Tiada hentinya ia memikirkan apa yang baru saja ia alami. Ia dapat dengan jelas mendengar anak sulungnya menyenandungkan sebuah lagu tapi tak sedikitpun minat pada dirinya untuk mencari tau judul dan penyanyi dari lagu tersebut. Ia hanya cukup memastikan bahwa anaknya berjalan pulang di tempat yang aman dari kendaraan yang kadang melaju kencang saking sepinya jalanan malam itu. Sesuatu yang aneh telah dialaminya ketika ia tengah melaksanakan ibadah shalat tarawih di malam ke duapuluhlima itu.
Meskipun ia masih sulit untuk percaya bahwa hal aneh tersebut mungkin terjadi, namun ia merasakan sekali kejadian itu seolah nyata.
Di saat ia tengah berdiri sambil menatap titik di karpet tempat dimana ia harus mensujudkan mukanya di rakaat kedua dari seri shalat ketiganya, tiba-tiba apa yang dilihatnya dan sekitarnya sirna begitu saja, lalu berganti menjadi gambaran putih kosong yang terang benderang seolah ia berada di alam bebas yang tak mengandung dataran, garis horison, awan ataupun langit. Ia berulang-ulang melihat ke sekelilingnya, namun yang dijumpainya hanya kekosongan yang terang.
Lucunya, ia tidak lalu panik namun justru dengan tenang berjalan tanpa tau arah kemana ia melangkah. Tak lama kemudian, masih dengan sikap yang santai, ia bertanya dalam hati, "Wah, aku dimana ini ya?" Pertanyaannya itu segera terjawab oleh suara yang tidak terdengar oleh kupingnya namun jelas ditujukan kepadanya, "Yang penting bukanlah dimana kamu berada, tapi mengapa kamu disini sekarang." Suara itu bak jawaban yang muncul dalam benaknya.
Karena ia masih ingin tau kemana anaknya yang
sebelumnya berdiri di sebelahnya, jemaah lainnya yang hanya memenuhi empat
shaf dan imam yang memimpin shalat, ia bertanya lagi, "Kenapa aku ada disini, dan kemana orang-orang yang tadi sedang shalat bersamaku?"
"Kamu disini karena kamu terus menerus bimbang dengan keputusan-keputusan yang telah dan akan kamu ambil. Kamu selalu mempertanyakan kapan nasibmu akan menjadi seperti yang kamu inginkan. Kamu berdoa dan berdoa tapi kamu belum juga ikhlas menghadapi situasi hidupmu."
Tanpa sedikitpun keinginannya untuk mengetahui siapa pemilik suara itu karena ia terlalu merasa perlu menindaklanjuti jawaban tadi yang dianggapnya sangat benar. "Aku khan berdoa untuk meminta berkah dan rezeki. Aku mencoba sekuat tenaga untuk bersabar dan berikhlas tapi keadaan hidupku rasanya makin sulit. Apakah salah kalau aku jadi gundah ketika aku merasa doa-doaku itu belum dikabulkan, sementara aku sudah berusaha untuk menjadi orang yang baik?"
"Sudah seberapa baikkah kamu?", suara itu bertanya balik.
"Aku tidak tau. Tapi setidaknya aku lebih baik dari sebelumnya, karena sudah banyak hal jelek yang aku tinggalkan dan banyak hal baik yang aku lakukan", jawabnya.
"Seberapa banyak? Cukup banyakkah untuk kamu mendapat apa yang kamu minta?"
Ia terdiam...
Tiba-tiba ia dapat melihat sosoknya sendiri tengah berdiri menjalankan ibadah sholat di sebelah anaknya.
"Kamu disini agar dapat melihat dirimu sendiri. Lihat lalu pikirkan apa yang mungkin ada dalam hati anakmu saat ini, dan dalam hati anak-anakmu di keseharian mereka. Teruslah mempertanyakan hal itu sampai kamu dapat jawabannya, sebelum kamu mempertanyakan apa yang kamu dapat dan tidak dapat dalam hidupmu."
Ia menatap kedua anaknya yang terlihat khuyuk menjalankan shalatnya. Ingin rasanya ia mengambil jalan pintas dengan cara menyerah saja agar suara tadi yang memberikan jawabannya. Namun sebelum ia sempat melakukannya, pandangannya sudah kembali tertuju ke titik sujud pada karpet merah tempat ia berdiri. Lalu ia mendengar suara takbir dari sang imam yang mengisyaratkan saatnya ruku'.
Ia tak lagi bisa berkonsentrasi di rakaat-rakaat berikutnya termasuk dalam shalat Witir-nya. Ia terlalu sibuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak tertidur, dan apa yang terjadi padanya bukanlah sebuah mimpi. Ia yakin sekali semua itu bermula saat ia baru saja meng-aamiin-i surat Al-Fatihah yang ia baca dalam hatinya. Tapi mengapa bisa ia mengalami hal seperti itu dalam keadaan di atas sadarnya? Aneh sekali. Keanehan itulah yang menyelimuti pikirannya sepanjang prosesi perjalanan pulangnya.
Dan ketika tempat tinggalnya sudah terlihat dari kejauhan, anaknya bertanya, "Papa mau dinner, nggak?" Aku lalu menjawab, "Nggak ah, papa nggak mau kenyang. Buka puasanya tadi sudah cukup."
"Kalau gitu, aku juga nggak akan dinner", timpal anaknya.
"Kenapa? Kalau mau makan ya makan saja", ia berusaha memberi motivasi pada anaknya.
"Kalau papa makan, aku juga makan".
"Koq gitu? Papa khan sudah nggak tumbuh lagi, jadi papa nggak perlu makan"
"Tapi aku masih agak kenyang, Pa".
"Ya kalau masih kenyang kenapa mau ikut makan juga kalau papa makan?"
"Ya biar papa nggak makan sendirian"
Ia kembali terdiam, dan rupanya anaknya juga tak nampak ingin melanjutkan pembicaraan. Ia lalu bertanya lagi dalam hati, apakah hal-hal seperti ini yang dimaksud oleh suara tadi? Mungkinkah ia tak menyadari bahwa sikap anaknya itu juga merupakan sebuah berkah buatnya? Yang ia sering tak mensyukurinya karena bukanlah sesuatu yang spesifik yang ia minta dalam doa-nya? Sesuatu yang harusnya bisa menenangkannya ketika hatinya sedang kalut dan situasi hidupnya sedang sulit. Ia jadi sadar betapa kecil hatinya dan egois pikirannya hingga ia mampu menentukan sendiri batas kesabarannya.
Ya Allah...aku tidak tau dan
tak perlu tau siapa pemilik suara tadi. Tiada pula aku pantas
mempertanyakan apa yang telah terjadi dalam shalatku. Tapi ampunilah aku atas kelancanganku, dan biarkanlah aku mensyukuri segala bentuk keberkahan
yang telah Kau turunkan buatku. Karena sesungguhnya berkahMu tak harus
selalu tepat pada sasaran yang aku incar, tapi selalu tepat pada apa yang Kau
kehendaki..aamiin.