Tuesday, December 3, 2013

Sepatu Pembawa Berkah

Mimpi itu begitu indah ketika aku dipertemukan lagi dengan ayahku. Seperti semasa hidupnya, aku memang lebih sering bertemu ibuku mengingat kesibukan ayahku yang begitu hebatnya. Dan meskipun harus diomelin ayahku, aku selalu menganggap apapun yang dilakukannya kepadaku adalah suatu tanda kecintaannya padaku dan betapa beliau masih memperhatikanku disela-sela kepadatan jadwal kerjanya.

Itulah yang terjadi dalam mimpiku semalam ketika aku kena semprot beliau hanya karena ia tidak suka melihat sepatu yang kupakai. Buatnya, kondisi sepatuku berada jauh di bawah standard-nya meskipun terlihat sah-sah saja buatku. Sepatu yang kupakai itu memang tidak sebaik dan semengkilap kembarannya, yang jarang dipakai dan masih tersimpan apik di rumahku, namun (buatku) masih layak pakai. Satu hal yang aku sukai dari sepatu ini adalah sol-nya yang sudah aus sehingga memungkinkanku untuk sering bermain prosot-prosotan di atas lantai.


"Sepatu sudah dekil begitu koq masih dipakai?", kata ayahku emosi.

"Begini koq dekil sih Pap?", aku membela sepatu yang seringkali aku semir untuk menghilangkan kesan kusamnya.

"Ya dekil lah. Coba lihat itu pinggirannya sudah mbrodol jahitannya gitu"

"Khan nggak keliatan karena ketutup celana, Pap"

"Nggak peduli (ini phrase khas dari ayahku). Kalau duduk khan celananya terangkat...khan kliatan jadinya. Nggak punya sepatu lain?"

"Ada sih Pap...persis seperti ini"

"Dekil juga??"

"Ya nggak lah, Pap. Jarang dipakai jadi masih mengkilap koq."

"Kenapa nggak dipakai?"

"Khan buat serep kalau yang ini jebol"

"Pakai saja yang itu. Yang ini dibuang!"

"Nah terus kalau yang itu jebol? Khan jadi nggak ada serepnya."

"Ya beli lagi! Uang begitu banyaknya koq pelit buat beli sepatu?"



Yang aku ingat dari sisa mimpi itu hanyalah bagaimana aku merasa geli mendengar bagian terakhir dari omelannya itu. Beliau memang sama sekali tidak menyebut seberapa kayanya aku atau mengindikasikan dari mana aku mendapatkan begitu banyak uang seperti yang diungkapkannya, namun aku mengakui kebenarannya.
Dan ketika aku terbangun, kegelian itu masih kurasakan. Entah dari mana asalnya, somehow aku berasumsi bahwa kekayaan itu aku dapatkan dari keberhasilanku dalam menjalankan amanahnya mengurus usaha yang ditinggalkannya kepada semua anaknya.

Satu hal lagi yang aku tidak mengerti dari mana asalnya namun jelas terbentuk dalam mindset ku adalah bahwa aku tau pasti beliau mengarahkan aku pada toko-toko sepatu ternama di Amerika yang menjadi tempat langganannya belanja sepatu. Tidak pernah terbayang sebelumnya jika aku akan pernah belanja sepatu di toko-toko itu, namun dalam mimpiku kemungkinan itu jelas dapat terlaksana dengan mudah.

Apakah ini suatu ramalan terselubung atas masa depanku? In shaa Allah begitu. Aamiin.
Yang jelas sepatuku menjadi hal yang membuat mimpiku indah. Sebuah berkah buatku.




Thursday, November 14, 2013

Broadcast

Lagi-lagi aku menulis postingan soal agama. Suatu hal yang sering aku hindari karena aku bukanlah ahli agama dan juga tidak suka menuai masalah. Tapi kali ini aku dibuat terkagum-kagum oleh hal yang dilakukan kakakku dua hari yang lalu.


#Puasa dibulan Muharram,pada Taasu'a(9 Muharram) dan hari ‘Asyura (10 Muharram)#

Bismillah,

Insya Allah Ta’alaa Puasa

9 Muharram jatuh tanggal 13-11-2013 (hari Rabu)
10 Muharram jatuh tanggal 14-11-2013 (hari Kamis)

Dianjurkan berpuasa pada tanggal sembilan muharram,berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata: tatkala Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Mereka (para shahabat) berkata:wahai Rasulullah,itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara. Maka bersabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam : jika tiba tahun yang berikutnya,insya Allah kita pun berpuasa pada hari kesembilan. Namun belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam wafat.” (HR.Muslim:1134)

Hadits Abu Qatadah bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura,maka beliau menjawab:


يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ


“menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (HR.Muslim:1162).



Begitulah tepatnya isi broadcast yang ia terima di hape-nya. Sengaja aku copy/paste-kan lengkap dengan tulisan aksara Arab-nya agar aku tidak salah tulis atau dianggap meng-edit konteksnya.
Maka beginilah ia merespon broadcast tersebut:


Menyimak cerita diatas:
Nabi Muhamad SAW bersabda: insya Allah (yg berarti atas ijin Allah) kita pun berpuasa pada hari kesembilan. Namun belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam wafat.
Yang menjadikan bahwa Allah tidak mengijinkan beliau dan para sahabatnya untuk berpuasa bersama-sama pada hari kesembilan tsb.


Yang aku kagumi darinya adalah bahasa halus dan sopan yang digunakan dalam mengungkapkan apa yang ia percaya benar tapi bisa dikatakan penentangan terhadap pesan yang terkandung dalam broadcast tersebut. Begitu santunnya hingga tentangan itu bisa jadi mencegah keinginan si pengirim broadcast untuk mendebatkannya jika bukan karena memang respon kakakku sangat masuk akal.

Aku menemukan banyak kesamaan prinsip beragama dengan kakakku yang satu ini. Mungkin karena kami pernah menjalani masa muda yang serupa dengan segala perjuangan terhadap tantangan hidup yang serupa pula. Sehingga kami sama-sama menilai banyak hal dengan logika yang menjadikan kami anti-fanatisme dalam beragama. Kami masih sering tukar pendapat tentang agama dan meskipun sesekali kami punya pengartian yang berbeda, dengan mudahnya kami menyudahinya secara damai dan ikhlas tanpa perlu saling berusaha untuk menjadi yang lebih benar.

2 hari belakangan ini adalah hari-hari ke 9 dan 10 bulan Muharram, yang dianggap banyak orang sebagai hari mustajab yang jika diisi dengan berpuasa niscaya puasanya akan memberikan imbalan yang berlipat-lipat. Ada yang mengatakan imbalannya puasa setahun, ada juga yang bilang pengampunan dosa selama setahun, dan lain sebagainya. Mengapa ada anggapan seperti itu? Sederhananya karena itulah yang tersebut dalam hadits di atas.
Aku tidak menentang puasa tersebut, namun yang tidak aku suka adalah mereka yang memperlakukannya sedemikian rupa sehingga terkesan sebagai suatu keharusan. Dari yang kesal jika himbauannya untuk menjalankan puasa tersebut tidak diindahkan, hingga yang berani menghakimi orang sebagai pendosa jika tidak menjalankannya.

Bedanya dengan kakakku, aku berulang kali berdiam menahan keinginan berkomentar dalam menghadapi kaum yang suka memberikan rupa mengerikan pada agama atau bahkan pada Tuhan dengan cara mengumbar ancaman hukuman yang berat bagi siapapun yang dinilainya berdosa. Ironisnya, hal tersebut sudah merembet ke hal-hal yang hanya formatnya sunnah, bukan wajib. Aku menahan diri karena aku memang bukan (lagi) seorang pendebat yang umumnya punya ideologi harus memenangkan setiap perdebatan. Aku justru menghindar dan menarik diri sebelum aku terjebak dalam arena perdebatan yang sangat mungkin mempertemukan aku dengan lawan yang memaksaku untuk percaya pada fahamnya yang dianggap paling benar.

Semua insan manusia punya hak untuk berpendapat dan aku hargai pendapat mereka. Perbedaan faham itu adalah variasi hidup yang dianugerahkan dariNya sehingga harusnya dimengerti dan diterima dengan baik oleh semua orang. Harusnya orang dengan mudah bisa menerima perbedaan tanpa harus merubahnya jika tidak dirasa perlu. Pada akhirnyapun, kelak di hadapanNya semua kembali pada individu masing-masing dimana segala keduniawian akan ditanggung sendiri-sendiri. Bak saat umat Islam berada di tanah suci, harusnya tak seorangpun yang punya waktu untuk mengurus orang lain yang punya faham berbeda agama dalam menjalani hari-harinya sebagai tamu Allah swt.


Insya Allah mereka, baik yang berpuasa sunnah maupun yang tidak, sama-sama berlimpah berkah dariNya. Aamiin.
  

 

Tuesday, November 5, 2013

Jinx

Seorang teman bercerita tentang perkara yang baru ia alami akhir minggu kemarin. Mobilnya yang tengah dalam posisi terparkir di sisi jalan diserempet mobil lain sehingga dudukan kaca spionnya patah terhantam kaca spion mobil lainnya itu. beruntung temanku itu memang sedang berada di dalam mobilnya sehingga ia lalu dapat mengejar dan menghentikan mobil yang menyerempetnya. Maka setelah melalui negosiasi dan tawar menawar biaya dan upaya penggantian kerusakan yang ada kedua belah pihak mencapai kesepakatan secara damai.
Ceritanya lumayan seru karena ia juga menceritakannya dengan penuh semangat mengingat ia sempat khawatir jika urusan ini jadi bertele-tele dan mungkin berujung pada pertikaian yang buntu. Namun aku justru tertarik pada fakta yang bisa mengukuhkan pola pemikiranku yang selama ini ditentang banyak orang yang notabene kuanggap religius.

Aku selalu kesal dengan mereka yang menanggapi suatu musibah dengan nasehat atau himbauan agar kita seharusnya membaca doa-doa tertentu agar terhindar dari musibah. Pendek kata, seolah dengan membaca doa-doa tertentu kita akan (pasti) terhindar dari petaka. Lalu ketika kita telah membaca doa tertentu tapi masih mengalami musibah, berarti doa yang kita panjatkan belum lengkap atau bahkan salah.
Kejadian yang dialami temanku kemarin itu telah membuktikan bahwa musibah tetap saja menghampirinya bahkan ketika ia tidak sedang mengemudi dan mobilnya diparkir di posisi yang pada tempatnya. Sama halnya dengan orang yang memutuskan untuk tidak keluar rumah agar ia tidak mengalami kecelakaan tidak berarti ia akan terhindar dari kecelakaan. Umpamakan saja ia tengah bersantai dududk di atas sofa yang nyaman menikmati cemilan sambil menonton tv tiba-tiba diseruduk sebuah truk tronton yang rem-nya blog, kehilangan kendali dan menerobos tembok rumahnya.

Bagiku seburuk-buruknya musibah adalah perkara yang sudah disuratkan pada siapapun yang mengalaminya, baik itu dicoba dihindarinya atau tidak. Bukan berarti Tuhan tidak adil dengan menuliskan sesuatu yang buruk untuk terjadi pada manusia, namun aku yakin bahwa justru hal buruk yang dialami manusia merupakan pengimbang dari kebaikan yang kesemuanya hanya menunjukkan betapa adilnya Tuhan. Hanya saja manusia cenderung picik untuk bisa melihatnya. Sangatlah manusiawi jika di kala sedang ketiban sial, seseorang tidak ingat akan segala kebaikan yang pernah diterima sebelumnya. Aku tidak menganggap pemanjatan doa adalah hal yang sia-sia, namun aku tidak juga menganggapnya sebagai tiket jaminan untuk mendapatkan segala kebaikan atau untuk menolak bala. Aku meminta dalam doa keselamatan dan segala kebaikan dengan catatan aku juga harus ikhlas menerima ketentuanNya yang wujudnya justru bertolak belakang dari yang jadi pengharapkanku. Disitulah aku menjadi lebih realistis dalam berharap dari apa yang kuminta dari Tuhan.

Jadi...cukup lah kita mengutarakan rasa keprihatinan kita pada orang yang sedang atau telah menerima sebuah musibah tanpa kita harus mencoba mengajarkan orang teori ilmu yang bisa saja kelak akan membuatnya tambah kecewa jika terbukti tidak manjur buatnya.




Friday, November 1, 2013

Konsep Keikhlasan

Kemarin sore ketika aku tengah mengobrol dengan kakakku sambil menunggu hujan badai mereda, ia bercerita tentag pengalamannya mengalami sebuah tabrakan.

Ceritanya, saat mengantri di sebuah gerbang tol ia sempat memperhatikan papan pengumunan elektronik yang memuat info situasi di jalan tol yang siap ia telusuri. Konsentrasinya yang terbagi inilah yang membuatnya kurang memperhatikan laju kendaraan yang ada di depannya, sehingga ketika kendaraan itu tiba-tiba kembali berhenti, refleks dadakannya dalam menghentikan mobilnya tidak mengelakkannya dari menabrak kendaraan tersebut. Tabrakan ringan itu tetap menyebabkan keretakan kecil pada bemper mobil didepannya yang terbuat dari bahan fiberglass.

Singkat cerita, kakakku terlibat dalam pembahasan tentang besarnya ganti rugi dari kerusakan ini. Mobil sedan tua yang ditabraknya itu ternyata berisi 5 pemuda yang semuanya mengenakan baju koko dan kopiah seolah mereka santri. Ketika kakakku menawarkan uang sebesar Rp. 150.000 untuk mengganti biaya perbaikannya, pemuda yang mengendarai mobil terlihat merasa tidak puas dengan tawaran tersebut. Padahal, kakakku merasa uang tersebut sudah lebih dari cukup untuk kerusakan kecil terutama yang terjadi pada mobil tua yang kondisinya memang jauh dari mulus.

Dengan sopan, kakakku mencoba meminta pengertian pemuda itu bahwa hanya sejumlah itulah uang yang ada padanya saat itu sampai ia memperlihatkan isi dompetnya. Kakakku bahkan mengusulkan untuk bersama ke atm agar ia dapat mengambil kekurangan dana bila dirasa perlu. Dan segera setelah usulan itu dilemparkan, pemuda lain yang tadi duduk di sebelah pengemudi, yang rupanya pemilik mobil tersebut setelah dari awal hanya mendengarkan kemudian angkat bicara. Ia segera menyepakati jumlah uang yang ingin ditawarkan kakakku.

Ketika kakakku menyerahkan dana pengganti tersebut, pemilik mobil itu bertanya pada kakakku, "jadi hanya sejumlah ini saja yang bapak akan berikan kepada saya khan?"

"Hanya itu saja yang ada pada saya saat ini", jawab kakakku.

"jadi kalau saya terima uang ini, urusan kita tuntas, khan?, tanyanya lagi.

"Kalau mas anggap tuntas, saya anggap tuntas juga".

"Bapak ikhlas memberikan uang ini pada saya?"

"Tentu saya ikhlas", kakakku merespon.

"Alhamdulillah. Kalau begitu saya terima uang ini dengan ikhlas juga. Dan urusan kita sudah beres atas kesepakatan bersama ya?"

"Alhamdulillah iya mas. Sekali lagi saya minta maaf atas kesalahan saya dan terima kasih atas pengertian mas."

Baru saja kakakku selesai berbicara, dengan uang yang ada di tangannya, pemuda itu menyalami tangan kakakku kemudian melepaskan genggamannya sambil meninggalkan semua uangnya di tangan kakakku.
Tentu saja hal ini mengejutkan kakakku yang awalnya mengira uang itu secara tidak sengaja tertinggal di tangannya, namun ketika hendak dikembalikan padanya ia menolak,

"Bapak sudah berniat dan melakukan hal baik dengan ikhlas, itu yang penting buat saya. Apa yang terjadi pada mobil saya adalah musibah. Saya tidak mau bapak jadi tersusahkan oleh kejadian yang bisa kapan saja tejadi pada siapa saja termasuk bapak. Saya juga ikhlas mengembalikan uang itu kepada bapak", jelasnya kepada kakakku.

Kepadaku kakakku mengaku ia sangat terharu dengan tindakan si pemilik mobil ini. Ia lalu menarik pelajaran berharga dari kejadian ini dimana sebuah pengorbanan yang terlihat tidak menguntungkan belum tentu terasa tidak mengenakan bagi pelakunya. Ia menyaksikan sendiri bagaimana pemuda itu berpisah darinya dengan kuluman senyum yang sama sekali tidak mengindikasikan kekecewaan bahkan justru memancarkan kepuasan. Mungkin saja kepuasan karena berhasil membuat kakakku terpaku keheranan hingga tak mampu berkata-kata saat ditinggalkannya. Yang jelas kepuasan itu berhasil dimilikinya tanpa harus merenggut kebahagiaan orang lain. Betapa ia bahkan telah menciptakan kebahagiaan tersendiri dalam diri kakakku. Sungguh suatu hal mulia yang tidak mudah dilakukan begitu saja oleh banyak orang.

Jika dengan melakukan hal seperti itu kita tidak hanya menciptakan kebahagiaan bagi orang lain tapi juga mendapat ketenangan jiwa, terbayangkah seperti apa hari-hari kita jika semua orang mengeksekusikan konsep pemikiran yang sama? Indahnyaaa....




Thursday, October 17, 2013

Tugas Baru

Antara bergairah dengan cemas aku beranjak dari kursi di kantorku yang telah sekian tahun lamanya menjadi singasanaku dalam menjalankan roda pekerjaanku. Ini bukan kali pertama aku meninggalkan kantorku untuk memulai usaha baru, tapi baru kali ini aku beranjak pergi untuk memulai karirku sebagai seorang pegawai. Jika selama ini aku selalu menjadi "petinggi" di semua usaha yang aku geluti karena memang aku menjadi salah seorang pioneernya, kali ini aku harus beranjak pergi untuk memulai karirku sebagai seorang karyawan biasa yang punya beberapa orang boss. Ya, kali ini aku akan bekerja dengan jam kantor yang umumnya diterapkan di kantor-kantor lain tanpa pengecualian. Sementara itu, aku juga baru hari ini bisa melihat tempat kerja yang disediakan buatku tanpa sedikitpun gambaran tentangnya.

Aku sudah lama ingin menjadi bagian dari perusahaan yang tiga tahun belakangan ini aku perjuangkan legalitasnya setelah digonjang ganjingkan dengan berbagai aksi serobot menyerobot antara banyak pihak termasuk para petingginya. Sebuah amanah suci yang kupanggul di atas pundakku menjadi alasanku untuk bergabung di dalam perusahaan ini. Maka meskipun aku sempat diberi keleluasaan untuk memilih jabatan yang tersedia, aku hanya menyerahkan keputusannya pada papa pimpinan perusahaan karena buatku yang terpenting adalah aku bisa ikut mensukseskan usaha apapun yang dijalankannya. Hal inilah yang membuatku bergairah dalam menyambut hari pertamaku di perusahaan ini. Namun kecemasan itu juga hadir mengingat selama ini aku tidak pernah merasa terikat pada peraturan yang aku berlakukan sendiri. Dan kalaupun aku merasa ada peraturan yang memberatkan, dengan mudah aku ubah dan sesuaikannya dengan keinginanku.

Ketika aku tiba di tempat kerja baruku, baru ada seorang karyawan lain yang sudah aku kenal sebelumnya. Ruang kantor ini tidak besar sehingga hanya satu orang saja yang mendapatkan ruangan pribadi sementara aku sendiri ditempatkan dalam cubicle yang bisa memuat 4 karyawan yang 2 diantaranya duduk membelakangi 2 orang lainnya. Terbatasnya privacy buatku mungkin akan menuntut beberapa saat buatku untuk menyesuaikan diri termasuk dalam hal berbicara di telpon atau penggunaan komputer, namun aku sadar bahwa posisiku memang menuntut lebih banyak keseriusan dalam menjalankan tugas-tugasku yang memang sangat diperlukan dalam kelangsungan hidup perusahaan yang baru saja mengalami perombakan signifikan dalam struktur organisasinya. Jadi memang aku kini berada dalam lingkungan yang terbilang "kaku" buat ukuran orang sepertiku.

Meski begitu, hari pertamaku berjalan cukup santai mengingat kami masih berada dalam suasana orientasi pada sesama pegawai dan penataan tempat kerja. Lagipula memang belum semua posisi jabatan komplit terisi sehingga materi pekerjaan juga belum sepenuhnya dibagikan. Asupan dari presiden komisarispun juga cenderung ringan yang intinya mengingatkan tentang kekompakan dalam kinerja semua karyawan. Aku dan para pekerja lainnya masih perlu menyesuaikan diri dengan segala ketetapan yg diterbitkan oleh pihak pengelola gedung yang tidak aku berlakukan dalam perusahaan yang aku pimpin sebelumnya. Dan di penghujung jam kerjaku, aku masih merasa canggung menerima kenyataan bahwa aku memang tidak diperkenankan berlama-lama berada di areal gedung yang memberlakukan batasan pemakaian listrik termasuk jam pemadaman lampu dan pendingin ruangan.

Disaat banyak orang yang kesal sambil menggerutu atau mengeluh atas kemacetan yang menjebaknya selama berjam-jam menuju tempat tinggalnya, aku justru tersenyum sendiri mencoba menikmati hal yang tidak biasanya aku temui karena selama ini aku bisa memilih sendiri waktu yang tepat untuk meninggalkan tempat kerjaku dan terhindar dari kepadatan jalan yang harus aku lalui. Paling tidak, perjalanan yang mungkin membosankan buatku kelak nanti saat itu menjadi suatu petualangan baru buatku. Aku mungkin kelak bisa ikut mengeluh atau tetap tersenyum menerimanya dengan ikhlas. Bagaimanapun juga aku menyikapinya, aku sadar bahwa semua adalah romantika kehidupanku yang tak mungkin aku prediksi sebelumnya. Alhamdulillah.....



Monday, October 14, 2013

Trauma

Biasanya daya ingat seorang anak kecil lebih tajam dari orang dewasa, apalagi orang dewasa seumurku. Kalau aku masih bisa mengingat dengan jelas peristiwa mengenaskan sekitar setahun silam tatkala aku dan anak sulungku kena seruduk sapi lepas dalam acara sembelih qurban, tentunya anakku itu lebih tidak mungkin lagi melupakannya. Bahkan hal ini seolah masih memberinya rasa ngeri yang besar sehingga ia menolak untuk ikut hadir menyaksikan pemotongan hewan qurban kami besok. Rasa sakit yang begitu hebat yang dideritanya ketika itu telah membuatnya trauma dan takut jika kejadian seperti itu terulang lagi.

Aku mengerti betul posisinya dan suara hatinya, namun aku juga tidak ingin ia dikalahkan begitu saja oleh rasa takut yang harusnya justru bisa ditaklukannya. Apalagi aku sudah terlanjur menggunakan namanya sebagai pemilik hewan yang siap aku qurbankan besok. Aku mengatakan padanya bahwa segala yang terjadi, baik atau buruk, adalah ketentuan Illahi yang tidak mungkin dihindari bila sudah menjadi suratannya. Bahwa semua merupakan misteri itulah yang kemudian memberikan kita tantangan untuk siap menghadapi yang terburuk dan menggunakan akal logika kita dalam memecahkan berbagai masalah yang kita temui.

Jika aku biarkan trauma menghantuiku, aku tentu telah lama tidak mengendarai motor sejak aku terjatuh hanya karena aku bercanda dengan kakakku kemudian hilang keseimbangan. Atau setelah terjatuh karena menghindari adik kelas adikku yang menyebrang jalan sembarangan sehingga membuatku dirawat di rumah sakit selama 2 minggu karena mukaku terseret di atas aspal sejauh 5 meter. Memang, jika aku saat dulu langsung menyerah dan memutuskan untuk tidak mengendarai motor lagi, mungkin saja aku tidak akan pernah mengalami kecelakaan fatal yang menyebabkan tulang keringku patah sehingga perlu dioperasi dan disambung dengan sebuah plat besi dan 12 pin selama setahun. Tapi aku menganggap kecelakaan itu sudah menjadi milikku untuk aku alami, sehingga semua yang telah berlaku diatur sedemikian rupa sampai aku harus mengalaminya.

Ada kekhawatiran dalam diri anakku akan terulangnya kembali peristiwa naas yang dialaminya tahun kemarin. Tapi ia harus menyadari bahwa hal itu bukanlah sesuatu yang mudah terjadi dan bukan peristiwa yang akan membatasinya dalam menjalani hari-harinya. Meski hal serupa mungkin saja masih bisa terjadi lagi dengan skema yang jauh berbeda, bukanlah berarti ia tidak bisa menempatkan dirinya di posisi yang dianggapnya aman. Dan satu hal yang pasti, keikhlasannya tentu akan membuatnya tenang dan percaya bahwa apa yang terjadi padanya adalah apa yang telah ditakdirkan olehNya untuk dirinya. Aku cukup meyakinkannya bahwa apapun yang terjadi, segala konsekuensinya menjadi berkah untuknya di saat ia telah sepenuhnya siap menerima apapun dengan keikhlasan penuhnya.

Aku berpesan pada kedua putraku agar mereka tidak membiarkan diri mereka dihantui rasa trauma karena rasa itu hanyalah simbol dari keraguan dan ketakutan kita pada seusatu yang tidak absolut sifatnya. Kalau mereka tidak ingin melakukan sesuatu karena mereka memang tidak suka melakukannya, dalam arti suatu hal yang tidak bermanfaat, maka mereka boleh saja menghindarinya. Namun aku juga menghimbau mereka untuk melakukan hal-hal yang berguna meskipun mereka mungkin tidak menikmatinya. Aku hanya tidak ingin mereka melewatkan apa yang mungkin, secara tidak langsung, bisa memberikan kemudahan dan kebahagiaan dalam hidup mereka kelak.



Monday, September 23, 2013

Kembali

Pada akhirnya, engkau akan melihat sendiri sekokoh apa pilar yang selama ini kau anggap kuat untuk menopang atap yang menaungimu. Mungkin kau sudah muak dengan apa yang telah kulontarkan meski dibalik itu hanya ada itikad baik. Mungkin juga himbauan dari orang-orang lain yang hanya terdengar sebagai cemoohan olehmu sudah membuatmu menutup telinga rapat-rapat. Tapi apakah kau tidak ingin menelaah lebih jauh tentang apa yang dibisikkan bahkan diteriakkan ke telinganmu dengan kepositifanmu? Tidakkah kau menganggap kau, sebagai manusia yang layak berbuat salah, perlu juga mendapat asupan yang bisa membuatmu lebih baik?

Aku bukan ingin mengajarimu karena aku merasa paling benar. Aku hanya ingin berbagi denganmu apa yang selama ini aku anggap benar. Itu artinya, akupun bisa salah dan kau bisa menjadi orang yang membuatku menyadari kesalahanku lalu memberiku kesempatan untuk memperbaikinya. Dan sebagai manusia biasa, akupun bisa mengulangi kesalahan yang sama ketika aku tau aku memang seorang "slow learner". Tapi bila hal itu kemudian membuatmu menutup diri maka aku akan seterusnya berdiri di tempat yang salah. Ilmu tinggi-mu itu mungkin akan terus membuatmu melihatku di bawah sementara aku akan terus melihat ke semua arah untuk mencari tau dimana kau berdiri.

Bungkamku bukan berarti aku kecewa, tapi karena aku tidak ingin mengusik ketenangan atau kegundahan hatimu karena selama hatimu masih merasa terancam aku tidak bisa menemukan cara lain yang mungkin dapat menyejukannya. Aku tidak mungkin lagi mencoba membuatmu tersenyum dan tertawa jika itu berarti kau terpaksa mengabaikan pembelajaran yang bermanfaat buat kita. Aku hanya bisa terdiam sambil menunggu awan mendungmu berlalu ketika kembali bersedia menyapaku dengan ketulusan hatimu karena aku kau anggap sebagai orang yang berarti buat hidupmu. Aku lebih suka kau merangkulku kembali di bawah sinar matahari yang terang tapi tetap menyejukan tanpa perlu aku memohon.



Saturday, September 21, 2013

Bersih dan Aman

Sejak kecil aku memang dididik dengan cara yang terbilang ketat dalam hal kebersihan oleh kedua orangtuaku. Mungkin pada awalnya aku sempat merasa berat dalam mematuhi semua aturan yang diterapkan di dalam keluarga ayahku, aku tidak ingat, tapi yang kuingat hanyalah selama puluhan tahun sebelum aku punya anak, tidak satupun aturan kesehatan yang diberlakukan padaku itu terasa memberatkan. Mungkin saja karena setelah sekian lama digenjot dan dipaksa, aku jadi terbiasa hingga tidak lagi merasa terbebani. Lagipula aku juga tidak merasakan kerugian yang berarti setelah aku beradaptasi dengan semua aturan itu.

Aku baru mengerti sepenuhnya akan pentingnya aturan-aturan kesehatan itu diterapkan justru setelah aku menjadi orang tua. Aku jadi bisa melihat dengan lebih jelas bagaimana bermanfaatnya segala aturan itu bagiku dahulu sebagai seorang anak lelaki setelah aku punya tanggung jawab atas 2 anak lelaki ku sendiri. Bagaimana tidak? Tidak seperti anak perempuan umumnya yang lebih memilih aktifitas yang kalem, sifat ketidakacuhan dan ingin seenaknya yang ada dalam diri mereka yang tentunya juga aku miliki dulu cenderung mengarah ke pengabaian atas kebersihan dan aspek higienis. Dari mulai yang masih di lingkungan rumah seperti bermain di lantai dan teras rumah hingga di luar rumah seperti memegang bola yang telah bergulir kemana-mana termasuk masuk ke gorong-gorong sampai bergulingan di lapangan umum atau sekolah.

Sering sekali himbauanku pada mereka untuk mencuci kaki dan tangannya bahkan mandi seusai bermain mendapat respon yang mencerminkan kemalasan atau keengganan sehingga aku merasa perlu untuk menjadikannya sebagai paksaan. Semua itu tidak lain didasari oleh kepedulianku terhadap kesehatan mereka sendiri. Aku tidak mungkin membiarkan kuman dan bakteri yang terkandung dalam kotoran dan debu mengancam kesehatan mereka melalui makanan atau karena mereka mengucek matanya dengan tangan kotornya. Aku juga tidak ingin kuman dan bakteri itu tersebar di tempat duduk atau tempat tidur mereka yang harusnya menjadi tempat yang higienis dan aman buat kesehatan mereka.

Mungkin saja mereka kemudian dicap ribet oleh teman-temannya seperti halnya aku dulu. Mungkin saja mereka menganggapku kolot seperti bagaimana aku mungkin pernah menganggap orangtuaku dulu. Mungkin juga mereka lalu menyimpan rasa kekesalan padaku di balik kepatuhan mereka terhadap aturan yang kuterapkan pada mereka. Yang jelas, apa yang aku lakukan bukanlah upaya balasdendam sebagai pelampiasan kekesalanku dulu tapi murni karena sebagai orang tua, aku wajib mengajarkan pola hidup bersih kepada anak-anakku dan menjaga kesehatan mereka. Mulai dari mana lagi mereka harus belajar kalau bukan dari rumahnya sendiri?




Wednesday, September 4, 2013

Berjaga-jaga Dalam Keikhlasan

Setelah menimbang-nimbang dan menggantungkan sepanjang akhir minggu, akhirnya dengan konsultasi dan anjuran dari seorang teman dekatku, aku terbitkan juga tulisanku yang terakhir kemarin. Nasihatnya meyakinkanku untuk tetap konsisten pada keinginan menjauhi kemunafikan diri, sehingga aku menyertakan keikhlasanku dalam menerima anggapan senegatif apapun tentang diriku dari setiap orang yang membacanya.

Lalu selang beberapa jam kemudian ada sebuah tawaran yang disentilkan kepadaku lewat SMS. Tawaran ini begitu menggiurkan sehingga agak sulit dipercaya kalau bisa terealisasi meskipun sangat masuk di akal. Isinya tidak penting, tapi bahwa itu tergolong kabar yang baik aku jadi mulai bertanya-tanya akan makna dibaliknya mengingat apa yang telah kupublikasikan kemarin. Ini bisa menjadi jalan keluar atas kesulitan yang tengah aku hadapi, atau malah tempaan ujian yang lebih berat lagi buat aku hadapi.

Entah apa lagi yang akan aku temui di depan sana, wallahualam. Yang jelas sekali lagi aku diberi olehNya kesempatan untuk menggodok keikhlasanku baik-baik. Ibarat memasak mie instan yang katanya mengandung bahan semacam lem, aku harus cukup bijaksana dalam menentukan waktu yang tepat untuk mematikan api. Kelihatannya memang mudah, namun tiap detik sangat berarti dalam mendapatkan wujud mie yang tidak hanya sesuai dengan keinginanku tapi juga baik buat kesehatanku. Aku harus berhati-hati dalam menyikapi berita yang aku dapat semalam karena aku hanya akan menjadi orang yang bodoh jika sekarang bersorak-sorak kegirangan atas apa yang nantinya ternyata tidak kudapatkan.

Ini bisa jadi bukan kali pertama aku kejatuhan durian rontok, tapi bisa juga jadi untuk kesekian kalinya aku terjerembab dalam lubang. Ada yang bilang bahwa doa seseorang akan terkabul disaat dia sudah sampai di titik terujung keikhlasannya, sementara yang lain beranggapan terjadinya justru setelah batas keikhlasan itu terlewati. Buatku keduanya tidak mustahil terjadi karena Allah sudah menyiapkan konsep kalam yang berbeda-beda bagi setiap umatNya. Semuanya misteri Illahi yang akan diketahui manusia hanya ketika sedang berlangsung, tidak seperberapa detik pun sebelumnya. Tinggal keikhlasan saja yang bisa dijadikan andalan dalam menyambut kehendakNya.

Insha Allah mukjizat itu memang menjadi milikku tanpa aku harus kehilangan keikhlasanku. Aamiin.



Tuesday, September 3, 2013

UntukMu

Aku sangat percaya bahwa semua yang terjadi padaku adalah bagian dari kalamku. Seberapapun buruknya kesengsaraan yang aku derita tentunya memang itu yang Kau sediakan buatku seperti halnya semua kebahagiaan yang diikuti dan mengikutinya. Tanpa harus mempertanyakan misteri alasanMu di balik penulisannya, aku percaya akan keagunganMu. Sifat Maha TauMu meyakinkanku bahwa Kau tidak akan pernah dikejutkan oleh apa yang akhirnya kulakukan disaat aku melewati batas kesabaranku karena semua adalah kehendakMu.

Kau telah menetapkan ukuran cinta yang kumiliki untukMu, yang sering tidak kutunjukkan dalam perilaku maupun kata-kata yang manis dalam keseharianku. Kau juga telah menentukan waktu dan tempat yang tepat buatku untuk bersyukur dan memujaMu ataupun berputusasa dan memakiMu. Disaat sekarangpun aku tau Kau masih memperhatikanku menjalani sisa kesabaranku sambil mulai berpaling dariMu seperti yang telah Kau tulis dalam kalamku.

Keyakinanku kian melemah dan imanku makin menggoyah seiring dengan kekalutan pikiranku yang entah untuk berapa lama, hanya Kau yang tau. Dan sebelum terlambat...sebelum imanku pada diriMu dapat memudar setiap saat, izinkanlah aku memohon ampun atas kegagalanku dalam berikhlas lebih jauh, dan berikanlah aku satu kesempatan lagi untuk berikhlas dalam menerima ganjaran atas apa yang akan kuperbuat disaat keimanan tidak menyertaiku lagi, seberat apapun itu. Izinkanlah pula aku untuk berterima kasih atas ketulusan hati yang paling tidak telah mendasari kejujuranku terhadap diriku sendiri hingga aku bisa sampai di tempatku berada saat ini. 



Aku yakin Kau mengerti karena semua adalah kehendakMu ...

Wednesday, August 28, 2013

Sajian Yang Menggiurkan

Pagi ini, selagi membaca postingan tentang situasi di Mesir dan Suriah, tiba-tiba aku teringat cerita ibuku dulu ketika aku duduk di bangku kelas 2 SD. Cerita seram tentang sebuah rumah yang aku tidak ingat lagi sama sekali dimana letaknya, namun sering dilewati oleh ayahku setiap beliau mengajak kami sekeluarga berkeliling kota dengan mobilnya. Rumah itu keliatan tidak berpenghuni memang, karena taman di depannya tampak tak terurus sampai dipenuhi rumput yang tumbuh tinggi tidak beraturan. Di malam hari lebih jelas terlihat keterbengkalaiannya karena meskipun kondisinya masih kokoh dengan jendela dan pintu yang masih lengkap dan utuh, rumah moderen berlantai satu dengan ukuran lebih kurang 200 meter persegi ini sangat gelap. Satu-satunya sumber cahaya yang sedikit meneranginya hanyalah lampu jalanan yang remang-remang.

Kata ibuku, rumah ini dihuni oleh setan yang dulunya sempat dipercaya bisa mengabulkan permintaan siapapun yang meminta kepadanya. Dan tidak sedikit orang yang mencoba menjajal mitos tentang rumah pesugihan ini tapi gagal, sampai akhirnya ada sebuah pembuktian dari seorang pendatang dari luar kota yang kesehariannya bekerja sebagai penjual roti keliling. Ia meninggalkan istri dan seorang anaknya di Jawa Tengah untuk mengadu nasib di Jakarta. Namun karena penghasilan yang didapatkan kurang mencukupi, ia lalu mencoba mendapatkan kekayaan dengan cara yang instan.

Pendeknya, setan berjanji akan memberikan apa yang dimintanya dengan syarat ia harus juga melakukan apa yang diminta setan. Kesepakatanpun dilakukan dan setan menyajikan sepiring ayam goreng yang harus dihabiskannya. Entah karena tergiur dengan janji setan ataukah ayam itu memang lezat, ia memakannya dengan lahap tanpa ditemani nasi atau lauk lainnya. Berawal dengan kedua paha dan paha atas yang juicy, lalu sayap dan badan. Sebenranya, ia merasa jijik sehingga tidak pernah suka makan kepala ayam, namun karena setan mengingatkan untuk menghabiskannya sesuai dengan kesepakatan, maka dengan sedikit risih perlahan ia gerogoti daging di leher dan kepala ayam tersebut.

Kekayaan yang diharapkannya belum kunjung hadir ketika beberapa hari kemudian ia mendapat kabar tentang anak semata wayangnya yang meninggal secara misterius. Ia begitu kaget ketika sesampainya di rumah, istrinya mengisahkan bagaimana tiba-tiba anak mereka menjerit-jerit merasakan sakit yang menggerogoti sekujur tubuhnya dengan urutan persis seperti ketika ia melahap ayam itu. Ketika hal itu terjadi, tidak seorangpun mengetahui apa penyebabnya selain praduga adanya pengaruh santet atau kesurupan.
Soal kekayaan instan itu sendiri, akhirnya memang ia dapatkan dalam bentuk sumbangan yang cukup besar dari warga di kampungnya, karyawan dan pihak perusahaan dimana ia bekerja karena rasa iba yang begitu besar atas kematian misterius yang dialami seorang anak kecil.

Ironis? Sangat!
Mitos? Mungkin saja.

Dan mengapa setelah puluhan tahun berlalu, hingga di era semoderen ini terbukti masih banyak manusia yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan apa yang diinginkannya meski itu berarti harus mengorbankan apa yang telah dimilikinya? Kita bisa punya teknologi yang jauh lebih canggih dari yang ada ketika ibuku bercerita. Dengan perkembangan ilmu selama ini. kita harusnya bisa jauh lebih pintar dari sosok sang penjual roti. Tapi itu bukan berarti setan ketinggalan zaman. Setan tidak pernah berhenti bekerja dalam menggoda manusia dan memang itulah tugasnya. Kalau kita percaya pada misteri yang dimiliki Allah swt., tentunya kita perlu percaya bahwa cara kerja setan juga sulit ditebak. Godaan setan disesuaikan dengan kondisi yang ada sehingga cara dan ujud penyampaiannya bisa selalu terlihat menggiurkan dan up-to-date. Artinya, aspek yang dijadikan kendaraan olehnya untuk mengusik ketenangan manusia bisa apa saja, termasuk hal yang harusnya menguatkan keimanan kita: agama.

Bijaksanalah dalam beragama.



Ah...teori!!

Sebenarnya sudah cukup lama aku menahan diri untuk tidak membuka mulut dan menumpahkan uneg-unegku kepada siapapun, dan mungkin kondisi seperti ini masih bisa aku pertahankan entah sampai kapan. Konsep pemikiran akan kelegaan yang didapat jika suatu masalah dishare itu tidak berlaku dalam hal ini karena aku terlalu naif untuk menganggap ada orang yang bisa sepenuhnya mengerti posisiku dan memberi asupan yang bermanfaat. Jadi aku lebih memilih diam dan memendam masalahku sebagai rahasia yang sangat mungkin perlahan menggerogoti imanku.

Ingin rasanya menyakiti fisik ini sekedar untuk mengalihkan rasa sakit hatiku, bahkan aku sering sampai beranggapan bahwa perihnya kulit yang tersayat pisau silet cukup buat melupakan perihnya hati yang tersayat. Tapi aku juga berulang kali mengingatkan diri sendiri bahwa hal itu hanya akan berlangsung untuk waktu yang relatif singkat kecuali bila aku susulkan dengan episode-episode berikutnya. Seberapa lamanyapun pengalihan itu berlangsung aku tetap sadar kalau itu tidak akan melenyapkan masalah yang kuhadapi.

Boleh saja orang menganjurkanku untuk berwudhu atau membenamkan diri pada do'a yang dalam. Tapi aku sudah membuktikan kalau tidaklah mudah berkonsentrasi pada apapun disaat pikiran sedang kacau. Sungguh aku belum menemukan jawabannya karena hingga saat inipun kemelutan dalam diriku masih saja menghantuiku tanpa kenal waktu. Ujian untuk berikhlas menerima keadaan dan belajar dari pengalaman juga bukan hal yang mudah diluluskan. Polemiknya adalah bahwa aku butuh ketenangan jiwa untuk bisa melalui ujian ini, tapi hal itu juga sulit untuk kudapatkan dengan ujian seperti ini

Aku tau aku tidak punya pilihan lain selain menunggu dan menunggu terpenuhinya pengharapan yang belum tentu juga akan terjadi. Kalau segala yang terjadi padaku adalah bagian dari kalamku, berarti bukan aku saja yang harus menerimanya dengan keikhlasan yang sempurna tapi juga mereka yang ada di sekitarku. Mungkin aku baru mudah berikhlas setelah menyaksikan sendiri bagaimana orang lain sulit menerima dengan ikhlas apa yang akhirnya terjadi padaku. Itupun kalau aku masih punya kesempatan untuk bisa berikhlas.

Teori memang selalu lebih mudah dari praktek...



Friday, August 23, 2013

Idealis

Seorang kenalan yang berteman dekat dengan seorang kerabatku punya watak yang terbilang aneh. Bermodal pengalaman mengenyam pendidikan di luar negeri selama bertahun-tahun, ia bisa dikatakan punya persepsi yang idealis terhadap berbagai aspek, bahkan yang sepele. Awalnya aku tidak terlalu menggubris sifatnya yang cenderung memancing orang untuk berdebat. Bahkan aku sering menganggap ucapan dan pernyataannya sebagai hal lucu yang bisa membuatku tersenyum. Namun belakangan ini hal itu mulai ia lakukan dalam mengungkapkan rasa ketidaksukaannya atas kondisi yang tengah aku hadapi. Yang menjadi masalah adalah bahwa  kondisi ini berlangsung antar anggota keluargaku. Jadi ia, yang sama sekali tidak punya hubungan kekeluargaan denganku meskipun berstatus sebagai teman dekat kerabatku, tidak punya posisi yang layak untuk ikut melibatkan diri di dalamnya.

Sejarah hidupnya yang sempat tercoreng oleh peristiwa pengurungan dirinya dalam bui yang berkaitan dengan penggunaan obat-obatan terlarang seolah tidak memberinya pelajaran untuk menjadi orang yang bijaksana. Justru aku berpikir, pengalaman itu membuatnya merasa lebih pintar dan berhak untuk menyuarakan isi benaknya di waktu dan tempat yang salah. Mungkin ilmu yang didapat selama berada di balik jeruji penjara justru dujadikan alasan untuk menyajikan ego-nya dalam keangkuhan. Ia sering menggunakan bahasa yang "tinggi" dengan disertai kutipan-kutipan dari orang-orang terkenal untuk mengungkapkan kekecewaannya atas apa yang tengah terjadi dalam keluargaku.

Aku lalu bertanya-tanya pada diri sendiri motif apa yang menadasari perilakunya ini. Sekedar solidaritas pada kerabatku atau politik uang? Mungkin juga karena hutang jasa, mengingat kerabatku termasuk yang dulu rajin menjenguknya ketika ia dalam penahan? Entahlah...aku memang tidak mengenalnya secara dekat untuk tau lebih banyak tentang latar belakang kehidupannya. Apapun motifnya, aku hanya menganggapnya sebagai korban "korslet otak" yang mungkin disebabkan oleh terlalu banyaknya ilmu yang diserap melebihi kapasitas yang tersedia sehingga penerapannya jadi error...tercampur aduk tidak karuan. Bisa jadi karena hal inilah juga ia, yang kini tidak muda lagi, belum punya pekerjaan tetap dan pasangan hidupnya.
Belum ada yang sanggup mengatasi idealismenya!



Wednesday, August 21, 2013

Balada Kacamata

Aku mungkin termasuk orang yang tidak mudah menyingkirkan barang-barang milikku begitu saja. Seperti halnya mendiang ibuku, aku suka menyimpan barang-barang yang punya kenangan khusus, baik itu indah atau buruk selama bisa mengingatkanku tentang pembelajaran yang pernah aku dapatkan dari kepemilikannya. Bahkan yang rusakpun akan kupertahankan jika menurutku masih punya kegunaan meskipun dengan fungsi yang tentunya berbeda, misalnya sebagai pajangan. Tidak sebagai seorang kolektor, aku tidak berburu mencari barang untuk dikoleksi, sehingga barang yang kumiliki beraneka ragam jenisnya.

Tapi aku mengakui bahwa aku tidak pandai menjaga keawetan kacamata, baik itu jenis silinder, baca maupun gelap. Sebesar apapun kiatku untuk menjaganya, sudah berkali-kali aku harus mengalami kehilangan atau kerusakan. Tidak hanya melupakan peletakannya, kehilangan itu juga bisa disebabkan karena aku kurang berhati-hati dalam menempatkannya sehingga bisa terjatuh dimana saja. Bahkan sebuah kacamata gelap mahal yang dikaitkan pada tali pengaman yang menggantung di leherku dengan mudah hancur begitu saja tertindih dadaku setelah aku tersungkur kena seruduk sapi liar di suatu acara potong qurban awal tahun ini.

Untuk aksesoris ini, aku memang berkonsep "murahan". Artinya, aku tidak berminat membayar mahal dalam membelinya karena begitu seringnya aku kehilangan. Aku lebih suka mengutamakan fungsinya tanpa memikirkan kualitas atau bahkan style-nya. Yang penting nyaman dipakai dan memenuhi kebutuhanku. Seorang teman pernah mengingatkan bahwa harga tidak membohongi. Membayar lebih untuk suatu barang setaraf dengan panjangnya umur barang tersebut sehingga kita tidak perlu terus menerus merogoh kantong untuk mengganti barang murahan yang gampang rusak. "Toh kalau diakumulasikan nantinya total pengeluaran uangnya juga akan sama", katanya.

Benar juga teorinya.
Kalau sebuah kacamata mahal yang keawetannya berlangsung selama suatu periode tertentu, mungkin selama itu pula aku telah menghabiskan dana yang sama untuk seringnya membeli sejumlah kacamata murahan. Tapi kacamataku yang luluh lantah karena ulah seekor sapi liar itu kebetulan juga bukan yang murahan. Harusnya kerugianku saat itu bisa sangat kecil kalau aku hanya mengandalkan barang murahan, khan?
Mungkin aku memang tidak layak pakai kacamata mahal..... #kalam


~dalam kelegaan karena kacamata yang kemarin hilang sudah ditemukan~


Monday, August 19, 2013

Boys Will Be Boys

Punya 2 anak lelaki yang hanya berbeda umur sekitar 1 tahun itu memang tidak mudah. Apalagi mereka sekarang sedang dalam masa-masa egonya tinggi. Hampir tiap hal bisa dijadikan pemicu kasus pertengkaran hanya karena mendahulukan ego masing-masing. Di satu saat mereka sering memperebutkan hak meskipun kadarnya terbilang sangat sepele. Di lain waktu mereka bisa terlihat sangat kompak seolah apapun yang mereka dapatkan mereka terima dengan legowo. Tapi itu juga jarang terlihat awet karena biasanya anak yang mendapat lebih kemudian jadi "nglunjak", sehingga menuai ketidaknyamanan pada yang lain.

Ada saja hal-hal yang mendasari perseteruan antar mereka; iri lah, dendam lah atau sekedar iseng belaka. Kadang aku yang punya prinsip ingin mendidik mereka dengan cara memperlakukan mereka dengan kedewasaan dan kesabaran, namun seringkali akhirnya aku masih juga sampai harus berteriak-teriak memarahi mereka. Kadang aku harus mencubit mereka saat kata-kata ku seolah tidak mujarab lagi. Dan aku yakin di balik tangisan mereka ada rasa sakit hati ketimbang sakit fisik karena mereka sudah cukup besar untuk masih bisa merasakan sakitnya cubitan a la kadarku itu. Terbukti dengan munculnya kasus perseteruan baru dengan alasan yang sama tak lama setelah situasi reda diantara mereka. Bahkan mereka mampu menciptakan kasus pertengkaran baru dengan menggunakan hukumanku sebagai alasan untuk saling menyalahkan.

Hukuman penyitaan barang kesukaan mereka juga tidak selalu jadi solusi yang tepat karena ada saja hal yang mereka temui untuk mewujudkan keisengannya. Cukup dengan membuat bunyi-bunyian atau mimik muka yang sifatnya mengejek di saat mereka hanya aku izinkan untuk duduk diam tak bersuara di tempat yang berjauhan saja bisa membuat suasana keruh kembali seolah pertengkaran merupakan hal yang sangat dinikmatinya, hingga aku sering membiarkan mereka saling meledek sepuasnya. Aku memang kadang mecoba membiarkan mereka menyelesaikan masalah sendiri meskipun sampai harus kontak fisiknya, tapi itu sering berarti ada yang akhirnya menangis...hufft!

Yang pasti, sekejam apapun kelakuan mereka terhadap masing-masing, mereka akan saling mencari ketika mereka sedang terpisahkan. Saat seperti itulah yang selalu membuatku merasa kasian pada mereka karena semua sifat nakal, iseng dan keras kepala mereka lenyap dari ingatanku. Apalagi ketika mereka tengah lelap dalam tidurnya. Wajah pulas mereka sangat mampu membuatku merasa sebagai orang tua yang paling bahagia dan beruntung.  Oh well....boys will be boys.



Friday, August 16, 2013

Bukan Tentang Islam

Sejak kemarin sudah digaungkan bahwa akan ada pengumpulan massa Islam besar-besaran di pelbagai kota besar di tanah air sebagai simbol kepedulian terhadap tragedi yang tengah berlangsung di Mesir. Pengumpulan massa yang terjadi di 32 kota meliputi hingga sejauh Makassar ini bukan untuk demonstrasi namun hanya sekedar aksi menunjukkan rasa solidaritas saja. Begitu hebatnya kepedulian ini hingga banyak pengguna media sosial yang tak henti-hentinya memasang postingan yang berhubungan dengan tragedi ini, dari yang sekedar mengingatkan untuk mengirim do'a, menampilkan foto-foto yang mengenaskan, sampai yang dengan nada keras dan sinis mempertanyakan sikap-sikap yang dianggap tidak atau kurang mencerminkan keprihatinan, lalu mempertanyakan kadar ke-Islam-an yang bersangkutan.

Sebenarnya apa sih yang terjadi di Mesir? Sampai sejauh mana Islam berkaitan dengan insiden berdarah yang telah memakan korban begitu besar itu?
Aku punya pandangan pribadi mengenai hal ini. Tentunya semua didasari oleh berita-berita yang kudapat dari beberapa sumber termasuk dari seorang rekanku yang asli orang Mesir. Beginilah ringkasan dari apa yang aku lihat dengan kacamataku;

Presiden terpilih dalam Pemilu 2012, Muḥammad Muḥammad Mursī ‘Īsá al-‘Ayyāṭ (Morsi) dari partai Islam Ikhwanul Muslimin, yang mulai menduduki jabatannya sejak 30 Juni 2012, sempat memberlakukan keputusan yang memberinya wewenang tak terbatas, yang dimaksudkan untuk melindungi rakyat Mesir dari undang-undang pemerintahan yang pernah diterapkan oleh presiden terdahulunya, Hosni Mubarak, yang ia gulingkan dari jabatannya. Keputusan yang kemudian dinilai tidak menyelesaikan masalah negara yang serius seperti minimnya persediaan bahan bakar dan tenaga listrik ini yang kemudian mengundang amarah rakyat seperti halnya yang terjadi dengan krisi moneter yang berakhir dengan lengsernya presiden Soeharto.

Setelah terjadi demonstrasi massa besar-besaran sejak 22  November 2012 hingga puncaknya pada 30 Juni 2013, yang menuntut mundur dirinya, disusul dengan pernyataan pihak militer yang mengancam akan bertindak bila tuntutan rakyat tidak dipenuhi, dewan yang terdiri dari menteri pertahanan Abdul Fatah al-Sisi, pemimpin oposisi Mohamed ElBaradei, Imam Besar Al-Azhar Ahmed el Tayeb, dan Paus Tawadros menyatakan Morsi resmi turun tahta. Keputusan yang diumumkan secara resmi oleh pihak militer Mesir inilah yang banyak disebut sebagai "kudeta". Dan mungkin hal ini yang kemudian mendorong pendukung Morsi untuk melakukan demonstrasi melawan pemerintahan sementara.

Demonstrasi besar-besaran yang kemudian berubah menjadi sebuah tragedi berdarah inilah yang hingga hari ini menuai banyak aksi unjuk rasa solidaritas di kalangan kaum Muslim di tanah air. Sangat mudah dimengerti bila kebanyakan korban yang luka dan meninggal adalah umat Muslim mengingat demonstran adalah pendukung partai Islam. Bukan berarti korban dari pihak militer sebagai oposisi tidak ada atau bukanlah umat Muslim, namun tingginya jumlah korban dari pihak demonstran yang beragama Islam ini kemudian menuai anggapan bahwa yang telah terjadi merupakan suatu aksi pembantaian kaum Muslim.
Lalu apa yang menyebabkan kematian begitu banyak korban ini?

Kabarnya, demonstrasi yang melibatkan wanita dan anak-anak ini sempat mencapai fase anarkis dimana terjadi pengrusakan berbagai fasilitas umum dari toko hingga gereja. Sangat mudah membayangkan bagaimana massa yang tengah gusar dikompor-kompori oleh pihak-pihak tertentu sehingga menjadi liar. Massa juga memblokir jalanan dengan membuat barikade yang begitu kokohnya sehingga perlu kendaraan lapis baja untuk menembusnya. Pihak pemerintah sempat memberikan peringatan akan menggunakan peluru tajam bila demonstrasi ini tidak segera dibubarkan. Mungkin saja peringatan ini dianggap perlu mengingat adanya massa demonstran yang mempersenjatai dirinya. Dan akhirnya pergolakan besarpun tidak terhindari. Di satu pihak terdapat massa Islam yang terdiri dari mereka yang anarkis, yang bersenjata, yang tua, juga yang wanita dan anak-anak, sedangkan di pihak seberang ada militer yang bersenjata lengkap.

"Perang saudara" yang terasa tidak imbang ini telah memakan jauh lebih banyak korban dari pihak demonstran, tidak terkecuali rakyat biasa, wanita dan anak-anak. Apakah memang ini sebuah pembantaian terhadap kaum Muslim? Apakah pihak milliter yang pelurunya mematikan begitu banyak korban Muslim tak berdosa bisa disebut sebagai pembantai kaum Muslim dalam kondisi seperti ini?

Dalam ilmu peperangan memang dikenal larangan membunuh rakyat yang tidak berdosa. Dan hal itu mungkin saja diterapkan ketika sangat mudah membedakan musuh berdasarkan atribut yang dikenakan. Namun bukanlah hal yang mudah menghadapi gelombang amukan massa yang tidak berseragam, dimana siapapun bisa menggunakan apa saja sebagai senjata. "Chaos" yang terjadi secara instan sangat mampu membutakan pihak militer yang kemudian sulit memilah-milah sasaran tembaknya.

Lalu ada berita tentang penembakan terhadap jema'ah Muslim yang tengah sholat oleh pihak militer. Sementara itu pihak pemerintah dan militer tidak mengakui perbuatan itu. Sejauh ini mereka yang terlihat berseragam militer dan menembaki jema'ah itu tidak diakui sebagai aparat militer Mesir. Bisa saja ini suatu usaha menggunakan pergolakan yang tengah berlangsung sebagai kendaraan untuk memfitnah. Yang pasti, kalau para pelaku itu memang berasal dari kubu pemerintahan, berarti ini kasus pembantaian kaum Muslim oleh sesama Muslim yang sangat mungkin dikemudikan pihak lain yang non-Muslim. Dari pihak manapun korbannya kemungkinan besar adalah kaum Muslim.

Apa yang terjadi adalah perang saudara yang disebabkan oleh perseteruan antar kubu-kubu pemerintahan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kebetulan memang hal ini terjadi di Mesir, yang kata seorang teman merupakan porosnya Islam secara sunnatullah, sehingga mayoritas korban juga kaum Muslim. Jadi sangat berbeda dengan apa yang terus menerus terjadi antara Palestina dan Israel. Menurutku tragedi ini murni pergolakan antar kubu-kubu di pemerintahan saja dan tidak berhubungan dengan Islam. Toh yang namanya pergolakan di negara-negara Arab sudah terjadi sejak lama. Dari suksesnya kudeta yang terjadi di Tunisia dengan berkedok demonstrasi besar-besaran, pemberontakan bersenjata di Lybia dan Suriah, hingga demonstrasi yang tidak menghasilkan apa-apa di Bahrain, Irak, Yordania, Palestina dan Sudan.


Aku akan tergerak bila himbauan itu berdasar pada faktor kemanusiaan, bukan pada faktor agama.
Bahwa hal ini berkaitan dengan strategi New World Order, sangat mungkin. Ditambah pula kemungkinan kaitannya juga bisa pada propaganda dan pemberitaan yang dirancang sedemikian rupa untuk memecah belah Islam sedunia. Dan sangat mungkin segala bentuk himbauan untuk bersolidaritas dalam bentuk aksi apapun yang digaungkan di dunia maya oleh siapapun, tanpa disadari bisa kemudian jadi bagian dari strategi itu.

Wallahualam...

June 8, 2013.



Wednesday, August 14, 2013

Harap Tenang. Ujian Sedang Berlangsung.

Kemarin aku dihadapkan dengan kasus tindakan seorang kontakku di sebuah situs jejaring sosial yang memasang ulang sebuah postinganku tapi setelah memodifikasinya dulu sedemikian rupa sehingga punya penampilan baru. Masalahnya adalah bahwa penampilan baru ini sifatnya memfitnahku dan dipasang di tempat umum. Awalnya aku menduga ia melakukannya hanya untuk lucu-lucuan saja mengingat ia cukup dikenal sebagai sosok yang suka bercanda. Seperti itulah juga aku menilai sosoknya selama ini dari membaca postingan dan komennya karena aku hanya mengenalnya sebagai kontak di dunia maya sehingga aku buta soal kepribadiannya. Tapi seharusnya ia menyadari bahwa dengan kondisi seperti itu tindakannya yang mungkin dinilai sebagai gurauan di kalangan teman-teman atau "keluarga kecil"nya itu justru menjadi sebuah fitnah saat dilakukan terhadap orang yang bukan kenalan dekatnya.

Yang lebih parah adalah responnya atas teguran yang aku layangkan secara pribadi. Tak hanya tanpa rasa bersalah, ia membenarkan tindakannya sebagai pembalasan atas kesalahanku menyertakannya dalam kelompok kontak yang menerima notifikasi postingan-postinganku. Aku heran mengapa tidak terbetik sedikitpun pada benaknya untuk memintaku secara baik-baik merubah settingan akun-ku dan mencabut namanya dari daftar kelompok kontak itu agar ia tidak lagi mendapat notifikasinya. Ketidaknyamanannya itu ia tebus dengan memasang sebuah postingan negatif yang ia harapkan bisa menyeimbangkan skor denganku.

Dalam responnya, ia juga menganjurkanku untuk mengabaikan fitnah ini bila faktanya tidak benar. Helloooo? Namanya juga fitnah, pasti bertentangan dengan fakta. Kalau seseorang dipanggil "anjing" oleh orang lain yang tergolong sebagai "orang asing", apa iya orang itu harus menyikapinya dengan cara mengabaikannya tanpa rasa tersinggung?
Di lain waktu, ia juga termasuk yang berteriak-teriak memaki seorang pembuat onar yang sempat memberikan komen bernada fitnah ke sejumlah orang tanpa alasan yang benar. Kalau ia bahkan menyertakan kata-kata yang kasar dan kotor dalam serangan baliknya ke si pembuat onar sebagai bentuk solidaritas pada teman-temannya yang difitnah, tentunya sekarang ia perlu berkaca diri sebelum memberikan anjuran kepadaku untuk mengabaikan fitnahnya. 

Satu hal yang selalu ikut terseret dalam kasus pemfitnahan adalah orang-orang yang terposisikan di antara aku dan si pembuat fitnah. Umumnya mereka cenderung "cari aman" dengan mengibarkan bendera abstain ketimbang memihak meskipun mereka sangat memahami duduk perkaranya. That's okay...aku toh juga bukan tipe orang yang meminta-minta dukungan ketika aku menghadapi situasi seperti ini. Aku bahkan mencoba tidak kecewa saat mereka berdiri di pihak seberang karena paling tidak semua sikap yang mereka tunjukkan itu ibarat isi buku yang menjadi dasar buatku untuk melakuan penilaian dan mengevaluasi ulang kadar kedekatanku dengan mereka. Dalam situasi begini, aku bisa lebih jelas melihat sifat-sifat asli mereka sehingga aku bisa lebih bijaksana dalam menjaga pertemanan.

Sudah sejak lama konsep kesederhanaan yang melatar belakangi caraku bersosialisasi, tapi dinilai oleh orang lain sebagai kebodohan itu, menuai begitu banyak fitnah. Bukan...bukan karena cemburu, iri hati ataupun syirik, tapi kebanyakan dilakukan oleh mantan "teman baik" yang kecewa karena aku tidak mampu memberi bantuan yang mereka harapkan dariku. Dan seperti yang sudah-sudah, tanpa melakukan pembelaan lebih jauh yang mungkin akan mengarah ke debat kusir, akhirnya aku juga menutup kasus ini begitu saja tanpa menuntut ganti rugi kesadaran, pengertian atau permintaan maaf apalagi materi dari si pembuat fitnah. Dan apapun sikap yang nantinya dipilih oleh mereka yang terjebak di tengah-tengahnya, aku harus mensyukuri pengalaman buruk ini sebagai bagian dari ujian yang tengah berlangsung.



Monday, August 12, 2013

Beruntung

Masih seputar berakhirnya Ramadhan yang tahun ini telah memberiku lebih banyak dan lebih berat pelatihan dalam mengontrol dan menahan diri. Kalau boleh aku berbangga, aku senang dengan hasil yang telah aku capai dari segala upaya menahan diri yang sebenarnya telah aku cicil jauh sebelum Ramadhan dimulai. Dan kalau juga diizinkan, aku memang mengharapkan imbalan yang setaraf dengan usaha dan setidaknya niatku menjadi manusia yang lebih baik. Nah, sekarang yang sering jadi pertanyaanku adalah, kapan aku dapat imbalan seperti yang aku harapkan?

Sulit memang kalau semuanya kukembalikan kepadaNya yang akhirnya menjadi tabir misteri lagi. Entah sampai kapan aku harus menunggu, sementara dalam penantianku itu aku tidak seharusnya kehilangan kesabaran agar semua poin yang telah aku kumpulkan selama ini tidak hangus begitu saja. Sebagai manusia aku juga diberkahi rasa kesal, amarah dan mutung, yang semuanya harus terus kubendung. Tapi kesabaranku juga terbatas sehingga kadang aku masih saja membiarkan emosiku berbicara karena ketidak puasanku atas apa yang telah kudapat. Apapun yang seharusnya aku syukuri justru tak terlihat olehku hanya karena ujudnya bukan seperti yang kumau atau dengan mudahnya aku anggap tidak cukup.

Bayangkan saja...setelah begitu susahnya menempa diri dengan mengamalkan mandatNya dan menjauhi laranganNya, aku tidak juga dapat apa yang kuharapkan. Lalu disaat aku sedang mencoba untuk mensyukuri sekecil apapun imbalan atau berkah yang kudapatkan, cobaan berat lainnya "dihadiahkan" lagi buatku, bahkan bisa lebih berat dari sebelumnya. Apa tidak mengesalkan?

Untungnya aku (sejauh ini) masih dianugrahi akal sehat, sehingga aku tidak menjadi gila atau menyumpah serapahiNya. Tapi akal sehatku itu juga sering membuatku menggunakan logika untuk memutarbalikkan fakta dalam mengupayakan muslihat demi menyiasati ketidak puasanku sebagai (kemungkinan) jalan keluarnya. Aku pernah dengar bahwa do'a yang terijabah adalah yang dipanjatkan oleh mereka yang terdzalimi. Mungkinkah kalau aku bersiasat agar aku terdzalimi, do'aku akan terkabulkan? Atau ketika berkah yang begitu besar itu akhirnya turun setelah seseorang terlanjur hilang keimanannya dan memaki-maki Sang Pencipta atas cobaan yang dianggapnya terlalu berat dan tak mungkin diterimanya dengan legowo seperti yang pernah dialami temanku. Mungkinkah aku lalu layak mencoba bersikap egois dan menolak dengan keras apa yang harusnya kuterima dengan ikhlas? Belum lagi kalau yang terlintas dalam benakku untuk dilakukan adalah hal-hal yang mewakili keputusasaanku. Dengan dalih "mutung", aku ikuti saja ajakan iblis untuk melanggar laranganNya. Toch kalau akhirnya aku memang tidak berhak mendapat hadiahnya, paling tidak aku sudah mencicipi nikmat lainnya meskipun hanya sesaat.


Pergolakan prinsip seperti itulah yang terus menerus menggerayangi pikiranku semakin lama aku menunggu datangnya berkah dalam bentuk dan ukuran yang aku kehendaki. Makin banyak do'a yang kepanjatkan, makin besar berkah yang aku harapkan tapi tak kudapatkan, yang secara teori, harusnya ditindaklanjuti dengan lebih banyak lagi pemanjatan do'a-nya. Tapi aku juga tidak pernah tau sampai kapan dan di tingkat mana aku bisa bertahan mempraktekkan teori itu. Kemungkinannya selalu 50-50; siklus seperti itu akan terus berlangsung, atau justru menyimpang dan mengarah pada pengeksekusian siasat-siasat tadi?
Entahlah. Lagi-lagi semua itu adalah rahasaiNya. Semoga saja aku bisa selalu merasa beruntung...aamiin



Saturday, August 10, 2013

Belajar Dari Kesalahan Orang Lain

Ramadhan akhirnya usai kemarin dulu. Sama sekali tak kuduga bahwa ada kelebihan yang datang di Ramadhan tahun ini. Benar-benar suatu hal yang membuat Ramadhan ini begitu istimewa dibanding yang lalu-lalu. Seolah ini bukti bahwa Allah swt. kerap menunjukkan berbagai hal yang menakjubkan, kali ini aku dibukakan mata untuk melihat bagaimana aku harus mensyukuri nikmatNya dalam diriku sekaligus menata diri dengan cara menyaksikan seperti apa orang-orang yang selama ini pernah aku nilai.

Aku memang sudah dari awal berniat mengikuti "pelatihan" Ramadhan tahun ini dengan komitmen yang lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Makanya aku, meskipun dengan banyak keraguan, menyiapkan diri dengan seikhlas-ikhlasnya untuk menghadapi tempaan yang lebih berat. Harapanku adalah agar aku bisa menjadi orang yang lebih baik dan lebih bisa berserah diri kepadaNya. Pemberatan pelatihan ini juga banyak didukung oleh beberapa batasan yang aku tetapkan sendiri sesuai dengan ilmu yang kumiliki tentang besar kecilnya kemampuanku dalam menghadapinya.

Kalau aku kemudian bisa menyerap makna dibalik kesulitan dan tuntutan yang aku hadapi, itu bisa dianggap expected karena memang aku sudah mereka-rekanya ketika aku menentukan larangan apa saja yang nantinya bakal menantangku. Tapi yang menakjubkan adalah bahwa ternyata, aku melihat bagaimana Ramadhan bisa merubah sifat dan sikap orang-orang disekelilingku. Bukannya aku mencoba "menilai" dengan berdasarkan sampul mereka, tapi aku dicengangkan oleh sikap atau perangai yang tiba-tiba berubah drastis selama dan bahkan setelah Ramadhan. Bulan yang dianggap penuh rahmat ini seolah justru telah menyingkap sampul yang selama ini menyelimuti sifat mereka sebenarnya.

Ada banyak orang yang, bagaikan bunglon, berubah dalam sekejap menjadi "alim" ketika Ramadhan tiba. Hal ini lebih ditunjukkan dalam ucapan dan "ceramahnya" yang berkaitan dengan agama. Apalagi zaman sekarang sarana untuk "berceramah" sudah tersedia secara bebas lewat pelbagai situs media sosial dengan dukungan link dan/atau image yang mampu memperindahnya. Media lain adalah alat komunikasi yang jangkauannya tidak seluas internet tapi lebih mudah diandalkan. Dan seiring dengan bergulirnya Ramadhan, gencarnya gelombang kealiman ini juga berangsur memudar hingga di ujung Ramadhan dimana nuansa alim itu nyaris terasa. Lalu begitu Ramadhan berakhir, mereka yang selama ini menampilkan kealimannya kini tampil dengan "wujud lama" ....bukan wujud baru yang fitri. Mereka yang kemarin selama maksimal sebulan merangkai kata-kata indah, mengingatkan akan keberkahan Ramadhan, mengajak menyucikan diri dan menebar pesona alim-nya, kini kembali dengan atribut yang sempat mereka tanggalkan.

Ketika aku pertanyakan, mereka dengan lugas menjelaskan bahwa semua itu adalah wujud penghormatan bagi Ramadhan. Bahwa mereka rela meninggalkan semua itu demi kesucian Ramadhan, sehingga setelah Ramadhan berakhir mereka kembali lagi menjadi seperti dulu. Kenapa penghormatan ini buatku justru lebih terkesan sebagai suatu kemunafikan ya? Kalau memang apa yang mereka tinggalkan itu dianggap bisa merusak kehormatan Ramadhan, kenapa pula perlu mereka aplikasikan lagi pada diri mereka setelah itu. Buatku hal itu punya 2 arti; pertama, apa yang mereka tinggalkan hanya tidak pantas di bulan Ramadhan. Kedua, semua itu memang selamanya tidak pantas tapi mereka tinggalkan hanya di bulan Ramadhan.

Biarlah jawaban dan analisaku tentang hal di atas kusimpan buatku sendiri seperti hal nya tiap individu punya hak untuk berpendapat masing-masing. Yang membuat Ramadhan kali ini menjadi istimewa adalah bahwa semua itu lebih jelas terlihat karena pelatihan yang aku jalani berkadar lebih berat dan membuatku jadi lebih awas dan observatif tak hanya sebatas padaku sendiri tapi juga pada mereka yang ada disekelilingku, sehingga aku secara tidak sadar melihat perubahan mereka juga. Dan apa yang berlangsung di depan mataku membuatku begitu merasa beruntung dan bersyukur karena aku diberi kesempatan untuk juga belajar dari kesalahan orang lain tanpa harus jadi seperti mereka.

Alhamdulillah.....



Wednesday, August 7, 2013

A HM 1434H.

I know it's not my turn yet to make that leap.
The single one which would take me across the sea.
but it gives me no reason to slow down and stop.
For I must keep myself on the path to our nirvana.

I need no time to wait until the end of long dusk.
Or dodge the rain by standing under a big umbrella.
To feel the burst of this glorious emotion.
That feels like a song that has never been sung.
That sounds Heavenly for it is so pure.
But loud enough to get under my skin.

It is a priceless gift blessed for you and I.
Because of the love so true that no one shall disturb.
And it keeps us strong while we let them all fall thru.


Monday, August 5, 2013

Tampilan

Kekesalannya tak tersembunyikan setelah ia mendengar SPG itu memanggilku dengan "mas" ketika menawarkan produk coklatnya di Supermarket yang aku kunjungi weekend kemarin. Aku yakin bukan kemanjaan SPG wanita itu yang membuatnya kesal karena seperti itulah kebanyakan SPG bersikap agar dapat pembeli termasuk ke pengunjung wanita lainnya, tetapi lebih karena SPG itu memanggilnya dengan "tante". Aku memaklumi saja situasinya meskipun panggilan seperti itu didasari sikap menghormati. Bila ada pembandingan antara aku dengan dia, dan aku seolah dianggap lebih muda darinya memang terdengar lucu...minimal buatku. Kalau ia kemudian kesal karenanya ya itu haknya...benar ataupun salah.

Aku teringat kisah-kisah lalu bertahun-tahun silam, ketika aku masih sering hangout dengan kakak dan adik-adikku di coffee shop atau lounge hotel. Aku sering sekali dianggap bagaikan seorang ajudan atau karyawan yang kemampuannya terbatas, sedangkan yang lain mendapat sapaan dan layanan yang terkesan istimewa. Kami sepakat bahwa semua itu terjadi karena kebanyakan dari mereka menilai kami berdasarkan penampilan fisik kami. Aku yang berdasi mungkin bukanlah tandingan adikku yang hanya berkaos polo tapi gempal berperut buncit dan berambut minimalis di kepalanya. Kata mereka, sosokku tidak merepresentasikan "kesuksesan"....beuh!
Jangan-jangan kejadian weekend kemarin membuktikan kalau sosokku dianggap tidak merepresentasikan kedewasaan.

Aku bisa saja kesal ketika tidak mendapat perlakuan atau pengakuan yang kuanggap berhak kudapatkan. Aku bisa protes atau sedikitnya menegur atau meralat mereka demi kepuasan diri...tapi apa iya seperlu itukah? Aku rasa selama itu tidak menggangguku, aku lebih suka diam bahkan menikmatinya bila memang sifatnya menghibur. Untuk apa pula perlu aku jelaskan ke orang lain bahwa aku ini seorang yang sukses atau kaya atau terpandang, bila aku juga tidak minta perlakuan istimewa. Bila aku masuk ke dalam suatu butik terkenal dengan maksud ingin berbelanja, tapi kemudian aku diminta pergi hanya karena penampilanku tidak mengindikasikan kemampuan shoppingku, ya aku akan dengan senang hati meninggalkan butik itu dengan bersyukur karena aku tidak sampai membelanjakan uangku di tempat dimana karyawannya melayani tamu seperti itu.

Dan kalau aku tau-tau dianggap lebih muda darinya sehingga membuatnya kesal tapi membuatku terhibur, aku tidak akan meminta SPG itu untuk memanggilku dengan "oom" atau "bapak" saja kalau memang bukan itu yang ia lihat dariku. Akan aku biarkan SPG itu atau orang lain melihatku sebagai siapa saja selama mereka masih bisa memberikan respect yang pada tempatnya.
Aku tidak pernah berupaya agar aku terlihat lebih muda dari umurku. Jadi aku juga tidak akan pernah berupaya agar aku terlihat lebih tua. Apapun yang terlihat oleh orang lain adalah persis apa yang aku lihat di cermin.




Sunday, August 4, 2013

Eksis di Jejaring Sosial

Aku sering tersenyum sendiri melihat bagaimana orang berinteraksi di situs-situs jejaring sosial (social media) seperti facebook dan google+. Kedua socmed ini aku sebut karena aku memang cukup aktif...tapi hanya dalam memantaunya, bukan dalam menggunakannya untuk bersosialisasi. Bagaimana tidak? Aku bukan bicara sebagai seorang pakar sosialisasi (atau sosiolog atau entah lah sebutannya) karena dari dulu aku juga lebih dikenal sebagai seorang penyendiri, namun sambil menggeleng-gelengkan kepala terkesima, aku yang ilmu bersosialisasinya cetek ini menyadari bahwa (ternyata) banyak sekali cara orang untuk menjadi "eksis" termasuk hal-hal yang kuanggap lucu.

Kalau dulu aku sempat menjauhkan diri dari penggunaan facebook dan kepemilikan blackberry, meskipun akun facebook-ku sudah ada jauh-jauh hari sebelum facebook jadi terkenal, akhirnya aku harus mau menggunakan keduanya secara aktif demi menjaga hubungan dengan para kerabat dan relasi karena tak perlu menguras dompet. Itupun hanya sebatas memelihara hubungan tanpa rajin meng-update atau menyapa kalau memang tidak ada kepentingannnya. Dan hal itu terus berlangsung hingga sekarang. Sudah cukup buatku untuk menemukan kembali kenalan yang sempat putus kontak. 

Jika anda seorang individu yang karismatik, atau gaul, tak mengherankan bila kontak anda bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Atau postingan anda bisa dikomentari atau di Like/Plus oleh hingga ratusan orang. Tapi bila itu terjadi pada seorang yang penyendiri seperti aku, koq keliatan aneh ya?
Kenyataannya memag terjadi pada beberapa orang yang aku kenal seperti itu. Dan dari pengamatanku, rupanya ada hal-hal yang mungkin jadi kunci misteri itu. Berikut adalah hal-hal yang (mungkin) bisa mendongkrak jumlah kontak atau komen dan/atau ekspresi "kesukaan" pada postingan anda:


Like/Plus sendiri
Langkah pertama adalah memberi Like/Plus pada postingan anda sendiri dulu. Paling tidak, sebelum ada orang lain yang memberi Like/Plus, postingan anda akan terlihat sudah memiliki satu Like/Plus.

Update
Penting sekali anda terlihat eksis dan rajin menyambangi akun-akun anda, sehingga anda juga perlu selalu merubah status anda, meskipun itu hanya berupa sebuah kata, atau kata-kata mutiara, atau bahkan umpatan. Ingat, berkreasilah dalam menulis update agar bersifat memancing perhatian orang. Kata-kata seperti "ehm", "uhuk uhuk..." atau "galau..." sudah cukup buat memancing komen yang menanyakan maksud di balik penulisan yang seperti itu.

Sekedar Like/Plus
Langkah berikutnya adalah memberi Like/Plus pada setiap postingan semua kontak anda tanpa pengecualian. Tentunya hal ini tidak ditentukan oleh setuju/tidaknya atau suka/tidaknya anda pada postingan tersebut. Dampak dari aksi ini adalah semua kontak anda akan melakukan hal yang sama pada postingan anda, sehingga anda bisa mengumpulkan Like/Plus di postingan anda.

Foto Diri
Pilihlah foto diri yang anda pikir akan disukai banyak orang dan pajanglah sebagai foto profil anda. Dijamin banyak orang yang ingin berkenalan dan menjadi kontak baru anda. Foto-foto ini juga niscaya akan dapat banyak komen, baik yang memuji ataupun yang sekedar ingin berkenalan lebih jauh. Komen dan Like/Plus akan lebih banyak jika postingan bersifat umum (public).
Foto-foto seksi jelas akan mengundang leih banyak komen dan ajakan untuk berteman. Tapi harus dimaklumi juga kalau ada komen yang kurang ajar. Itu konsekuensi dari postingan yang sifatnya memang "mengundang". Hindari pemasangan foto orang lain (artis / selebriti) atau malah pemandangan, dll. Kalau anda rasa foto anda kurang "nendang", coba dipermak atau dipoles dulu di situs-situs yang memadai (picmonkey, instagram, dll).

Humor/Joke
Pasanglah banyak postingan humor, lelucon dan anekdot. Ini bisa berupa murni tulisan, murni ilustrasi atau kombinasi dari keduanya. Tampilan file GIF yang cenderung lucu (tidak bisa diaplikasikan di facebook) juga berpotensial mengundang Plus/Like dan komen.Dalam hal humor yang mesum, biasanya penyajian dalam bentuk tulisan tidak berkesan seburuk yang dengan ilustrasi. Hindari postingan joke yang mesum apalagi yang terkesan vulgar dan menggunakan kata-kata yang tidak senonoh. Tidak harus joke sendiri (orisinil), cari dan berburulah joke sebanyak mungkin lalu dishare lewat wall anda. Banyak yang suka postingan "yang ringan & yang lucu".

Religius
Postingan yang sifatnya religius sering dapat banyak komen, atau minimal di Like/Plus oleh banyak pembacanya meskipun mereka tidak sepenuhnya paham intisari postingannya. Patut diingat bahwa dengan mudahnya akses internet, banyak sekali orang yang kini mencari-cari dan menggali-gali fakta tentang agama lewat internet. Hal ini sudah banyak dimanfaatkan orang untuk menyebarkan faham dan pengertian baru, bahkan yang menyesatkan sekalipun. Dunia maya sudah jadi tempat lomba mengadu ilmu agama bagi siapa saja, baik yang terkenal atau yang berilmu tinggi atau fanatik ataupun orang biasa yang merasa dirinya "terpanggil".

Politik
Sebaiknya dihindari karena hal seperti ini sudah banyak termuat di surat kabar biasa. Kecuali bila memang banyak kontak anda yang tertarik dengan masalah politik di internet. Seperti yang aku sebut di atas, banyak yang cari postingan yang sifatnya tidak terlalu serius atau berat untuk dicerna.

Musik
Facebook dan GooglePlus berhubungan erat dengan YouTube sehingga sangat mudah untuk menampilkan video dari YouTube. Banyak orang yang malas membaca tapi ingin mendengarkan musik tanpa harus mencari-cari. Coba bagi video musik dari YouTube yang anda tau akan dikenal dan disukai banyak kontak anda. Kalau kebetulan selera musik anda berbeda, coba kesampingkan selera anda dan utamakan dulu selera musik kontak anda. Penuhi dulu kenyamanan mereka demi komen dan Like/Plus dari mereka.

Kata-kata Mutiara
Biasanya kata-kata mutiara atau quote menuai banyak Like/Plus tapi jarang komen, terutama quote yang menggunakan bahasa yang tinggi. Quote mudah ditemukan di banyak situs internet tapi kebanyakan ditulis dalam bahasa Inggris. Bila anda tidak yakin pembaca akan mengertinya, tuliskan terjemahannya sebagai pengantar. Kalau perlu tambahkan sedikit kata-kata bijak dari anda sendiri yang berhubungan dengan quote tersebut. Banyak orang yang hanya setengah mengerti atau bahkan tak mengerti sama sekali yang tetap bersedia memberi Like/Plus hanya karena mereka mengerti apa yang anda tulis.

Negatif 
Postingan yang sifatnya negatif (kasar / menghina / porno) tidak akan mendapatkan banyak Like/Plus tapi bisa menuai banyak komen terutama yang berupa cacian atau hujatan. Apalagi bila kemudian terjadi perdebatan pro dan kontra atas postingan anda. Kalau anda pintar menanggapi komen-komen yang mengutuk postingan seperti ini, dengan perdebatan panjang, dengan sendirinya komen akan tertimbun.


Masih ada beberapa hal lainnya tapi yang aku paparkan di atas mungkin sudah cukup buat mengumpulkan lebih banyak kenalan, komen dan Like/Plus.
Kalau ada yang bertanya padaku lalu mengapa aku tetap punya kenalan yang jumlahnya sangat terbatas dengan komen dan Like/Plus yang terbilang sedikit, jawabannya karena halaman profil akun-akunku adalah tempat penyimpanan pelbagai hal yang punya "sentimental value" buatku....bukan buat orang lain. Sehingga ketika setiap saat aku membukanya, aku bisa menikmati apa yang terpajang disitu. Makanya ada cukup banyak postingan yang aku atur sedemikian rupa agar hanya aku yang bisa melihatnya...