus dan calon virusnya? Konon kabarnya setiap orang punya kadar maksimal tersendiri atas penyakit cacar air ini. Artinya, selama kadar yang tercapai pada saat terjangkit hingga sembuh belum maksimal maka kemungkinan terjangkit lagi masih ada.

Dulu ketika aku terjangkit juga saat duduk di bangku SMA, mendiang ibuku memberiku wedang asem yang dimaksudkan untuk memaksakan kadarnya mencapai maksimal agar setelah sembuh aku tak akan pernah terjangkit lagi. Itu sebabnya di awalnya aku hanya mengkonsumsi obat dan bedak penghilang rasa sakit dan gatal. Tak ada obat pembunuh virus hingga kadarnya mencapai maksimal. Rambutku bahkan sempat dipangkas habis oleh ibuku hingga kepalaku plontos agar cacar air yang ada di kepala bisa diberi salep dan bedak. Aku ingat benar saat itu salah satu derita terberatnya adalah menjalani hari-hariku dengan sariawan yang jumlahnya mencapai belasan, dan itu belum termasuk tujuh buah yang ada di lidah dan kerongkonganku.

Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan upaya penyembuhan atas apapun yang sudah terjangkit di tubuh putraku karena aku tak tega melihatnya harus menjalani hari-hari seperti yang pernah aku alami dulu. Lagipula, sebagai seorang siswa yang baru memulai studinya di sekolah menengah kejuruan ini, ia sedang giat-giatnya mengikuti berbagai kegiatan di sekolahnya. Kasihan jika ia harus melewatinya begitu lama. Dan aku pun meluangkan banyak waktu untuk mendampinginya dalam upaya penyembuhannya mengingat mungkin hanya akulah satu-satunya kandidat yang tidak akan tertular.

Namun entah mengapa, cacar air yang ada justru terus bertambah seolah segala obat yang aku berikan tidak berfungsi apa-apa. Hari-harinya semakin sulit karena rasa perih dan gatal yang terus bertambah. Biasanya suhu badannya meningkat drastis di malam hari sehingga tidurnya pun semakin sering terganggu. Kakak perempuanku juga terheran-heran atas hal ini hingga ia sempat berkelakar kalau ini disebabkan karena faktor turunan...halah! Pagi ini ia sempat memberi anjuran obat lain sebagai upaya penanganannya, namun aku sudah tak memfokuskan pada kesembuhan putraku dalam waktu dekat ini mengingat banyaknya cacar air yang sudah bermunculan di seluruh tubuhnya.

Mungkin putraku memang pada akhirnya harus lebih lama melewati fase ini, namun aku juga berharap jika memang ini berarti kemungkinannya kelak ia akan terjangkiti lagi adalah nol, maka biarlah ini terjadi sekarang. Toh aku sudah berusaha semaksimal mungkin dan ia juga sudah menuruti semua anjuran yang diterimanya. Kami sudah berusaha, tapi semua kembali ke padaNya yang sudah menentukan kalam putraku ini. Sabar dan ikhlas lagi....


Kehebatannya

Kakakku yang sulung ini memang sungguh istimewa. Istimewa karena ia punya sifat, tabiat, sikap, perangai atau apalah yang mau disebut, yang lain dari pada yang lain. Itu bisa berarti berdampak positif ataupun negatif untuknya sendiri, keluarganya, dan orang lain. Otaknya sangat amat encer, dan hal ini sudah dimilikinya sejak di bangku SD dulu. Buktinya ia, minimal, selalu menduduki peringkat tiga yang teratas dalam pencapaian prestasi tiap tahunnya. Ia sudah lumayan fasih menguasai bahasa Inggris di kelas dua SD. Tak lama pula setelah ia dikenalkan pada Tabel Unsur Kimia pun ia langsung hafal semua unsur di luar kepala, lengkap dengan posisi dan jumlah ion-ion yang dikandungnya. Selepasnya SMA, ia dengan mudahnya langsung lolos ujian seleksi masuk ke perguruan tinggi dengan mendapatkan tempat di kampus pilihan pertamanya di Bandung.

Apa yang kemudian terjadi setelah itu memang sama sekali tidak seperti yang diharapkan orangtua kami, tapi bukan berarti ia tak menyukainya. Pilihan arah yang ditentukannya di tiap persimpangan jalan hidupnya terlihat ekstrim namun rupanya ia tentukan dengan penuh pertimbangan akan segala konsekuensinya. Kami sekeluarga sempat berpikir bahwa keputusannya untuk menikah tidak tepat karena terkesan buru-buru sebelum ia mengenal betul calon istrinya. Tapi pernikahan itu telah diarunginya selama tiga dekade lebih dengan dikarunia empat anak lelaki yang kini semuanya sudah menjadi orang-orang yang sukses di pekerjaan dan sekolahnya. Dan semua kesuksesan itu tak lepas dari konsep hidupnya yang hingga kini masih sering kami anggap aneh dan tak lazim.

Hebatnya...ia bukan tipe orang yang cenderung menampilkan kehebatannya di depan umum. Ia sangat mengerti teknologi karena ia juga pernah menggeluti bidang IT sebagai bisnisnya, tapi ia tidak memanfaatkannya untuk mempromosikan data dirinya. Pernah sekali seorang Laksamana Sukardi terkagum-kagum atas kepintaran kakakku ini seusai mendengarkan presentasinya tentang lahan tambang yang izinnya dipegang oleh perusahaan ayah kami. Ia pun sempat mempertanyakan tentang sosok kakakku ini pada mediator yang mengenalkan pada kakakku hanya karena ia tak pernah mendengar nama kakakku di dunia bisnis dan ekonomi sedangkan ia mengira ia mengenal semua orang pintar yang ada dalam dunia bisnis di tanah air. Well...bagaimana ia bisa mendengar nama kakakku ketika data dirinya tidak pernah diekspos bahkan di dunia maya, wadah paling efisien bagi setiap orang untuk menjual diri?

Ketika ada yang mencari data dirinya dengan menggunakan nama kakakku sebagai keyword-nya, mungkin yang akan tampil hanya satu dua situs yang dibuat orang lain yang kebetulan mengikutsertakan nama kakakku, seperti situs silsilah keluarga yang pernah aku buat. Itupun tak dapat diakses tanpa izin dariku sebagai pembuatnya. Tak ada facebook, google account, linkedIn, blog atau media sosial miliknya. Kalaupun ia punya alamat email, tak mengandung nama lengkap apalagi fotonya.
 
Begitulah kakakku. Melanglang buana selama ini dengan menempatkan dirinya di belakang layar. Kalau dalam pertunjukkan wayang kulit atau wayang orang, jelas ia bukan wayangnya tapi mungkin juga bukan dalangnya. Ia lebih pantas disebut sebagai tim sukses sang dalang yang ikut mengatur alur cerita yang di suguhkan sang dalang. Sosok dalang bisa terekspos dan mungkin menjadi sosok yang terkenal, namun siapapun yang membantunya mengatur babak demi babak pertunjukannya tak pernah dimunculkan ke permukaan, betapapun suksesnya pertunjukannya itu. Di sisi lain, jika ada masalah di tengah jalan, ia tak akan jadi yang termasuk harus bertanggung jawab langsung. Akibatnya, namanya pun otomatis aman dari publikasi dan sorotan media.

Buatku, ia tak sekedar pintar tapi juga orang yang jenius atau brilian. Hubunganku dengannya yang terbilang kaku karena diantara semua adiknya, akulah yang paling suka menentang secara terbuka pola berpikirnya yang aku nilai cenderung egois sehingga lebih pantas aku sebut licik ketimbang cerdik. Namun jujur saja, aku tak enggan menganggapnya cerdik karena ia pandai bicara sehingga sifat egoisnya itu bisa dibungkusnya rapih dengan teori dan ilmu tinggi yang dimiliki kemudian disajikan dalam tutur bahasa yang sangat sopan dan terkesan menghormati lawan bicaranya. Bagi seorang awam yang artinya tidak mengenalnya sedalam aku mengenalnya, kakakku bisa dianggap sebagai nara sumber yang potensial dan motivator yang pantas diikuti omongannya. Itu sebabnya ia dapat dengan mudah meyakinkan orang untuk menggandengnya dalam berbisnis di bidang apapun.

Sudah sekitar tiga bulan belakangan ini aku mencoba untuk melakukan pendekatan kepadanya setelah tujuh tahun kami jarang sekali bertemu karena ia tinggal di pulau seberang dan jadwal masing-masing tak memungkinkan kami untuk mudah buka kontak. Selama tiga bulan ini aku mencoba menerimanya tanpa ingin melihatnya sebagai sosok yang aku uraikan di atas. Kami sama-sama sudah berusia kepala lima, dan itu menjadi alasanku mengapa aku mencoba untuk tidak judgemental terhadapnya. Secara teori, proses pendekatan ini akan berjalan mulus selama kami tidak saling menghakimi dan saling menerima apa adanya sehingga tidak condong menyerang satu sama lain dengan prinsip masing-masing.

Nah...disaat aku dan semua kakak adikku kini telah sepakat untuk menyelesaikan urusan keluarga yang selama ini belum tuntas karena adanya perbedaan paham diantara kami, ia jadi sulit dihubungi. Padahal proses penyelesaian ini sudah sampai pada tahap akhir dimana kami perlu menandatangani sebuah akta di depan notaris. Tempat tinggalnya yang jauh itu menjadi kendala sehingga ia juga tak mudah untuk didatangi, sementara tenggat waktu yang ada semakin sempit. Seandainya saja ia merespon kami lewat WAG, SMS atau telpon, kami pasti tak akan berada di posisi yang tidak mengenakkan ini. Pasalnya, kami tau pasti bahwa ia tau kami mencarinya. Ia juga membaca semua pesan kami, namun kalaupun merespon ia tak memberikan info yang akurat dan kena sasaran. Jawaban atas pertanyaan dan permintaan kami kebanyakan sifatnya menggantung bahkan sering mengundang tanya.

Pheew...kami pun mulai bertanya-tanya, jangan-jangan ada hal yang mengganjalnya (lagi) yang ia sembunyikan sehingga ia lalu menghindari kami dan proses penyelesaian ini. Dan hingga hari ini pun, meskipun ia telah menjelaskan kondisi fisiknya yang telah seminggu sakit berat sehingga baru bisa terbang untuk datang sore ini, selama ia belum menampakkan dirinya di depan kami, tidak ada yang dapat kami pastikan. Pada akhirnya, apapun yang ada dibalik semua peristiwa ini, aku dan adik-adiknya yang lain memang tak punya pilihan lain selain bersabar dan ikhlas menerima semua alasan yang ia berikan..seolah kami memang hanya wayang, sementara kakakku punya kuasa yang lebih besar dari dalangnya. Disitulah hebatnya kakakku... :p


Tuesday, July 11, 2017

Thanks, But No Thanks.

Ketika remaja dulu, terutama sebelum aku berkeluarga, aku termasuk orang yang tidak peka terhadap apa yang ada di sekelilingku. Aku sering bersikap dan berkata blak-blakan dalam bersosialisasi. Meskipun tanpa bermaksud menyerang perasaan orang lain, namun beberapa kali ada yang tersinggung dan kesal atas hal itu. Karena itulah aku kemudian menjadi pribadi yang lebih suka menyendiri demi mengantisipasi kemungkinan menyinggung perasaan orang lain. Lagipula...dengan "mojok" itu aku lebih punya banyak waktu untuk menikmati indahnya sepi...bak lagunya Candra Darusman. 😜

Seorang mantan sahabatku acapkali menjelaskan pada mereka yang belum lama atau baru mengenalku bahwa aku tipe orang yang bicara apa adanya. Dengan penjelasannya itu, orang lalu banyak yang mau menerima pendapatku lebih sebagai hal yang tulus dan jujur, meski kedengarannya nyelekit. Mungkin itu dianggap bermanfaat sebagai kritik membangun buat intruspeksi diri. Namun akhirnya pun aku harus intruspeksi diri akan tabiatku itu mengingat hal itu jugalah yang (sepertinya) membuat mantan sahabatku ini memutuskan pertemanan kami karena tidak bisa menerima pendapatku tentang kiprahnya yang buatku banyak negatifnya.

Aku lalu sering mengingatkan diri sendiri untuk menempatkan diriku sendiri di posisi orang yang sedang aku coba berikan pendapat. Hal yang sama aku coba terapkan setiap aku bertemu dengan orang yang sedianya sedang melakukan apapun yang siap membuatku kesal bahkan marah. Misalnya ketika hak ku dirampas oleh pengendara lain di jalan ketika aku punya hak yang lebih besar darinya. Tak hanya aku mencoba berada di posisinya dan memahami apa yang ada dalam benaknya sehingga melakukan hal itu, aku juga mencoba membayangkan efek apapun yang mungkin aku terima sebagai dirinya atas perbuatan itu. Sebut saja yang aku rampas haknya lalu memperpanjang permasalahan, akankah aku menerimanya dengan legowo atau justru ngeyel karena merasa tak bersalah? Bisa jadi urusannya berbuntut panjang. Capek juga lah...

Seperti itulah aku kemudian mencoba menahan diri dan menjadi sosok yang lebih cinta damai. Gundah dan gusar mungkin tetap terjadi padaku, namun semuanya kusimpan saja dalam hati tanpa ditindaklanjuti dalam hal yang negatif (baca: konyol). Dengan ikhlas aku harus bisa meredam emosiku...emosi dalam naik pitam atau bahkan dalam sekedar berpendapat. Sebagai seorang Muslim, aku membiasakan diri beristighfar dan mengucap hamdallah dalam berespon dengan harapan aku bisa terhindar dari segala situasi yang tak hanya merugikan aku sendiri tapi juga keluarga yang menjadi tanggung jawabku.

Ada hal-hal yang buatku jadi sensitif dengan terpuruknya situasi finansilku beberapa tahun belakangan ini. Dengan kondisi seperti itu, standarisasi kebijkasanaanku dalam bersikap dan berucap pun menjadi lebih tinggi. Ironisnya...meski tau tentang kondisi finansialku ini, beberapa kenalan dan kerabatku dengan mudahnya memojokkan aku di tempat yang sangat tidak nyaman. Dan ketika aku mencoba menyuarakan ketidak nyamananku itu, aku dianggap terlalu sensitif atau mudah tersinggung.

Satu contoh saja, minggu lalu sekumpulan teman yang juga orangtua dari teman-teman se-almamater putra sulungku bersepakat untuk melakukan kegiatan reuni sekaligus halal bihalal yang sekiranya diwujudkan dalam bentuk vakansi bersama di sebuah villa di daerah Puncak akhir bulan depan. Kebetulan pada tanggal yang sama, aku berencana menghadiri acara pernikahan keponakanku di Yogya. Nah...rencana ketidak ikutsertaanku ini dianggap sebagai suatu masalah oleh yang lain, sehingga mereka mencoba memundurkan jadwal reuni-nya dengan harapan aku bisa ikutan. Tak sekedar itu saja, rencanaku harus ke Yogya rupanya dicurigai sebagai dalih buatan belaka untuk menutupi fakta bahwa aku mungkin tak punya cukup dana untuk ikutan ke Puncak, sehingga mereka pun sepakat menyediakan subsidi-silang buatku sekeluarga.

Ugh...!!
Aku akan senang meluangkan waktu sejenak untuk mendukung niat rencana yang sangat berarti bagi putra sulungku ber-reuni lagi dengan teman-temannya yang telah lama tak ditemuinya. Jujur saja...sebenarnya di awal bulan depan, ada sejumlah dana yang (rencananya) akan turun, yang membuatku mampu membayar biaya yang diperlukan untuk vakansi ini. Namun kalaupun rencananya pemasukan dana itu mundur hingga setelah tanggal rencana pelaksanaan vakansi, aku sangat tidak suka dengan ide subsidi silang buat aku itu. Bukannya aku tak menghargai niat baiknya...namun aku bukan tipe orang yang mudah menerima bantuan yang tidak aku rasa penting. Vakansi ini bukanlah hal krusial yang perlu aku ikuti sampai aku harus menerima subsidi silang. Aku lebih memilih mendapatkan pinjaman tanpa bunga jika memang mendesak.

Pada seorang dari sekumpulan orangtua ini, aku sempat menyampaikan keberatanku dengan maksud agar bisa ia teruskan ke yang lain. Tapi seperti umumnya, ia memintaku untuk menerima dengan ikhlas rencana subsidi silang ini agar tidak menyinggung perasaan penggagas ide dan mereka yang menyetujuinya. Aku memang tidak memaparkan padanya tentang rencana turunnya dana ke kocekku mengingat rencana itu bisa berubah kapan saja, sehingga ia taunya hanya aku tak mau terima subsidi silang. Ia pun menolak menerima alasan penolakanku karena berharap aku tetap ikut hingga aku (akhirnya) memintanya mencoba menempatkan dirinya di posisiku karena ia pun tak ingin mendapatkan subsidi silang seperti itu jika ia tak punya dana yang cukup untuk membiayai keluarganya.

Strategi menempatkan diri kita di posisi orang lain harusnya efektif dalam menentukan suatu sikap dalam bersosialisasi.

Entah kapan ia akan menyampaikan pesanku ini pada yang lain. Mungkin juga akhirnya ia tak bernyali untuk melakukannya...tapi setidaknya, si bapak ini bisa mengerti mengapa aku akan lebih suka berdiam diri di rumah dengan kocek kosong ketimbang menerima subsidi silang itu untuk bisa ikutan acara yang tak wajib aku ikuti. Dan aku cukup yakin putra sulungku pasti setuju dengan keputusanku.


Thursday, June 29, 2017

Keberhasilan Anak

Kisah tentang lika liku perjalanan karir pendidikan putra sulungku ini memang seolah bagai tak ada habisnya. Sejak awal ketika ia usai mengikuti Ujian Nasional sekolah dasar saja aku sudah dibuatnya cemas. Jawaban "In shaa Allah" yang selalu diberikannya sebagai respon jika kutanya apakah ia akan mendapatkan hasil yang bagus membuatku bungkam karena aku tau setelah itu aku tak seharusnya mengharapkan jawaban yang lebih tepat dari penyerahan keputusannya kepada Allah meskipun hal itu memberi ganjalan dalam hati. Apalagi ia punya sikap cuek seolah tak peduli ke sekolah mana ia akan melanjutkan pendidikannya.

Namun aku seterperanjat teman-temannya ketika ternyata ia mendapat nilai tertinggi di sekolahnya. Seorang temannya, Putri, yang selama lima tahun sebelumnya selalu menjadi juara angkatanpun hanya menempati peringkat kedua. Yang lebih lucu sekaligus mengesalkan adalah bahwa guru bimbingan test-nya pun justru sempat mempertanyakan keabsahan hasil ujiannya disaat sewajarnya ia harusnya bangga akan prestasi anak didiknya sendiri itu. Tak ketinggalan kesan tak percaya dari para orang tua siswa lainnya dibalik ucapan selamat yang diberikan kepada anakku. Sikap anakku sendiri tentang keberhasilannya? Tetap datar-datar saja seperti tak ada yang istimewa....

Maka ia pun berhasil dengan mudah diterima dan melanjutkan pendidikannya di SMP pilihannya bersama sembilan teman sealmamaternya, termasuk Putri.
Tak ada juga yang terlihat istimewa dari putraku ini sepanjang tiga tahun pendidikannya disitu. Bahkan aku lebih sering melihat kewajarannya sebagai murid yang nilai hasil belajarnya tergolong rata-rata. Hasil belajarnya di tengah semester terakhirnyapun tak menempatkannya di lima belas besar di kelasnya. Suatu prestasi yang wajar bagi seorang anak yang banyak menghabiskan waktu di rumahnya menatap laptop atau telpon selulernya.

Sempat gemas juga aku dibuatnya beberapa kali karena ia tak sering memperlihatkan keseriusannya dalam persiapannya menghadapi Ujian Nasional. Memang kondisi finansialku tak memberinya kesempatan untuk mengikuti program-program bimbingan belajar seperti kebanyakan teman-temannya, namun minat belajar atas kemauannya sendiri juga sering tak ditunjukkannya. Saat aku mengingatkannya untuk lebih mempersiapkan diri, ia cenderung menurutinya dengan sikap ogah-ogahan dan mimik muka kesalnya. Itupun tak aku tindak lanjuti dengan pemaksaan karena buatku belajar dengan paksaan orang lain tak akan pernah membuatnya mudah menyerap ilmu.

Seusainya mengikuti Ujian Nasional, ia memang sempat menyatakan bahwa ada soal-soal yang tak terjawab olehnya. Tapi ia tetap terlihat santai dan enteng-enteng saja menjalani hari-harinya sambil menanti pengumuman hasil ujiannya. Dan pada akhirnya, semua terjawab dengan nilai yang ternyata lumayan cukup jauh di atas nilai rata-rata sekolahnya. Untuk sementara waktu memang hal ini membuatku lega mengingat begitu banyak teman di sekolahnya yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata. Hanya saja kelegaanku tak bisa dijadikan patokan saat faktanya ia harus bertarung menghadapi siswa-siswa dari sekolah lain yang lebih tinggi dari nilainya.

Lucunya...setelah mendaftarkan pilihannya pada sekolah menengah kejuruan negeri unggulan dan melewati tiga hari proses seleksinya, namanya terkunci di peringkat sepuluh dari enam puluh enam tempat yang dipertarungkan. Artinya, nilai hasil Ujian Nasional dari minimal lima puluh enam siswa yang mendaftar di jurusan yang sama di sekolah ini tak mengungguli nilainya. Yang mengejutkan adalah bahwa nilai terendah dari siswa yang diterima lebih rendah dari mereka yang berada di posisi terbawah di sekolah menengah atas, sehingga tak sedikit orangtua teman-temannya yang menganggap bahwa pertarungan untuk masuk ke sekolah unggulan ini ternyata tak sesengit masuk ke sekolah-sekolah menengah atas negeri yang selama ini dianggap sejajar predikatnya.

Aku akui tak ada yang salah dengan anggapan itu karena rupanya memang begitulah adanya. Buktinya...di penghujung proses seleksi tahap satu ini, hampir semua teman putraku yang mendaftar di sekolah-sekolah menengah atas pilihannya tak berhasil mengunci namanya di daftar siswa yang diterima. Kecuali mereka mau namanya terkunci di sekolah yang berpredikat lebih rendah, mereka terpaksa harus ikhlas mengikuti proses perebutan tempat berikutnya di tahap kedua yang berbasis rayonisasi atau kesamaan lokasi dengan tempat tinggal...suatu tahap yang dianggap lebih memberikan harapan.
Nah...disinilah mulai terdengar suara-suara sumbang yang kesannya didasari rasa iri atau sirik atas keberhasilan putraku lolos di tahap satu.

Selain berpendapat bahwa masuk ke sekolah menengah kejuruan lebih mudah, ada juga yang mengatakan bahwa sekolah pilihan putraku yang selama ini menyandang gelar sekolah unggulan ini ternyata tidak sehebat kabarnya. Hal ini didasari fakta diterimanya sejumlah siswa yang nilai hasil Ujian Nasionalnya rendah. Kemudian terdengar lagi pendapat bahwa dengan kondisi begitu, sekolah kejuruan seperti ini tak akan menjembatani siswanya ke perguruan tinggi negeri yang notabene selalu dianggap sulit dimasuki. Lalu ada yang berpendapat karena alasan itulah sekolah menengah kejuruan cenderung mengarahkan siswanya untuk bekerja seusai lulus.

Apakah semua ini harus mengganggu kelegaanku atas keberhasilan putraku? Tentu saja tidak.

Sederhananya begini tentang putra sulungku.
Sudah sejak masih belum sekolah, ia menaruh minat yang menggila pada mobil. Lalu ketika masuk sekolah dasar, ia rajin mengumpulkan brosur mobil disamping menyukai buku-buku tentang mobil. Ia bukan tipe anak yang cenderung tertidur ketika sedang dalam perjalanan darat, tapi justru sibuk mengamati mobil-mobil yang ada di sekelilingnya. Dari yang klasik hingga yang paling gres, dapat dikenali merk-nya. Sebelum lulus sekolah dasarpun ia sudah mulai memahami mesin mobil dan mekanisme nya hingga ia punya cita-cita memiliki usaha bengkel modifikasi mesin dan bodi mobil.

Ia begitu terpikatnya ketika ia kali pertama mengetahui dari penjual mie ayam tentang jurusan otomotif di sekolah menengah kejuruan ini sekitar empat tahun yang lalu saat secara tak sengaja aku mengajaknya jajan mie ayam gerobakan yang mangkal di depannya. Ia sangat terkesima dengan cerita bahwa para siswanya dikirim ke Jepang untuk diberi kesempatan melakukan studi lapangan di perusahaan otomotif di sana. Sejak itulah ia selalu mengarahkan tujuan pendidikannya di sekolah ini.

Sekarang...boleh saja orang menganggap sekolah ini tak sebaik sekolah menengah atas negeri. Atau masuk ke sekolah ini sangat mudah dan nyaris tak ada saingan yang berarti. Atau seusainya di sekolah ini, siswanya akan mengalami kesulitan untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi negeri unggulan.
Intinya...ia sudah resmi lolos seleksi dan diterima di sekolah unggulan yang menjadi incarannya selama empat tahun belakangan ini, dimana ia bisa berharap mendapat banyak ilmu tentang apa yang menjadi hasrat hidupnya selama lebih dari satu dekade. Sekolah yang mungkin akan menjembataninya ke kesuksesan hidupnya. Dan itu sangat solid untuk dijadikan alasan mengapa buatku tak ada yang bisa mengganggu kelegaanku.

Sementara temen-temannya masih ketar ketir menunggu nasibnya di seleksi masuk ke sekolah menengah atas tahap kedua, putraku sudah tengah mempersiapkan diri untuk memulai pendidikannya.

Congratulation, son. I am and forever be proud of you....