Tuesday, December 23, 2014

Buruk Hingga Ke Tulang

Kemarin aku menonton sebuah film lama yang dibintangi Benyamin dan Hamid Arif. Seperti pada kebanyakan film mereka, karakter Hamid Arif sangat membenci karakter Benyamin hingga ia sempat menyebutnya sebagai Dajjal.
Lalu aku teringat obrolanku sekitar satu dekade lalu dengan seorang mantan housemate ku semasa aku di rantau. Pada masa-masa itu, kami memang seringkali harus melalui banyak kondisi yang memaksa kami mengambil jalan pintas demi bisa lolos dari segala kesulitan hidup. Dan jalan pintas ini memang bukanlah hal terpuji yang pantas ditiru meskipun kami selalu berdalih bahwa apapun yang kami lakukan tidaklah merugikan bangsa dan negara kami.

Temanku yang memang punya banyak teori yang sering sulit diterima oleh orang semacam aku, yang bisa dibilang sudah banyak merasakan pahit dan manisnya hidup, menceritakan bahwa Dajjal itu awalnya hanyalah manusia biasa yang mengikatlan diri pada kontrak dengan Allah swt untuk menjalani hidupnya sebagai mahluk terjahat sejagat raya selama 1000 tahun. Dengan status seperti ini, ia mendapatkan kekuatan yang hebat untuk melakukan segala kejahatan terhadap umat manusia. Dikatakannya bahwa meski masih jauh di bawah kehebatan Allah swt, namun kedahsyatan kemampuannya dalam merusak iman manusia menempatkannya di peringkat kedua. Artinya, di dunia kegelapan, dialah pemegang tampuk tertinggi.

Nah, temanku ini berkata bahwa saat itu adalah tahun ke 1000 dari masa kontrak yang dijalani Dajjal, sehingga sudah saatnya ada yang menggantikan kedudukannya dengan kontrak baru untuk 1000 tahun ke depan. Ia lalu bertanya apakah aku berminat untuk posisi tersebut dengan dalih aku bisa mempunyai kemampuan yang tak terdandingi selain oleh Allah swt. Ia sendiri tidak berminat karena menganggap aku lebih qualified mengingat saat itu aku memang lebih banyak punya kenekadan dalam urusan bermain api.
Aku tersenyum sejenak yang membuatnya bertanya-tanya. Kukatakan padanya bahwa tanpa menjadi Dajjal pun aku sudah pernah berada di sisi tergelap kehidupan...dan aku sukses melewatinya. Buatku, aku tidak perlu menjadi yang terburuk bagi umat manusia karena aku sudah cukup buruk dengan menjadi Dajjal bagi diriku sendiri. Dan temanku tertawa setelah teringat akan apa saja yang pernah aku perbuat dahulu.

Banyak orang yang tidak menyadari bahwa kelemahan mereka sebetulnya ada dalam diri mereka sendiri. Bisa saja Dajjal menjadi sosok jahat yang punya kekuatan hebat, namun bukan berarti kekuatannya tak tertandingi jika memang kita membiarkan Allah swt membantu kita dalam melawannya. Yang namanya buruk hingga ke tulang yang terdalam itu tentunya juga karena buruk ringan yang dibiarkan memberat. Kalau memang benar teori temanku itu, berarti bahkan Dajjal pun menjadi yang terburuk karena seperti itulah pilihan hidupnya. Dan tanpa harus menandatangani kontrak 1000 tahun, setiap orang mampu menjadi yang Dajjal bagi dirinya sendiri.


 .

Monday, December 22, 2014

Pengingatan

Mungkin masih banyak dari kita yang belum tau mengapa hari ini diperingati sebagai Hari Ibu Nasional.
Alangkah baiknya sementara kita dengan tulus mengucapkan selamat hari ibu, kita juga mengetaui latar belakang penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu nasional...

Penetapan Hari Ibu di Indonesia berawal dari bertemunya para pejuang wanita yang menggelar Kongres Perempuan Indonesia I  pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Tak kurang dari 30 organisasi perempuan dari 12 kota di pulau Jawa dan Sumatera hadir dalam kesempatan itu.
Salah satu hasil kongres adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).  Tujuan utama organisasi ini adalah berjuang menuju Indonesia merdeka dan perbaikan nasib perempuan.

Berbagai isu yang diangkat di antaranya adalah persatuan perempuan Nusantara, pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, dan pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa.
Isu lainnya yang juga diperjuangkan adalah memerangi perdagangan anak-anak dan kaum perempuan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita serta menentang pernikahan usia dini bagi perempuan.

Pada 1938, ketika Kongres Perempuan Indonesia III  digelar ditetapkanlah 22 Desember sebagai Hari Ibu,  yang penetapannya diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Meutia, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Hajjah Rangkayo Rasuna Said  dan lain-lain.
Setelah Indonesia merdeka, melalui Dekrit Presiden  no. 316 tahun 1959, presiden Soekarno menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu Nasional.


Selamat Hari Ibu



 

Wednesday, December 17, 2014

Berkah Di Balik Kesabaran

Sudah seminggu terakhir ini kondisi finansialku benar-benar mengenaskan gara-gara ada saja hal-hal tak terduga yang terjadi yang memaksaku memeras kocek. Belum lagi memang di akhir tahun seperti sekarang, job bisa dibilang sepi. Beberapa proyek yang telah aku rintis penggarapannya sejak lebih kurang 2 bulan yang lalu tak kunjung bisa dimulai karena para bohirnya menemui berbagai masalah administrasi.

Aku punya banyak alasan untuk menjadi "moody" dan sensitif jika ada hal-hal yang bersinggungan dengan kebutuhan dana, baik itu di rumah maupun di tempat kerja. Namun aku juga sadar bahwa tindakan negatif apapun yang bisa aku lakukan tidak akan mengubah kondisi keuanganku. Maka tidak ada hal lain yang aku lakukan selain bersabar dan menunggu suatu mukjizat yang dapat melepaskanku dari keterpurukan ini.

Dua hari yang lalu adikku, yang menjadi mitra bisnis merchandiseku, lewat pesan singkat menanyakan nasib produk kami yang aku titipkan di toko merchandise sekolah almamaterku beberapa bulan sebelumnya.
Aah...aku memang lupa akan produk-produk itu. Bahkan aku sempat harus mencari-cari lagi nomor handphone contact person yang bertanggung jawab atas kerjasama ini. Dan kemarin aku sudah berhasil menghubunginya lalu membuat janji untuk menemuinya pagi ini.

Bapak ini sempat memberi info adanya beberapa butir produk yang terjual namun aku tidak menanyakan rincian jumlahnya karena aku pikir toh kami akan bertemu dan membahasnya. Sebutlah aku "jaim", namun aku memang tidak ingin memberi kesan "amatiran" dalam berurusan dengan pihak sekolah yang punya arti besar dalam perjalanan sejarah pendidikanku. Lagipula, aku berasumsi kalaupun terjadi transaksi pembayaran tunai, tentunya tidak signifikan jumlahnya.

Namun aku harus menelan kekecewaan ketika bapak ini ternyata tidak ada di tempat sesampainya aku disana. Padahal kemarin ia menyatakan akan stand by di tempat sejak pukul 7 pagi. Handphonenya yang tertinggal di sekolah karena kepergiannya yang mendadak itu membuatnya mustahil untuk dihubungi, sehingga aku memutuskan untuk pergi dan kembali lagi esok hari. Aku tidak mungkin marah padanya karena aku ingin bersikap luwes dan memberi respek tinggi terhadap segala kebijakan dan aturan main yang mereka terapkan.

Sebelum aku benar benar menjauh dari lingkungan sekolahku itu, aku sempatkan diri mampir ke masjid terdekat yang di pelataran parkirnya tersedia banyak tukang jajanan, membeli makan siang yang dibungkus untuk kusantap di tempat kerjaku nanti. Dan pada ketika aku siap meninggalkan tempat jajanan itulah aku dihubungi oleh bapak dari sekolahku itu, yang memberitau bahwa ia telah berada kembali di sekolah. Aku pikir, keinginanku untuk jajan itu merupakan mukjizat yang telah membuat perjalanan jauhku tidak sia-sia.

Tidak hanya itu, bapak itu ternyata menawarkan penyelesaian yang tak pernah kami duga sebelumnya mungkin terjadi. Pasalnya, agar tidak merepotkan dalam hal penyetoran hasil jualan, pihak sekolah berniat membeli putus semua stok barang yang dititipkan. Suatu deal yang tanpa perlu dibahas dulu dengan adikku langsung aku terima. Apalagi hasil pembelian putus ini langsung diselesaikan saat itu juga. Tentu saja adikku menyambut baik kabar ini. Bagaimana tidak? Kami mendapatkan sampai 10 kali lipat dari apa yang ketika terbangun pagi tadi aku duga akan kuterima.

Sepanjang perjalanan kembali ke tempat kerja, aku terus mensyukuri berkah ini sambil mengingat kembali bagaimana aku terus menerus menolak untuk menyerah kalah pada kegentingan kondisi finansial yang seolah sempat mendorongku ke posisi tidak sabar. Posisi yang memperbolehkanku melakukan semua sikap negatif dalam merespon keadaan. Dan untungnya, aku juga terus menerus memanuverkan fokusku dari hal-hal yang belum menjadi miliku ke semua hal positif yang telah aku terima hingga selama dalam masa keprihatinanku....secuil apapun itu. Alhamdulillah...



Monday, December 15, 2014

Yang Sederhana Dulu

"Kejarlah ilmu hingga ke negeri Cina."
Begitulah pepatah terkenal yang maknanya mengingatkan bahwa begitu banyak ilmu yang bisa didapatkan dimana saja di segala penjuru muka bumi ini hingga di luar angkasa.
Selayaknyalahpun orang bisa menerima dan memberikan ilmu tanpa mengenal batasan umur.
Mungkin pepatah inilah yang mendasari banyak orang untuk terus menggali dan mencari ilmu agama seperti yang dilakukan beberapa kenalanku.

Sebutlah A, yang ingin sekali menjadi manusia Islam yang baik dan benar. Tak segan-segannya ia mendengarkan khotbah dan tausiah dari banyak ustadz/ustadzah lokal yang makin hari makin banyak jumlahnya. Lalu, tanpa mengkaji lebih jauh apa yang ia dapatkan, diterapkannya ajaran-ajaran baru itu dalam hidupnya. Tak hanya itu, ia dengan rajin membagi-bagikannya tidak hanya kepada kerabat dan teman-teman dekatnya namun juga kepada umum lewat jejaring sosial yang juga menjadi salah satu sumber darimana ilmu itu ia dapatkan. Ia juga sering tertarik untuk hadir dalam acara-acara dzikir bersama atau tabligh akbar yang terbuka untuk umum yang dirasanya sebagai tempat menimba ilmu baru.

Sedikit berbeda dengan B, yang lebih menyeleksi nara sumbernya dengan menetapkan beberapa penceramah asing yang secara rutin ia tonton lewat internet. B ini lebih filosofis sehingga ia lebih mudah tertarik pada ilmu yang dikemas secara intelektual. Namun, meskipun yang ini lebih selektif dalam menyaring ajaran-ajaran yang didengarkannya, namun ia punya kesamaan dengan A dalam mencari ilmu baru yang diharapkan bisa membuatnya mengarahkannya ke pola hidup Islami yang baik dan benar. Dan seperti halnya A, ia juga rajin sekali membagi ilmu-ilmu barunya itu secara umum melalui jejaring sosial.

Aku memang bukan seperti mereka.
Mungkin aku lebih suka mempertahankan ilmu yang telah aku miliki ketimbang menggantinya dengan yang baru. Dalam hal ini, aku bicara lebih ke perubahan besar, karena akupun sadar bahwa tidaklah benar jika aku menganggap ilmu yang kumiliki sudah sempurna. Sehingga aku tau bahwa alterasi terhadap ilmu yang kuanggap benar itu kadang perlu dilakukan dalam skala kecil karena aku yakin segala ilmu yang kupraktekan selama ini tidak mungkin mutlak salah. Apalagi aku mendeteksi makin ramainya orang mencoba menunjukkan kalau dirinya berilmu, dan hal ini membuat apa yang beredar di kalangan umum merupakan campuran ilmu yang benar dan salah.

Aku menolak bahkan untuk mendengarkan ocehan orang-orang yang terlihat ingin terkenal seperti halnya banyak ustadz/ustadzah seleb. Atau orang yang memaparkan ilmu agamanya tanpa menyadari bahwa ia menjalani hari-harinya dengan melakukan hal-hal yang justru diharamkan oleh agamanya. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa Islam adalah agama yang mudah yang harusnya membuat penganutnya punya kesederhanaan hidup. Bahwa Al-Qur'an merupakan kitab suci yang gunanya menuntun penganut Islam ke jalan yang benar tanpa harus menyiksa kehidupannya. Dan aku sudah melihat bagaimana seorang kerabat dekatpun menghancurkan hidupnya dan keluarganya setelah mencoba menemukan arti sesungguhnya dibalik ajaran Al-Qur'an untuknya.

Buatku, Islam adalah agama yang menyejukkan. Dan hal itulah yang harusnya selalu kurasakan. Bukan agama yang njelimet yang justru membuat penganutnya terbebani dalam mendapatkan kebaikan dalam beragama. Dengan menggunakan ajaran Al-Qur'an dan "contoh-contoh" dari Rasulullah sebagai pedoman hidup, harusnya setiap insan Muslim mampu menikmati dan mensyukuri hidup yang dihadiahkan oleh Allah swt.
Apa yang terjadi padaku hingga saat ini adalah apa yang sudah menjadi suratanku. Seburuk-buruknya itu, aku tidak berpikir ada cara "khusus" untuk merubahnya selain apa yang telah aku lakukan selama ini.

Aku lebih suka mengkaji cara mempraktekkan ajaran-ajaran dasar agamaku terlebih dahulu sebelum mencari-cari ajaran-ajaran lainnya yang sifatnya lebih mendetil. Jika memang aku masih belum bisa memberikan komitmen yang sepenuhnya pada pengamalan ajaran dasarnya, bagaimana mungkin aku pantas memikirkan ajaran-ajaran lainnya yang sifatnya mendetil?
Bagaimana mungkin seseorang bisa mendapatkan ilmu dari negeri Cina jika perahu layar sederhana sebagai kendaraan yang seharusnya membawanya kesanapun masih belum bertiang sedangkan niat untuk mendirikannya masih belum dimilikinya?

Niatkanlah dulu untuk membenahi segala yang sederhana...



Tuesday, November 25, 2014

Drama

So it begins to show who are still getting tied up with disappointment over the new government, and who are getting fed up with their attitudes toward it.

Looks like it's gonna be a long lasting drama...
 


Wednesday, November 19, 2014

Never Give Up

Tepat pukul 00:00 kemarin, akhirnya harga Bahan Bakar Minyak bersubsidi; Premium dan Solar dinaikkan oleh pemerintahan baru yang dimulai sejak akhir bulan lalu. Memang dilihat sepintas, kenaikan harga BBM ini terasa janggal mengingat saat ini harga minyak dunia justru sedang menurun. Apalagi partai yang kemarin mengusung capres Jokowi kerap menyuarakan ketidaksetujuannya pada rencana kenaikan BBM yang terhembus di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Belum lagi jenis BBM yang harganya dinaikkan hanya yang menjadi konsumsi mayoritas penduduk negeri ini yang tingkat kehidupannya di bawah level "sangat kecukupan".

Alhasil, tidak hanya mereka yang dulu memihak Prabowo, tapi juga para pendukung Jokowi kini mengeluh atas kebijakan ini. Di luar itu, kebanyakan dari pendukung Prabowo mencibir bahkan mensukurin mereka yang dulu memilih Jokowi untuk menjadi presiden. Sementara pendukung Jokowi kini lebih memilih tidak memberikan pembelaan atas keputusan presiden pilihannya seolah memang tidak ada hal apapun yang dirasa mampu membenarkannya.
Sebenarnya seperti apakah sikap yang harus dimiliki oleh baik pendukung Jokowi maupun Prabowo dalam menghadapi  situasi seperti ini?

Kenaikan harga BBM itu bukan hal yang baru bagi negeri ini. Di setiap era kepemimpinan para presiden yang hebat (karena tidak semua presiden kita orang yang hebat), hal itu pasti terjadi. Kalau hanya dipatok dari harga minyak dunia, tentunya kita seolah tidak punya masalah lain di negeri ini. Tapi buktinya, kita punya begitu banyak urusan yang harus dibenahi sehingga pembenahannya bisa, mau tidak mau, melibatkan berbagai sektor. Bisa jadi saat ini, dinaikannya harga BBM itu bermaksud untuk mengatasi satu atau lebih masalah yang sedang kita hadapi. Bahwa kali ini, yang jadi tumbal bukan termasuk kalangan "mewah", ya tidak selalu mereka harus jadi bagian juga. Mungkin suatu hari nanti, akan ada kebijakan yang melulu hanya berdampak buruk pada mereka yang punya harta berlimpah.

Segala hal yang terjadi di seputar kenaikan BBM selalu sama dari masa ke masa. Berburu bensin hingga rela mengantri sekian lama di SPBU, aksi menentang dari berbagai kalangan, protes menuntut diturunkannya kembali harga yang telah terlanjur dinaikkan, ikut naiknya harga kebutuhan rumah tangga dan tarif angkutan umum, dll. Dengan terjadinya semua itu, hanya sesekali saja ada kebijakan susulan yang menetralisir kegundahan rakyat. Sisanya, harga BBM tetap pada pakemnya karena dirasa sebagai hal yang paling tepat untuk dijalankan oleh pemerintah. Dan akhirnya toch masyarakat luas mau dan mampu menerima dan mengatasi dampaknya.

Sudah untuk sekian lama dunia menganggap perekonomian negara kita ini ringkih dan tidak stabil. Dan kebanyakan dari kitapun sudah mengakuinya. Tapi bahwa hingga saat ini kita masih eksis, itu menandakan bahwa untuk sekian lama pula usaha kita untuk bangkit tidak menemui jalan buntu, dengan siapapun kita dipimpin. Jika kita dianggap terpuruk, kita bukanlah negara satu-satunya, apalagi masih ada negara lain yang kondisi perekonomiannya lebih buruk. Sejak awal, kita sudah memulai bangkit tanpa topangan negara-negara kapitalis. Boleh saja Malaysia, Filipina, Singapura atau Hong Kong menempati posisi di atas kita dalam hal kemakmuran, namun sejarah menunjukkan negara besar mana saja yang pernah ada di belakang mereka di awal kedaulatannya sebagai sebuah negara merdeka. Kemerdekaan yang kita raih 69 tahun yang lalu itu merupakan kemerdekaan yang murni dari keterlibatan negara kapitalis.

Kita baru memulai era baru dengan pemimpin negara dan jajaran alat pemerintahan yang baru. Seperti halnya yang sudah lalu, selayaknyalah kita memberi kesempatan kepada mereka dan diri kita sendiri untuk membangun negeri ini. Beri kesempatan untuk bangkit dari keterpurukan yang mungkin sudah terlalu lama kita alami. Beri kesempatan untuk menjadi dewasa dan bijaksana dalam berjuang mendapatkan hidup yang lebih baik tanpa harus saling mencibir, mensukurin, mengejek atau mengecam. Bagaimanapun, kita adalah bangsa yang punya leluhur yang dari awal tidak pernah menyerah memperjuangkan kemuliaan bagi negeri ini.
Be humble and never give up!



Thursday, November 13, 2014

Bukan Seniman

Kedua putra ku memang punya tabiat menunda pekerjaan yang tidak diminatinya. Hal ini adalah sesuatu yang aku maklumi karena hingga sekarangpun aku terkadang masih melakukannya saat aku merasa sedang melakukan hal lain yang aku anggap tidak mungkin ditinggalkan. Namun makin lama kebiasaan mereka makin parah karena seringkali penundaah itu disebabkan oleh acara televisi atau permainan video game. Padahal apa yang sering mereka tunda hanyalah pekerjaan yang sangat ringan seperti mengambil benda yang jatuh ke lantai. Dan aku sudah sering mengomel sanbil mengancam memberikan sanksi seperti pelarangan menonton televisi atau bermain video game untuk periode yang (bagi mereka) cukup panjang jika mereka tidak segera melakukan apa yang harus mereka prioritaskan terlebih dahulu.

Mungkin penundaan seperti ini bisa dianggap masalah sepele kalau saja mereka nantinya tidak lalu lupa untuk melakukannya. Faktanya, kadang mereka baru ingat setelah terlambat atau waktu yang tersisa tinggal sedikit. Misalnya penyiapan buku pelajaran atau pembuatan pe-er yang selalu aku minta untuk dilakukan begitu mereka tiba di rumah sepulangnya dari sekolah. Alhasil karena penundaan itu, sering kali mereka baru menyadari jika ada hal yang harus dibeli saat toko-toko telah tutup. Pengingatan mereka juga acap terjadi setelah ada teman yang menanyakannya. Begitu pula dengan seragam sekolah yang harus dikenakan namun ternyata masih harus disetrika bahkan belum dicuci.

Sejauh ini aku selalu mencoba bersabar dengan hanya mengingatkan bahwa suatu hari nanti penundaan seperti itu akan berdampak vital dalam hidup mereka. Aku pun sering harus membantu mereka keluar dari permasalahannya hingga larut malam saat mereka sudah tertidur pulas hanya karena aku tak ingin mereka mendapatkan hukuman dari gurunya. Terdengar memanjakan memang, namun selama aku menganggap masih ada harapan buat mereka untuk berubah, aku tidak keberatan untuk membantu melepaskan mereka dari ancaman dapat nilai rendah di sekolah.

Hari Minggu kemarin, aku memaksa anak sulungku untuk mengerjakan pe-er prakarya yang seharusnya telah dimulainya seminggu yang lalu. Suatu proyek panjang yang layaknya dicicil mengingat proses pengerjaan yang tidak mudah. Tugas utamanya adalah mengepang 3 batang kertas koran hingga membentuk sebuah tali yang panjangnya tidak boleh kurang dari 10 meter bahkan dianjurkan hingga 20 meter. Makin panjang makin baik. Namun untuk mendapatkan batangan kertas itu, ia harus sebelumnya memotong kertas koran selebar 6 cm, yang kemudian dilipat sebanyak 4 kali hingga membentuk sebatang kertas. Dan dengan setiap 3 batang yang dikepang itu dihasilkan seuntai tali sepanjang lebih kurang 30 centimeter. Jika untuk mendapatkan tali sepanjang 3 meter dibutuhkan 30 potongan kertas koran, maka bisa dibayangkan beban kerjaan yang dimilikinya untuk mendapatkan tali sepanjang 10 meter.
Untuk mempercepat waktu pekerjaan sekaligus mengurangi beban kerjanya, aku turun tangan dalam memotong dan melipat kertas korannya sehingga siap dikepang olehnya. Maka kami pun mengerjakannya selama seharian hingga ia berhasil mendapatkan untaian tali sepanjang 8 meter di penghujung hari yang akan ia bawa ke sekolah.

Dan di malam hari berikutnya, sepulangku dari bekerja, aku menanyakannya tentang apa yang terjadi di sekolah dengan hasil kerjanya. Ia lalu menceritakan dengan singkat bahwa disamping mendapat pujian, ia dianjurkan untuk melanjutkan tugasnya hingga panjang tali mencapai minimum 10 meter. Ia juga mengatakan bahwa masih banyak temannya yang bahkan belum mengerjakannya hingga sepanjang 5 meter. Hal itu membuatku lega karena nyatanya ia telah mengerjakan lebih banyak dari kebanyakan temannya.
Namun di pagi keesokan harinya, ketika aku melihatnya tengah menyiapkan tas sekolah yang seharusnya dilakukan di malam sebelumnya, aku tidak melihatnya mengeluarkan tali tersebut. Aku menanyakan dimana tali itu disimpan dan aku mulai curiga ketika ia mulai mencari sambil mengaduk-aduk isi tasnya. Bahwa kemudian ia ingat tali tersebut tertinggal di laci bangku sekolahnya, aku menjadi geram. Buatku, "kelupaan" itu harusnya telah terpikirkan olehnya ketika semalam ia bercerita padaku.

Kegeramanku berdasar pada kelalaiannya dalam menyimpan suatu barang berkarya yang telah dilakukannya seharian. Sementara hasil kerjanya itu merupakan barang yang mungkin saja sangat berharga bagi teman yang menemukannya mengingat semua siswa setingkatnya punya kewajiban membuat tugas yang sama. Hasil kerjanya itu tidak terindikasi sebagai miliknya karena tidak bernama sehingga dengan mudah diakui orang lain sebagai miliknya sementara tidak mungkin anakku bisa membuktikan jika barang itu memang miliknya.

Sebenarnya aku sudah seringkali hanya menceramahinya kalau ia melupakan suatu barang yang ia dapatkan secara gratis seperti barang-barang yang didapatkannya sebagai hadiah atau pemberian. Namun kali ini aku sangat kesal melihat begitu cerobohnya ia dalam menjaga suatu barang yang merupakan hasil jerih payahnya. Bagaimana pula orang lain akan menghargai hasil kerjanya jika ia sendiri tidak dapat menghargainya?
Alhasil, aku tidak hanya mengomel panjang lebar pagi itu, namun juga mengantarnya ke sekolah lebih awal untuk mencarinya . Beruntung baginya barang itu masih ada di tempat ia meninggalkannya kemarin. Tidak terbayang betapa akan tidak bersemangatnya ia untuk memulainya lagi dari nol.
Ia memang bukan (baca: belum jadi) seniman yang layaknya menghargai hasil seni yang dibuatnya, tapi ia tetap harus bertanggung jawab atas tugas-tugasnya sebagai seorang murid. Dan ia juga tetap harus menerima sanksi yang lebih berat dari yang pernah ia terimanya.
Semoga itu membuatnya jera dan menjadikannya orang yang lebih menghargai kewajibannya...



Kesabaran Dan Konsekuensinya


Pasti kita sering dengar "Batas Kesabaran" diungkapkan orang. Biasanya oleh mereka yang ingin menjadikannya sebagai alasan untuk berhenti bersabar setelah (menurutnya) ia sudah lama bersabar. Apa yang kemudian terjadi selepas batas kesabaran itu lebih bersifat negatif atau minimal merugikan suatu pihak atau lebih. Misalnya dengan melakukan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan seseorang hanya karena kesabaran sudah melewati batas yang ia tentukan.

Jika seseorang yang pesabar menjadi marah karena merasa didzalimi secara berlebihan, bisa jadi ia akan mengatakan bahwa pendzaliman itu sudah melampaui batas kesabarannya. Kemarahan ini paling tidak merupakan hal yang negatif bagi dirinya sendiri. Belum lagi buat pihak yang menerima amarahnya. Mari tidak kita bahas sampai sejauh mana efek negatif dari kemarahan itu bila pihak yang dimarahinya tidak terima.

Orang lain sering menghakimi kita dengan menyebut batas kesabaran yang kita tentukan itu terlalu rendah, tapi berpatokan pada apa penghakiman itu dibuat? Apakah memang kesabaran itu ada batasnya? Kembali lagi pada salah satu hadist terpendek yang pernah aku baca, bahwa iman itu terbagi dua. Separuh dalam sabar, separuh lagi dalam syukur. Buatku, tarfsiran hadist ini adalah ketika hanya kesabaran dan rasa syukur yang ada dalam diri kita dan mereka berimbang, saat itulah kita beriman. Tidak hanya ketika kita lupa untuk bersyukur, tapi juga ketika kesabaran kita pupus, tentunya kita sedang kehilangan keimanan kita.

Jujur saja, kesabaranku juga kerap kali menguap di saat aku lupa atas apa yang telah aku terima dan melulu hanya memikirkan apa yang aku harapkan tapi belum aku dapatkan. Tapi, aku cenderung hanya merugikan diriku sendiri tanpa sedetikpun mencoba menyalahkan orang lain karena sederhananya aku tidak merasa hal itu akan berpengaruh pada kondisi yang aku hadapi. Kehilangan kesabaran yang berujung pada kekesalan atau kemarahan itu aku lampiaskan pada diriku saja agar dampaknya tidak merembet kemana-mana, meskipun aku sadar bahwa pelampiasan seperti itu tetap saja tidak pada tempatnya.
Tentunya, pada situasi yang nyaman, aku sering menganggap bahwa kesabaran itu harusnya tak pernah aku batasi selama aku ingin keimananku tidak sirna. Tapi aku juga terus menerus mengingatkan diri sendiri agar di saat yang tidak menguntungkan, aku seharusnya tidak mencari kambing hitam atas kesialanku.

Kesabaran itu erat sekali hubungannya dengan menunggu, karena menunggu membutuhkan kesabaran. Sangat mungkin menunggu itu ada batas waktunya, namun bukan berarti di ujung batas penantian kesabaran kita dianggap habis karena dari awal kita sudah men-set kesabaran itu pada batas menunggu. Selama kita sabar menunggu hingga batas waktu yang telah ditentukan, kita telah mengemban tugas bersabar dengan baik. Jika apa yang ditunggu memang tidak muncul, akan ada lagi bentuk kesabaran yang terbentuk yang harus kita jalani sampai batas waktu yang berbeda.

Lain halnya dengan kesabaran yang terhenti sebelum batas waktu menunggu itu tercapai. Kalau itu adalah mobil, misalnya, yang tak kunjung hadir padahal sudah dijanjikan dikirim oleh dealer pada waktu tertentu, bisa saja kita kesal karena kesabaran kita sudah kita sinkronisasikan dengan waktu pengiriman itu. Tapi bila kita berhenti bersabar karena kekayaan yang belum juga dimiliki sementara tidak seorangpun berjanji akan melimpahkannya, itu aku anggap tidak benar. Dalam hal ini, satu-satunya yang bisa menjanjikan rezeki seperti itu hanya Allah, dan dilakukanNya tanpa sepengetahuan kita. Ya kalau memang dijanjikan (tanpa batas waktu), tapi kalau ternyata memang tidak menjadi milik kita?

Jadi soal menunggu untuk berkah dan rezeki, waktunya tidak terbatas. Bahwa kita mau menunggu dan untuk berapa lamanya, itu keputusan kita. Yang jelas, aku tidak mau berhenti berharap dan berhenti menunggu untuk yang satu ini. Bisa jadi aku justru menunggu untuk sesuatu yang tidak akan aku dapati. Tapi apapun yang nantinya terjadi, jika memang aku berhenti bersabar dengan cara mengakhiri kesabaranku, aku tidak ingin kemudian kesal pada orang lain. Satu-satunya pihak kepada siapa aku bisa melempari kekesalanku hanyalah Allah, dan itu tidak selayaknya dilakukan sehingga akan menjadi beban dosa yang berat sekali. Dengan dosa yang mungkin tidak seberapa, tetap saja aku tak ingin menjadikan orang lain sebagai target kekesalanku.

Jadi....
Jika kita memutuskan untuk menunggu rezeki, berarti kita berkomit pada kesabaran yang amat sangat tinggi. Sesukses apapun usaha penantian kita, hanya Allah swt lah yang tau persis bagaimana menghargainya. Sedangkan disaat kita mengakhiri kesabaran kita sebelum waktu penantian itu berakhir, hargailah keputusan itu dengan baik tanpa mencari pihak untuk disalahkan. Karena keputusan yang kita pilih itu juga menjadi urusan hanya antara kita dan Allah swt, tanpa melibatkan orang lain. After all, segala konsekuensinya khan kita saja yang menanggungnya...bukan orang lain.



Monday, November 10, 2014

Bodoh Mungkin, Tapi Yang Penting Benar.

Mungkin memang bukanlah hal yang mudah untuk menjalankan amanah. Pesan seseorang yang kita terima dan lalu kita jadikan sebagai sebuah janji untuk dilaksanakan saja sering begitu mudahnya terbengkalai dengan alasan klasik yang (menurut pendapat banyak orang) mau tidak mau harus diterima: lupa.
Jujur saja, aku bahkan sering menganggap ringan janji yang pernah aku ucapkan bila keadaan yang aku hadapi aku anggap sebagai suatu halangan yang cukup untuk dijadikan alasan.

Namun amanah dari mendiang ayahku yang satu ini tidak seperti hal-hal lain yang pernah aku jadikan sebagai janji untuk siapapun. Meskipun aku tidak pernah secara langsung berjanji akan melanjutkan niat baiknya dalam menyantuni begitu banyak mantan pegawai perusahaan yang pernah dipimpinnya, tapi penyampaian tentang niatnya ini kepadaku sekitar 3 bulan sebelum kepergiannya aku jadikan sebagai sebuah amanah tidak langsung darinya yang layak aku jalankan sebagai ahli warisnya.

Yang mengherankan justru mengapa dalam situasi yang rumit seperti sekarang ini, dimana wadah yang diciptakan oleh ayahku untuk dijadikan kendaraan dalam memperjuangkan niatnya ini praktis mogok dan harus dilepas dengan kompensasi yang jauh di bawah nilainya, ada saja pihak-pihak yang lalu berharap lain tanpa peduli dengan nasib mereka yang pernah diperjuangkan oleh ayahku semasa hidupnya? Parahnya, harapan lain itu justru tercetus demi kepentingan pribadi.

Anggap saja ayahku meninggalkan sebuah mobil mewah yang rencananya dipakai sebagai alat transportasi bagi sejumlah orang. Bahwasanya saat ini, mobil itu mogok sedangkan aku tidak mungkin mampu membayar biaya perbaikan dan pemeliharaan yang mahal itu, aku dengan mudah dapat menjualnya sebagai mobil rusak yang nilainya jauh lebih rendah. Dari hasil penjualan itu, aku lalu membeli sebuah mobil lain yang murah , tidak memiliki fasilitas yang memadai seperti halnya sebuah mobil mewah namun tetap bisa digunakan sebagai alat transportasi.

Pertanyaannya, sementara aku sendiri bukanlah termasuk orang yang hidup berkecukupan, apa iya aku lebih memilih menggunakan hasil penjualan mobil rusak itu untuk mencukupi kebutuhanku ketimbang mewujudkan niat ayahku? Apakah itu hal yang benar untuk dilakukan jika aku beranggapan bahwa ayahku tentu akan senang melihatku hidup berkecukupan? Apakah semua yang aku terima dari ayahku selama hidupnya masih begitu kurang sehingga aku perlu memprioritaskan kepentinganku di atas kepentingan orang lain?
Jawabanku: sama sekali tidak.

Kenyataannya, ada saja yang merasa hal itu layak dilakukan dengan berbagai macam dalih, termasuk demi pemenuhan rukun terakhir Islam. Tak hanya saudara sekandung, namun mereka yang bukan anak ayahku tiba-tiba merasa punya hak mutlak atas kompensasi yang buatku juga menjadi hak para mantan pegawai ayahku, sekecil apapun jumlahnya dan seberapa kecukupanpun hidup mereka. Intinya, aku lebih suka tidak mendapatkan sepeserpun selama niat baik ayahku terpenuhi. Apalagi jika dikemudian hari usahaku untuk mewujudkan niatnya memenuhi kegagalan. Tak terbayangkan bagaimana aku hidup berkecukupan sementara amanah ayahku sama sekali tidak aku bela.

Aku sudah berkali-kali mencoba menerima dengan ikhlas apa yang aku dapatkan (dan yang tidak aku dapatkan). Meski bukan hal yang mudah, aku sering mencoba mengingatkan diri sendiri bahwa perjuangan yang aku lakukan dalam hidupku ini didasari kepentingan Ukhrawi, dan bukan Duniawi. Dari situ aku belajar berikhlas, tidak hanya untuk kebaikanku saja tapi juga untuk kebaikan para penerusku di akhir zaman. Jika memang apa yang aku perjuangkan dianggap sebagai suatu hal yang bodoh karena tidak membuat hidupku sendiri di dunia ini lebih baik, paling tidak ada niat mulia yang mendasarinya. Dan buatku, kebenaranlah yang lebih penting bagiNya. In shaa Allah...




Wednesday, November 5, 2014

Pelajaran Dari Ayahku, Prabowo dan Jokowi

Setelah bergulat mati-matian (aku tidak berlebihan dalam hal ini) memperjuangkan amanah yang ditinggalkan mendiang ayahku untuk memperbaiki hidup ratusan mantan perusahaan yang pernah dipimpinnya, bahkan dengan menceburkan diri kedalamnya, akhirnya aku harus rela melepaskan hasil jerih payahnya dengan kompensasi yang buatku jauh di bawah harapan. Menyakitkan memang, terlebih ketika perjuanganku dilandasi komitmen yang begitu besar pada amanah beliau yang disampaikannya padaku sekitar 3 bulan sebelum kepergiannya. Namun aku harus ikhlas menerima "kegagalan" yang bukan merupakan suatu "kekalahan" di segala hal. Kalau ada yang mengingatkan aku bahwa "kegagalan adalah sukses yang tertunda", aku akan menyambutnya dengan "in shaa Allah". Kenapa tidak? Toch aku memang belum tau apa yang akan terjadi di depan nanti setelah kegagalan ini aku alami, dan kesuksesan tentunya merupakan pengharapanku.

Sama halnya dengan kegagalan Prabowo dalam memenangkan kursi kepresidenan yang dipertarungkan kemarin. Tapi apakah kegagalannya itu pantas disebut sebagai kekalahan? Dalam perebutan kursi mungkin bisa, tapi mungkin saja suatu hari nanti kegagalan ini justru memberikannya kemenangan dalam hal lain. Prabowo pun telah menunjukkan sikap karismatik dan legowonya dengan memberikan salam hormat pada Jokowi sesaat sebelum Jokowi dilantik sebagai presiden terpilih, sementara Jokowi sendiri dengan kesederhanaannya membungkuk di hadapannya. Sikap-sikap kepemimpinan yang sportif yang layaknya patut ditiru oleh para pendukungnya.

Lalu bagaimana dengan para pendukung Prabowo sendiri?
Aku selalu ingat perkataan kakakku dahulu kala sesaat sebelum pertarungan tinju antara Muhammad Ali dan Joe Frazier dimulai. Ia mengoreksi ucapanku yang mengisyaratkan harapan agar Frazier kalah dengan anjuran agar aku mendoakan Ali menang. Dengan begitu, meskipun artinya sama, namun sebaiknya doa yang terucap dari mulutku merupakankan suatu hal yang bersifat kebaikan dan bukan keburukan.
Selayaknya para pendukung ini mengharapkan posisi Prabowo yang bukan sebagai presiden justru memberikan hal yang positif bagi dirinya. Bukan mengharapkan Jokowi akan menemui banyak masalah dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden.

Sejak awal dimulainya pertarungan perebutan kursi kepemimpinan negara ini aku lebih memilih tidak ikutan berkampanye. Aku justru lebih menyimak teman dan kerabat yang kerap berdebat dan saling menyerang demi membela jagoannya, terutama di jejaring sosial. Yang mengherankan, mengapa setelah semua harusnya berakhir saat pemenang pertarungan diumumkan, perdebatan itu masih berlangsung? Tak hanya itu, meskipun ada kalanya perdebatan bisa dihindari, namun ahlak buruk pendukung masing-masing kubu tetap dipertahankan seolah keikhlasan menerima kenyataan itu masih belum ada. Dari mulai cibiran, keluhan atau sarkasme yang terlontarkan dalam postingan atau komen, sampai drastisnya penurunan jumlah orang yang "mau" berpartisipasi di postingan "teman" yang kebetulan berseberangan kubu. Sampai segitunya "sakit hati" yang tersisa rupanya...ckckck...

Sama halnya dengan pendukung Jokowi yang telah mencurahkan segenap dukungan moril dan materilnya, seharusnya siap menerima keadaan apapun yang terbentuk setelah Jokowi menjadi presiden. Kenyataannya, banyak dari mereka yang kini kecewa karena tidak mendapatkan apa yang diharapkan sebelumnya. Rupanya ada konsep "pamrihan" di belakang aksi dukungan yang diberikan selama kampanye sehingga kemenangan yang didapat Jokowi dirasa sebagai sesuatu yang mengandung imbalan "pribadi" untuk pendukungnya, bukan untuk negara secara keseluruhan. Aku melihat betapa meredamnya dukungan mereka pasca pemerintahan baru mulai berjalan. Bahkan tidak sedikit yang justru mulai mengicaukan kekecewaannya karena merasa kebijakan Jokowi tidak sejalan lagi dengan harapannya.

Jika aku sekarang mencoba berusaha melakukan manuver dalam mencari jalan lain yang sekiranya tetap bisa mewujudkan amanah mendiang ayahku, mengapa tidak para pendukung Jokowi dan Prabowo juga melakukan hal yang sama? Aku mencoba membayangkan apa yang kira-kira akan ayahku lakukan di posisiku? Aku yakin beliau tidak akan lalu "mutung" bahkan mencoba menggagalkan siapapun yang akhirnya meneruskan usaha yang telah dirintisnya. Beliau yang memang bukan seorang pendendam, mungkin akan mencoba menggunakan situasi ini untuk mewujudkan impiannya dengan cara yang tidak merugikan siapapun. Begitu pula harusnya yang dilakukan pendukung Prabowo dalam menjalani hari-harinya sebagai warga negara yang dipimpin oleh seorang Jokowi. Karena biar bagaimanapun, siapapun yang jadi presidennya, hidup tenang, makmur dan sentosa di negara ini tentunya adalah hal yang diinginkan semua orang. Bagaimana mungkin hidup tenang jika kita sendiri tidak ikhlas menerima apa yang sudah digariskanNya?

MOVE ON, PEOPLE...

 .

Monday, August 4, 2014

Oh...Bama...


Masih ingat waktu Barrack Obama mulai mendunia saat tampil sebagai petarung perebutan tahta kepresidenan Amerika Serikat? Namanya langsung melejit karena jjika terpilih, ia akan menjadi pemimpin pertama negara adi daya itu yang non-bule.
Namanya makin tersohor dipelosok negeri kita karena ia sempat tinggal dan mengecap pendidikan sekolah dasar didaeran Mentang Dalam selama beberapa tahun. Hal itulah yang lalu mendorong warga Menteng (yang bukan Dalam) termasuk mereka yang statusnya sudah mantan penghuni, untuk mendirikan perkumpulan anak Menteng dan memberi support kepadanya seolah mereka kenal langsung dengannya...beuh!

Itu kejadian di tahun 2008 dan akhirnya ia berhasil mengalahkan rivalnya, John McCain dalam pemilihan presiden tahun itu. Tak seperti para pendahulunya, ia dikenal sebagai sosok yang bersahaja dan pandai berpidato. Ia juga dikenal sebagai presiden yang luwes serta ramah pada pers sampai-sampai aktivitasnya bermain basket one-on-one dengan mantan pemain Chicago Bull, Michael "Air" Jordan pun dengan mudah diliput wartawan termasuk mereka yang bukan "pilihan" White House. Karismanya tampak begitu hebat hingga ia juga sempat mendapat penghargaan Nobel Perdamaian 2009. Banyak program kerjanya yang dianggap sukses, yang mungkin menjadi alsan terpilihnya lagi sebagai presiden di tahun 2012 setelah mengalahkan Mitt Romney.

Namun apakah pamornya masih semanis dahulu? Apakah warga Amerika sendiri masih mendukungnya di masa kepemimpinannya yang kedua ini? Apakah masyarakat dunia masih memandangnya sebagai pemimpin yang dapat diharapkan untuk memelihara perdamaian dunia? Yang jelas, dari banyak hal yang terjadi di luar maupun di dalam negara Amerika Serikat sendiri, posisi dirinya sudah tidak senyaman dahulu ketika kali pertama ia memegang tampuk kepemimpinannya. Dari masalah ekonomi dalam negeri hingga pertikaian di tanah Gaza yang tak kunjung mereda, keliatannya ia dipaksa segera "menampakkan asli" nya. Belum lagi ancaman dari beruang merah yang keliatannya sudah terbangun dari hibernasi panjangnya. Dan dengan berlikunya jalan yang masih harus dihadapi seorang pemimpin negara Amerika Serikat, senyumannya tidak lagi memberi harapan apalagi kenyamanan pada masyarakat dunia.

Tapi.....

...entah ya, bagi anak-anak Menteng itu.  :p




Tanda-tanda Kematian

Bismillahirrahmanirrahim.

Allah Subhanahu Wata'ala telah memberi tanda kematian seorang muslim sejak 100 hari, 40 hari, 7 hari, 3 hari dan 1 hari menjelang kematiannya.

Tanda 100 hari menjelang ajal :
Selepas waktu Ashar (Di waktu Ashar karena pergantian dari terang ke gelap), kita merasa dari ujung rambut sampai kaki menggigil, getaran yang sangat kuat, lain dari biasanya,
Bagi yang menyadarinya akan terasa indah di hati, namun yang tidak menyadari, tidak ada pengaruh apa-apa.

Tanda 40 hari menjelang kematian :
Selepas Ashar, jantung berdenyut-denyut. Daun yang bertuliskan nama kita di lauh mahfudz akan gugur.
Malaikat maut akan mengambil daun kita dan mulai mengikuti perjalanan kita sepanjang hari.

Tanda 7 hari menjlang ajal :
Akan diuji dengan sakit. Orang sakit biasanya tidak selera makan, tapi dengan sakit ini tiba-tiba menjadi berselera meminta makanan ini dan itu.


Tanda 3 hari menjelang ajal :
Terasa denyutan ditengah dahi. Jika tanda ini dirasa, maka berpuasalah kita, agar perut kita tidak banyak najis dan memudahkan urusan orang yang memandikan kita nanti..

Tanda 1 hari sebelum kematian :
Di waktu Ashar, kita merasa 1 denyutan di ubun-ubun, menandakan kita tidak sempet menemui Ashar besok harinya.
Bagi yang khusnul khotimah akan merasa sejuk di bagian pusar, kemudian ke pinggang lalu ketenggorokan, maka dalam kondisi ini hendaklah kita mengucapkan 2 kalimat syahadat.


Imam Al-Ghazali, mengetahui kematiannya. Beliau menyiapkan sendiri keperluannya, beliau sudah mandi dan wudhu, meng- kafani dirinya, kecuali bagian wajah yang belum ditutup. Beliau kemudian memanggil saudaranya Imam Ahmad untuk menutup wajahnya.

Subhanallah..

Malaikat maut akan menampakkan diri pada orang-orang yang terpilih. Dan semoga kita menjadi hamba yang terpilih dan siap menerima kematian kapanpun dan di manapun kita berada. Dan semoga akhir hidup kita semua Husnul Khatimah..

Aamiin Yaa Rabbal'aalamiin..


Monday, July 21, 2014

Ramadhan 2014

Memang begitu hebatnya Allah mengatur rencanaNya sehingga tak satupun dari kita, ummatNya, yang sanggup campurtangan dalam pengeksekusiannya. Bayangkan saja, bulan suci Ramadhan yang telah puluhan tahun berlangsung begitu tenteram dan damai di negeri kita, kali ini diawali dengan kedengkian, kebencian, cacimaki, hujatan yang dilontarkan begitu saja hanya demi kepentingan politik yang kebanyakan sudah diluar kepentingan pelakunya. Bulan yang harusnya menjadi waktu pelatihan untuk meredam nafsu dan emosi jadi terasa seperti bulan-bulan lainnya. Segala hal buruk yang telah dimulai sebelumnya dan layaknya dihentikan ketika Ramadhan tiba justru tetap berlangsung bagaikan kereta yang kebablasan karena kehilangan remnya dan menyeruduk kesana kemari.

Lucunya, disaat orang seperti aku yang sudah kadung pesimis bahwa tiap hari di bulan Ramadhan ini orang akan selalu mencari pelampiasan berkampanye, Allah punya rencana lain. Sekonyong-konyong Israel kembali kesetanan dan menggempur rakyat Palestina, meluluhlantahkan jalur Gaza yang memakan korban sejumlah anak tak berdosa. Perhatian masyarakat duniapun tertuju kesana, tak terkecuali rakyat kita yang telah sering menunjukkan solidaritasnya sebagai bangsa yang cinta damai dan bermayoritas Muslim. Sebagian besar dari kita mendadak lupa pada PilPres yang saat itu baru saja melewati tahap pemungutan suara. Banyak yang lalu mengabaikan berita tentang PilPres termasuk pembahasan dan perdebatan tentang Quick Count dan lembaga-lembaga surveyer yang melakukannya.

Namun keredaman itu hanya berlangsung dua atau tiga hari hingga kemudian orang telah kembali lagi ke topik PilPres setelah masing-masing kubu kandidat menyatakan akan mengirimkan sumbangan untuk rakyat Palestina. Hufff....bisa saja jika aku kembali menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak, tapi aku jujur mengakui ketelatenan baik tim sukses kedua kubu, media aliansinya dan bahkan pendukung awamnya sekalipun dalam menyikapi Pemilu kali ini sehingga peristiwa apa saja, dimana saja bisa dimanfaatkan sebagai kendaraan kampanyenya. Maka iklim perang demokrasi sementara ini kembali menyelimuti hari-hari diantara kesepuluh hari kedua Ramadhan. Postingan-postingan di media sosial internet yang tadinya sempat didominasi tentang kekejaman bangsa zionist Israel mulai berbagi dengan postingan tentang kekejaman para peserta PilPres dan pendukungnya.

Tapi Allah juga punya rencana lain ketika tepat sebelum memasuki 10 malam terakhir yang sakral dengan Lailatul Qadar nya, dunia digemparkan dengan berita tentang jatuhnya pesawat penumpang Malaysia Airlines, MH-17, hingga menewaskan 283 penumpang dan 15 awak pesawatnya. Yang menyita perhatian adalah bahwa pesawat tersebut ditembak oleh tentara Ukraina setelah diduga merupakan pesawat kepresidenan Rusia milik Valimir Putin. Di sini sendiri, berita itu lebih menarik perhatian karena ada 12 penumpang diantara korban tewas yang merupakan warga negara Indonesia. Dan sekali lagi, ada sebuah kekejaman lain yang melupakan kita untuk melakukan kekejaman dalam berkampanye. Tema khatbah dan tausiyah pun kini lebih terarah pada kemuliaan hidup yang bisa setiap saat terenggut begitu saja oleh kekejaman perang hingga tanpa terasa kita berada hanya sehari saja dari pengumuman hasil pemungutan suara tanggal 9 yang lalu.

Besok adalah hari penentuan pemenang PilPres yang akan diumumkan KPU. Sesekali kita bisa melihat berita tentang persiapan aparat maupun warga dalam menghadapi pengumuman ini dengan segala dampak buruknya yang diwaspadai bisa dan mungkin terjadi.  Sementara di berbagai media sosial telah kembali terlihat postingan-postingan bernada hasutan dan ancaman, proporsi postingan tentang nasib warga Palestina di jalur Gaza dan insiden penembakan MH-17 justru telah membuat suasana Ramadhan lebih kalem. Mungkin saja banyak dari kita yang (akhirnya) lebih siap untuk legowo menerima keputusan dari KPU, namun mungkin juga banyak diantara mereka yang belum siap, memilih untuk lebih prihatin dan peduli pada nilai-nilai kemanusiaan yang direnggut begitu saja di Gaza dan Ukraina sehingga menjadi lebih bijaksana untuk tidak berkampanye lagi.

Dan jika akhirnya, di 7 hari Ramadhan yang tersisa ini, setelah segala keburukan yang telah kita lakukan, kita masih bisa beruntung mendapatkan Lailatul Qadar, ya seperti itulah Allah mengaturnya tahun ini...




Thursday, July 10, 2014

Pesta Kita dan Air Mata Mereka

Berita serangan brutal Israel terhadap rakyat Palestina di jalur Gaza itu tiba-tiba tersiar saat pesta demokrasi sedang berlangsung di negeri kita. Sekali lagi, (harusnya) kita terpana dan sedih lalu mengecam aksi biadab Israel yang keliatannya tidak akan pernah ada ujungnya. Namun apa yang terjadi disini justru mungkin lebih tragis dari segala kesuraman yang harus dihadapi warga Palestina selama sepekan terakhir ini. Seolah tidak ada yang lebih penting dari pemilihan presiden, sebagian besar dari masyarakat kita sibuk berkampanye, bertukar cerita tentang pengalamannya dalam mengikuti proses pemungutan suara hingga membahas tentang penghitungannya. Rasa kemanusiaan terasa telah dikandaskan oleh celotehan tentang pasangan mana yang berhak mendapat suara lebih banyak dari pasangan lainnya. Sementara perdebatan tentang hal-hal negatif dari masing-masing kandidat masih juga menjadi menu utama aktifitas mereka yang merasa pintar dan layak bicara.

Rakyat negara yang belum lagi berusia 70 tahun ini terlalu terlena dengan sistem pemilihan pemimpin negara yang belum lama mulai diterapkan. Persis seperti sejarah perkembangan telekomunikasi via telpon seluler sejak pertengahan tahun 90an, mental masyarakat kita ibarat badan kerempeng yang dicekoki supplemen steroid dalam dosis yang tinggi sehingga perkembangannya dipacu dengan paksa. Bukan mustahil jika di negeri ini, Nokia sempat mampu merilis sebuah tipe telpon seluler baru tiap minggunya sementara di Amerika, produk baru Nokia muncul tiap dua bulan sekali. Gambaran tentang kecanggihan hidup yang terbentuk di benak manusia Indonesia telah melumpuhkan kemampuannya untuk lebih banyak menggunakan logika. Akibatnya, hingga saat inipun gadget-gadget yang merupakan pengembangan dari telpon selular kini menjadi sesuatu yang sifatnya prioritas bagi hampir setiap orang hingga kita mampu mengesampingkan hal-hal lain yang harusnya lebih penting.

Kebanyakan dari kita tak henti-hentinya mebahas tentang PilPres yang telah berlangsung kemarin. Sebelumnya, kita sibuk ikut berkampanye secara freelance membela kandidat jagoan, dan kalau perlu menjelek-jelekan lawannya. Usainya proses PilPres kemarin tidak membuat kita merasa cukup tentunya sebelum kita tau pasti siapa pemenangnya yang akan diumumkan oleh KPU tanggal 22 Juli mendatang. Aku sangsi jika setelah itu kita bisa dan akan berhenti berbicara tentang PilPres. Asumsiku, semoga aku salah, yang terjadi justru hilangnya penghormatan terhadap yang menang, pengakuan dari yang kalah, keikhlasan dalam menerima keputusan dan pemeliharaan perdamaian. Pemraktekan sistem demokrasi yang masih belia ini telah melenakan dan membutakan masyarakat kita sehinga kita sangat tidak peka dengan hal-hal lain yang terjadi di luar lingkup itu.

Tentara Israel kemarin tertawa lagi di atas penderitaan rakyat Palestina yang kembali menangis. Foto-foto yang mengenaskan tentang hasil kesadisan Israel beredar lagi dimedia nyata maupun maya. Namun topik pembicaraan yang dipilih sebagian besar rakyat kita masih soal pesta demokrasi. Apa yang terjadi di Gaza memang tidak menyangkut agama-agama yang diakui di Indonesia, tidak juga berpautan dengan demokrasi kita yang akan dibentuk oleh masing-masing kandidat PilPres, atau bahan pangan kita yang katanya hasil importan, atau kandungan bumi yang banyak dikuasai pihak asing atau apapun yang telah menjadi bagian dari keramaian kampanye PilPres kali ini, tapi tentang kemanusiaan. Air mata rakyat Palestina menuntut solidaritas kita sebagai sesama umat manusia yang menghargai hidup, sebagai orang tua yang berusaha menciptakan masa depan yang baik untuk anaknya, dan sebagai anak yang butuh orang tua untuk melindunginya.

Dan ketika apa yang mereka miliki terdzalimi begitu saja, masihkah juga kita bicara tentang pesta demokrasi melebihi porsinya?


 

Tuesday, July 8, 2014

Sinarnya

Tak seperti biasanya, di Jum'at pagi yang cerah kemarin, aku sudah melaju dengan motorku mengarah ke Timur kota dengan berharap bisa menyelesaikan urusan dengan pihak pemerintah daerah setempat sedini mungkin. Biasan sinar matahari yang terasa menghangatkan kulit lengan dan tangan dibalik manset dan sarung tangan yang kupakai mengingatkanku pada masa-masa ketika aku masih menjadi seorang mahasiswa di negeri seberang. Sambil menikmati kilauan sinarnya dari balik kacamata hitamku, aku teringat lagi hujaman kesilauan yang sama aku rasakan lewat kulit mukaku yang kering dan mataku yang memerah saat itu. Bedanya hanya ketika itu aku meluncur dengan kendaraan beroda empat di jalanan bebas hambatan yang lurus dan panjang mengarah ke arah Timur.

Aku dulu seringkali menjadi "destination driver" karena aku memang sejak remaja punya keahlian menahan ngantuk untuk waktu yang lebih lama dari teman-teman sepermainanku. Untuk waktu yang teramat lama setelahnya, ketahananku bahkan dapat pulih kembali cukup hanya dengan konpensasi tidur selama dua atau tiga jam saja. Pernah sekali, aku harus bolak balik ke sebuah diskotik hanya untuk menjemput dan mengantar sekelompok teman-teman yang sudah terintoksikasi minuman beralkohol sehingga tidak layak untuk mengemudikan mobilnya. Aku bisa mengendarai mobil di malam yang larut demi keselamatan teman dan di esok harinya ketika matahari sedang terbit demi kenyamanan teman yang lain. Aku sempat menyandang julukan "pembantu" karena kebiasaanku yang bangun paling awal dan tidur paling akhir diantara teman-temanku.

Aku dan sekelompok teman setanah air pernah menjalani suatu kehidupan yang teratur tapi tak biasa. Kami punya kegiatan rutin yang pastinya dianggap berlebihan oleh orang lain. Bukan kami menggunakan obat-obat terlarang atau bermabukan apalagi melakukan hal-hal uang asusila, namum sebaik-baiknya kegiatan apapun yang menjadi rutinitas kami, di hari-hari tertentu selalu berakhir di waktu yang larut di rumah mewah seorang teman yang merupakan salah satu tempat kami sering berkumpul. Rumah ini cukup besar dengan tempat parkiran dan halaman belakang yang sangat luas sehingga sangat nyaman dijadikan sebagai tempat untuk menghabiskan waktu kami. Letaknya cukup jauh di pedalaman, di sebelah barat kota-kota yang kami huni. Sayangnya, kami kurang bisa mengatur jadwal kegiatan kami dengan bijaksana sehingga setelah kami harus tertidur larut malam di rumah itu, kamipun masih punya kewajiban untuk kuliah di esok harinya. Maka disinilah peranku diandalkan dalam mengendarai mobil mengarah ke matahari yang baru mulai memancarkan cahayanya sementara teman yg lain melanjutkan tidurnya dalam mobil.

Flashback ini membuatku kembali tersenyum sendiri seperti ketika hal itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Aku mungkin memang banyak sekali melakukan aktifitas yang orang lain bisa menganggapnya sebagai sebuah kesia-siaan yang tidak bermanfaat buatku, namun aku merasakan kebahagian tersendiri ketika tengah menjalaninya. Tentu saja aku bisa melakukan hal lain yang mungkin lebih memberiku kenyamanan tanpa perlu bersusah payah memusingkan nasib orang lain, tapi "pengorbanan" seperti ini memberiku kegembiraan karena merasa dibutuhkan oleh orang lain. Hal yang membuatku sadar jika aku tidak hanya berperan sebagai seorang teman yang enak diajak bermain tapi juga teman yang peduli. Lalu sudah jadi apa dan kemana saja mereka sekarang? Entahlah...namun bahwa aku masih bisa menikmati hangatnya guyuran sinar matahari yang sama sekaligus menyilaukan pandanganku di Jum'at pagi kemarin itu sudah lebih dari cukup buatku...



Friday, June 20, 2014

Bijaksana Dalam Bersuara


Wah...makin lama makin seru rupanya postingan-postingan yang dibuat oleh para pendukung dari kedua belah kubu dalam menyambut Pilpres mendatang. Mungkin demokrasi yang dijanjikan kedua pasangan cpres dan cawapres itu tidak perlu terlalu besar lagi kadarnya karena dari penggunaan kebebasan bersuara yang dilakukan para pendukungnya sudah memperlihatkan skala kedemokrasian yang cukup besar.

Tak bisa dipungkiri lagi bahwa pembagian menjadi dua sisi terjadi di seluruh kalangan masyarakat. Contoh termudahnya adalah mereka-mereka yang ada dalam lingkaran pengaruhku sendiri. Kampanye yang dialirkan lewat tulisan dalam postingan di media sosial internet maupun di grup-grup seperti Blackberry Messenger dan WhatsApp kian gencar. Meskipun proporsi pemakaian metode saling menyerang pendukung sudah menurun drastis, namun proporsi hujatan kepada para kandidat justru makin meningkat, baik itu dilakukan secara santun ataupun secara ganas dan langsung. Bisa jadi hal ini dilakukan karena para pendukung dari masing-masing kubu sudah sumpek berdebat. Ini hal yang kuanggap positif karena paling tidak bacaan yang ada tidak menjadi semu dan membosankan, bahkan cenderung bisa dinikmati.

Bagi kelompok yang berada di poros tengah, materi bacaan seperti ini bisa sangat membantu dalam membentuk pola pemikiran yang jelas tentang kedua kandidat yang kemudian bisa memudahkan mereka menentukan pilihannya. Jangankan mereka, orang seperti aku saja, yang notabene masih mau membuka mata, telinga, pikiran dan hati, merasakan manfaatnya karena bisa saja kelak aku melakukan manuver yang drastis dengan memilih oponan dari orang yang sejauh ini aku jagokan. Apalagi dengan sopannya, ada beberapa pendukung ini kerap mengingatkan pembaca dan pendengar untuk menggunakan akal sehat dan logika ketika mereka memaparkan berbagai hal yang dianggapnya fakta yang sebenar-benarnya. Tampaknya, mereka belajar dari situasi yang sudah terjadi, sehingga bak juru kampanye resmi, mereka bisa menjelaskan kehebatan jagoannya maupun kebobrokan lawannya dengan cara yang elegan sehingga lebih mudah untuk bisa diterima.

Aku teringat kejadian belasan tahun silam ketika seorang kawan wanita yang telah menjalin hubungan asmara selama 8 tahun dengan seorang pria yang berbeda keyakinan. Saat itu, temanku berniat membawa kekasihnya menghadap seorang ustadz yang diharapkan bisa meyakinkan kekasihnya untuk menjadi mualaf agar mereka kemudian dapat menikah. Sayangnya, bukannya memberikan asupan yang menjunjung tinggi agamanya, ustadz itu justru mediskreditkan agama yang dianut oleh kekasih temanku yang jelas saja membuatnya geram dan mengurungkan niatnya untuk berpindah agama.
Kemutungan kekasih temanku itu berlangsung sekitar satu tahun dimana meskipun temanku mencoba keras meyakinkannya bahwa pindah agama adalah syarat terakhir yang harus dipenuhi untuk bisa menikahinya, namun trauma dan sakit hatinya sempat membuatnya percaya kalau Islam bukan lagi agama yang pantas untuk dianutnya. Ironis bukan?

Hal ini juga sangat pantas diaplikasikan dalam usaha para pendukung meyakinkan seseorang atas kebaikan dari kubu yang didukungnya. Orang seperti aku saja masih bisa merubah dukungan dan pilihanku ke kandidat yang aku percaya ternyata lebih kompeten jika memang penyampaiannya benar dan baik, apalagi mereka yang hingga kini masih mencari-cari hal yang bisa menuntunnya pada pilihannya.
Seorang salesperson akan punya kans yang lebih besar dalm menjual produk yang ditawarkannya jika ia bisa menunjukkan betapa besarnya kepercayaan yang dimilikinya terhadap produk tersebut tanpa harus menjelek-jelekkan produk saingannya. Karena semakin banyak ia memberikan poin (negatif) pada produk saingannya, semakin besar pula minat produsen untuk mencari tau tentang produk saingannya itu. Dan bisa dibayangkan jika akhirnya produsen justru kemudian mendapat asupan dari salesperson produk saingannya yang menjelaskannya dengan cara yang lebih baik.

Ini tidak ada kaitannya dengan agama, suku, gender, derajat atau latar belakang. Ini bukan soal solidaritas dalam persaudaraan atau pertemanan atau persahabatan atau bahkan pernikahan. Ini soal hak setiap individu dalam menggunakan satu-satunya kesempatan untuk menentukan pilihan yang tepat. Orang yang bijaksana seharusnya pandai mensiasati kondisi yang ada dalam menyuarakan pilihan dan semua alasan yang ada di baliknya sehingga mampu menjual apa yang dikampanyekannya. Dan jika asupan yang baik dan santun itu datang dari seorang kerabat atau teman dekat, harusnya akan lebih mudah diterima. Namun jika pendekatannya tidak tepat, pendapat seorang suamipun sangat mungkin ditolak mentah-mentah oleh istrinya yang kemudian memutuskan untuk menajdi oponannya.

Semoga di waktu yang tersisa hingga pelaksanaan Pilpres nanti, kampanye yang ada akan dilakukan oleh lebih banyak lagi orang yang bijaksana, yang bisa merayakan kemenangannya dengan martabat yang tinggi dan bisa menerima kekalahannya dengan besar hati. Aamiin.



Tuesday, June 17, 2014

Nyampah

Lucu sekali teman-teman dan beberapa kontak ku yang sering saling berinteraksi di dunia maya maupun dunia nyata. Setelah menyatakan tidak akan ikut-ikutan berkampanye menjelang Pilpres, ternyata, disadari atau tidak, mereka justru makin menggila dengan postingannya yang bersifat memihak hingga mendulang komen orang lain yang memicu perdebatan. Tidak ada yang salah dalam berperan serta mendukung jagoannya karena itu toh hak masing-masing warga negara.Hanya saja cara mereka menunjukkan dukungannya itu yang membuatku tersenyum-senyum melihatnya.

Ada yang hanya murni mengangkat-angkat citra jagoannya, namun ada saja yang masih melakukan kampanye negatif atau bahkan kampanye hitam.  Kampanye negatif-nya pun ada yang dilakukan baik dengan cara halus dan tidak menohok ataupun dengan cara sambil menyertakan pernyataan sinis atau malah makian. Hal ini dilakukan secara gencar hampir tiap hari hingga halaman pofilnya sarat dengan postingan seperti itu. Lalu apa sih yang memberikan kenikmatan bagi mereka dalam melakukan hal ini? Selain sebagai pelampiasan kefanatikan atau kebenciannya pada kedua kandidat, aku menduga mungkin nantinya semua postingan itu kelak bisa mereka jadikan pembuktian atas kebenaran postingannya sekaligus dipakai untuk bahan ledekan saat jagoannya terpilih sebagai pemenang. Lalu apa yang akan mereka lakukan saat harapannya tidak terpenuhi di ujung Pilpres bulan depan? Membersihkan semua postingannya?
Entahlah.

Aku sendiri berprinsip bahwa pendukungan pada masing-masing kandidat sebaiknya dilakukan dengan cara yang elegan tanpa harus mengangkat-angkat jagoannya setinggi langit atau membanting lawannya dengan keras. Hampir semua postingan bernafaskan kampanye yang aku jumpai itu wujudnya sudah seperti tulisan dakwah agama yang mengajak pembacanya untuk lebih bertakwa namun dengan dibumbuh ancaman yang teramat mengerikan sehingga mencerminkan seolah Sang Pencipta itu kejam. Postingan-postingan itu tidak hanya menggambarkan kesejahteraan yang dijanjikan para kandidat namun juga kesengsaraan yang bisa ditimbulkan mereka jika terpilih. Bacaan yang mengerikan sekali buat mereka yang hingga kini masih berada di poros tengah dan belum menentukan pilihannya. Tapi buat para pendukung, hal seperti itu takkan terbeli.

Aku percaya bahwa setiap orang akan menganggap sebuah teori itu benar jika memang sejalan dengan pendapatnya, dan begitu pula sebaliknya. Sebaik-baiknya seorang khatib berkhotbah, sebenar-benarnya apa yang dipaparkan dalam khotbahnya, hanya akan terbeli oleh mereka yang memang sepaham, dan tidak akan masuk ke dalam hati dan pikiran mereka yang punya anggapan berbeda. Jangankan isi khotbahnya, sekali seseorang tidak menyukai khatibnya, segala materi khotbahnya hanya akan melulu terdengar sumbang. Hal ini juga yang aku cukup yakin terjadi dalam kasus berkampanye tanpa batas.

Debat capres yang kedua telah dilaksanakan hari Minggu kemarin. Dan menurutku, ada 3 tipe orang yang ingin menyaksikan semua acara perdebatan yang sudah lalu maupun yang akan datang;
1. Orang yang perlu asupan tentang siapa yang layak dipilih.
2. Orang yang ingin melihat kehebatan jagoannya.
3. Orang yang ingin meilhat ketidak hebatan lawan jagoannya.
Jelas bagi orang yang masih bingung menentukan pilihannya, acara ini akan sangat bermanfaat. Namun bagi tipe nomor 2 dan 3, acara ini bisa jadi hanya bermanfaat untuk menambah bahan pembahasan dan/atau postingan mereka yang menyampah dimana-mana. Ironis sekali bagaimana mereka menggunakan waktu dan akalnya dengan cara seperti ini....




Thursday, June 12, 2014

Low Batt

Suasana hingar bingar perdebatan tentang Pilpres yang minggu kemarin semakin menggila dan sudah kelewat batas normal, lengkap dengan penjunjungan atas kandidat yang dijagokan dan cacimaki yang dilemparkan kepada lawan jagoannya secara berlebihan mendadak mereda bahkan bisa dikatakan sunyi senyap. Entah apa penyebabnya, bisa jadi bak handphone yang sudah low batt, mungkin saja para pelakunya sudah kecapaian. Yang jelas, memang sebelumnya sudah terlihat dengan adanya postingan-postingan yang menyerukan keluhan terhadap semua itu. Tidak sedikit orang yang merasa kesal dan capai membaca berbagai tulisan yang bersifat saling menyerang. Himbauan agar kampanye dan pembahasan diantara para pendukung kedua kubu dilakukan secara damai sempat tidak digubris bahkan perdebatan yang ada justru menjadi semakin kasar.

Ada beberapa kenalan yang berniat untuk menghindari postingan yang tidak bermutu itu dengan cara menyaring kontak-kontaknya dan meng-unfriend mereka yang dianggap menyampah. Seorang teman bahkan memutuskan untuk sementara waktu tidak lagi menyambangi situs-situs media sosialnya hingga Pilpres telah selesai dilaksanakan karena sudah muak mendapati hujatan yang ditujukan pada jagoannya. Rupanya, ia juga sempat berdebat dengan salah seorang kontaknya yang dianggap menyerang dan melecehkan martabat jagoannya. Mungkin saja akhirnya ia merasa menang dan puas dengan hasil pembelaannya, mungkin juga tidak. Tapi yang pasti aku yakin semua itu telah menyita waktu, energi dan emosinya. Dampak seperti inilah yang mungkin dialami mereka yang kemarin-kemarin doyan berkampanye secara all out sehingga saat ini, untuk sementara waktu, suasana kembali normal.

Kalau sebagian besar orang menyatakan tidak habis pikir menemui mereka yang melakukan hal-hal yang melelahkan itu, aku justru bisa mengerti. Dari awal aku sudah berprinsip untuk tidak menyuarakan pilihanku secara umum dan/atau alasan yang mengusungnya. Hidup di tengah lingkungan masyarakat yang moralnya begitu rapuh itu memaksaku untuk lebih berhati-hati dalam membuka mulut. Jangankan orang lain, teman bahkan kerabat dekatku sendiri bisa mengartikan salah apa yang aku ucapkan atau cara penyampaiannya. Kebijaksanaan masyarakat yang rentan sangat mudah menjadikan orang sensitif dan mudah tersinggung. Dan konsep pemikiran seperti inilah yang membuatku mengerti juga jika kemudian para pejuang tangguh tanggung ini seolah lalu tertidur karena kehabisan enerji.

Ya, ya...jika ada yang berkata bahwa perjuangan mereka itu didasari tekad untuk memiliki pemimpin yang berakhlak baik agar negeri ini dapat kembali menjadi makmur, aku setuju. Tapi dengan merendahkan moralnya dalam berjuang membela kandidat yang dijagokan, melayani dampratan lawan dengan cara mendampratnya balik atau mengerahkan segenap pikirannya untuk menangkis serangan-serangan yang tidak berarti, secara tidak disadari mereka membiarkan dirinya ditulari kebodohan lawannya. Tanpa disadari, mereka sedang menciptakan bangsa yang bermoral rendah untuk menghuni negara yang ingin dijadikan makmur oleh kandidat jagoan mereka sendiri. Kalau memang begitu, bukankah berarti mereka sedang menciptakan tugas yang lebih berat untuk dipikul di pundak pemimpin kita nanti yang 50% kemungkinannya adalah jagoannya sendiri?

Kita sebagai warga negara harus menyadari bahwa tugas kita tetap sama, mendukung pemimpin pilihan mayoritas. Siapapun yang akan terpilih sebagai presiden berikutnya punya tugas yang berat. Dan pemerintahan baru yang dipimpinnya nanti akan butuh sumbangan tenaga dan pikiran kita. Jadi, ketika nanti tenaga dan akal sehat kita sudah terkumpul kembali, jangan dihabiskan lagi hanya untuk kampanye atau pembahasan yang berlebihan apalagi debat kusir. Simpan saja untuk digunakan kelak dalam membantu pemerintahan baru memperbaiki negeri ini.




Wednesday, June 11, 2014

Modus Baru


Awalnya aku bersikap santai saja ketika di bulan yang lalu tagihan kartu kreditku itu tiba-tiba seolah berlipat dari tagihan di bulan-bulan sebelumnya. Aku hanya  menanggapinya dengan berniat untuk lebih membatasi penggunaannya. Lagipula toh alhamdulillah dana yang khusus aku simpan untuk semua tagihan kartu kredit masih cukup untuk meng-cover total tagihan bulan itu. Sudah berbulan-bulan aku memang tidak lagi menerima tagihan melalui pos karena aku sempat memindahkan alamat pengiriman dari rumah mertua ke kantorku. Jadi informasi jumlah tagihan yang aku dapatkan biasanya lewat ATM yang secara otomatis menunjukkannya jika aku memilih transaksi pembayaran. Aku baru bisa membaca rinciannya ketika tagihan itu kuterima pada kunjunganku ke rumah mertua. Itupun juga jarang aku lakukan selama tagihannya terasa normal dan pembayaranpun sudah aku lakukan sebelumnya.

Namun ketika kemarin tagihan kartu kredit yang sama itu mempunyai nominal 6 digit, aku langsung merasa ada yang tidak beres. Dan tanpa harus menunggu sampai aku menjemput surat tagihan di rumah mertuaku, aku langsung menelpon layanan call center guna menanyakan hal itu. 
Penjelasan yang aku dapatkan itu menyambarku bagaikan halilintar di hari yang cerah. Bagaimana tidak? Rupanya tanpa alasan yang masuk akal, pihak bank terkait secara sepihak menurunkan batas kredit pada kartuku. Penurunan batas kredit yang mencapai 3 juta ini diberlakukan begitu saja hanya dengan alasan keputusan pihak administrasi bank yang bersangkutan dan tanpa pemberitauan sebelumnya. Kontan saja tiba-tiba aku harus merogoh kocek yang jauh lebih besar dari anggaranku. Tak hanya itu, status aman dimana aku berada sebelumnya tiba-tiba berubah menjadi over limit.

Kartu kredit yang bermerk sebuah pasar swalayan besar yang disponsori oleh bank terkait ini memang mudah untuk didapatkan. Aku ingat dulu proses penyetujuan aplikasi yang aku ajukan memang begitu cepatnya. Padahal ketika itu, aku berkutat untuk tidak menyangkutpautkannya dengan kartu kreditku yang lain sebagai persyaratannya. Mungkin karena itu jugalah batas kedit yang diberikan masih jauh lebih kecil dibanding kartu-kartu kredit yang langsung aku dapatkan dari bank lain, sehingga nilai minimum pembayaran sebesar 10% dari total tagihan yang meskipun sudah mencapi batas kredit harusnya tidak memberatkan. Namun hal itu tidak akan berarti lagi jika kemudian harus diakumulasikan dengan selisih antara nilain pemakaian yang kini dianggap over limit.

Dalam perjalanan penggunaannya, aku menemui berbagai masalah seperti tidak dapat digunakannya di banyak tempat, ditolak bahkan oleh mesin di pasar swalayan itu sendiri sehingga transaksi pembayarannya harus diulang berkali-kali sampai berhasil dan sering dianggap tidak beres oleh ATM bank itu sendiri.
Tentunya dengan mudahnya mendapatkan kartu kredit ini, bank terkait punya banyak sekali nasabah. Bisa terbayangkan keuntungan yang sangat besar ketika pihak bank melakukan pemaprasan kredit secara sepihak kepada nasabahnya ini. Hmmm...rupanya ini bisa jadi sebuah modus baru yang cukup efektif buat instansi yang mendapat kepercayaan dari nasabahnya.  Dan segala keluhan bahkan protesku tidak membuat pihak bank tersebut mengubah keputusannya mengingat posisiku yang memang tidak mungkin memaksanya.

Kalau saja aku punya dana yang mencukupi, aku akan langsung menutup rekening kartu kredit itu. Harusnya aku memang lebih berhati-hati dengan hal-hal yang bisa didapat dengan mudah karena semua itu dapat menghilang dengan mudah pula.



Saturday, June 7, 2014

Jangan Bawa Agama

Hmmm...rupanya aku cenderung sering menulis blog disini hingga Pilpres berlangsung nanti. Bukan untuk berkampanye tapi lebih pada urusan curhat :p

Kemarin, sekali lagi aku diceritakan sekaligus ditunjukkan bagaimana sebuah tulisan berita bisa sampai mempengaruhi banyak orang bahkan mereka yang selama ini aku anggap bijaksana untuk lebih memilih diam ketimbang ikut berkampanye. Ternyata mereka yang terlihat diam atau anteng-anteng saja di depan umum doyan berdebat juga tentang para capres dan cawapres. Lebih dari itu, di balik kekaleman mereka di depan umum itu tersimpan ego yang tinggi dan ilmu yang salah. Yang lebih lucu lagi, aku dapat info bahwa banyak pendebat kusir yang tergolong muda dan belum pernah mengikuti pemilu sebelumnya.
Entah darimana mereka ini mendapat asupan. Kemungkinan besar mereka membaca di internet, yang notabene penuh dengan muatan sampah dan teori konspirasi yang memang dibuat untuk membelokkan fakta demi suksesnya kampanye hitam, lalu menarik kesimpulan sendiri. Parahnya, banyak  yang kemudian berkedok agama sebagai alasan untuk berkampanye dan/atau memilih.

Negara kita ini memang negara beragama tapi bukan dikhususkan pada agama tertentu seperti halnya Pakistan, India, Vatikan atau negara-negara agama lainnya. Ideologi kita adalah Pancasila, yang jelas-jelas mengakui adanya berbagai agama yang punya Tuhan yang sama. Jika ada kelompok yang menganggap negara kita lebih pantas menjadi negara agama, sebutlah Islam, tentunya sama salahnya dengan kelompok yang menganggap lebih pantas menjadi negara Kristen atau Hindu atau Budha, dll. Bahwa Islam merupakan agama mayoritas tidak berarti negara ini harus menjadi negara Islam. Kalau hal itu sampai berlaku, maka yang terjadi bukan lagi pembelokan sejarah namun sudah merupakan perubahan ideologi, yang artinya akan harus terjadi perubahan pada Pancasila dan UUD'45. Apa iya negara ini akan sampai pada hal itu? Itu artinya kita akan memulai dari nol lagi. Semua yang telah dirumuskan dan disahkan oleh para pendahulu kita akan dirombak habis-habisan seolah semua itu tidak tepat. Apakah segala aspek sejarah yang sejak dahulu menjadi materi pendidikan di sekolah lalu dianggap hal yang salah sehingga harus diubah?

Kondisi negara kita ini sedang rentan di berbagai aspek. Kesalahan para pejabat negara dalam menjalankan pemerintahan selama ini mungkin merupakan penyebab utama dari kerentanan itu. Yang kita butuhkan saat ini adalah suatu perbaikan dari semua kesalahan itu. Kita menginginkan kondisi negeri yang sejahtera dan makmur di alam kebebasan yang telah diraih para pejuang kita dulu. Kita ingin kembali ke masa-masa kemakmuran yang pernah kita alami setelah kita merdeka, bukan kembali ke awal saat proklamasi didengungkan karena saat itu rakyat kita belum merasakan kesejahteraan yang luas. Meskipun di masa perjuangan merebut kemerdekaan, banyak organisasi Islam yang memegang peranan penting di dalamnya, aturan agama Islam dari dulu toh tidak pernah dijadikan landasan untuk mengatur negara. Sila pertama Pancasila sudah jelas menerangkannya, mengapa masih didebatkan pula?

Sekarang siiapa yang masih menganggap dirinya pantas untuk bebrbicara mewakili Islam? Seorang ulama atau kiai kondang saja bisa melencengkan ilmunya di jalan yang salah, apalagi anak-anak muda yang menimba ilmu agamanya dari nara sumber yang menyesatkan?
Mungkin sudah tidak pada tempatnya lagi kita mengacu pada, "benahi diri dulu sebelum membenahi orang lain", tapi lebih tepat pada, "benahi diri sendiri saja". Tak perlu menghakimi capres atau cawapres manapun dari segi agama karena itu tugas Yang Maha Kuasa. Aku yakin kalau yang duduk di kursi pemerintahan itu orang-orang yang punya maksud dan akhlak yang baik, otomatis pengaturan negeri ini juga akan baik.
Insha Allah.



Friday, June 6, 2014

Mekkah Atau Israel?

Masjid Cut Meutia yang dibangun di zaman kumpeni awalnya berfungsi sebagai tempat perkumpulan para insinyur saat itu, sehingga orientasi aksis-nya tidak selaras dengan arah kiblat. Maka shaf yang ada di dalam masjid memang dibuat miring ke kanan sekitar 45 derajat dari arah dinding terdepan. Selayaknya shaf di halaman masjid-pun dibuat serupa, namun para pekerja yang bertugas menggelar karpet-karpet panjang sebagai alas sajadah rupanya tidak melakukannya dengan cermat sehingga acapkali kemiringan itu tidaklah sempurna. Belum lagi ada saja jemaat yang percaya bahwa arah kiblat yang ditentukan pemerintah masih salah yang membuat mereka selalu menempatkan sajadahnya dengan orientasi yang dipercayanya lebih menghadap ke kiblat.

Itulah sebabnya kami selalu menggunakan sajadah berkompas jika kebetulan harus melakukan sholat di tempat-tempat yang arah kiblatnya tidak diketahui atau meragukan. Di suatu Jum'at, ketika kami hanya bisa mendapat tempat di halaman masjid ini. Dari observasi kami, kami merasa karpet yang digelar tidak mengarah dengan baik, sehingga kami lalu memposisikan sejadah kami sesuai petunjuk dari kompas yang ada. Agak janggal memang ketika posisi sajadah kami terlihat tidak singkron dengan yang lain, namun setelah kami menjelaskan pada mereka yang mempertanyakannya, ada sebagian orang yang lalu mensejajarkan sejadahnya dengan sejadah kami.

Perbedaan arah ini tidak terlalu dipermasalahkan oleh yang lain hingga tiba saatnya sholat akan dimulai. Dalam posisi berdiri, perbedaan arah kemana kami menghadap dengan mereka yang mengikutibentangan karpet lebih jelas terlihat. Dan hal itulah yang kemudian mendorong seorang satpam masjid untuk meminta kami mensejajarkan sajadah kami sesuai dengan mayoritas shaf yang ada. Tapi kami berkutat pada arah yang telah kami tentukan. Satpam tersebut bahkan meminta kami memiringkan sejadah kami 45 derajat dari poros masjid. Hal ini membuat kami makin mempertahankan posisi kami dengan menunjukkan padanya bahwa shaf yang ada malah lebih mendekat ke arah poros masjid yang artinya melenceng dari 45 derajat.

Akhirnya, dengan wajah pasrah ia hanya bisa berkata bahwa alangkah baiknya bila shaf-nya terlihat seragam dan sejajar. Aku hanya berniat untuk tetap pada posisiku tanpa merespon himbauan ini mengingat bagiku semuanya kembali kepadaNya. Namun tidak demikian dengan adikku yang punya sifat harus selalu menegaskan apa yang dianggapnya benar. Dengan tegas ia lalu berkata,
"Saya ini posisinya sudah menghadap kiblat, sesuai dengan anjuran pihak masjid. Nggak tau ya ke arah mana orang yang beda posisinya. Insha Allah bukan Israel."

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan adikku ini. Tanpa kusadari sebelumnya bahwa hal itu memang sangat mungkin terjadi mengingat meskipun Israel berjarak sekitar 1250 km dari Mekkah, namu sedikit melenceng saja posisi sholat kita disini efeknya bisa sejauh ke Israel arahnya...

Tentukan arah kiblat anda dengan benar